Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5.} Kotak Makan

Usahamu tak akan menghianatimu, semua usahamu akan membayarmu

~Lee Taeyong, NCT~

***

Jam istirahat ini, Wendy gunakan untuk menemui Jeffery yang pasti ada di kantin bersama dengan teman-temannya. Kurang lima belas langkah menuju meja yang ditempati Jeffery. Tiba-tiba terlihat seorang gadis setinggi Wendy, bertubuh langsing, dengan rambut hitam lurus berlari ke arah Jeffery.

Seketika, Wendy menghentikan langkahnya. Ia mencoba mengamati apa yang akan dilakukan setelah itu.

Jiu yang tiba-tiba datang menemui Jeffery dengan membawa sekotak makanan seakan telah lupa dengan kejadian kemarin. Hendery yang juga duduk di situ membelalakkan matanya. Jiu solah tak melihat dan tak pernah memiliki hubungan apa pun dengan Hendery. Hanya sebagai teman sekelas biasa.

"Hai, Jef," sapa Jiu sembari mengambil duduk tepat di sebelah kanan Jeffery.

"Apa yang terjadi sebenarnya?" batin Hendery. Tidak mungkin Hendery tiba-tiba akan menanyakan sesuatu menyangkut hubungannya dengan Jiu. Karena hubungan itu sepakat untuk dirahasiakan bersama.

Di sisi lain, Joan juga memiliki pertanyaan yang sama dengan Hendery di dalam benaknya.

Dengan tatapan mata yang bingung, Jeffery seolah bertanya kepada kedua temannya. "Ada apa ini?"

Tetapi Jeffery tidak mendapat jawaban. Hanya tatapan yang sama  dengan dirinya yang ditunjukkan oleh Hendery dan Joan. Tanpa pikir panjang, Jeffery segera berdiri dari tempatnya duduk tanpa mengatakan sepatah kata pun atau membalas sapaan Jiu. Melihat itu, Jiu segera meraih tangan Jeffery dan membuat laki-laki itu duduk di tempatnya semula.

"Mau ke mana?" tanya Jiu menatap Jeffery sambil sedikit menyibakkan rambutnya.

Jeffery hanya mengacuhkan pertanyaan Jiu dan menatap gadis di sebelahnya ini seakan orang asing yang tiba-tiba datang menemuinya. Padahal mereka satu kelas.

Jangan lupakan Wendy yang mengintai gerak-gerik mereka sedari tadi. Saat Jiu menyibakkan rambutnya. Wendy dapat melihat wajah Jiu dengan jelas.

"Jiu?" Akhirnya rasa penasaran Wendy terbayar sudah. Tetapi tak berhenti di situ saja. Banyak pertanyaan yang tiba-tiba menumpuk di otaknya.

"Kenapa Jiu menemui Jeffery?"

"Apakah mereka berdua pacaran?"

"Tapi, bukannya Jeffery itu jomlo?"

"Bagaimana jika mereka berdua benar-benar sepasang kekasih?"

Jeffery sudah begitu gusar dari tadi dan tak henti-hentinya dia memberi kode untuk segera meninggalkan kantin kepada teman-temannya. Joan yang merasa ini semua tidak benar, segera beranjak berdiri dan meraih tangan Jiu.

"Ada apa Jo?" tanya Jiu yang kaget tiba-tiba dirinya diseret oleh Joan. "Jo, lepasin! Lepasin, Jo! Kita mau kemana?"

Joan tak menghiraukan teriakan dari Jiu dan terus melanjutkan jalannya. Hendery hanya bisa diam menganga melihat apa yang sedang terjadi sekarang. Dirinya bahkan sampai tak mampu mengucap sepatah kata pun.

Melihat Jiu sudah pergi, Wendy mempercepat langkahnya menuju tempat Jeffery duduk.

"Jef," sapa Wendy sambil mengibaskan tangannya.

Jeffery hanya bisa memijat pelipisnya. Entah apa yang terjadi hari ini. Kenapa semua begitu kacau?

Wendy segera duduk di samping Jeffery. "Kalungnya mana Jef? Kok nggak dipakek?"

Jeffery segera merogoh saku celananya untuk mengambil kalung pemberian Wendy kemarin. "Nih."

"Eh, eku nggak minta kalungnya buat dikembaliin kok. Cuma mau mastiin kalungnya masih disimpen," balas Wendy cepat sembari mengembalikan kalung pemberiannya ke tangan Jeffery. Senyum jahil muncul di wajah Wendy. "Eh ketauan kalau kalungnya dibawa ke mana-mana tapi gengsi mau makai."

Hendery yang awalnya diam dan melamun. Malah tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Wendy.

"Muka lo kenapa merah, Jep?" tanya Hendery dengan menambah volume suara tertawanya.

Bayangkan saja siapa yang tidak tertawa jika melihat perawakn Jeffery. Style-nya yang seperti anak cupu ditambah dengan wajahnya yang memerah. Wendy malah ikut tertawa mendengar ucapan Hendery. Tak terasa, tangan Wendy malah memukul-mukul Jeffery yang ada di sampingnya saat tertawa.

"Der, itu kamu kenapa ke sekolah pakai kacamata?" tanya Wendy hati-hati tak ingin Hendery marah karena pertanyaannya.

Sebelum Hendery menjawab. Kini malah suara tawa Jeffery yang seperti bapak-bapak itu kekuar lebih dulu. Wendy yang memperhatikannya dari samping, dapat melihat lesung pipit di wajah Jeffery.

"Ganteng doang. Eh enggak, ganteng banget," batin Wendy.

"Ini tuh lagi trending tau, pakek kacamata ke sekolah! Apalagi pakai kacamata hitam kayak gini," elak Hendery.

"Alah bilang aja kalau lo kemarin--" ucapan Jeffery terpotong dengan tangan telapak tangan Hendery tiba-tiba mendarat di mulut Jeffery.

Iya, hari ini Hendery pergi sekolah dengan memakai kacamata hitam. Tak mungkin ia menunjukkan mata sembab yang ia hasilkan sehari semalam itu. Matanya menjadi begitu kecil dan kelopaknya membesar.

"Yak! Tangan lo habis megang minyak An--" Kini berganti dengan tangan Wendy yang membekap mulut Jeffery.

"Nggak boleh ngomong kasar atuh. Masa calon suami Wendy omongannya kasar?" gombal Wendy.

"Apaan lo ngomong kayak gitu?! Berani berapa lo jadi istri gue?!" geram Jeffery yang tentu hanya sebatas di dalam batin.

Wajar saja jika Jeffery marah dengan bekapan dari tangan Hendery. Tangannya oenuh dengan minyak bekas gorengan yang mereka pesan. Susah payah Jeffery menghasilkan kulit muka semulus pantat bayi ini. Lalu dirusak sekejap dengan tangan penuh minyak Hendery.
"Jef ini nggak lo makan?" tanya Wendy sembari menunjuk kotak makanan yang tadi Jiu bawa.

Tak mendapat jawaban. Akhirnya Wendy menyimpulkan bahwa Jeffery tidak akan memakannya sekarang.

"Jef, aku mau ngomong sama kamu." Wendy meraih tangan Jeffery untuk membawanya ke taman di dekat kantin--taman saat Wendy mengungkapkan perasaannya kemarin.

Baru saja Hendery akan meraih kotak makanan yang dibawa Jiu. Karena pikirannya mulai membaik dan berpikir positif. Mungkin saja itu hanya akting Jiu untuk memberikan makanan kepada dirinya.

"Der, makanan yang dikasih Jiu ke Jeffery aku bawa ya. Siapa tau nanti Jefgery kelaperan di taman. Dada Dery." Wendy mengambil kotak itu dan berjalan menuju taman dengan menyerrt Jeffery. Meninggalkan Hendery seorang diri dan hanya bisa menganga. Kenapa hari ini begitu sial baginya?

***

Jeffery dan Wendy duduk berdampingan di salah satu bangku yang disediakan di taman. Merasa keadaan canggung dan Wendy tak ingin membuang waktu Jeffery. Akhirnya Wendy membuka percakapan lebih dahulu. Karena jika menunggu Jeffery berbicara lebih dahulu itu sama dengan menghidupkan orang yang telah meninggal dengan kata lain itu mustahil.

"Jef, kemarin aku mau chat kamu tapi lupa, hehe," kekeh Wendy.

"Mau chat apa emang?" batin Jeffery. Menyadari apa yang ada di pikirannya, Jeffery segera mengubah ucapan batinnya itu. "Masa bodo mau lo lupa apa nggak."

"Tau nggak aku mau chat apa? Aku dapat pekerjaan Jef! Selama ini aku selalu pegang ucapan dari Taeyong. Katanya, 'Usahamu tak akan menghianatimu, semua usahamu akan membayarmu'. Nyatanya bener, usahaku nyari kerja akhirnya dapat juga. Semoga usahaku meluluhkanmu dapat terwujud ya, Jef," ucap Wendy antusias dengan menunjukkan senyum sumringahnya. Wendy tak sadar saat matanya juga ikut tersenyum menunjukkan eyes smile. Ternyata itu sukses membuat seorang Jeffery terpana. Ia seolah tak bisa mengalihkan pandangannya dari senyum Wendy.

Usai menormalkan ekspresinya kembali, sebenarnya Wendy menunggu Jeffery setidaknya ia  akan mengucapkan selamat kepadanya. Tetapi yang ditunggu masih melamun menatap Wendy.

"Jef ... Jeffery," panggil Wendy sambil melambaikan tangannya di depan mata Jeffery.

"Eh, i-iya?" Secepat kekuatan ultramen Jeffery menormalkan kembali ekspresinya.

"Lihat apa sampai nggak fokus gitu?" tanya Wendy. Tapi seperti yang dibayangkan, Jeffery tak menjawab pertanyaan Wendy. "Kamu nggak mau ngucapin selamat gitu?"

"Selamat." Hanya satu kata. Tapi itu sudah lebih dari cukup untuk Wendy.

"Oh iya, Jef. Kamu dulu ganteng tau," ungkap Wendy sambil menatap langit yang begitu cerah dengan terik matahari yang lumayan menyengat kulitnya.

"Berarti sekarang gue jelek gitu?"

"E-enggak gitu. Cuma kenapa sampai segitunya sampai kamu merubah segalanya."

"Enggak usah dibahas. Lo gak tau apa-apa."

Oke, Wendy akan berhenti di sini. Wendy tahu ini adalah pembahasan yang sensitif untuk Jeffery.

"Jangan marah dong. Nanti tambah imut tau," ucap Wendy dengan menghadap Jeffery dan membuat suara serta muka yang ia buat seimut mungkin.

Jeffery kini membalas tatapan Wendy. Lalu membuat wajah tersenyum dengan mulut tertutup rapat sekilas. Membuat lesung pipitnya jelas terlihat oleh netra Wendy.

"Jef, jangan gitu lagi. Aku kaget, gantengnya kelewatan." Wendy bukan lebay atau melebih-lebihkan. Tapi itu memang benar, seketika Wendy langsung memegang dadanya sendiri dan sedikit menjauhkan wajahnya.

"Lebay, eh tapi gue, 'kan emang ganteng dari embrio sih," batin Jeffery yang membuat tingkat kepercayaan dirinya meningkat bahkan overdosis.

"Jef, tapi kamu tau gak? Aku sebenernya pengen banget kerja di perusahaan milik orang tua Jiu. Bahkan itu sampai masuk ke list cita-citaku."

Melihat mata Wendy yang begitu cerah saat mengatakan itu. Jeffery diam-diam mendoakan semoga itu terkabul untuk Wendy.

"Bentar lagi masuk, Jef. Ini makanan dari Jiu tadi jangan lupa dimakan, ya. Makasih udah mau dengerin aku." Wendy beranjak dari duduknya dan memberikan kotak makanan yang sedari tadi ia pangku itu ke tangan Jeffery.

"Semangat, Wen. Iya, gue makan kok," gumam Jeffery.

***

Sedangkan Joan dan Jiu yang saat ini berada di pojok kantin yang benar-benar sepi. Mereka membicarakan hal yang hanya mereka yang dapat memahaminya.

"Kenapa, Ji?" tanya Joan.

"Apanya?" Bukannya menjawab, Jiu malah bertanya balik.

"Kenapa kamu tiba-tiba kayak gitu sama Jeffery?"

"Karena aku nggak mau sama kamu."

"Terus apa hubungannya sama Jeffery?"

"Lo nggak akan ngerti, An!" Panggilan yang sudah lama tak Joan dengar sejak dua tahun lalu.

"Gue minta maaf, Ji. Tolong jangan kayak gitu lagi sama Jeffery," pinta Joan sambil memegang tangan Jiu.

Dengan secepat kilat Jiu melepas genggaman itu. Jantungnya berdegub begitu kencang, air mata hampir tak bisa Jiu bendung, bahkan keringat dingin mulai keluar.

"Ji, tapi kita udah dijodohin. Lo nggak bisa main-main sama laki-laki lain, selain gue," ucap Joan lembut.

"Tapi kita belum tunangan. Bahkan persetujuannya masih ada di tangan kita," balas Jiu cepat.

"Tapi, Ji--"

"Udah! Nggak usah dilanjut!" Air mata seketika membasahi pipi Jiu. Segera Jiu beranjak meninggalkan Joan yang masih menatapnya.

"Maafin gue yang dulu, Ji," gumam Joan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro