26.} Gaun Putih
Jeffery menunggu sedikit lama saat Wendy keluar dari swalayan setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Wen," panggil Jeffery sembari melambaikan tangan dan menghampiri Wendy yang baru saja keluar dari pintu swalayan.
Wendy sedikit membelalakkan matanya, tangan kanannya refleks memegang dada, dan selangkah memundurkan badannya. "Jeffery?"
Tanpa sepatah kata pun, Jeffery tiba-tiba menarik tangan Wendy menuju tempat parkir. Wendy tak memberontak atau menolak dengan kata-kata. Karena menurutnya, cekalan tangan Jeffery kali ini lembut. Tidak sekasar terakhir kali saat ia berada di sekolah dulu.
"Ikut aku sama anak-anak yuk, Wen. Ini mendesak banget," pinta Jeffery.
"Ke mana, Jef? Ini udah malem lho," balas Wendy.
"Jiu nggak balik dari tadi pagi, Wen. Kata papanya Jiu kabur. Orangtua Jiu juga udah lapor ke pihak berwajib, tapi sayangnya ini belum dua puluh empat jam--"
"Oke, kita pergi sekarang! Sepedaku biar sini aja masih ada satpam, kok nanti aku titipin."
Jeffery benar-benar terkejut dengan reaksi yang ditunjukkan oleh Wendy. Jeffery hanya mengira mungkin Wendy hanya akan membantu sewajarnya saja bahkan bisa saja Wendy menolak. Karena sikap Jiu yang jahat kepada Wendy.
Jeffery segera menghidupkan mesin motornya. Membonceng Wendy dan segera melaju membelah jalanan kota yang masih ramai menuju tempat angkringannya bersama Hendery dan Joan tadi.
"Jadi, habis ini kita nyari ke mana?" tanya Joan yang sebenarnya juga gusar sedari tadi. Bagaimana tidak, karena Jiu juga masih menjadi tunangannya. Apa lagi Hendery, ia bahkan hanya mampu meneguk air mineral.
"Kalau perempuan biasanya kabur ke mana, Wen?" Pertanyaan yang dilontarkan Jeffery antara ada benarnya dan juga terlihat seperti orang bodoh.
"Kita ke rooftop gedung kosong di dekat jalan tikungan depan rumah makan Nasgor Cak Mamat," jawab Wendy yakin sambil beranjak dari duduknya.
Segera mereka bergegas dengan Wendy yang dibonceng Jeffery sebagai penunjuk jalan. Hanya kurang satu tikungan saja untuk menuju gedung tersebut, hujan deras turun. Tak ada niatan sama sekali dari mereka untuk memakai jas hujan.
"Ini gedungnya?" tanya Jeffery saat ia menghentikan motornya tepat di depan gerbang yang tak ditutup di gedung yang ada di depannya.
"Iya ini," jawab Wendy mantap.
Wendy turun dari sepeda Jeffery dan segera membukakan gerbang yang ada di depannya lebih lebar agar sepeda tiga orang laki-laki tersebut dapat masuk. Usai semua motor sudah diparkir dan semua turun dari motor masing-masing, mereka memakai jas hujan. Karena hujan turun semakin lama semakin lebat.
"Ada yang bawa senter?" tanya Hendery.
"Pakai senter handphone aja," balas Joan.
Baru saja mereka menyalakan senter handphone masing-masing. Hendery sedikit mengamati keadaan sekitarnya. Ia menoleh ke kanan, kiri, depan, belakang, dan juga mengarahkan senter ponselnya ke arah gedung. Tentu, ia juga melihat ke bagian rooftop.
Begitu mengejutkannya saat ia melihat seorang wanita dengan gaun putih yang berdiri di ujung rooftop. Jantung Hendery berpacu semakin cepat, keringat Hendery sepertinya juga akan menetes. Walau tak terlihat karena badannya yang lumayan basah terkena air hujan tadi.
"AAK!" teriak Hendery sembari menutup mata dengan kedua tangannya.
"Ada apa, Der?" tanya Wendy.
"ADA! Setan ...." Nada bicaranya melemah saat mengucapkan kata 'setan'.
"Itu, Jiu?" pikir Hendery cepat.
Hendery tiba-tiba dengan cepat berlari menuju ke arah dalam gedung tanpa berbicara sepatah kata pun kepada tiga temannya.
"Der!" teriak Joan yang tak digubris sama sekali oleh Hendery.
"Tadi dia bilang ada setan. Masa iya Dery ...," ungkap Wendy sambil menatap mata Jeffery dan Joan satu per satu.
Seakan paham apa yang akan diucapkan oleh Wendy. Mereka bertiga segera berlari menyusul Hendery dengan sekuat tenaga.
"Dery!" teriak Jeffery.
Dengan hanya ditemani oleh senter handphone dan jas hujan. Mereka berlarian menyusuri gedung kosong terbengkalai tersebut. Banyak paku, debu, puing-puing bangunan yang hancur, dan juga kadang mereka ditemui oleh tikus, tokek, cicak, dan kawan-kawannya. Hujan di luar juga semakin deras.
"Ji, tunggu Ji! Gue tau itu lo." Hanya itu yang sedari tadi memenuhi pikiran Hendery. Air matanya sudah bercuruan keluar. Kakinya yang sedari tadi berlari menyusuri tangga menuju lantai lima belas tak terasa sakit atau pun lelah sama sekali. Kakinya seakan mati rasa.
Hendery membuka pintu rooftop gedung menampakkan seorang gadis yang ia lihat di bawah tadi. Jiu menoleh ke belakang. Ia merasa ada yang membuka pintu rooftop.
"Dery?" gumam Jiu.
Dery berlari semakin dekat dengan Jiu yang berada di bibir rooftop. Entah mengapa, setelah melihat Hendery, nyali Jiu yang awalnya sudah benar-benar akan mengakhiri hidupnya. Kini menjadi ciut. Rasanya air mata yang sudah kering sedari siang tadi, kini dapat kembali keluar dari pelupuk matanya.
Dery menarik tubuh Jiu dari pinggir rooftop, dan segera mendekap tubuh tak bertenaga Jiu di dalam pelukannya. Wendy, Jeffery, dan Joan baru sampai di ambang pintu rooftop dengan keadaan terengah-engah.
Mereka sontak memicingkan mata untuk melihat Hendery yang sedang terduduk di lantai sembari mendekap tubuh manusia dengan gaun putih itu.
"Siapa?" gumam Jeffery sambil berlari menuju ke arah Hendery bersama dengan Joan.
Sedangkan Wendy, ia masih berdiri membeku. Ada rasa lega di dalam hatinya. Wendy yakin bahwa itu adalah Jiu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro