Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04

Terima kasih dan selamat membaca 💕

💌

SESUAI USULAN Uti, Wening melangsungkan ritual terakhir dari rangkaian hajatan hari ini.

Yasmin yang sengaja tidak diberi tahu apapun mengenai ritual ini hanya mampu melongo di pelaminan. Wening sudah bersiap pada posisinya, di atas panggung kecil di samping pelaminan. Ada Ibu yang mendampinginya. Lalu, Bapak datang membawakan janur kuning yang masih segar. Wening menerimanya dengan hormat, kemudian setelah menerima perintah, Wening mulai menggigit janur itu tiga kali.

Selanjutnya adalah tugas Ibu untuk mencambuk Wening menggunakan janur yang sama, juga sebanyak tiga kali.

Ritual ditutup dengan pembacaan doa dalam langgam krama inggil khidmat yang dibawakan seorang ustaz sesepuh. Semua orang menundukkan kepala dalam hening. Rangkaian doa itu dialamatkan untuk keharmonisan rumah tangga Yasmin, dan terutama, agar Wening dijauhkan dari kesulitan menemukan jodohnya kelak.

Dengan berakhirnya ritual ini, tuntas sudah tugas Wening untuk meyakinkan keluarga besarnya bahwa dia bisa menerima dilangkahi Yasmin. Tidak sulit sama sekali. Masalah lain yang menghadang Wening ketika dia kembali ke kamar adalah seserahan. Harus diapakan semua barang berkualitas tinggi yang tidak diinginkannya ini?

Ketukan dari luar kamar membuat Wening beranjak dan membuka pintu. Ibu segera masuk dan menutupnya kembali.

"Ning, kamu ndak apa-apa?" Suara Ibu terdengar serak. Mata Ibu berkaca-kaca. Ibu meraba lengan, punggung, dan beberapa bagian tubuh Wening lainnya. "Ada yang sakit? Ada yang luka? Nduk ... sepurane. Maafkan Ibumu ini, maafkan Ibu yang ndak bisa membela kamu. Maafkan Ibu kamu jadi harus dibeginikan ...."

"Ibu ... Ibu sudah, Ibu ndak salah apa-apa, Bu."

Wening menarik Ibu ke dalam pelukannya, dan di sanalah tangis Ibu akhirnya pecah. Air mata dan sedu sedan Ibu membuat Wening merasakan sesak di dadanya. Namun, sebaiknya dia tidak menunjukkan itu karena Ibu akan lebih cemas. Hanya usapan pelan yang bisa Wening berikan demi menenangkan punggung tua yang gemetar itu.

Dua puluh tahun sudah Wening hidup bersama keluarga ini, dan selama itu pula Wening paham mengenai kedudukan Ibu, terutama di keluarga besar Bapak. Ibu cuma seorang anak menantu yang pendapatnya hanya didengar kadang-kadang, bahkan dalam perkara rumah tangganya sendiri, masukan saudara iparnya lebih dipertimbangkan. Terbiasa diperlakukan begitu, Ibu hanya bersuara pada percakapan ringan dan cenderung pasif pada diskusi yang lebih dalam.

Sejak itu, Wening menambahkan satu lagi kriteria calon suaminya kelak--di samping harus mendukung Wening dan mimpi-mimpinya: keluarga besar mertua yang tidak ikut campur dalam rumah tangganya.

Dengan rumitnya kriteria ini, pantaslah para sesepuh mencemaskan Wening yang dilangkahi adiknya. Sebab Wening sendiri tidak yakin apakah akan ada pria seperti itu untuknya.

Wening menggamit tangan Ibu, mengajak beliau duduk di dipannya. Ketika Ibu berusaha menyeka air matanya, sebagian riasannya ikut luntur. Wening tersenyum tipis. Selama ini, semarah-marahnya Ibu kepada Wening dan Yasmin, beliau sama sekali tidak pernah melakukan kekerasan fisik. Sekadar mencubit pun tidak.

Karenanya, mencambuk Wening, meskipun pelan dan bahkan tidak terasa sama sekali di tubuh Wening, adalah siksaan bagi batin Ibu. Wening yang dicambuk, Ibu yang terluka.

"Bu ... mboten menopo. Wening baik-baik saja, Bu. Ndak ada yang sakit apalagi luka." Entah sudah berapa kali Wening membisikkannya. Ibu masih tergugu dalam tunduknya, berusaha mengendalikan tangis.

"Kamu ndak akan kesulitan masalah jodoh. Ibu percaya itu."

"Dan Wening percaya sama Ibu." Sekali lagi, Wening menggamit kedua tangan Ibu. "Lebih baik sekarang Ibu bantuin Wening. Purun, tah, Bu?"

"Boleh. Bantu apa, Nduk?" Mata sayu Ibu mencoba tersenyum.

"Bantu Wening menyingkirkan seserahan-seserahan ini." Dengan gerakan matanya, Wening menunjuk benda-benda itu. "Kamar Wening jadi penuh."

Ibu mengangguk pelan. "Iya, Ibu bisa bantu. Ndak usah dipusingkan, ini semua bisa dijual lagi. Kamu yakin, tah, cuma mau ngambil mukena sama jajan?"

"Inggih, Bu, Wening bener-bener ndak butuh sisanya. Ah, sama yang ini."

Satu set kebaya putih gading yang terbingkai rapi dalam kotak tebal segera Wening amankan di pangkuannya.

"Mau dipakai pas wisuda, Nduk?"

"Mboten, Bu. Buat Arum, anaknya Bude Lastri. Kemarin siang Bude Lastri bilang lagi nabung buat beli kebaya putih, katanya Arum kepingin akad pakai kebaya putih. Ibu saja yang kasihkan ini ke Bude, nggih? Tapi Ibu ojo bilang-bilang ini dari seserahan Wening, oke, Bu?"

Ibu menggeleng heran dan akhirnya tertawa. "Oalah, Cah Ayu ... kebaya bisa dijual mahal kok malah dikasihkan gratis ke tetangga."

💌

Usai melipat mukena dan sajadahnya, Wening menempelkan kening dan kedua pipinya masing-masing dengan selembar kapas yang sudah dituangi air mawar.

Gadis itu mendekati jendela, mengintip keluar dari balik tirai, melihat bapak-bapak rewang baru selesai membongkar pelaminan dan melepas tarub. Sejumlah janur yang tadinya berdiri kini tergeletak di bawah. Meja prasmanan, meja tamu, dan kursi-kursi sudah diangkut di atas bak pick-up. Begitu pula dengan sound system yang sudah berhenti mengalunkan keroncong.

Dari arah pawon, ibu-ibu rewang juga mulai keluar satu-persatu. Masing-masing membawa keresek hitam besar berisi bingkisan sebagai tanda terima kasih. Wening menemukan Bude Lastri keluar paling akhir, bersama Ibu yang sepertinya sudah menyerahkan kebaya putih itu. Entah apa yang Ibu katakan, tetapi Bude Lastri terlihat memeluk kotak kebaya itu sambil membungkuk berkali-kali di hadapan Ibu. Ibu segera mencegah lantas memeluk beliau.

Ketukan tiga kali dari luar kamar membuat Wening menutup tirai kembali. Begitu dia membuka pintu, Yasmin menerobos masuk dan segera menutup pintu. Yasmin sudah menanggalkan kain dodot, jamang, dan riasan Malang keprabon yang siang tadi membuatnya tampak seanggun Ken Dedes.

Wening menyipitkan kedua mata. "Kelopak mata bawahmu masih item-item. Sini tak bersihkan--"

"Mbak, samean ini kenapa, tho?!" Yasmin menampik tangan Wening, dan Wening baru menyadari ada kemarahan yang tergambar jelas di wajah adiknya.

"Aku kenapa?"

"Kenapa ndak ngomong sama aku kalau samean disuruh gigit janur?! Kenapa samean mau disuruh gigit janur?! Kenapa mau-maunya dipecut sama Ibu?! Mbak, samean ki gendeng tah piye [kamu ini gila atau gimana]?!"

Wening tersenyum, melepas kapas-kapas dari wajahnya. "Aku ndak mau kamu harus sungkem di kakiku ...."

"LEBIH BAIK AKU YANG SUNGKEM DARIPADA SAMEAN YANG DIPECUTI! PAHAM GAK, SIH?!"

Gerakan tangan Wening terhenti, begitu pula senyum dan napasnya.

Yasmin terisak hebat. Wajahnya menelungkup pada kedua tangan, bahunya terguncang naik-turun. Dada Wening seakan menyempit dihimpit luapan emosi adik satu-satunya.

"Yas, aku bukan--"

"Samean pikir kenapa aku ndak mau sungkem?! Karena aku ndak menghormati samean, begitu?! Itu salah! Karena mereka mau tontonan gratis! Mereka cuman mau bikin kita kelihatan goblok, Mbak! Aku ndak mau mbakyu-ku dipermalukan, kenapa samean malah mempermalukan diri sendiri?! Kenapa?!"

Wening memeluk adiknya, membiarkan air mata perlahan menuruni pipinya.

"Ini ... ini ndak adil buat samean ...." Yasmin tergugu di bahu kakaknya. "Mereka cuman mau melihat samean dengan kasihan, Mbak .... Mereka itu ... sekali dikasih kelonggaran, mereka akan mikir mereka bisa seenaknya menggunjing, menertawakan, dan merendahkan kita, Mbak ... karena kita yang muda di sini ... karena mereka yang tua merasa lebih tinggi segala-galanya dari kita ... mereka pikir mereka berhak ikut campur sama kita ... keluarga kita selalu begitu, Mbak ...."

Mengabaikan nyeri hatinya, Wening mengangguk dan berbisik pelan, "Iya, Yas. Iya."

"Jangan terlalu manut sama mereka!"

"Iya ...."

"Jadi orang jangan terlalu baik! Pikirin diri samean sendiri, Mbak. Ndak usah mikirin aku apalagi kepentingan mereka!"

"Iya ...."

"Aku ini sayang sama samean, Mbak."

Wening tertawa lirih, lalu mempererat dekapannya. "Iya, Yasmin, Mbak paham."

Jika ada yang mengatakan Yasmin itu adik yang egois, Wening akan jadi orang pertama yang menentangnya. Benar bahwa Yasmin cukup keras kepala memperjuangkan keinginannya, tetapi seringnya, Yasmin jadi seperti itu jika menyangkut orang lain. Terutama orang-orang terdekatnya, keluarga intinya, termasuk Wening.

Dia bukan adik yang penurut, susah diatur, tidak seperti kakaknya, dan karena itulah Wening menyayanginya.

"Yas, dengerin Mbak sebentar." Setelah tangis Yasmin mulai reda, Wening mengendurkan pelukan mereka. Ibu jarinya terulur mengusap bawah mata Yasmin. "Iya, Mbak ngaku salah. Kemarin Mbak ndak mau diskusi dulu sama kamu. Sepurane, ya, Yas? Besok-besok, kalau ada kayak gini lagi, Mbak janji akan diskusi dulu sama kamu."

Pandangan kedua mata merah Yasmin turun perlahan. Dia mengangguk kecil.

"Mbak sudah ngerti, kok, Mbak pasti akan digunjing. Mbak ndak bisa melarang keluarga kita mau mikir seperti apa. Terserah saja. Lagian, digunjing seperti ini ndak akan selamanya, Yas. Setiap hari pasti ada hal baru yang bisa jadi gunjingan. Percaya sama Mbak. Tapi masalah restu keluarga itu beda, Yas. Kalau sejak awal kamu ndak dapat restu, selamanya akan diingat seperti itu. Kalau keluarga ndak ridho sama pernikahanmu, urusanmu ke depannya, termasuk rumah tanggamu, bisa jauh lebih sulit daripada sekadar Mbak jadi bahan gunjingan, Yas. Ngerti, ya?"

Yasmin mencebik seperti bayi. "Aku bilang apa tadi? Ndak usah mikirin aku!"

"Ndak bisa, dong. Wong kamu sendiri mikirin Mbak."

Yasmin makin memberengut, tapi tidak bisa membantah, jadi Wening tertawa.

"Yas, sungguhan ini. Mbak sudah pusing mikirin kuliah. Pusing tiap hari ada pretest dan postest. Pusing setiap mbaca jurnal bahasa Inggris harus selalu buka kamus. Pusing mikirin praktikan di lab yang pada cuek padahal Mbak sudah ngajar sampai mulut berbusa. Kamu tenang saja, Mbak sudah ndak sempat mikirin gunjingan keluarga."

"Iya, iya, samean ndak senganggur para bude dan bulik kita yang sempet ngerasani uwong [membicarakan orang] sana-sini."

"Nah, kamu ngerti sekarang?"

"Iyaaa!" Akhirnya Yasmin tertawa, menghapus sisa air matanya, lalu menggamit kedua tangan Wening dan menggoyang-goyangkannya dengan manja. "Tapi samean kok sempat kepikiran Mas Bagus, ya?"

Wening mendorong muka Yasmin keras-keras dan justru membuat Yasmin makin terpingkal-pingkal.

💌

Targetku buat cerita ini adalah selesai sebelum persalinan. Semoga 🥲

200 votes dalam 24 jam untuk double update besok. Kebetulan udah ada stok hihihi.

Malang, 30 Juni 2023.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro