|●EPILOG●|

Hujan masih merintik. Kudengarkan setiap desau angin malam yang ikut mensyahdukan suasana. Suara petir yang terkadang terdengar samar masih setia di luar sana.

Ponselku ikut mengeluarkan bunyi kemudian.

Kuambil napas pendek, bangkit dari kasur. Ponsel putih itu menyala-nyala di tengah kondisi kamar yang terang. Kusambar segera dari atas meja begitu kulihat siapa yang menelepon malam-malam begini.

"Halo, Kak?"

"Halo Dek. Gimana kabarnya? Sehat?"

Aku tersenyum kecil, menerawang ke langit-langit. "Sehat. Kak Kiki gimana kabarnya?"

"Sehat Alhamdulillah. Kamu besok nggak ada kuliah, kan? Kita berdua mau ke sana. Kak Enggar udah kangen katanya."

Lalu setelahnya, suara perempuan lembut yang tadi menghadiri telingaku berganti.

"Gimana kabar adek Kakak yang manis ini? Baik-baik aja, 'kan?"

"Idih. Kalo nggak baik-baik, aku udah telepon duluan kali, bilang aku lagi nggak sehat. Gimana, deh," balasku ringan. Kudengar lagi rintik hujan yang melebat, disusul tamparan angin yang lagi-lagi menhentak jendela.

"Di sana ujan, ya, Fe? Di sini malah panas banget. Eh iya, besok masakin sesuatu ya. Abis itu, kita ke makam Devon bareng-bareng, bertiga. Oke?"

Kupikirkan sejenak, kemudian mengangguk. "DEAL."

"Siip. Kiki, aku yang tutup teleponnya, ya. Dah, Fean."

"Dah, Kak."

Sambungan terputus. Kupandangi layar lekat, lalu menguncinya. Beberapa saat berselang, kuambil secarik kertas dan pulpen, menulis E-S-A di atasnya, lalu mencoretnya perlahan.

Senyumku terbit. Kulangkahkan lagi kaki menuju tempat tidur, berbaring di sana dengan nyaman.

"Selamat datang, Hati yang Baru."

****

Akhirnyaaaa selese jugaaa AAAA kubahagia. Maap yaa kalo ini nggak sesuai ekspektasi or something like that. Aku sebenernya udah buat banyak versi epilog ini, mulai dari di toko buku, perpus, dan lain lain dan lain lain.

Hope you like it!