24.} Pagi Ini
Tengah malam yang gelap-gulita menyambut Jiu yang saat ini sedang mengintip dari balik jendela kamarnya kamarnya. Hanya bulan dan bintang yang masih terjaga. Itu pun mereka hanya menampakkan kecantikan wujudnya tanpa mengeluarkan suara apa pun. Sedikit Jiu membuka jendelanya.
Angin malam yang bisa dibilang lumayan kencang menerpa wajahnya. Surai hitam yang ia gerai menari-nari anggun. Ia memejamkan matanya untuk menikmati suasana yang begitu menenangkan ini. Walau mungkin ini sedikit mengerikan karena terlalu gelap.
Usai puas menikmati ini, Jiu membuka jendelanya lebar-lebar dengan pelan agar tak menimbulkan suara yang dapat membangunkan kedua orangtuanya maupun asisten rumah tangganya. Kedua tangannya mulai menyentuh bibir jendela. Kepalanya mulai bergerak keluar jendela dan satu persatu kakinya ia keluarkan.
Jiu sudah menyiapkan sebuah tangga untuk dirinya turun. Ini rumahnya, tentu ia hapal jalan keluar yang aman. Tanpa diketahui siapa pun. Jiu berhasil sampai di jalan raya depan rumahnya. Jiu tak berlari seperti adegan yang ada di film-film itu saat seorang tokohnya kabur melarikan diri. Jiu berjalan santai dengan menyeret gaun yang ia pakai malam ini dengan menikmati semilir angin yang menerpa dirinya.
Rasanya begitu menyentuh hatinya. Sampai-sampai air mata Jiu luruh tanpa izin.
"Ji! Lo yakin mau ngelakuin ini?"
"Gue udah nggak kuat lagi! Setiap kali gue ngelihat Joan ...."
"Ini akhir dari hidup lo? Lo mau lupain Hendery dan semua impian lo itu?"
"Iya! Hendery pasti juga udah benci banget sama gue. Gue gak punya impian!"
"Cari cara lain!"
"Gak bakal ada cara lain ...."
Isak tangis Jiu semakin terdengar keras dan tentu air matanya juga semakin deras mengalir. Pikiran Jiu berdebat sendiri memenuhi otaknya. Sudah! Berhenti! Jiu bisa gila. Bukan, Jiu memang benar-benar gila saat ini!
Berjam-jam Jiu berjalan menyusuri jalanan raya yang masih ramai dengan transportasi-transportasi besar. Sepi memang, walau banyak yang berlalu-lalang. Apa lagi hawa dingin yang menusuk kulit Jiu juga membuat malam ini semakin terasa menyayat hati.
Akhirnya ia sampai di sebuah rooftop gedung kosong. Jiu memandangi langit yang terbuka do atasnya.
"Mendung," gumam Jiu sembari menunjukkan senyum getirnya.
Benar, tak lama hujan gerimis turun membuat tubuh Jiu basah kuyub. Ia melihat gaun hingga telapak kakinya.
"Ehe." Jiu mengulas senyum.
Terlihat jelas bahwa gaunnya yang berwarna putih itu, sudah berantakan tak karuan. Aksesoris bunga dan kupu-kupu yang menempel menjadi putus dengan jarak yang tak beraturan. Bahkan beberapa benangnya ada yang sudah putus.
Bagian bawah gaunnya juga sudah penuh dengan debu dan bercak coklat. Kaki yang tanpa alas kaki itu sudah berwarna tak karuan. Rasa sakit yang ia dapat sudah tak terasa. Jiu seakan sufah mati rasa dari dalam batin maupun fisiknya.
Ia juga yakin bahwa rupanya saat ini sudah tak karuan. Mulai dari rambutnya yang ia gerai kini sudah terasa sedikit menggumpal karena air hujan. Juga wajahnya yang tentu berhias make up luntur.
***
"Ji," panggil Dara di depan pintu kamar Jiu. Tak ada sahutan dari dalam, hingga ia mengetuk beberapa kali pintu kamar anaknya itu. "Nak, bukak dong. Belum bangun?"
Dara pasrah, ia berpikir mungkin anaknya itu belum terbangun. Karena hari ini juga bertepatan dengan tanggal merah. Ia berbalik dengan membawa segelas susu kembali ke dapur.
Sayangnya, pemikirannya itu tak bertahan lama. Siang sudah menyapa, tetapi Jiu tak kunjung menampakkan wujudnya. Padahal, biasanya Jiu selalu bangun pagi. Ia tak ingin menjadi perawan kesiangan.
Dara mengambil kunci cadangan kamar anaknya itu. Ia tak melihat ada sosok Jiu yang berbaring di ranjangnya. Segera, Dara mencari kesana-kemari anak semata wayangnya itu. Tapi hasilnya nihil. Tak ada Jiu di mana pun. Saat Dara menelepon, ponsel Jiu berbunyi di nakas dekat ranjangnya.
"Bi Minji! Pak Dadang!"
"Bi Minji! Pak Dadang!"
"Bi Minji! Pak Dadang!"
Dara berjalan dari kamar Jiu turun menuju dapur yang di sana terdapat dua asisten rumah tangganya sambil berteriak.
Setelah menceritakan keadaannya dari pagi hingga siang ini. Tiga orang tersebut berkeliling rumah yang cukup besar itu untuk mencari Jiu. Bahkan mereka juga bertanya kepada tetangga kanan kiri. Dara bahkan sampai menelepon suaminya untuk segera pulang.
"Bu, mungkin Non lagi ada di rumah temennya. Ibu punya nomer handphone temen--temennya Non Jiu nggak?" tanya Minji. Dara menepuk jidatnya sendiri. Kenapa ia bisa lupa dengan hal itu.
"Ndak ada, Bi. Tapi ponsel Jiu tadi ada di kamar. Bentar saya ambil dulu." Dara segera bergegas dengan pikirannya yang sudah kacau balau sambil menunggu Rean sampai di rumah.
Tapi satu lagi yang mereka lupakan. Tak ada yang tahu kunci handphone milik Jiu. Mereka pasrah menunggu Rean pulang. Karena yang memiliki kenalan dalam bidang seperti itu hanya Rean.
Dara sudah tidak memperhatikan bahwa jendela kamar anaknya tak terkunci dengan benar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro