09
Halo... meskipun pembaca di sini masih sedikit, aku yakin ada saja yang bertanya 'Ini dilanjutin enggak?' atau 'Ini dilanjutin di KK kah?' dan semacamnya.
Masih lanjut di Wattpad, kok, tenang saja. Kemarin aku cuma butuh sedikit istirahat. Badanku sakit semua, terutama punggung, dan pernah selama beberapa hari tulang tanganku sakit parah. Sakitnya gimana? Kayak disuntik kena sampai ke tulang. Saking mantapnya itu sakit, aku pernah semalaman nggak tidur karena nangis.
Setelah periksa, dokter mendiagnosis aku kurang kalsium, berhubung sebagian besar kalsium sekarang diserap janin. Terus dikasih suplemen kalsium. Sakit badan udah berangsur membaik, tulang pun udah nggak sakit. Apakah masalahnya selesai? Tentu tidak. Beberapa waktu kemudian, aku jadi pelupa, gampang linglung, dan ngos-ngosan setiap kali bernapas (bahkan pas duduk santai atau tidur).
Berhubung aku hamil ya kupikir itu biasa. Waktu pemeriksaan berikutnya, kebetulan pas tes darah, ditemukan lah Hb-ku di bawah batas-normal-bawah. Hemoglobin adalah bagian darah yang membawa pasokan oksigen, jadi kalau otak kekurangan oksigen, kitanya kurang responsif. Atau paru-paru kurang oksigen, napas kita jadi ngos-ngosan. Intinya, aku kena anemia yang bikin tubuhku (dan si bayi) jadi kekurangan oksigen dan berisiko tinggi pendarahan pas lahiran. Jadi sekarang dikasih suplemen lagi: penambah darah/zat besi.
Ada-ada aja komplikasinya bumil. Akan kunikmati semua sambil ya Allah ya Allah 👶🏻🤲🏻
Jika sewaktu-waktu aku slow update lagi, harap dimengerti ya. Boleh kok kalau mau nabung bab aja dulu 🫶🏻
Terima kasih dan selamat membaca 💕
💌
UNTUK YANG senantiasa berseri,
Dik Wara Wening Widyadhari.
Apa kabarmu hari ini, Dik?
Kejadian itu telah berlalu selama seminggu, tetapi senyumanmu masih lekat dalam ingatanku.
Seminggu yang lalu, untuk pertama kalinya, kamu berbicara kepadaku.
Aku menyesali beberapa hal.
Andai saja, aku tahu hari itu akan berbicara denganmu...
Seharusnya, aku menata rambutku dengan gel, karena rambutku tampak konyol setelah tersapu angin saat bersepeda.
Seharusnya, aku membawa sapu tangan untuk menyerap keringat, karena aroma keringatku mungkin mengganggu napasmu.
Seharusnya, aku menyetrika kaus olahraga terbaikku, karena lipatan kusutnya sungguh mampu mengganggu pandanganmu.
Dan seharusnya, aku berlatih beberapa kata sebelum menyapamu, karena aku benci harus selalu terlihat kikuk di hadapan perempuan yang kusukai.
Aku benar-benar malu.
Maaf.
Terlepas dari itu, aku bersyukur telah bertemu denganmu yang mengenakan bando putih pemberianku.
Sekali lagi, kau menawanku, Dik.
Dari pengagum rahasiamu,
Raden Bagus Dhanuraga Candrawisesa.
💌
RUBRIK GADIS Gaul dari salah satu edisi majalah Gadis pernah memaparkan beberapa tips membaca gestur ketertarikan lelaki. Tertulis di situ, salah satu reaksi yang paling mudah terdeteksi adalah kegelisahan. Lelaki akan menunjukkan kegelisahan saat menyadari perempuan yang menarik hatinya sedang berada di sekitarnya. Bentuk kegelisahan itu dapat berupa kelewat aktif bicara hingga terkesan menyerocos tanpa arah, atau sebaliknya, mati kutu terdiam seribu bahasa. Kepalanya dipenuhi dengan ungkapan rasa, tetapi tidak satupun bisa terkata.
Dalam kasus ini, Mas Bagus termasuk kategori yang kedua.
Maksud Wening, Mas Bagus si penulis yang manis, bukan Mas Bagus si kurir oportunis.
Jelas sudah mengapa lelaki yang Wening temui di pedagang soto alun-alun minggu lalu itu menunjukkan gelagat aneh. Wajah terkejutnya merah luar biasa hingga ke telinga; matanya bergerak-gerak menghindari Wening; kata-katanya yang keluar dari mulutnya seperti keran macet. Karena lelaki itulah yang selama hampir empat bulan ini mengirimi Wening surat dan bingkisan.
Karena, lelaki itulah Mas Bagus yang sebenarnya.
Karakter Mas Bagus yang sebenarnya memang sesuai dengan isi surat-suratnya. Dia lelaki baik-baik yang pemalu, dan Wening bisa merasakan ketulusannya dari setiap untaian kata dalam suratnya. Wening memang belum ingin menikah dalam waktu dekat, tetapi dia tidak menampik, dia menyukai surat-surat dari Mas Bagus. Sifat pemalu Mas Bagus membuat Wening nyaman, sebab lelaki itu tidak terkesan memburu-buru perasaannya. Mas Bagus berbeda dari lelaki lain yang memburu Wening untuk segera menikah.
Namun, sekali lagi, Wening belum berpikir untuk menikah. Terlebih dia tidak memiliki perasaan yang sama untuk Mas Bagus. Wening lebih tidak tega lagi bermain dengan hati lelaki setulus Mas Bagus, jadi, ketika kemarin Mas Bagus gadungan bertanya, "Mana yang Dik Wening suka? Mas Bagus si-penulis-surat yang pemalu, manis, dan lembut? Atau Mas Bagus si-kurir-surat yang menyebalkan ini?"
Jawaban Wening sudah jelas adalah, "Tidak keduanya."
Tetapi salah satu dari mereka bisa dimanfaatkan demi keuntungan Wening. Dan tentu saja, Wening akan menebar umpan untuk lelaki yang memang sekadar ingin bermain, bukan yang tulus dan serius.
Lelaki yang cuma ingin bermain pastinya lebih mudah dibuang saat Wening sudah tidak membutuhkannya. Benar, kan?
💌
"Durung budhal [Belum berangkat], Nduk?"
Pagi ini, Bapak yang keluar rumah bersama Ibu menemukan Wening berjongkok dengan raut panik di samping sepeda keranjangnya. Seharusnya putri mereka sudah berangkat 15 menit yang lalu, mengingat hari ini masih pekan Ujian Tengah Semester.
Wening beranjak menghadap Bapak, tangannya menunjuk sepeda. "Rodanya, Pak..."
"Gembos lagi?"
Wening menggeleng lantas mendesah. "Rujinya patah..."
Bapak berjongkok menggantikan Wening, memperhatikan roda belakang yang dimaksud.
"Waduh, iya, Pak. Untung patahnya ndak pas kamu bawa, Ning," gumam Ibu prihatin sambil membungkuk di dekat Bapak. "Ya sudah, budhal sama Ibu, ayo. Pulangnya telepon rumah dulu, misale Bapak atau Ibu sudah di rumah nanti dijemput."
"Bukane Ibu ada rapat sama orang dinas pendidikan pagi ini? Wis mboten usah lah, Bu. Wening ngangkot saja, repot nanti Ibu muter jauh malah jadi terlambat," tolak Wening seraya membenahi posisi tas bahunya.
"Daripada kamu yang telat, Ning? Kamu UTS, lho." Bapak beranjak kembali dan menatap putrinya. "Bapak baru bisa bawa ke bengkel Sabtu atau Minggu. Wis kamu pakai sepedane* Ibu, Ibu biar budhal bareng Bapak naik montor**."
* dalam bahasa Malang, 'sepeda' artinya 'sepeda motor'
** dalam bahasa Malang, 'montor' artinya 'mobil'
"Lho ya jangan, Pak, Ibu perlu sepeda buat bolak-balik dinas-sekolah," cegah Wening cepat sebab Ibu hampir menyerahkan kunci motor untuknya. Dia segera mencium tangan kedua orang tuanya bergantian. "Nyuwun doanya saja buat UTS, Pak, Bu. Wening berangkat dulu, assalamualaikum."
Jalur angkot berada di jalan besar sekitar 50 meter dari rumah Wening. Pada pagi hari, kebanyakan angkot yang lewat dipenuhi oleh anak sekolah berseragam. Sudah terbayang di kepala Wening betapa sumpek dan ramainya di dalam angkot nanti, tetapi sebuah klakson pelan dari belakang membubarkan lamunannya.
Wening berjengit dan otomatis menepi ke kiri, memberi jalan untuk sebuah Vespa 125 kuning menyejajari langkahnya. Si pengemudi menaikkan kacamata ke atas helmnya--yang juga kuning.
"Cewek! Kenalan, dong! Bapak kamu galak, nggak?"
Langkah Wening terhenti saat menyadari siapa lelaki itu. Matanya mendelik. "Mas Galih?"
"Lhooo, Wening?" Mas Galih yang juga berhenti menunjukkan keterkejutan yang dibuat-buat. "Oalah, tak pikir bidadari surga. Ternyata cuma mantan tetangga."
Wening memukul dasbor dengan kesal sementara si pemilik Vespa tertawa. Mas Galih dan keusilan setinggi langitnya, sama sekali tidak berubah. "Ngapain di sini? Samean bukannya training di Jakarta? Kapan pulang? Kok aku ndak tahu?"
"Baru seminggu yang lalu. Training udah selesai lah, kan cuma 2 tahun. Terus internship 2 tahun lagi ke pedalaman Kutai. Sekarang balik penempatan di Malang, horeee!" Lelaki yang juga berkemeja kuning pupus itu bertepuk tangan untuk diri sendiri.
"Wah... cepet, toh, Mas? Tak pikir samean ndak balik ke sini lagi, lho. Tak pikir wis jadi warga Betawi permanen. Penempatan seperti itu apa ndak ditentukan dari pusat?"
"Ditentukan pusat, tapi dikasih kesempatan milih, Ning. Amarga [Karena] aku ini trainee terbaik, makanya pilihanku diutamakan."
"Wiiih, masyaallah!" Wening turut memberi aplaus. "Mbois tenan tonggoku, Rek. Merantau jauh-jauh, ujung-ujungnya balik lagi jadi kera ngalam*."
* arek malang, bahasa walikan
"Iyalah, gimana-gimana juga paling enak di kampung halaman sendiri, Ning. Ada Bapak, ada Ibu, ada adek-adek aku, sama ada..." Mas Galih menggantung ucapannya, lalu tertawa cerah menatap Wening. "Kamu... gak berangkat kuliah, tah?"
"Ya Gusti, iya!" Wening terkesiap. "Mas Gal, aku duluan--"
"Ayo bareng." Lirikan Mas Galih terarah ke jok belakang yang kosong. "Kampusmu FK di Jalan Veteran itu, tho?"
"Iya. Lha, samean ditempatkan di bank cabang mana?"
Lelaki itu mencolek hidung Wening sekilas. "Cabang kampusmu, di gedung rektorat. Ayo ndang naik."
"Ndak pakai helm ndak pa-pa, tah? Di prapatan sebelum gerbang sering ada razia..."
"Gampang." Mas Galih memakai kacamata besarnya lagi, melepas helm, dan memasangkannya di kepala Wening. Tidak lupa mengunci strap dagunya. "Lewat jalan tikus biar gak kena razia."
💌
Shinta dan Ririn sama-sama berasal dari Pasuruan. Mereka sudah bersahabat sejak masih SMA, tetapi Wening baru mengenal keduanya pada masa orientasi mahasiswa baru dua tahun yang lalu. Ketiganya pertama kali bertemu di pujasera masjid besar milik universitas. Umumnya, mahasiswa kedokteran jarang ke sana, karena selain lokasinya yang lumayan jauh--sekitar 10 menit jalan kaki--sebenarnya FK mempunyai kafetaria sendiri. Namun, harga makanan di kafetaria FK jelas lebih mahal daripada pujasera yang ramah untuk dompet mahasiswa semua fakultas. Terutama yang berasal dari keluarga sederhana sekaligus merantau seperti Shinta dan Ririn. Sedangkan Wening, dia merasa perlu menghemat uang saku agar sebisa mungkin tidak minta uang tambahan dari Bapak untuk membeli instrumen-instrumen kedokteran.
Kedekatan mereka terjalin berkat kebersamaan di pujasera. Di antara ketiganya, cuma Wening yang masih betah menjomlo. Shinta selalu punya gandengan meskipun selalu berganti minimal dua bulan sekali. Sementara Ririn, dia setia kepada Faris, pacarnya sejak SMA. Mereka adalah pasangan yang saling memahami, senang berdamai, dan karenanya kadang membuat Wening sedikit iri.
Beberapa kali Ririn menceritakan mengenai rencana pernikahannya akan dilaksanakan pada libur semester genap ini, sekitar 3 bulan lagi. Jadi, ketika setelah kelas Ririn tiba-tiba memberikan selembar undangan untuk Wening dan Shinta, kedua sahabatnya itu melongo.
"Iya, dipercepat, soale--"
"Kamu hamil duluan?" tebak Shinta.
"Amin, habis akad, toh?" tambah Wening, dan Ririn tertawa karena sudah kebal dengan candaan Shinta yang kadang nyeleneh. "Jadi, kenapa kok dipercepat?"
Ririn meringis. "Bapakku yang minta, Rek. Katanya dari hitungan wetonku sama Faris, tanggal baiknya minggu depan. Padahal enak pas liburan, tho? Lebih santai. Mbuh lah bapakku, keras kepala, aku nurut wae."
"Nanti tak kancani pas midodareni," hibur Shinta, mengusap-usap lengan Ririn.
"Aku ndak bisa menginap kalau liburnya cuma sehari, jadi baru berangkat ke Pasuruan pas hari H naik bus subuh. Selesai acara langsung kembali ke Malang lagi," ucap Wening, sambil mengatupkan kedua tangan di dada.
"Ndak pa-pa, Ning. Kamu dateng lho aku wis seneng." Ririn tertawa ringan. "Tapi kamu ke Pasuruan sendiri thok? Apa ndak bahaya naik angkot sendirian subuh-subuh ke terminal? Terminalnya jauh lho dari rumahmu. Coba ajak Yasmin atau siapa."
Wening mengibaskan tangan. "Halah, gampang, aku bisa ikut angkot tetangga yang nganter sayuran ke pasar."
"Ajak Dokter Item ae, Ning. Pasti geger orang sekampung kalau tahu ada tamu yang datang hajatan naik Merci!"
"HEH!" Wening menggepuk lengan Shinta. "Ndak lah, mana mau dia disuruh nganter aku sampai Pasuruan."
"Kenapa endak? Kan dia sudah kena efek susukmu, Ning. Hohoho."
"Wis pokoknya ndak. Titik. Selesai," tutup Wening.
Pertama, Wening tidak punya nomor telepon Mas Bagus Gadungan itu. Kedua, kalaupun Wening punya, Wening tetap tidak akan menghubungi karena toh gadis itu memang tidak butuh bantuan. Yang paling penting, ketiga, lelaki itu belum sebegitu tergila-gilanya pada Wening, jadi mustahil dia bersedia mengantar ke Pasuruan subuh-subuh, menemaninya seharian, dan baru pulang menjelang malam.
"Sama Mas Galih juga boleh lho, Ning," celetuk Ririn. "Mas Galih pasti mau, toh, wong sudah seminggu antar-jemput kamu kuliah sama sekali ndak keberatan."
Wening meringis malu. Memang benar sudah seminggu ini Wening berangkat dan pulang kuliah bersama Mas Galih, meskipun ban sepedanya sudah diganti. Berhubung lelaki itu selalu lewat depan rumah Wening setiap pagi sebelum berangkat kerja, jadilah Wening selalu ditawari berangkat bersama. Bapak dan Ibu iya-iya saja karena sudah mengenal Mas Galih sejak lama, begitu pula Wening. Agaknya dia sedikit keenakan.
"Mas Galih memang suka keluyuran, boleh juga kayaknya," gumam Wening. "Tapi pasti dia juga minta keliling Pasuruan."
Ririn menyikut Wening. "Temenin, tah. Ada warung kepiting bakar baru, enak pol apalagi dimakan sama kuah gulainya, ndak terlalu jauh dari rumahku."
"Sssh, Rek, panjang umur, tuh," sela Shinta, lirikan matanya mengarah pada sebuah vespa kuning yang baru masuk melalui gerbang fakultas. Vespa itu melambat hingga berhenti di depan ketiga gadis yang sejak tadi mengobrol di depan parkiran sepeda.
Mas Galih menyerahkan helm lain yang dibawanya dan tersenyum pada Wening. "Jadi bakso bakar Jalan Pahlawan, nih?"
"CIYEEE!!!" Shinta dan Ririn mengguncang-guncang Wening, membuat Mas Galih spontan tertawa. "Wening thok, Mas? Kita endak, nih?" Shinta memasang wajah sayu dibuat-buat.
"Lho, boleh banget biar rame! Kalian bawa sepeda sama-sama, kan? Ayo, saya yang nraktir!" sambut Mas Galih cerah. Wening menepuk dahi, pasrah menghadapi kelakuan dua sahabat tengilnya.
"Tenan [Beneran], Mas?" Ririn membulatkan mata.
Mas Galih mengangguk. "Lho, serius, dong. Masak saya bisa nolak kencan sama tiga cewek cantik sekaligus? Ya mau banget!"
Berbeda dengan Shinta dan Ririn yang cekikikan, Wening memasang wajah cemberut yang justru membuat Mas Galih makin memperhatikannya.
"Matur nuwun, Mas, tapi ndak usah, kita cuma guyon, kok," jelas Ririn lagi. "Eh, Mas, mau main-main ke Pasuruan, ndak?"
Mas Galih menaikkan kacamata helmnya. "Ada apa di Pasuruan, Rin?"
Ririn memulai dengan menceritakan rencana pernikahannya, lalu diakhiri dengan, "Nemenin Wening sekalian jalan-jalan, begitu, Mas."
Wening mengangkat bahu ringan. "Tapi berangkat subuh dari Malang."
"Minggu depan, ya?" Mas Galih memastikan, Wening mengangguk. Lelaki itu memejamkan mata sekilas. "Duh, Ning, kalau tahu dari kemarin, aku gak iyakan rencana reuni sama anak-anak alumni minggu depan... tapi sudah telanjur."
"Ndak bisa dibatal--"
"Ndak pa-pa, Mas, santai saja, aku bisa berangkat sendiri," sela Wening, sebelum Ririn meminta macam-macam pada Mas Galih. Gadis itu segera mengenakan helmnya. "Ayo, bakso bakar!"
Mas Galih tersenyum menunjuk pengait helm Wening. "Itu dikancing dulu, Mbakyu."
"Iya--" Wening mencoba melakukannya, tapi seperti biasa, "Aduh, Mas! Ini kancingannya sudah karatan, mbok diganti atau apalah!" harus berakhir dengan entakan kesal kakinya. Shinta dan Ririn juga pernah mencoba membantu Wening, tapi gagal.
"Payah, begini doang nggak bisa," dan memang hanya si pemilik helm yang tahu benar cara memasangnya. Sambil bersungut-sungut, Wening mencondongkan badan untuk memudahkan Mas Galih menyentuh strap dagunya. Setelah selesai, tatapan mereka beradu, lelaki itu menyentuh pelipis Wening yang berkeringat lalu tersenyum kecil. "Hari ini panas, ya? Kamu masih suka es degan?"
Wening melebarkan mata. Mas Galih yang dikenalnya sebagai kakak tetangga yang tengil, rupanya tahu dan masih ingat bahwa Wening kecil pernah amat menyukai es degan. Bahwa Wening sering kali berjalan kaki sepulang sekolah sambil minum satu plastik es degan frambozen.
"Ehm, iya... masih, Mas--"
BRAK!
💌
Gebrakan keras itu menyentak Wening kembali menegakkan badan. Semua kepala di depan Fakultas Kedokteran menoleh ke sumber suara. Semua mata mendapati sebuah sedan putih baru saja menabrak salah satu pohon flamboyan di bundaran tengah halaman. Hanya sekitar 10 meter dari tempat Wening berdiri. Satu-persatu orang datang menghampiri untuk memastikan keadaan, tapi tidak dengan Wening dan ketiga orang yang bersamanya.
Shinta menarik lengan Wening. "Montor itu kan..."
Wening melirik Shinta sekilas. Tentu saja dia mengenal mobil kelas atas itu. Pemiliknya baru saja turun untuk menjelaskan situasinya kepada orang-orang, termasuk dua bapak-bapak berseragam sekuriti, dan setelah sedikit pemeriksaan, lelaki itu masuk kembali untuk menepikan mobilnya ke trotoar atas instruksi sekuriti.
Mobil itu berada sekitar 5 meter di belakang motor Mas Galih. Kedua sekuriti membubarkan kerumunan massa, lalu sekali lagi memastikan kondisi si pengemudi mobil, sebelum akhirnya pergi kembali ke pos masing-masing.
Wening tidak bisa menahan diri untuk menghampiri si pengemudi yang berdiri di samping mobil, yang kemudian menyadari kedatangannya. Keduanya hanya saling menatap sebelum akhirnya Wening membuka suara.
"Apa semuanya baik-baik saja, Mas?"
"Well, good, everything's good." Mas Bagus Gadungan itu tersenyum. "Bukan masalah itu cuma mobil."
"Tapi itu Mercedes impor..." Wening menggigit bibir, matanya melirik terluka pada lampu jauh kanan yang pecah berkeping-keping. Belum lagi cedera pada bempernya.
Wening mengamati wajah lelaki itu lagi. Awalnya Wening menduga dia menyetir sambil mabuk--yang andai itu benar Wening akan memarahinya habis-habisan--tapi tidak. Mas Bagus Gadungan ini tampak sepenuhnya sadar.
"Tapi kenapa--"
"Just ignore my car, please. Siapa dia?" Lelaki itu bertanya hampir bersamaan dengan Wening. Gadis itu tidak yakin siapa yang dimaksud.
"Dia?"
"Dia." Telunjuk lelaki itu mengetuk helm di kepala Wening dua kali, sementara rahangnya mengeras. "Siapa dia yang belakangan ini pulang-pergi dengan kamu? Siapa dia yang memasangkan helm ini di kepalamu? Siapa dia yang barusan lancang sekali menyentuhmu? I do not like him."
Sekarang Wening paham mengenai kronologi sebelum kecelakaan tunggal barusan.
"Ehm, dia..." Wening melirik malu-malu ke arah Mas Galih yang masih memperhatikan mereka. "Itu Mas Galih, tetangga saya dan teman saya sejak kecil." Wening mengembalikan tatapannya dan tersipu saat mengulum senyum. "Dari kecil kami sudah sering sama-sama. Orangnya agak usil, tapi baik, kok, Mas. Kalau panjenengan sudah kenal Mas Galih pasti suka juga."
"'Juga'? Jadi kamu suka dia?"
"Pasti!" Wening mengangguk cepat. "Mas Galih tetangga saya. Saya suka tetangga-tetangga saya, semuanya orang baik. Saya juga suka keluarga saya, teman-teman saya, guru-guru, dosen..."
"Bagaimana dengan saya?"
"Apa yang bagaimana?"
"Apa saya ada dalam daftar orang-orang yang Dik Wening suka?"
Bisa saja Wening mengangguk, tapi dia memilih menggeleng.
"Well, then... masukkan saya. Beri tahu bagaimana caranya. Atau setidaknya beri saya kesempatan."
Wening menelengkan kepala. Menilai dari antusiasme lelaki ini saat menantikan jawabannya, harus Wening akui, Mas Bagus Gadungan adalah pemain yang hebat. Tapi dalam permainan ini, Wening pastikan dirinya lah yang akan menggenggam kendali penuh.
"Ehm..." Wening membasahi bibir sekilas. "Apa panjenengan bersedia meluangkan satu hari penuh untuk saya, Mas?"
"Ya," sahutnya cepat.
"Hari Minggu, minggu depan? Seharian?"
"Ya."
"Kalau Sabtu?"
"Ya."
"Jumat?"
"Ya."
"Kamis, Rabu, Selasa, Senin?"
"Ya. Anytime."
Wening melongo. Berbeda dari Mas Galih yang berpikir dulu sebelum menjawab, tampaknya Mas Bagus Gadungan ini sama sekali tidak menggunakan otaknya.
Alis Wening melengkung. "Panjenengan yakin? Apa sudah cek jadwal praktik, bedah, temu pasien, acara keluarga, atau apapun?"
"Ah." Lelaki itu tersadar dan mengerjap. "Oke. Jadwal. Maaf. Belum," dia berpikir sesaat sebelum menambahkan, "I mean, jadwal saya relatif fleksibel untuk disesuaikan dengan kepentingan pribadi, jadi..."
Kedua alis Wening terangkat. Jadi, dirinya sudah masuk sebagai 'kepentingan pribadi' Mas Bagus Gadungan.
Lelaki itu menggaruk kepala. "Anyway, apa yang akan kita lakukan seharian? Kalau ada yang perlu saya persiapkan mulai sekarang..."
"Oh, itu..." Wening meringis. Sejujurnya, Wening tidak benar-benar ingin meminta lelaki ini menemaninya ke Pasuruan. Dia berpikir lelaki ini pasti menolaknya karena keperluan lain sama seperti Mas Galih, tapi di luar dugaan, dia salah. Jadi, dengan sedikit canggung Wening menjelaskan tentang undangan pernikahan Ririn.
Setelah Wening selesai, lelaki itu tersenyum cerah dan mengangguk. "I'll keep that in mind. Saya belum pernah ke Pasuruan, jadi... terima kasih karena mengajak saya, Dik Wening. Saya tidak sabar menunggu Minggu."
Wening mengulum senyum sungkan. Sekalipun lelaki di hadapannya ini jelas-jelas penipu, dalam beberapa kesempatan dia bisa jadi begitu lugu. Seperti saat ini. Wajah putihnya memerah terang, dan mata birunya berbinar berbinar penuh harap, seperti anak kecil yang dijanjikan akan dibelikan mainan jika bersedia duduk manis.
"Panjenengan benar-benar ndak keberatan menemani saya, ya?" Wening tertawa pelan.
Lelaki itu membalas tawa Wening, kedua matanya menyipit seperti sabit. "I've told you, Wening. Saya adalah sopir yang totalitas. Ziarah ke Taman Makam Pahlawan? Menikah di KUA? Bulan madu ke ujung dunia? Saya antar. Apalagi hanya ke Pasuruan, let's go!"
Anehnya, kali ini, kata-kata itu tidak lagi terdengar menyebalkan di telinga Wening. Mungkin sedikit mendebarkan.
💌
Malang, 26 Agustus 2023.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro