25.} Cinta Hendery
Saat Rean datang dengan tergesa-tergesa, keadaan rumah sudah kacau balau. Juga disambut dengan wajah lelah bercampur sedih dari istri dan kedua asisten rumah tangganya. Rean berjalan menemui istrinya yang terduduk lemas di sofa dengan Minji dan Dadang.
"Minum dulu, Ma," kata Rean sambil mengelus pelan pundak istrinya itu. Rean tak ingin menambah muram suasana di sini karena ia menunjukkan rasa khawatirnya. Sebisa mungkin ia akan tetap terlihat tenang, walau kacau di dalam.
"Saya ambilin minum dulu ya, Bu," izin Minji yang sudah berdiri dari duduknya.
Tapi, tangan Dara mencekal pergelangan tangan Minji. Dara menggeleng, pertanda ia tak ingin menelan apa pun saat ini. Rean berlalu pergi menaruh tasnya dan berjalan menaiki tangga untuk melihat kamar putri satu-satunya itu.
Rean mulai menyusuri satu per satu jengkal sudut kamar Jiu. Mencari apa pun yang ia temui, siapa tahu ia akan menemukan petunjuk di mana putrinya saat ini. Hingga akhirnya sampai di jendela Jiu yang terbuka. Jendela yang Jiu pakai untuk melompat tadi malam.
"Ada tangga," gumam Rean, "dia kabur."
Walau sudah yakin dengan pemikirannya itu, Rean tetap melanjutkan mengelilingi kamar Jiu yang belum ia lihat.
"Piyamanya masih di lemari. Bajunya juga nggak ia bawa, koper masih ada di sebelah lemari. Jadi dia keluar nggak bawa baju ganti. Ransel, tas, handphone, bahkan kartu atm juga nggak kebawa," pikir Rean sembari berkacak pinggang di depan kaca lemari Jiu.
Ia segera turun menemui Dara, Minji, dan Dadang yang masih berada di lantai satu. Rean membawa tiga botol air mineral untuk tiga orang yang terududuk lemas tersebut.
Melihat Dara sudah meminum seteguk air yang ia bawakan, Rean baru berani membuka mulut.
"Kayaknya Jiu kabur semalem," ungkapnya.
"Mas, kamu punya kenalan temen yang bisa buka pin ponsel, 'kan? Ini ponselnya Jiu. Pasti banyak nomer atau grup sama temen-temennya," balas Dara sambil menyerahkan handphone Jiu kepada suaminya yang duduk di depannya.
Usai menunggu lama teman Rean datang dan membuka handphone anaknya itu. Akhirnya membuahkan hasil.
Rean mencoba mencari tahu kontak beberapa teman Jiu. Nama pertama yang ia ketik adalah milik Joan. Ada satu nama yang menarik perhatiannya, karena urutan nama itu berada tak jauh dari nama Joan. Siapa lagi kalau bukan Jeffery.
Rean memberi pesan kepada kedua orang itu untuk menanyakan apakah Jiu sedang bersama mereka. Setidaknya mungkin Jeffery dan Joan tahu ke mana Jiu saat ini.
***
Hendery yang berada di studio-nya sore ini dikejutkan oleh kedatangan dua makhluk yang tak diundang.
"Siapa, sih gabut banget jam segini nyariin orang ganteng?!" teriak Hendery yang masih fokus berhadapan dengan tulisan nada-nada lagu yang ada di depannya.
Semakin Hendery mengabaikan suara bel yang berbunyi, semakin tak beraturan pencentan-pencetan bel tersebut. Kini ponselnya juga menampakkan panggilan dari Joan. Mau tak mau, Hendery akhirnya berjalan membukakan pintu untuk tamu tak diundang itu.
"Ada apa?" tanya Hendery tak bertenaga melihat Jeffery dan Joan yang berada di depannya.
"Jiu ilang," ucap Jeffery cuek.
Deg!
Hendery tak tahu maksud dari ucapan Jeffery tersebut. Sontak ia mencekal erat bahu Jeffery dan menggoyangkannya.
"Kok bisa?!" tanya Hendery yang saat ini pikirannya sudah pergi melayang.
"Mangkanya ini lagi mau nyari, kita berdua mau ngajak lo," jawab Jeffery dengan mimik wajahnya yang kaget dengan sikap Hendery.
"Eits, santai. Kenapa lo gitu, kayaknya lo nggak pernah tuh deket sama Jiu," sahut Joan.
Hendery tak membalas ucapan Joan. Ia sudah pergi mengambil jaket, masker, dan topi yang ia letakkan di sofa. Hendery segera mematkian semua laptop dan komputernya yang menyala. Ia mendorong Jeffery dan Joan agar cepat keluar dari dalam studio miliknya.
Saat Hendery dengan cepat mengunci pintu dan memakai sepatu putihnya. Jeffery dan Joan saling melempar pandangan. Lalu mereka juga bersama mengangkat bahunya.
***
Mereka bertiga mencari Jiu hingga pukul tujuh malam. Tapi, nihil belum ada hasil. Jalan dari rumah Jiu ke sekolah, dilanjut menuju ke caffe atau tempat nongkrong Jiu juga tak menghasilkan apa pun. Bahkan Jeffery, dan Hendery yang tak pernah mengirim pesan kepada gadis--kecuali Wendy dan Jiu tentunya--kini mereka bertaruh harga diri. Bahkan hadis dari kelas lain juga ikut mereka tanyai. Siapa tahu Jiu sedang bersama mereka atau mungkin ada yang melihat Jiu.
Sedangkan Joan, ia sudah biasa jika suruh mengirim pesan kepada kaum hawa. Jika kata gaulnya, kontak Joan itu sudah seperti kos-kosan perempuan. Mulai dari teman, hingga mantan, dan gebetannya saat ini. Semua ia beri pesan mengenai Jiu.
Mereka bertiga memutuskan untuk mengistirahatkan otak sejenak dan mampir di salah satu tempat angkringan.
Melihat tempat seperti ini dan pegawai berlalu-lalang, mengingatkan Jeffery kepada Wendy. Hanya Wendy yang belum ia beri pesan.
"Bukankah ini waktu yang tepat buat gue deketin Wendy? Jiu sama Wendy kan sama-sama perempuan. Mungkin Wendy tahu tempat perempuan menghilangkan diri jika seperti ini," pikir Jeffery.
Andai saja Jeffery tahu bahwa salah satu gadis yang mengejarnya mati-matian selama ini akan mengakhiri hidupnya. Mungkin ia tak akan memiliki waktu untuk berpikir sampai seperti ini.
Jeffery beranjak dari duduknya, meninggalkan Hendery dan Joan. Ia bergegas membawa motornya untuk menjemput Wendy dan akan mengajaknya mencari Jiu. Ya, mereka membawa sepeda masing-masing. Katanya susah mencari seseorang jika harus memakai mobil.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro