Keluarga Aneh
Setelah gagal meyakinkan kepala sekolah. Juno memilih menunggu Sissy di kantin hingga sekolah selesai. Meski beberapa pasang mata menatapnya aneh, dia tidak peduli.
Hingga beberapa kali dia menguap dan tertidur.
“Jadi ini tubuh baru kak Juno. Wah selamat ya, jadi cantik. Biar tahu deh rasanya jadi orang cantik.”
Juno terbangun. Dia membuka mata mencari sumber suara. Namun, hanya ada Bu Rumi pemilik kantin yang sedang sibuk menghitung uang.
Suara itu. Dia sangat mengenalnya. Juno terus mengedarkan pandangan ke segala penjuru kantin. Apa itu hanya perasaannya saja?
Akhirnya jam pelajaran selesai. Sissy mengajak Juno untuk pulang. Juno terus saja menguap. Membuat Sissy iri. “Bahkan menguap seperti itu saja tetap cantik,” gumamnya.
Juno tersenyum. Semenjak jadi perempuan dia menjadi begitu lembut, bahkan terkesan rapuh.
“Kira-kira kamu dikutuknya berapa lama sih, Jun?” Sissy sedikit mendongak karena Juno yang memang lebih tinggi darinya, meski sekarang dia menjadi perempuan.
Juno menoleh. “Aku nggak tahu.”
“Loh si nenek nggak ngomong emangnya?”
“Aku nggak yakin.” Dia menggelengkan kepala.
“Aku nggak kuat lagi temenan sama kamu, Jun. Dosa iri-ku makin numpuk.”
Juno mendengkus. Memangnya dia suka jadi makhluk berkromosom xx yang jelas-jelas begitu sensitif, mudah sekali sakit hati.
“Kita harus cari si nenek.” Sissy menarik tangan Juno.
Sissy benar. Juno harus mencarinya, siapa tahu si nenek mau menarik kutukan penyamun-nya.
Jantung Juno mencelus, setiap melihat orang yang sedang berpacaran. Bahkan, meski hanya pegangan tangan. Kenapa dia merasa aneh dengan dirinya sendiri.
Juno memilih berjalan menunduk. Siapa tahu ada uang jatuh dan bisa di pungutnya. Sedari tadi Sissy memperhatikannya. Dia tetap tidak suka melihat Juno menjadi perempuan, karena dia terlalu cantik.
Sissy semakin kesal karena setiap laki-laki yang melihatnya selalu bersiul. Dia menatap Juno dari atas ke bawah. Rambutnya panjang, kulitnya putih, wajahnya cantik, dadanya montok seperti ayam broiler. Apalagi sekarang dia memakai rok milik Sissy yang terlalu kecil di tubuh Juno, sehingga bokongnya tercetak sempurna. “Astaga. Jun, Jun.” Sissy menggelengkan kepala.
“Ini anak. Mau sekolah apa fashion show?” Salah seorang ibu mendelik. Dia sama-sama penumpang angkutan yang kini ditumpangi Juno dan Sissy.
Juno hanya bisa menelan air liur yang mendadak sulit ditelan. Sissy membuka jaketnya dan menutupi paha Juno yang hampir terumbar memanjakan mata-mata nakal yang ada di depannya.
Juno tahu Sissy memang baik. Cuma dia yang mau menerimanya meski sudah tahu betapa bobrok dirinya.
Jantung Juno kembali mencelus saat melihat seorang perempuan yang tiba-tiba menyandarkan kepala di bahu pasangannya. Air matanya tak dapat dibendung lagi. Dia menangis sesenggukan membuat semua pasang mata menatapnya aneh.
Sissy benar-benar malu berteman dengan orang aneh seperti Juno. Ini di luar batas normal perasaan manusia. Dia menunduk dan menggaruk keningnya.
Juno tidak terima, dia pindah duduk ke tengah sepasang kekasih itu. “Jangan mesra-mesraan di sini, nggak tahu apa saya sakit hati,” ucapnya diiringi isak tangis.
“Dek, temennya sakit, ya?” tanya perempuan yang dipisahkan dari pacarnya oleh Juno.
Sissy tersenyum kering. Dia semakin menundukan wajahnya. Ini adalah hal yang lebih memalukan dari sekadar makan upil di depan pacar.
***
Juno membaringkan tubuhnya di kasur. Orang tuanya dan Jeni belum pulang. Dia benar-benar bingung. Apa yang harus dia perbuat. Bagaimana jika ternyata dia mendapat kutukan itu seumur hidupnya?
Juno mengingat kembali kejadian malam itu.
Riuh angin mengiringi ketukan tongkat si nenek yang terdengar menggema di tengah malam. Diiringi suara kaki yang diseret. Tawanya berhasil
membangunkan Juno. “Bagaimana rasanya?”
“Ampun, Nek. Tolong cabut lagi kutukannya.” Juno berlutut sembari mengatupkan kedua tangannya.
Si nenek menggelengkan kepala. Dia mengangkat dagu Juno dengan tongkatnya. “Tidak akan pernah. Sekalipun kamu bertaubat, kutukan itu harus tetap kamu jalani.” Kemudian terkikik. “Itulah hukuman bagi penyamun seperti kamu.” Si nenek kembali mengetukkan tongkatnya ke tanah. Juno menatap tanah yang dipukul oleh tongkat si nenek, dia takut jika tanah itu terbuka dan menelan tubuhnya.
Juno menangis meraung-raung. Dia capek jika setiap hari harus berubah-ubah. Dia menyesal dengan perbuatannya sendiri.
“Lakukanlah 1000 kebaikan dalam 1000 hari.” Angin seolah berhenti dari riuhnya. Juno mengangkat wajahnya. Nenek itu sudah menghilang tanpa meninggalkan jejak apapun. Hanya pesan itu yang kembali terngiang di telinga Juno.
Juno mengerjapkan mata. Dia terbangun dari mimpinya. Kali ini dia harus mempercayai mimpi itu. Menatap tubuhnya, kini dia sudah berubah kembali menjadi Juni.
Teriakan Wahyuni dan Jeni bersahutan memanggil namanya. Juno terperanjat. Bagaimana kalau mereka berpikir yang tidak tidak. Juno berdiri, lalu membuka jendela, namun saat hendak melompat, Wahyuni menarik bajunya. “Kamu siapa?”
Juno mengernyih. “Aduh.” Mau tidak mau dia harus berbalik. “Aku juno kena kutukan penyamun,” celetuknya.
Ibunya tertawa. “Ibu sudah tahu.” Dia mundur selangkah memberi jalan pada Juno agar turun dari bibir jendela,
Juno memekik. Tahu dari mana? Jangan-jangan si nenek itu ibunya.
“Kamu cantik kalau jadi perempuan. Akhirnya doa Jeni terkabul,” ucapnya sembari memberi belaian pada rambut Juno.
“Ampun, Bu. Juno kan bukan anak durhaka. Kenapa ibu kutuk?” Juno meringis.
“Ibu nggak pernah mengutuk kamu, Jun.”
Juno mengangkat bahu saat ibunya kembali memberinya belaian lembut. Baru kali ini dia mendapati ibunya memberi belaian lembut persis seperti membelai bulu seekor kucing. “Biasanya juga di jitak.”
“Nggak dong sayang.” Juno kembali meringis. Belaian ibunya membuatnya tak biasa.
Jeni melompat kegirangan, begitupun dengan Wahyuni yang sangat antusias membongkar baju-baju bekasnya waktu masih gadis. “Kamu cocok pakai ini.”
Tapi, Juno malah berteriak, dia mending mati saja. Mengganti tantangan 1000 wanita itu dengan 1000 kuntilanak. Dia meraung-raung. Menangis seperti bayi yang tidak dibelikan balon. Keluarganya memang aneh, apalagi ibunya yang merasa puas dengan Juno sekarang. “Ibu tuh sempat mencari Dokter yang berhasil mengoperasi Lucinta Luna. Tahunya kamu nggak perlu operasi dan ngabisin duit, udah bisa secantik ini.”
Juno tidak menyangka ternyata ibunya tak pernah menerimanya sebagai lelaki tulen. Dia malah menginginkan anaknya menjadi banci. “Hooooaaaaaa ….” Juno terus berteriak. Menangis dan meraung-raung.
“Iya, benar apa kata Sissy, kamu itu tetap cantik meski dalam keadaan nangis,” ucap Wahyuni penuh kekaguman.
Juno mencebik. Dia tidak pernah menyangka dilahirkan di tengah keluarga aneh seperti ini.
“Sekarang kamu mandi. Nanti pakai baju ini. Kamu pasti bikin pangling.” Wahyuni menunjukkan gaun zamannya saat masih pacaran dengan Firaun, dengan bangga dia menceritakan waktu itu Firaun masih bujangan. Bangga sekali dia bisa pacaran dengan mumi.
Jeni datang membawa seabrek mainan anak perempuan. Dia tak perlu lagi ke rumah Rea, karena sekarang dia punya boneka hidup sendiri.
Juno benar-benar meragukan kewarasan keluarganya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro