Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21.} Si Gadis Bodoh

Bel pertanda sekolah telah usai menggema di segala penjuru sekolah. Kelas Jeffery juga tak beda jauh dengan kelas lainnya. Semua segera merapikan alat-alat sekolahnya dan menggendong tas punggung masing-masing. Jiu berjalan menuju bangku Jeffery yang sudah terlihat rapi.

"Jef," panggil Jiu dengan menunjukkan senyum manisnya dan sedikit mata genit.

"Hm," jawab Jeffery dengan tetap fokus memasukkan beberapa alat tulisnya ke dalam tas. Tanpa memperhatikan gerak-gerik Jiu sama sekali. Jiu yang mendapat respon seperti itu tentu merasa diabaikan. Ia mengerucutkan sedikit bibirnya. Tapi, dengan sekejap ia segera mengubah raut wajahnya menjadi ceria kembali.

"Makasih udah mau bantuin ya, Jef," ungkap Jiu dengan tetap mengharap perhatian lebih dari Jeffery.

"Buat?" tanya Jeffery.

Jiu berjinjit dan mendekatkan wajahnya dengan wajah Jeffery. Seketika Jeffery mundur selangkah dan mengerutkan dahinya tanda bahwa ia terkejut dengan tingkah Jiu. Tentu Jiu tersenyum melihat ekspresi Jeffery. Menurutnya, aksinya kali ini berhasil.

"Karena buat Wendy keluar dari sini," bisik Jiu begitu pelan tepat di telinga Jeffery. Bahkan sebenarnya, Jeffery sedikit bergidik ngeri mendengar suara itu keluar dari mulut Jiu.

Sedangkan Hendery dan Joan yang menyaksikan itu secara langsung. Tentu merasa kesal. Hendery segera menarik tangan Jiu untuk menjauh dari Jeffery. Sedangkan Joan segera mengambil tas Jeffery dan menyeret Jeffery untuk keluar dari kelas disusul dengan Hendery. Ya, Hendey hanya menarik tangan tangan Jiu agar menjauh dari Jeffery. Tanpa mengatakan apa pun atau mengatakan sesuatu.

"Der," gumam Jiu yang masih berada di dalam kelas sembari mengusap bekas cekalan Hendery tadi. Jiu tidak marah, melainkan ia kembali merasa bersalah. "Gue kangen sama tangan lo yang selalu bisa buat gue tenang, Der."

Sedangkan Jeffery, Hendery, dan Joan yang berjalan melalui koridor untuk menuju area parkir sekolah.

"Bodoh banget sih, jadi cewek," pikir Jeffery dengan menunjukkan senyum miringnya dan sedikit terdengar kekehan di akhir kalimatnya.

Hendery dan Joan yang mendengar itu sontak langsung menoleh melihat apa yang sedang Jeffery pikirkan.

"Napa lo?" tanya Joan dengan mengangkat sebelah alisnya.

"Kenapa gue?" tanya Jeffery balik.

"Ditanya malah balik nanya ni bocah," timpal Hendery yang sudah muak dengan otak Jeffery yang kadang bekerja dengan lambat.

"Kenapa lo senyum-senyum sendiri?" tanya Joan ulang.

"Oh."

"Oh doang Jep?!" sahut Hendery tak percaya.

Sedangkan Jeffery hanya menunjukkan ekspresi datarnya dan tak menggubris kedua sahabat sehidup sematinya itu.

***

Malam ini, kedua orangtua Jeffery berada di rumah. Seperti biasa, mereka menggunakan kesempatan ini untuk berkumpul bersama. Ditemani dengan berbagai makanan, minuman, dan juga film pilihan Jeffery.

"Udah bahagia, Jef?" tanya papa Jeffery.

"Udah," balas Jeffery dengan memasukkan sepotong irisan apel ke dalam mulutnya.

"Udah siap lulus?" Kini berganti dengan Jeni yang memberi Jeffery pertanyaan.

"Udah."

"Udah mikirin buat kerja di perusahaan?"

"Udah."

"Udah punya pacar?" Ini saatnya Jeni memberi pertanyaan jebakan kepada anak semata wayangnya ini.

"Udah."

"Siapa?" tanya papa Jeffery.

"Ha? Siapa?" tanya Jeffery bingung karena tidak sadar dengan kata yang ia ucapkan sebelumnya.

"Katanya udah punya pacar," ledek Jeni.

"Eh, enggak ya. Itu akal-akalan Mama doang," rajuk Jeffery sembari mengambil jus jeruk miliknya.

"Beneran lho, Jef. Kamu udah punya pacar belum? Ya, minimal gebetan deh," balas Jeni sembari menyuapi suaminya dengan secuil roti kukus.

"Papa dulu ceritanya bisa nikah sama Mama gimana?" tanya Jeffery.

"Ceritain yang detail ya, Pa!" tekan Jeni dengan senyum jahil di wajahnya.

"Awalnya tuh Papa dulu yang suka sama Mama kamu. Tapi dulu Mama kamu udah punya pacar. Tapi ya, gimana lagi. Namanya cinta itu nggak bisa tahan lama-lama. Jadi Papa tikung deh. Akhirnya Mama kamu putus juga ama tu mantannya. Katanya sih karena diselingkuhin, ya. Jadi Papa awalnya pelarian. Tapi lama-lama cinta beneran deh."

"Gitu doang? Mana pakek nikung lagi. Nggak laki!" jawab Jeffery dengan sedikit penekanan yang malah terlihat imut.

"Daripada nggak berani nembak, 'kan?" sahut papa Jeffery tak mau kalah.

"Siapa yang nggak berani? Jeffery berani tau! Cuma waktunya aja yang belum dateng," bela Jeffery.

"Padahal Papa nggak ngomong kalau itu kamu lho, Jef," timpal Jeni yang berhasil membuat Jeffery malu dan menunjukkan cengirannya.

"Tepi kalau Jeffery beneran punya gebetan. Mama sama Papa mau nerima nggak?" tanya Jeffery yang tiba-tiba menjadi serius.

"Tergantung anaknya kayak gimana dong, Jef," jawab Jeni sembari meminum teh hangatnya.

"Dia itu nggak sekaya kita, hidupnya nggak semewah kita, tapi dia pinter, cantik, perhatian, sopan, pekerja keras. Gimana?" ungkap Jeffery.

"Bisa masak?"

"Nah itu Jeffery belum tau, hehe. Nanti kalau udah jadian pasti tau," jawab Jeffery seadanya.

"Jeffery boleh kok pacaran, yang penting nggak ganggu sekolahnya dulu, ya," pesan Jeni.

"Kalau yang bisa masuk tuh, Jiu," batin Jeffery.

"Jeffery jadi anak nakal boleh kok. Dulu Papa nakal, tapi terkenal," saran dari papa Jeffery yang menyesatkan. Mendengar itu, Jeni segera mencubit kecil pinggang suaminya itu.

"Nggak! Jeffery anak baik," bantah Jeni.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro