Kromosom xx
Sissy berlari memutari rumah Juno. Dia memukul keningnya sendiri saat teringat ayah dan ibu Juno pergi dari kemarin sore, begitupun dengan Jeni. Sissy menggedor-gedor jendela kamar Juno.
Sementara Rima mematung menatap gadis cantik yang masih terlelap itu. Dia yakin baju yang dikenakan gadis itu adalah baju Juno yang semalam, saat mereka masih main gitar bersama. Bahkan, gitarnya pun teronggok begitu saja. Juno benar-benar membawa perempuan ke rumahnya. Rima kecewa. Pikiran buruk tentang Juno di iyakan oleh hatinya.
Juno membuka mata. Seketika dia menjerit saat melihat ibu-ibu sekampung mengerumuninya seperti lalat. Dia terkejut. Kemudian berdehem, “Ehem ….” Sembari memegang lehernya. Dia merasa aneh, kenapa lengkingan yang dihasilkan dari jeritannya, seperti suara Lyodra?
Apa Juno menelan jakunnya sendiri? Dia terus berdehem hingga terbatuk-batuk. Sissy merogoh air mineral dari dalam tas dan merelakannya untuk di minum oleh gadis itu.
Juno menenggaknya hingga menyisakan setengah. Kemudian menatap Sissy. “Sy, ini ada apa? Kok pada ngumpul di sini?” ucapnya. Tapi Juno tercenung mendengar suaranya sendiri yang mendadak merdu. Dia tidak salah dengar. Telinganya baik-baik saja. Tapi, Kenapa suaranya berubah menjadi suara manusia berkromosom XX?
“Kamu kenal saya?” tanya Sissy aneh.
“Ini aku Jun--” Juno meraba kepalanya. Matanya membulat seketika. Karena tangannya tak salah meraba. Kini rambutnya panjang. Tangannya beralih meraba wajah, pipi, hidung, dagu dan beralih ke leher. Mata Juno melotot, karena jakunnya lenyap. Juno yakin, dia tidak menelannya. Dia membasahi tenggorokannya. Tangannya terus meraba hingga dia tercengang saat memegang dadanya sendiri. Dan lolongannya berhasil membuat semua ibu-ibu itu membubarkan diri.
Sissy pun mundur perlahan.
“Sissy,” teriak Juno memanggil. Namun, Sissy yang berseragam sekolah terlanjur pergi meninggalkannya.
***
Tak ada satupun yang percaya bahwa dirinya adalah Juno. Dia terus menangis di depan teras rumah. Matahari kian meninggi, bahkan perutnya belum juga terisi. Tiba-tiba Rima datang menghampiri, memberinya sebungkus roti.
Juno berterimakasih, padahal dia ingin bercerita bahwa tadi malam dia bertemu nenek bulan. Namun, seketika mulutnya yang sedang mengunyah berhenti begitu saja, saat otaknya memberi kendali, bahwa kejadian semalam itu bukan mimpi.
“Nama kamu siapa?”
Juno malah menatapnya. Kemudian menggelengkan kepala.
“Kasihan, nggak punya nama,” gumam Rima merasa iba.
Tiba-tiba sepasang kekasih lewat di depan mata. Tak disangka butiran air meluncur dari sudut matanya. Dadanya sesak bukan main. Hatinya hancur berkeping-keping padahal dia tidak mengenal salah satu, maupun keduanya.
“Kamu kenal?”
Dia menggelengkan kepala sembari menyeka air mata dengan lengan bajunya.
“Kok sedih? Kamu inget pacar kamu?”
Napas Juno bergetar. Apa mungkin yang dikatakan si nenek semalam itu benar? Dia telah mengutukku? Gimana dong ini? Mana aku nggak berani mandi.
“Huaaaa ….” Juno kembali menangis. Bahkan semenjak bangun dari tidurnya dia belum ke kamar mandi untuk buang air. Dia merasa bingung, haruskan dia jongkok, atau berdiri?
Rima tak berani mengajak perempuan itu untuk ke rumah. Apalagi melihat tingkah anehnya. Dia bertanya-tanya, kenapa Juno memberikan bajunya pada perempuan ini, tapi dia sendiri malah menghilang? Benar-benar tidak bertanggung jawab.
“Sy ....,” panggil Rima.
Sissy menoleh. Tapi, dia malah mengangkat bahu sembari masuk dan mengunci pintu rumahnya. Bukannya Sissy tidak punya rasa kemanusiaan. Tapi, rasa takutnya lebih mendominasi.
Hari ini dia tidak melihat Juno di sekolah. Bahkan, sejak pagi pun Juno tak terlihat batang hidungnya. Jangan-jangan Juno telah menghamili perempuan itu. Terus lari dari tanggung jawab. Sissy menggelengkan kepala tidak menyangka temannya berbuat sehina itu.
Tiba-tiba pintu terdengar di ketuk, bahkan kenopnya naik turun dibuka paksa oleh seseorang.
Sissy mengintip di balik jendela. Dia terkejut. Ternyata itu adalah perempuan aneh yang ada di depan rumah Juno.
“Sy, buka dong, Sy.”
Sissy merasa aneh, kenapa dia bisa sok akrab. Jelas-jelas Sissy tidak mengenalnya.
Perempuan itu terus memohon, agar Sissy mau membukakan pintu. Dia tak henti-henti meyakinkan Sissy bahwa dirinya adalah Juno.
Tapi, Sissy tak mempercayainya begitu saja. Baginya perempuan itu aneh.
Juno menyerah. Dia tertunduk lesu. Bahunya turun, dan berjalan gontai menuju rumahnya.
Juno masuk ke dalam rumah. Dia memang belum bercermin dan belum melihat kini wajahnya seperti apa. Semoga tidak mirip boneka LOL.
Sissy menyingkap gorden dan mengintipnya. Dia terheran-heran saat cewek itu bisa masuk ke dalam rumah Juno. Padahal pemilik rumah sedang tidak ada.
Merasa penasaran. Sissy pun keluar, mengintipnya dari jendela kamar Juno.
Juno sedang bercermin, tersenyum menatap wajahnya sendiri. “Kok aku jadi cantik?” gumamnya. Dia memutar badan dan menatap dada juga bokongnya sendiri secara bergantian. Sesaat kemudian menjerit dan menangis di depan cermin. Juno sedih bukan karena kutukan itu. Tapi karena dia menyukai gadis di depan cermin. “Menangis saja masih terlihat cantik,” gumamnya lagi.
Sebenarnya dia tidak ingin mempercayai kutukan itu. Tapi buktinya sudah nyata. Bahkan dia merasa begitu sedih hingga menyesakkan dada setiap melihat sepasang kekasih berlalu lalang di depannya.
Mungkin mulai dari sekarang, dia harus mengganti namanya menjadi Juni. Dia tersenyum getir. “Arjuni Prawirikusumi. Dan Arjuno Prawirokusumo.” Juno menyeka air matanya sendiri. “Memilukan.”
Dari luar Sissy mengernyit. perempuan itu aneh, lebih aneh dari Juno. Sissy merasakan perutnya melilit. Ada sesuatu yang mendorong angin untuk keluar. Sulit ditahan hingga angin itu keluar begitu saja dari duburnya. Sissy mengernyih, mencium bau kentutnya sendiri.
Dia mundur perlahan saat sadar Juno membuka jendela. “Aku tahu itu kamu, Sy. Kentut kamu baunya beda, suaranya juga nggak ada yang punya.”
Sissy tersenyum malu. Kenapa yang dikatakan gadis itu, persis seperti pujian yang dikatakan Juno untuknya?
“Kamu siapa? Mana Juno?” Akhirnya Sissy memberanikan diri untuk bertanya.
Tapi gadis di depannya malah menangis, karena, melihat Rima sedang pacaran di depan rumahnya. Mata Juno terus lurus menatap ke rumah Rima. Air asin tak henti keluar dari sudut matanya. Kenapa dia merasa menjadi sangat cengeng?
Sissy mengikuti arah pandangnya. Dia mengernyit. Tapi, kemudian menoleh pada gadis itu. Dia menggelengkan kepala. Lalu pergi meninggalkannya.
“Sy …,” lirih Juno memanggil. Bibirnya menganjur ke bawah. “Jangan pergi Sy.” Suaranya bergetar. “Aku butuh kamu,” imbuhnya.
Sissy tidak mengerti, ada apa dengan perempuan yang berani tinggal di kamar Juno, sementara Juno menghilang.
“Semalam Nenek bulan mengutukku, dan jadilah aku seperti ini.”
Sissy menatap gadis itu. Tak ada tanda-tanda bahwa gadis itu terkena kutukan. Wajahnya cantik, kulitnya bersih dan sepertinya lembut. Sissy merasa iri, dia menatap kulit tangannya sendiri yang busik, justru jangan-jangan dia yang terkena kutukan.
Sissy menggelengkan kepala. Dia tidak ingin mempercayai omong kosong. Lebih baik dia segera pergi. Karena ini sudah malam.
Juno menatap Sissy yang sudah menjauh. Dia mundur lalu menutup jendela kamar. Dia membaringkan tubuhnya di kasur. Memeluk guling sembari terus saja menyeka air mata yang tak urung berhenti keluar. Belum pernah dia merasakan kesedihan sedalam ini.
Juno memejamkan mata, hingga tertidur. Suara jangkrik mengiringi tidurnya.
Tapi, setengah jam kemudian dia terbangun karena merasa ingin buang air. Juno bangkit lalu berdiri. Dia terperanjat melihat bayangan dirinya di cermin. Lalu bersorak karena kini ia kembali laki-laki sejati.
Juno harus mandi dan mendatangi Sissy untuk menjelaskan semuanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro