05
Sebelumnya, terima kasih buat teman-teman yang kemarin mendoakan aku. Semoga kesehatan dan keberkahannya kembali untuk teman-teman semua yaa. 🤗🤲🏻
Terima kasih dan selamat membaca 💕
💌
SEBELUM meninggalkan lab, sekali lagi, Wening memastikan semua mikroskop dan spesimen masih lengkap dan sudah kembali ke lemari. Tidak ada barang atau sampah praktikannya yang tertinggal. Setelah berpamitan pada laboran yang bertugas, Wening keluar menuju ruang ganti untuk melepas jas dan mencuci tangan. Seharusnya Wening segera menyerahkan setumpuk laprak di tangannya ke ruang dosen, tetapi ketika dia baru keluar lab, seseorang menghadang dan menghentikan langkahnya. Terlalu mendadak di depannya hingga Wening berjengit dan semua laprak yang dibawanya jatuh berserakan.
Spontan Wening berjongkok untuk memunguti laprak. "Kalau mau masuk lab jangan grasa-grusu, Mas. Kasih saya jalan buat keluar dulu, jangan diseruduk begini," keluhnya.
"Sorry. Sorry, I didn't mean to--" Lelaki itu, Mas Bagus, bertanggung jawab dengan ikut membantu Wening. "Saya sedang buru-buru. Maaf saya mengejutkan Dik Wening."
Wening menggigit bibir bawahnya agar tidak tersenyum, sebab ucapan Mas Bagus yang kelewat formal dan baku itu terdengar lucu.
"Buat apa buru-buru, Mas? Labnya ndak berpindah, tetap di sini."
"Labnya tidak berpindah, tapi saya bukan mencari lab."
"Memangnya Mas mencari apa?"
"Bukan 'apa', lebih tepatnya 'siapa'."
"Ndak usah berbelit-belit. Kenapa Mas ndak langsung jawab saja pertanyaan saya? Mas ingin saya bertanya siapa yang Mas cari, begitu?"
Wening akan mengambil lembaran laprak terakhir ketika Mas Bagus melakukan yang sama, hingga tangan mereka bersentuhan tanpa rencana. Lelaki itu menyeringai samar dan menatap Wening lekat. "Tidak. Kamu sudah tahu siapa yang saya cari, tapi kamu menginginkan pengakuan lisan bahwa memang benar kamu yang saya cari."
Mengabaikan panas yang menyengat wajahnya, Wening menarik laprak itu dan segera beranjak. Terdengar kekehan samar dari Mas Bagus yang juga beranjak setelah memungut barang lain, seperti biasa, sebuah kotak kecil berisi pemberian. Lelaki itu menyingkirkan debu dari kotak dengan tepukan pelan sebelum meletakkannya di atas tumpukan laprak di tangan Wening.
"Dan kamu sudah tahu mengapa saya mencari kamu," ucap Mas Bagus lalu membenahi posisi sabuk tas di bahunya. Lelaki itu membungkuk sopan sebelum berbalik meninggalkan Wening begitu saja.
Wening masih bergeming di tempatnya, memandangi Mas Bagus yang sudah menjauh, kemudian teman lelakinya datang menghampiri. Mereka terlibat perdebatan kecil, entah apa, lalu teman Mas Bagus itu buru-buru menoleh Wening sambil mengatupkan kedua tangan. Minta maaf atau apa, Wening tidak paham. Kemudian keduanya menghilang di tikungan koridor.
Seminggu berlalu sejak Wening bertemu Mas Bagus di pernikahan Yasmin. Kemajuan interaksi mereka membuat Wening berpikir Mas Bagus akan menyudahi permainan surat-menyurat ini. Wening pikir, Mas Bagus mulai bernyali menggunakan mulut untuk berkomunikasi dengan Wening. Nyatanya tidak. Mas Bagus masih saja memberinya surat lain.
Anehnya, Wening menyukai setiap untaian kata yang ditulis Mas Bagus. Terasa sederhana dan begitu tulus. Berbanding terbalik dengan Mas Bagus yang bicara dengan Wening barusan. Cenderung ruwet dan menyebalkan.
Mungkin Mas Bagus adalah tipe lelaki lain di mulut lain di hati.
💌
"Selamat..."
Wening terengah-engah setelah berlari untuk mencapai ruang kelas. Dia lega melihat dosennya yang sangat disiplin masalah waktu belum datang. Karena posisi bangku tidak pernah tetap dan hanya deretan bangku depan yang masih kosong, Wening segera menempati barisan tengah. Gadis itu akan mengeluarkan atlas Sobotta dari tas ketika seseorang mencolek punggungnya dari belakang.
Kedua mata Wening melebar saat mendapati tabloid TTS yang disodorkan Ngatiyem, temannya.
"Ari Wibowooo!" pekik Wening, langsung menggesek-gesek kover tabloid itu di pipinya, memeluknya erat-erat di dada, kemudian mendadak panik sambil mengelus wajah rupawan sang bintang kover dengan hati-hati. "Ndak boleh kusut, ndak boleh kusut, calon suamiku..."
Ngatiyem tertawa pelan. "Ojo kuatir, Ning. Stok di kios masih buanyak, baru dateng pagi ini. Langsung tak sisihkan sepuluh, pesenanmu sama anak-anak."
"Oh, iyo." Wening menepuk dahi, kemudian membuka salah satu kantung tasnya. "Berapa, Yem? Masih 500?"
Ngatiyem mengibas pelan. "Wes ndak usah, ambilen [ambil saja]."
"Lha, kok gitu?" Wening melongo.
"Ndak pa-pa, yang ini gratis."
"Heh, ojo! Nanti kios bapakmu rugi! Berapa, tho? Hargane naik, tah?" Setelah meletakkan TTS-nya, Wening buru-buru membuka dompet untuk mengeluarkan selembar uang kertas hijau dan satu koin rumah gadang, tapi Ngatiyem bersikeras mendorong tangan Wening.
"Kios bapakku ndak akan rugi apalagi bangkrut, wong cuman satu TTS ini!" Ngatiyem tertawa lagi. "Sudah bawa saja, sekali-kali aku yang nraktir, kan kamu sering minjemin aku potlot buat mewarnai laprak."
Meskipun Ngatiyem benar, tetapi menurut Wening, potlot yang berkurang karena dia pinjamkan belum sebanding dengan TTS ini. Apalagi edisi kover Ari Wibowo. Namun, melihat keseriusan di mata Ngatiyem, rasa-rasanya akan sulit untuk dibantah.
"Tenan iki [Beneran ini]?" Wening memastikan.
"Iyo, tenanan."
"Tapi sekali ini saja, ya? Besok-besok jangan begini lagi. Aku ndak enak sama bapakmu."
"Aku sudah izin sama Bapak. Ndak pa-pa, wong ndak sering-sering juga, Ning. Wes pokoknya yang ini bawa saja."
Dipenuhi rasa haru, Wening mendekap tabloidnya lagi sambil berkali-kali mengucap matur nuwun, sebab sekali saja rasanya kurang. Selain jajan cenil, mengisi TTS adalah salah satu katarsis yang sering Wening lakukan saat sedang bosan atau justru suntuk belajar. Ada kepuasan yang Wening peroleh jika semua baris dan kolom terisi penuh, walau terkadang dia harus bolak-balik ke perpustakaan demi mencapainya. Sebab Wening pantang mengintip kunci jawaban yang sebenarnya tersedia di halaman belakang.
"Lho alah, Ari Wibowo lagi," celetuk Shinta yang baru datang bersama Rini. Wening buru-buru menyimpan tabloidnya ketika mereka menghampiri mejanya.
"Blasteran Jerman ancene ngganteng tenan [memang tampan sekali], yo," gumam Ngatiyem. "Oh iyo, ngomong-ngomong, Ning, Mas Bule itu tadi ke sini nyariin kamu lagi. Sudah ketemu?"
Wening menelan ludah. Rasa-rasanya bukan hanya kedua sahabatnya yang tahu, tapi satu angkatan sudah hapal dengan Mas Bagus, saking seringnya lelaki asing itu mendatangi Wening tanpa tedeng aling-aling.
"Sudah, sih..." Wening meremasi jemarinya yang tadi sempat tersentuh Mas Bagus dengan gelisah.
"Sudah tahu namanya?" tanya Shinta lagi.
Wening menggeleng pelan meski sebenarnya dia tahu. Untuk sekarang, Wening belum ingin menceritakan tentang Mas Bagus. Lagipula lelaki itu belum menunjukkan keseriusan yang tegas.
Shinta melipat lengan di dada. "Susah juga, ya. Mosok tiga bulan ngasih surat tanpa nama. Kamu juga, kenapa ndak tanya langsung?"
"Buat apa? Wong aku ndak penasaran." Wening menjulurkan lidah.
"Mungkin kemaluannya besar," gumam Rini, yang langsung mendapat keplakan bertubi-tubi dari ketiga gadis lainnya.
"Mas-mas itu... kalau ndak salah dokter bedah saraf baru di RSU."
Wening dan kedua sahabatnya menoleh Ngatiyem. Informasi itu terbilang baru baginya, sebab Mas Bagus belum pernah menceritakan diri sendiri dalam surat-suratnya.
"Sudah konsulen?" Shinta membulatkan mata. "Oalah, tak kira masih koas atau sak mentok-mentoknya residen. Kok kayaknya masih muda banget?"
"Iyo, ih... mana bedah saraf, lagi. PPDS-nya paling lama. Berarti sekarang umur piro, yo? Tiga puluh? Tiga lima?" Rini ikut menduga-duga.
Meski akhirnya penasaran juga, Wening masih enggan berkomentar. Kepalanya dihinggapi kebingungan, sebab demi apapun, Mas Bagus yang berwajah dingin itu terlihat seperti kisaran 25 tahun. Selera berpakaiannya pun sederhana. Hari ini Mas Bagus berkacamata, dengan atasan sweater hitam pekat berkerah tinggi dan celana bahan sewarna marmer. Tidak aneh-aneh, tetapi siapapun yang melihatnya akan kesulitan melepaskan mata dari aura aristokrat yang menjerat itu.
Jika Mas Bagus benar-benar berusia kepala tiga, artinya lelaki itu sepuluh tahun di atas Wening. Bahkan kemungkinan besar lebih.
"Tapi kamu ngerti dari mana, Yem?" selidik Shinta.
"Namanya tahu ndak?" tambah Rini.
"Kemarin aku ikut nemeni Kakung kontrol. Kakungku kontrol ke Prof. Hadi, tapi di ruang kaca sebelah ada dokter baru. Aku ingat dia itu mas-mas yang sering ke sini nyariin Wening. Dia lagi ngobrol sama pasien lain, terus susternya beberapa kali manggil namanya..." Kening Ngatiyem berkerut samar. "Namanya Dokter Item."
"HAH?!"
Tawa Shinta dan Rini menyembur bersamaan tanpa ditahan-tahan.
"Aduh, aduh wetengku loro [perutku sakit]. Kok bisa namanya Item?!"
"Lha, tapi, Rin, susternya yang manggil..."
"Yem, ojo ngawur! Kamu mesti salah denger! Wong putihe koyo tepung beras mosok jenenge Ireng [Orang putihnya seperti tepung beras masak namanya Hitam]!"
Ngatiyem mendelik tidak terima. "Heh, demi Allah aku denger sendiri susternya manggil begitu! Dokter Item, Dokter Item, gitu! Kalau ndak percaya, sana datang sendiri ke RSU, bikin janji sama dokter bedah saraf!"
"Sudah, Rek, sudah," lerai Wening, yang sebenarnya juga ingin tertawa. "Yem, suwun infone, ya. Aku baru ngerti masnya bedah saraf."
Ngatiyem tersenyum lebar. "Sama-sama Ning. Besok tak kabarin kalau ada info baru lagi."
Prof. Hadi yang kemarin menghadiri acara Yasmin bersama Mas Bagus adalah dokter bedah saraf, itu kata Bapak. Jadi, kalau Ngatiyem bilang Mas Bagus juga menggeluti bidang profesi yang sama, kemungkinan besar itu benar.
Tapi, persoalan nama... entahlah. Nama 'Raden Bagus' saja menurut Wening sudah cukup aneh untuk lelaki yang sama sekali tidak memiliki ciri pribumi. Apalagi 'Item'.
Dokter Item? Sejauh ini, ini yang paling jauh.
💌
Dibandingkan teman-temannya yang membawa kendaraan bermotor, untuk persoalan mobilitas, Wening lebih memilih mengayuh sepeda. Bukan karena dia tidak bisa mengendarai motor. Alasannya, tentu saja karena dia merasa perlu rutin berolahraga. Kedua, jarak rumah dan kampusnya tidak sampai dua kilometer. Terakhir, dia bisa menghemat uang saku karena tidak perlu mengeluarkan biaya bensin.
Namun, saat sepedanya sedang diservis seperti ini, mau tidak mau Wening harus mencari alternatif. Tadi pagi ketika berangkat, dengan mudah dia menemukan angkot, tetapi sore ini, meski sudah menunggu hampir satu jam di depan gerbang universitas, belum satupun angkot jurusan yang sama muncul.
Wening mendesah pasrah dan mulai melangkah menyusuri bahu jalan, bermaksud mendatangi pangkalan ojek di perempatan. Itu satu-satunya pilihan yang dia punya. Jika tidak ada ojek, artinya dia harus jalan kaki. Yah, seandainya dia berjalan sejak awal, sekarang pasti sudah sampai rumah.
Tin!
Baru beberapa langkah, Wening terlonjak karena suara halus klakson dari belakang. Sedan aneh yang bentuknya kurang familier bagi Wening. Mobil itu berhenti di sisinya, kemudian kaca penumpang depan turun perlahan.
Si pengemudi sedikit menunduk untuk menampakkan diri. Dia, Mas Bagus, mengatakan sesuatu dalam bahasa Inggris dengan aksen sulit dimengerti. Wening mengernyit.
"Need a ride?" ulangnya, lebih pelan, tetap tanpa tersenyum. "Tujuan saya searah dengan rumahmu. Mau saya antar?"
Mas Bagus bukan orang pertama yang menawari Wening tumpangan. Sebelumnya, Wening menolak tawaran beberapa temannya karena rumah mereka tidak searah atau lebih dekat dari rumahnya. Seandainya Mas Bagus adalah salah satu temannya, Wening tidak akan menolak.
"Terima kasih, Mas, saya mau naik ojek saja." Meskipun Mas Bagus menunjukkan ketertarikan melalui surat-suratnya, tetap saja dia itu orang asing yang perlu diwaspadai.
Wening berjalan lagi, tetapi kali ini sedan model aneh itu menyejajari langkahnya di sampingnya.
"Panjenengan ini ngapain, toh?" keluh Wening, masih berusaha sabar.
"Mengikuti kamu."
"Ndak perlu."
"Saya perlu memastikan kamu dapat ojek."
"Pasti dapat."
"Sebentar lagi malam, bukannya kamu harus salat... what is it... magrib?"
"Saya lagi libur salat."
"Kenapa begitu?"
Wening terdiam. Lama. Apa dia bukan muslim?
"Salat saja sendiri, Mas."
"Saya tidak salat."
Jadi, dia memang bukan muslim.
"Sepedamu di mana?"
Wening terdiam, lagi. Dia tahu aku selalu naik sepeda. Tentu saja.
"Kalau Dik Wening khawatir, duduk saja di belakang saya. Kalau saya berbuat macam-macam, pukul kepala saya atau cekik leher saya dengan safety belt."
Wening menoleh dan mendelik. "Mas berniat macam-macam sama saya?"
"Sama sekali tidak. Tapi mungkin kamu menolak karena saya orang asing, dan ini wajar. Tapi saya juga tidak bisa membiarkan kamu sendiri dan kebingungan di sini, jadi akan saya tunggu sampai ada solusi."
Sejujurnya, bukan itu yang Wening khawatirkan. Dia cukup percaya rekan-kerja-dari-kawan-lama-Bapak ini bukan orang jahat. Tetapi, lelaki ini jelas berbahaya karena mampu membuat Wening gelisah tanpa sebab yang pasti.
Wening tidak ingin berakhir di mobil itu dan menanyakan hal-hal mengerikan seperti, 'Mas ini siapa? Kenapa bisa tahu saya? Apa maksudnya surat-surat itu? Apa Mas suka sama saya? Tapi kenapa ndak bilang langsung? Kenapa ucapan Mas malah bikin saya kesal? Apa Mas ini sebenarnya pemalu? Tapi Mas juga berani menawarkan tumpangan, artinya Mas juga bukan pemalu? Jangan bikin saya bingung!'
"Kelihatannya tidak ada ojek," gumam lelaki itu, membubarkan lamunan Wening ketika mesin sedan itu berhenti. Mereka sudah sampai di pangkalan ojek yang ternyata kosong.
"Ndak masalah, saya bisa jalan kaki."
Lelaki itu keluar dari mobil dan melepas kacamata, menumpukan satu lengannya di atas atap. "Sebentar lagi malam, Wening..."
"Kenapa kalau malam? Saya biasa pulang malam."
"Rumahmu cukup jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki. Come with me, ikut saya saja. Saya tidak meminta bayaran apapun. Kenapa kamu harus keras kepala? Kamu sering menolong orang lain bahkan tanpa diminta, tapi kenapa sulit sekali menerima bantuan dari orang lain?"
"Saya..." Wening memutar otak. "Saya harus mampir belanja dulu ke toko..."
"Saya antar."
"Saya juga mau fotokopi ke..."
"Saya antar."
"Tapi materi yang difotokopi ada banyak..."
"Saya tunggu."
"Saya mau beli nasi goreng..."
"Saya antar."
"Tapi biasanya antre panjang..."
"Saya tunggu. Ke mana lagi? Jalan-jalan di alun-alun kota? Ziarah ke Taman Makam Pahlawan? Menikah di KUA? Bulan madu ke ujung dunia? Saya antar. Bukankah saya sopir yang totalitas?"
Wening mengatup mulut. Sial. Tulisan Mas Bagus selalu menyejukkan hati, tapi mengapa lidahnya setajam belati.
"Pak! Becak!"
Seruan Wening membuat Mas Bagus berbalik di mana sebuah becak baru saja melewati sisi mobilnya. Wening berlalu sambil sekali lagi berseru untuk menghentikan becak tersebut di depan sedan hitam metalik dengan emblem lingkaran terbagi empat berwarna biru-putih itu.
"Pak, saya mau ke--"
"Aduh ngapunten, Mbak, saya sudah selesai narik, ini mau pulang. Ngapunten, nggih!" Bapak itu memotong dengan sopan.
"Oh." Wening gelisah menelan ludah. Gadis itu melirik si pemilik mobil aneh yang kini bersedekap, menatapnya dengan seringai penuh kemenangan. "Oh... nggih, ndak pa-pa, maaf saya..."
"Mbaknya mau ke mana, tho?" Sang bapak yang berkalung handuk turut melirik Mas Bagus.
"De-Desa Sumbersari, Pak."
"Dekat rumah saya. Ya sudah ayo naik, Mbak."
Wening melompat naik ke becak sebelum sang bapak berubah pikiran. Tanpa mau repot-repot menoleh, Wening meminta untuk langsung berangkat. Debaran dadanya berangsur normal setelah becak yang membawanya semakin jauh dari mobil.
"Pak," seru Wening, kali ini menoleh, "matur nuwun sanget, nggih, Pak. Saya ndak tahu lagi harus pulang naik apa."
"Mboten menopo, Mbak. Soalnya saya takut."
Wening mengernyit. "Takut kenapa, Pak?"
"Takut mbaknya diculik sama mas-mas tadi. Padahal ngganteng, tapi raine medeni koyo penjahat [tapi mukanya seram kayak penjahat]!"
💌
Di halaman rumahnya, Wening menemukan sebuah Honda Civic abu-abu terparkir rapi. Lagi-lagi mobil sedan. Ruang depan tampak menyala terang, sepertinya sedang ada tamu.
"Waalaikumsalam. Ning, sini! Kok baru pulang?" Bapak beranjak dari sofa setelah Wening masuk dan mengucapkan salam. Gadis itu mencium tangan kedua orang tuanya, dilanjutkan kedua tamu lain yang merupakan pasangan suami-istri dari desa sebelah. Wening digiring agar duduk bersama Ibu di sofa.
"Tadi sulit nemu angkot, Pak. Mungkin karena mau magrib," jelas Wening.
"Wening sedang sibuk-sibuknya kuliah, ya, Nduk," gumam Abah Rusno. Beliau adalah pemilik taman pendidikan al-qur'an yang memiliki cabang tersebar di seluruh Malang yang juga kenalan baik Bapak.
"Ya mesti sibuk, Pak, namanya calon bu dokter," timpal Umi Narmi, istri beliau. "Wening semester berapa, Nduk?"
"Inggih lumayan, Abah, Umi. Sekarang Wening semester empat," jawabnya sopan. "Abah dan Umi apa kabarnya? Bulan lalu Wening dengar Abah masuk rumah sakit, sekarang bagaimana kondisinya?"
Sepasang suami-istri tersebut bertukar senyum kecil.
Tiga puluh menit berikutnya diisi dengan bertukar, meskipun boleh dibilang Abah dan Umi-lah yang lebih aktif bertanya. Bukan hanya basa-basi menanyakan kuliah, bahkan masa kecil, perkembangan, dan keseharian Wening tidak luput dari pengamatan keduanya. Ya, pengamatan, sebab entah mengapa Wening merasa dijadikan objek penelitian di sini. Namun, demi kesopanan, Wening tetap menjawab sebagaimana adanya.
"Oh, iya, hari Minggu ini Wening ada kesibukan apa, Nduk?" tanya Umi lagi.
Mendengarkan radio, main ke kios buku, mengisi TTS, atau bahkan tidur seharian sebab itu semua hanya bisa Wening lakukan saat libur.
"Biasanya Wening santai-santai saja, Umi." Itu jawabnya.
Abah Rusno tertawa pelan. "Benar juga, ya, pasti ingin istirahat."
"Kalau main-main keluar bagaimana, Nduk? Ini lho, anak Umi yang bungsu, mumpung lagi libur di Malang katanya ingin jalan-jalan. Soalnya minggu depan harus mbalik ngurus ponpes di Jombang. Biasanya sesama anak muda lebih ngerti tempat-tempat yang menarik, begitu, tho, Pak?" Umi Narmi mengangguk kepada suaminya. "Barangkali Wening bisa nemenin anak Umi hari Minggu ini."
Wening mencoba mengingat, kalau tidak salah putra bungsu pasangan terpandang ini adalah...
"Bapak sudah hubungi Yasmin sama Yusuf, mereka bisa ikut hari Minggu ini," terang Bapak, sekaligus penegasan bahwa mereka akan pergi berempat jika Wening setuju.
Dan, Wening tidak yakin dia berada di posisi yang bisa menolak saat ini.
Yah, sekadar jalan-jalan berempat satu hari saja, kan? Tidak mungkin lebih, kan?
💌
Malang, 5 Juli 2023.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro