Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kutsu-end

Kereta yang membawa Shota berangkat pukul sembilan pagi. Tadi, Otosan yang mengantarnya ke stasiun. Lelaki itu ingin ikut bersamanya, namun Shota menolak. Dia tahu Otosan hanya mencemaskannya. Lagi pula, ini bukan pertama kali dia ke Tokyo.

Dua tahun lalu, dia dan Okasan pergi ke Tokyo—tentu saja, sebelum kanker merenggut hidup perempuan itu. Mereka mengunjungi Odaiba dan Taman Ueno, lalu perjalanan keduanya berakhir di kuil Meiji.

Di sana, Shota menuliskan harapannya di sebuah kayu kecil yang kemudian digantung di sekitar kuil. Dia menulis—Shiawase [1].

Tidak hanya dirinya, tetapi juga Okasan menuliskan harapannya. Shota masih ingat perempuan itu menulis—semoga Shota tidak menjadi nelayan seperti ayahnya. Dan dia tergelak.

Kenangan itu melintas di kepala Shota seperti potongan film yang membuat segaris senyum di bibirnya, namun hanya sebentar hingga senyumnya memudar bersama dengan harapan yang dia tulis dua tahun lalu.

Dilihatnya sepatu kets merah di kedua kakinya. Sepatu ajaib. Sepatu yang membawanya sampai ke titik ini. Tidak dipedulikannya pandangan aneh orang-orang. Sejak di stasiun, mereka berbisik, sebagian menertawakannya karena memakai sepatu perempuan.

Bahkan Otosan yang mengantarnya pun menahan tawa. Lelaki itu sempat bertanya alasan memakai sepatu Mirai. Shota bilang ingin memakainya karena menghargai gadis itu sebagai teman. Ya, teman. Dia menyukai kata itu.

Shota menghela napas. Di dalam kereta, tubuhnya bersandar pada kursi di belakangnya. Kedua matanya terpejam. Tidak lama lagi dia akan sampai di Tokyo dan bertemu Mirai.

Harusnya dia merasa senang. Setelah dua bulan mereka hanya bertukar pesan di kertas dan sepatu.

Entahlah.

Pesan terakhir gadis itu justru membuatnya kecewa.

***

Sampai di Tokyo, di stasiun, Shota disambut seorang gadis yang lebih muda sekitar satu sampai dua tahun darinya. Semula dia mengira gadis itu salah orang.

"Konnichiwa, Shota, desu ka?"[2] tanya gadis itu.

Gadis itu memakai kaos putih dengan rok lipit selutut. Wajahnya kemerahan akibat cuaca panas. Dan rambutnya sebahu.

"Aku Hitomi." gadis yang bernama Hitomi itu memperkenalkan diri. 

Shota masih bergeming. 

Hitomi lalu menunjuk ke arah sepatu yang dipakainya. "Itu, sepatu kakakku, Mirai. Aku langsung tahu kau Shota. Karena kau memakai sepatunya." gadis itu menjelaskan.

"Oh, maaf, aku Shota, Yoroshiku [3]" Shota langsung membungkuk, memperkenalkan diri.

"Tidak apa. Aku pikir kau tidak akan datang. Yappari [4] sepatunya sangat pas di kakimu." Hitomi tertawa kecil, membuat Shota menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Malu.

"Papa yang membuat sepatu itu untuk Mirai sewaktu masih bekerja di pabrik. Sepatu itu tidak dijual. Aku terkejut ketika melihat kau memakainya. Aneh. Kakiku bahkan terlalu besar untuk ukuran sepatu Mirai."

Hitomi terus berbicara, membiarkan Shota berdiri hingga sepuluh menit di tengah keramaian penumpang kereta yang lalu lalang. Begitu menyadarinya, gadis itu buru-buru minta maaf.

Mereka lalu meninggalkan stasiun setelah Hitomi memberi tahu akan mengantarkan Shota bertemu Mirai.

"Kau pasti sudah membaca pesan itu," ujar Hitomi setelah jeda beberapa menit.

Shota yang berjalan di samping gadis itu hanya mengangguk. Keduanya sudah lumayan jauh dari stasiun. Mereka melewati jalan yang berundak, sesekali menukik ke bawah.

"Aku harap kau tidak marah. Pesan-pesan di kertas itu aku yang menulisnya," Aku Hitomi.

Shota tidak bereaksi, otaknya sibuk mengingat pesan terakhir yang ditulis gadis itu.

.....Gomen [5] aku bukan Mirai.

Tapi, aku akan mengantarmu bertemu dengannya.

Dan detik berikutnya, dia merasa tidak perlu mengingat pesan itu sampai habis. Dadanya seperti dihimpit sesuatu, sesak. Lalu dirasakannya dunia seperti akan berhenti berputar.

Mirai sudah membuatnya kecewa.

"Pesan pertama yang kau temukan bersama sepatu kets itu memang tulisan Mirai. Selanjutnya, aku yang menulis." nada bicara Hitomi terdengar hati-hati. "Kalau kau lihat lagi, tulisan kami berbeda." gadis di sampingnya memaksakan senyum.

Sou ka.[6]

Shota tidak menyadarinya. Dia terlalu bersemangat pesannya dibalas sehingga tidak memerhatikan perubahan pada tulisan di kertas.

"Apa yang terjadi dengan Mirai?" tanya Shota, memberanikan diri, akhirnya. Dia berhenti di tepi jalan, di depan toko kue.

Hitomi langsung membeku. Pandangannya sejurus pada kaca toko yang memantulkan bayangan keduanya. Lalu, kalimat yang keluar dari bibir gadis itu membuat Shota sulit percaya.

"Setelah orang tua kami bercerai, Mirai tinggal bersama papa, sedangkan aku dengan mama. Papa tidak membiarkan kami menemuinya. Di sekolah, Mirai selalu dibully. Dia sering pindah sekolah karena tidak tahan. Hal itu yang membuat papa kerap pindah rumah. Kami sempat tidak tahu mereka dimana, sampai Mirai menelponku meminta tolong—"

Hitomi menunduk, tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Dari reaksi gadis itu, Shota langsung tahu apa yang terjadi pada Mirai selanjutnya.

Seandainya, dia mengirimkan sepatu bersama pesan balasannya lebih cepat. Mungkin Mirai tidak akan melakukan hal tolol itu.

Seperti pesan yang ditulis Hitomi, malam dimana Shota mengagumi keindahan Kota Hokkaido dari balkon kamarnya adalah malam terakhir Mirai, sebelum gadis itu terjun dari lantai dua kamar miliknya di Tokyo. 

"Mirai selalu bilang sepatu yang kau pakai sekarang adalah sepatu ajaib. Awalnya Papa membuatkan sepatu itu agar Mirai mau keluar rumah, sebaliknya dia hanya memakainya di pelataran dan berbicara sendiri. Papa ingin membuang sepatu itu tetapi Mirai berhasil menyembunyikannya. Dia sempat menuliskan pesan dan menaruhnya bersama sepatu itu sebelum pindah ke Tokyo. Lalu kau menemukannya. Aku tidak ingin kau kecewa terlebih katamu melalui pesan, sepatu itu bisa menghapus kesedihan. Jadi, aku membalas pesanmu untuk Mirai. Aku minta maaf. "

Lagi-lagi Hitomi meminta maaf, tapi kali ini gadis itu sambil membungkukkan badan.

Melihatnya, membuat Shota langsung tersenyum dan berkata, "Daijoubu [7], aku tidak marah, sungguh. Hanya sedikit shock dan kecewa."

Hitomi perlahan mengangkat wajah, pandangannya takut-takut, tetapi setelah melihat Shota tersenyum, gadis itu mengembuskan napas lega. "Yokatta," [8] bisiknya.

"Tapi bisakah, kau meninggalkan aku dan Mirai di sini?" pinta Shota.

"Eh?"

Keduanya telah sampai di tempat tujuan. Tempat Mirai. Hitomi baru menyadarinya. Gadis itu kemudian mengangguk dan menuruti Shota.

Baru setelah sosok Hitomi jauh dari pandangan, Shota menghadap Mirai. Dia membungkukkan badan terlebih dulu di hadapan gadis itu. Jantungnya berdegup kencang. 

Mirai sangat mirip dengan Hitomi, hanya rambut gadis itu lebih panjang dari adiknya. 

"Akhirnya kita bertemu, Mirai. Arigato untuk sepatunya dan semangat yang kau berikan. Kau sudah menjadi teman terbaikku. Aku tidak akan bersedih lagi untukmu dan untuk Okasan. "

Mirai tersenyum. Kedua tangannya membentuk huruf V di foto.

Shota maju selangkah, menciptakan jarak yang lebih dekat. Lalu dengan perlahan dia menyentuh batu nisan di depannya.

"Aku berjanji akan mengunjungimu lagi, bersama dengan sepatu ajaibmu ini." 

---END---

[1] Shiawase-kebahagiaan

[2] Konnichiwa. Shota desu ka?- Selamat siang. Shota, ya?

[3] Yoroshiku- salam kenal

[4] Yappari-sudah kuduga

[5] Gomen-maaf

[6] Souka- begitu kah

[7] Daijoubu-Tidak apa

[8] Yokatta- syukurlah

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro