19.} Jeffery?
Jeffery berjalan menuju kantin yang saat ini dipenuhi oleh teman-teman sebaya dan adik kelasnya. Langkah yang biasanya terlihat santai, kini menjadi lebih cepat dan lebar. Tangan Jeffery mengrpal kuat, tatapan matanya begitu tajam. Bahkan matanya juga terlihat memerah. Rahangnya mengerat hingga menampakkan urat lehernya.
"Oy, Jep dari mana lo?" teriak Hendery melihat Jeffery memasuki kantin. Tak ada jawaban dari Jeffery, ia hanya melenggang melanjutkan langkah besarnya. Joan mengira mungkin Jeffery tak mendengar panggilan Hendery.
"Jep! Jangan budek napa!" teriak Joan memanggil Jeffery yang ternyata mendapat respon sama dengan Hendery tadi. Joan menyenggol siku Hendery yang duduk di sampingnya. "Kenapa tu bocah?"
Hendery mengangkat bahunya acuh sambil menyuap bakso ke dalam mulutnya. Tapi, dengan cepat Joan dan Hendery merubah raut wajah acuhnya menjadi terkejut dan berdiri dari tempat duduknya.
Hendery sudah akan melangkahkan kakinya menyusul Jeffery yang telah disulut amarah. Tetapi, dengan sigap Joan menahan tangan Hendery untuk tidak gegabah menemui Jeffery.
Jeffery mendatangi salah satu meja kantin yang Jiu dan dua temannya pakai. Tanpa basa-basi, Jeffery menarik tangan Jiu menuju taman yang ada di dekat kantin. Tentu, Jiu dan dua temannya begitu terkejut. Saat mereka sedang tertawa dan makan bersama. Tiba-tiba ada seseorang yang menarik paksa tangan salah satu dari mereka.
"Jef sakit, Jef. Ada apa?" tanya Jiu dengan sedikit terbata-bata karena dirinya mencoba untuk memberontak dari cekalan Jeffery. Tapi tentu itu tak akan berhasil. Tenaga Jeffery berkali-kali lipat lebih besar daripada Jiu.
Walau begitu, tentu ada rasa senang dalam diri Jiu. Mendapat perhatian dari Jeffery yang selama ini ia tunggu-tunggu. Akhirnya dengan susah payah Jeffery menarik Jiu, kini mereka berhasil sampai di taman dekat kantin.
"Maksud lo apa naruh gituan di mading sekolah?!" Tanpa basa-basi, Jeffery langsung membentak Jiu begitu saja.
"Maksud lo apa Jef? Gue gak paham," elak Jiu.
"Udah deh lo nggak usah sok bego! Gue tau lo yang masang foto porno Wendy di mading. Gue yakin itu cuma akal-akalan lo. Nggak mungkin Wendy ngelakuin hal menjijikan kayak gitu!" gertak Jeffery.
"Jef lo berani bilang gue kayak gitu emang lo punya bukti? Mana buktinya?! Wajah dong kalau Wendy ngelakuin hal kayak gitu. Secara dia murid miskin di sini!" teriak Jiu.
Oke, batas kesabaran Jeffery sudah berada di ujung tanduk. Tangannya yang sedari tadi mengepal kuat. Kini terangkat, tinggal menunggu detik maka sebuah tamparan akan mendarat mulus di wajah Jiu.
"Tampar aja! Itu bahkan akan nurunin derajat lo sebagai laki-laki dan lo nggak ada bedanya sama gue!" bentak Jiu menantang Jeffery.
"Nggak ada bedanya sama gue. Maksud lo?" tanya Jeffery, "secara nggak langsung lo ngaku bahwa diri lo yang majang foto Wendy?"
Jeffery mengurungkan niatnya untuk menampar Wendy. Dia mengusap wajahnya kasar. Sedangkan Jiu, ia diam. Pertanyaan itu sudah tak dapat Jiu elak lagi.
"Andai gue jawab 'Iya' pasti Jeffery bakal marah besar sama gue. Sedangkan kalau gue jawab 'Nggak' gue juga nggak punya bukti. Karena emang ini kelakuan gue," pikir Jiu yanh dapat didengar oleh semua orang seperti sinetron Indonesia.
"Gue bakal bantu lo." Tentu Jiu membelalakkan matanya mendengar kata itu keluar dari mulut Jeffery. Jiu tak tahu dirinya harus senang atau takut saat ini.
"Maksudnya, Jef?" tanya Jiu bingung.
"Dengan adanya foto itu. Wendy bentar lagi akan dikeluarin dari sekolah. Gue bakal bantu lo ngeluarin Wendy dari sini," bisik Jeffery tepat di samping telinga Jiu. Lalu Jeffery segera melangkahkan kakinya meninggalkan Jiu yang masih berdiri mencerna ucapannya baru saja.
Hendery dan Joan yang mengikuti Jeffery dari sedari tadi lumayan menyulut emosi mereka berdua. Hendery dan Joan bersembunyi di balik semak-semak dengan berbagai gangguan dari semut kecil.
Setelah Jeffery pergi, Hendery berdiri dari posisi jongkoknya. Seolah akan berlari mengikuti Jeffery dan akan berakhir dengan sebuah pertunjukan baku hantam. Tapi, Hendery merasa ada yang kurang dari aksinya tersebut. Ia menoleh ke samping melihat Joan yang hanya diam melihat aksinya.
"Jeffery! Gue tantang lo!" teriak Hendery yang masih mengambil posisi kuda-kuda. Untung saja Jiu sudah pergi dari taman tersebut. Hendery kembali menoleh ke arah Joan.
"Kenapa lo? Katanya mau nyusul Jepri, tapi kok masih di sini?" goda Joan.
"Nggak peka banget sih, lo. Tahan tangan gue dong, Jo!" protes Hendery.
"Dih, mau kayak yang di film-film gitu lo? Gak, ya!" tolak Joan.
"Gila apa gue berantem ama Jepri. Pulang-pulang tinggal nama gue," gumam Hendery.
***
Keesokan harinya, Wendy berangkat sekolah dan memasuki area sekolah. Hari ini berneda dengan hari-hari biasa yang pernah ia lalui. Semua anak di koridor langsung diam seribu kata saat Wendy melalui mereka. Bisikan-bisikan tentang foto kemarin masih menjadi perbincangan hangat.
Wendy mempercepat langkahnya dan menutupi wajahnya dengan hoodie yang ia gunakan. Ia hanya bisa berdiam diri di dalam kelas. Ia menunggu panggilan kedua dari guru BK. Wendy juga belum memberitahukan kejadian ini kepada orang tuanya.
Kalian semua pasti tahu apa yang akan terjadi hari ini. Ya, pengeluaran Wendy dari sekolah. Kasus ini memang sekolah tutupi dari luar. Sekolah tak ingin kesan SMA mereka menjadi buruk karena hal ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro