Tuhan itu ada
Setiap manusia di bumi ini percaya Tuhan itu ada, tapi aku. Aku sudah berhenti mempercayai Tuhan sejak aku mengetahui orang tuaku pergi menghilang entah kemana. Bukan meninggal, mereka masih hidup tapi entah berada dimana. Mereka meninggalkanku di panti milik Bunda Rossi, tidak pernah ada kabar, tidak pernah ada hadiah saat ulang tahunku, pokoknya tidak pernah ada.
Tapi untuk saat ini aku mencoba untuk mempercayai Tuhan lagi, bukan untuk mengejar kebahagian yang ada di dunia fana ini. Tapi untuk kesembuhan wanita yang selalu sabar menghadapi semua kenakalanku. Bunda Rossi.
Aku menyusuri lorong rumah sakit menuju kapel, aku rasa pihak rumah sakit sengaja menyediakan tempat ini. Bukankah keluarga butuh tempat untuk berdoa, mengharapkan keajaiban.
Aku duduk di salah satu kursi paling belakang dari kapel ini, sudah lama aku tidak pernah menginjakan kakiku kembali ke tempat yang berhubungan dengan Tuhan. Sejak hatiku pait, karena mengetahui Tuhan mengijinkan aku menjadi yatim piatu begitu saja.
"Kamu itu! Kamu itu perempuan Debby! Apa-apaan ini pulang subuh! Keadaan mabuk! Kamu itu baru berumur dua puluh tahun, mau jadi apa kamu?" aku tertegun menerima omelan Bunda, kepalaku masih terasa pusing untuk menanggapi retentetan kalimat itu. "Dan kamu! Astaga Reno, seharusnya kamu itu menjaga Debby! Bukan menjerumuskannya."
"Anu Bunda, Debby yang maksa untuk ikut," cih! Reno selalu takut dengan Bunda.
Dengan kasar Bunda meraih lenganku, mengalungkan tangaku ke atas pundaknya.
"Pulang kamu! Biar Debby, Bunda yang urus," tanpa banyak kata Reno mengambil langkah seribu meninggalku dengan kemurkaan Bunda.
Bunda membawa tubuhku dengan susah payah, beberapa kali mengeluarkan celetukan tentang betapa baunya napasku saat ini.
"Bunda tahu jiwa kamu marah dengan keadaan tapi mau sampai kapan kamu menghancurkan diri kamu sendiri? Sering mabuk, tidak mau kuliah, pergaulanmu yang mengerikan," Bunda mulai ceramahnya saat berhasil melemparkan tubuhku di atas kasur. "Bunda gak tahu seberapa jauh kamu melangkah, tapi kamu harus ingat, Deb. Tuhan itu tidak pernah tidur, Dia melihat setiap kali kamu melakukan Dosa."
Entah datang darimana kekuatanku yang nyaris hilang tadi, aku duduk di atas tempat tidur, menatap mata Bunda dengan garang, melupakan kepalaku yang berdentum karena terlalu banyak minum.
"Tuhan itu gak ada, Bund! Kalau Tuhan itu ada, Dia akan jawab Doa, Debby! Dia akan mengirim dua orang manusia itu datang untuk mengambil Debby kembali. Tapi lihat! Umur Debby udah masuk dua puluh tahun, tapi mereka tidak pernah datang."
"Debby...."
"Kalau Tuhan itu ada, setidaknya Dia akan mengirim sepasang manusia baik hati untuk mengadopsiku. Tapi nyatanya, aku masih terkurung di tempat ini. Bersama Bunda," aku kembali merebahkan diriku, menutup mataku dengan lengan kiriku, merasakan setiap rasa kecewa yang menghimpit dadaku.
Tangan Bunda mulai membelai rambutku, mendaratkan sebuah kecupan di keningku.
"Kalau Tuhan gak ada, kamu tidak akan pernah datang ke panti ini. Mungkin kamu tidak akan pernah menginjak umur dua puluh tahun, semua yang terjadi sudah dirancang Tuhan dengan indah. Percayalah, Deb. Semua hari dalam hidupmu adalah pembuktian Tuhan bekerja dalam hidupmu," Bunda beralih mendaratkan sebuah ciuman di pipi kiriku, tidak peduli akan mengenai air mata yang lebih dulu menghiasi wajahku. "Debby itu anak Bunda. Berubah jadi lebih baik, karena Bunda ingin melihat Debby menjadi anak yang hebat dan sukses. Jika Debby berhasil itu akan menjadi kebanggaan Bunda."
Aku mulai menangis mengingat pembicaraan terakhirku dengan Bunda, sebelum Bunda tertabrak mobil dan berakhir koma seperti ini.
Aku memandang tanda salib besar yang berada tepat di depanku.
"Jangan ambil Bunda," aku bangun dari kursi, membawa kakiku menuju ke depan altar tempat salib besar itu terpasang.
Untuk pertama kalinya setelah lima tahun, aku kembali mengijinkan kakiku bersimpuh, melipat kedua tangaku.
"Aku mohon, jangan ambil Bunda," aku memberanikan mataku memandang salib besar di sana. "Tolong kasih aku kesempatan untuk membuat Bunda bangga, aku janji akan berubah, aku janji tidak akan membuat Bunda kesusahaan lagi."
Suara dan tangiku mulai mengisi kapel ini.
"Ampuni aku karena pernah marah dengan Tuhan, ampuni aku. Aku mengakui semua kesalahanku. Aku mohon, jangan hukum Bunda karena dosa-ku," aku tidak bisa membanyangkan bagaimana kehidupanku jika Bunda pergi. Mungkin aku akan memilih ikut dengan Bunda.
"Tolong kasih aku satu kesempatan lagi, hanya satu. Aku janji akan membahagiakan Bunda."
Pintu kapel yang tertutup terbuka dengan kasar.
Andre salah satu anak panti sepertiku berdiri di ujung sana.
"Kak Debby, Bunda sadar," teriaknya penuh semangat. Aku mematung mendengar pemberitahuan Andre, mencoba menerima jika ini bukan hanya mimpi. "Ish! Kok bengong, ayo! Bunda bangun, Kak."
Aku mulai merasa bingung harus tertawa atau menangis, baru saja aku merasa hilang harapan untuk kesembuhan Bunda. Dan sekarang Bunda sadar.
Aku kembali mengalihkan pandanganku pada salib besar.
"Terima kasih Tuhan, akan aku tepati semua yang kujanjikan."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro