Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hidupku

"Ukh!A..a.ak..h.."

Pria itu langsung jatuh tidak lama setelah kucabut pedangku. Matanya menunjukkan ketakutan dan penyesalan. Ya. Sama seperti yang lain. Genangan darah yang pekat memenuhi lantai tepat di bawah tubuhnya. Setelah kupastikan ia tidak bergerak lagi, aku beranjak pergi. Selagi aku berjalan menyusuri lorong gelap menuju pintu keluar, aku memandang ke arah cermin kaca yang ada di situ.

Noda darah dari pria itu melumuri wajahku. Aku tidak sadar bahwa aku lupa menggunakan jubah atau jaket untuk mencegah darahnya mengenaiku. Kuhela nafas karena kecewa. Bisa-bisa kakak akan memarahiku jika ketahuan aku tidak mengerjakan misi ini dengan 'bersih'. Kuputuskan untuk mencari tempat untuk membersihkan noda itu.

Tempat ini adalah sebuah kolam renang. Tentunya ada ruang untuk membilas tubuh seusai berenang. Penjaga-penjaga di sana sudah kubuat pingsan. Mereka tidak kubunuh. Karena misiku hanya membunuh target saja. Tidak perlu ada korban jiwa lain kecuali saat terdesak. Begitu ajaran kakak. Aku masuk ke salah satu bilik dan membersihkan tubuhku.

Air panas mengguyur tubuhku. Aku diam sejenak menikmati aliran bersuhu tinggi itu untuk menghangatkan tubuhku. Aku tidak berlama-lama karena kakak memintaku untuk segera kembali. Begitulah hidupku selama ini.

Datang. Bunuh. Pergi.

Sesederhana itu saja. Aku lalu mengambil pakaian ganti di salah satu loker. Kaos olahraga dan celana pendek. Ini cukup. Kubereskan pakaian kotorku juga dan keluar dari sana secepatnya. Di luar, hembusan angin malam yang dingin menerpa sekujur tubuhku. Aku langsung memeluk tubuhku karena kedinginan. Pakaian yang kugunakan sangat tidak cocok dengan musim dingin.

Kuabaikan saja dan berjalan pulang. Aku sesekali melirik ke berbagai arah untuk memastikan tidak ada yang melihatku. Kuambil jalan pintas untuk secepatnya tiba di rumah. Rumah bergaya kuno peninggalan leluhur keluargaku. Tidak ada yang tinggal di sini selain aku, kakakku, dan beberapa pelayan kami yang sudah bekerja semenjak orang tuaku pergi. Tidak ada yang tahu mereka ke mana. Kakakku saja yang mengurusku dan membesarkanku. Karena itu, apapun perintah kakakku akan kuturuti.

Aku masuk dengan langkah pelan. Aku tidak ingin membangunkan penghuni rumah lainnya. Saat melewati kamar kakakku, kulihat lampu kamarnya sudah dimatikan. Berarti dia sudah tidur. Tadinya aku ingin melaporkan misi, tapi sebaiknya besok saja. Baru saja aku beranjak lagi, pintu geser di depanku terbuka.

"Akemi? Kapan kamu pulang? Aku baru saja akan menyuruh Souji untuk menjemputmu." seorang pemuda dengan rambut hitam pendek. Matanya sipit, badannya tinggi dan kurus. Ia setengah buta sehingga mata kirinya ditutup perban. Pemuda ini adalah kakakku, Akito.

Aku berlutut di depan kakakku dan mengepalkan tanganku di depanku untuk memberi hormat. "Maaf aku terlambat kakak. Ada sedikit kecelakaan setelah target dibereskan. Lain kali tidak akan kuulangi." laporku sambil menundukkan kepalaku. Memang hanya hal sepele, tapi jika hal ini terjadi lagi sama saja aku mengecewakan kakak karena tidak disiplin. Ia akan membenciku. Tidak. Aku tidak mau.

"Hmm, tapi apakah ada yang melihatmu? Kamu tidak mengambil korban yang lain kan?" tanyaku kakakku dengan suara yang tenang tapi terdengar serius.

"Jangan khawatir kakak. Aku hanya membuat mereka pingsan saja. Mereka baru akan sadar besok pagi. Tentu saja, obat yang kakak buat sangat efektif. Pekerjaanku jadi lebih mudah."

"Bagus. Kau memang bisa diandalkan seperti biasanya, Akemi. Adikku memang hebat. Seperti yang kuharapkan dari penerus klan Marufuji. Tapi yang terpenting bagiku..." Dia meletakkan telapak tangannya di kepalaku dan mengelusnya. Aku tetap memasang wajah datar, tapi kehangatan yang tersalurkan tidak kalah dari air panas yang tadi membasahiku.

"..kau kembali padaku dengan selamat. Kau adalah satu-satunya keluargaku yang masih ada, Akemi. Setiap saat kau pergi menjalani misi, aku tidak pernah berhenti berdoa atas keberhasilan dan keselamatanmu. Apabila terjadi sesuatu padamu, aku..aku..." Kulihat kakak menggigit bibirnya kuat-kuat, tidak ingin menyelesaikan kata-katanya. Kami hanya punya satu sama lain. Tak ada artinya kami hidup jika yang satu sudah tidak ada. Kuangkat tanganku dan kulingkarkan di pinggangnya.

"Kakak tidak perlu khawatir. Akemi akan selalu kembali pada kakak. Akemi akan menuruti semua yang kakak inginkan. Kalau kakak ingin agar Akemi membunuh mereka demi kelangsungan klan, akan kulakukan tanpa ragu. Oleh karena itu, jangan pernah berpikir Akemi akan pergi meninggalkan kakak." Mendengar jawabanku kakak terlihat lebih tenang. Ia membalas pelukanku. Setelah beberapa saat kami melepaskan diri.

"Terima kasih Akemi. Sekarang istirahatlah. Besok kamu sekolah pagi kan?" ucapnya sambil tersenyum. Aku tiba-tiba tersadar kalau sudah sangat larut. Aku pamit setelah mengucapkan selamat malam pada kakak. Setelah masuk kamar, aku menyiapkan futon-ku dan mengganti pakaianku dengan pakaian tidur.

"Sekolah...aku harus ke sana lagi ya?" ucapku dengan nada tidak senang dan kupejamkan mataku. Aku perlu istirahat.

Esoknya di sekolah, tidak ada yang ingin bicara denganku. Ini sudah biasa. Aku tidak begitu mengerti tentang apa yang kebanyakan anak muda zaman sekarang lakukan dan bicarakan. Anak laki-laki selalu bicara mengenai permainan, acara animasi di televisi, atau sesuatu yang berbau tidak senonoh. Anak perempuan membicarakan soal pakaian baru, artis-artis drama, atau memamerkan foto mereka sendiri dengan latar pemandangn yang bagus.

Kelas dipenuhi dengan canda tawa, tapi aku tidak merasakan apa-apa. Kakak bilang aku tidak butuh hal-hal seperti itu. Mereka hanya akan mengganggu jalannya misiku saja, begitu katanya. Biarpun begitu, kakak bersikeras menyekolahkanku. Baginya ini merupakan salah satu pendukung untuk keberhasilan misi dan bagian dari pendidikanku. Karena kakak yang meminta, aku tidak akan menolak.

Aku ikut di ekstrakurikuler kendo, dan setiap sore aku berlatih di dojo. Kemampuan pedangku kudapat dari beberapa pelayan di rumah. Kakek Souji, paman Hayate, dan bibi Nitta yang mengajariku. Kakak dulu juga ikut berlatih; tapi setelah ia kehilangan penglihatan kirinya, ia lebih fokus meracik obat-obatan tradisional.

Klan Marufuji terkenal sebagai klan yang mampu bekerja di berbagai bidang. Kesehatan, militer, pendidikan, pemerintahan. Itulah klan kami saat masih berjaya dulu. Namun sekarang, klan ini sudah dianggap mati. Dan sekarang kakak dan aku tengah memperjuangkan kebangkitan klan kami. Kakak menjadi tabib, sedangkan aku menjadi pembunuh bayaran. Selain aku, yang dulunya bekerja jadi pembunuh bayaran adalah ayah. Saat mengetahui kakak menginginkanku untuk membunuh, kakek Souji tidak setuju dan menawarkan diri untuk mengambil tanggung jawab itu. Kakak tetap ngotot dan mengancam akan menghukum kakek Souji jika ia masih menentang. Atas bujukanku, akhirnya kakek Souji mengalah tapi meminta agar ia mengawasiku. Kakak setuju dan begitulah keadaannya seperti sekarang.

Aku berharap bisa berteman dengan seseorang di sana, tapi akhirya sama saja. Tidak ada yang mau berlatih denganku. Penyebabnya karena kesalahanku waktu latih tanding pertama kali.

-Flashback

"Marufuji? Kenapa kau berlebihan seperti itu? Tidak perlu sekeras itu menyerangnya! Bukankah sudah kubilang ini hanya latihan?" wajah instruktur ekskul saat itu merah padam. Di lantai seorang gadis menjerit kesakitan memegangi bahunya. Anggota yang lain berusaha menenangkan dan mengobatinya. Beberapa melemparkan pandangan tajam ke arah Akemi.

"Maaf, instruktur. Saya terbiasa berlatih dengan kekuatan penuh di rumah. Jika tidak, saya bisa babak belur. " Akemi menundukkan kepala, tapi ekspresinya yang datar dan dingin itu membuat instruktur mengira ia tidak serius minta maaf.

"Bapak tidak peduli aturan di keluargamu atau apapun itu. Yang jelas, kau tidak boleh mencederai temanmu! Mulai sekarang, sebisa mungkin, aturlah tenagamu. Bisa-bisa bapak dituntut karena tidak bertanggung jawab mengajari muridnya."

"Baik pak. Tidak akan saya ulangi." Instruktur itu segera menghampiri gadis yang terluka dan membawanya ke ruang kesehatan.

-Flashback selesai

Semenjak kejadian itu reputasiku di sekolah menjadi buruk. Bahkan rumor beredar kalau aku ini psikopat. Konyol sekali. Setelah berlatih, kulihat matahari mulai terbenam. Kucek ponselku apakah ada pesan dari kakak. Ternyata tidak ada, berarti tidak ada misi malam ini. Yang lain menghampiri satu sama lain sambil mengajak pulang bersama atau semacamnya, tapi aku tidak. Dengan tak acuh, aku pergi. Baru saja berjalan sebentar, perutku berbunyi.

"...Aduh. Aku baru ingat aku belum makan. Bagaimana ini?" aku tidak membeli makan siang tadi karena kantin penuh dan aku kehabisan uang. Aku hanya pasrah saja dan segera pulang, berharap di rumah masih ada makanan. Tapi latihan yang menguras tenaga membuatku tidak kuat. Merasa hampir pingsan, aku duduk sejenak di bangku panjang.

"Ugh. Sebaiknya aku memanggil kakek Souji untuk menjemputku. Badanku lemas sekali." Kerongkonganku kering, dan perutku merintih minta diisi. Aku hanya bisa diam saja di situ setelah mengirim pesan. Kuputuskanku untuk menyimpan energiku. Tiba-tiba sepasang langkah kaki terdengar mendekatiku.

"(Kakek Souji? Tapi apa mungkin secepat ini?)" pikirku menerka siapa yang berjalan. Langkah kaki itu berhenti di depanku. Orang itu membungkukkan badannya hingga mata kami saling bertatapan.

"Hei, kamu baik-baik saja? Eh? Wajahmu pucat sekali!" orang itu siswa sekolah yang sama denganku. Anak laki-laki dengan rambut berombak dan wajah yang cerah. Dari pakaian dan sepatunya, sepertinya ia baru saja selesai bermain sepak bola.

"Ah..a..aku..lapar sekali.." Kuputuskan untuk menjawab jujur saja. Percuma saja berpura-pura kuat, dia pasti bisa langsung menebaknya hanya dengan melihat wajahku.

"Kalau begitu, ini buatmu." Dia menawarkan roti coklat besar yang masih terbungkus. Aku menggenggam bungkus roti itu dengan tangan gemetar. Kemudian kudorong kembali kepadanya.

"Maaf aku tidak bisa menerima pemberian orang asing."

"Hei! Aku ini teman satu sekolahmu! Masa dianggap orang asing! Sudah ambilah, kau pasti sudah tidak kuat." Dengan memaksa ia memberikan roti itu. Aku tidak bisa menolaknya. Kuputuskan untuk memakan roti itu. Sedikit demi sedikit aku merasa lebih baik.

"Enak? Sudah lebih baik?" ia bertanya dengan wajah harap-harap cemas. Aku mengangguk dan sepertinya ia lega mengetahuinya.

"Syukurlah. Ah, ini minuman jika perlu. Jangan khawatir, ini hanya air mineral yang kubeli di kantin dan belum kubuka. Jadi, jangan berpikiran aneh-aneh ya." Ia memberikan botol minum yang masih penuh. Berpikiran aneh-aneh? Apa maksudnya?

"Terima..kasih." Setelah selesai makan dan minum, tubuhku lebih tenang sekarang. Penglihatanku yang tadinya berkunang-kunang perlahan pulih. Air segar melepaskan dahagaku. Dia menyelamatkanku.

"Terima kasih. Kau sudah berbaik hati membagikan makanan dan minumanmu. Nanti akan aku ganti." Kutundukkan kepala untuk berterima kasih.

"Tidak usah! Aku hanya ingin menolongmu saja kok!"

"Balas budinya bagaimana? Aku tidak bisa menerima pemberianmu tadi begitu saja."

"Itu..hmm...oh ya! Bagaimana kalau kau beritahu namamu?"

"Bukankah kau yang sebaiknya memperkenalkan diri dulu?"

"Ups! Maaf! Namaku Wataru Koyama. Kelas 2-4. Kamu?"

"Akemi Marufuji. Kelas 2-3. Salam kenal dan terima kasih Wataru Koyama."

"Salam kenal juga Marufuji. Hmm begini..sebenarnya aku tidak biasa menerima balas budi dari orang lain. Aku menolong orang hanya karena aku mau saja. Aku selalu merasa lebih baik jika mampu menolong setidaknya 1 orang saja." ucap Wataru sambil menatap ke arah langit. Dia melirik kembali ke arahku.

"Bagaimana kalau balas budimu...menjadi temanku?" "Eh?" Aku tidak menduga ia memintaku untuk menjadi temannya. Aku, yang ditakuti dan dijauhi oleh semuanya, diajak berteman?

"Apa hanya itu saja? Berteman denganku? Apa kau tahu aku ini siapa?" kutanya lagi untuk memastikan ajakannya. Dia hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.

"Tepat sekali. Aku jujur tidak tahu siapa kau, tapi karena kita teman satu sekolah kupikir tidak salah jika kita bisa berteman. Aku selalu ingin punya teman perempuan, jadi kalau kau setuju maka kau adalah teman perempuan pertamaku."

*Deg* Jantungku berdegup sedikit kencang mendengar ucapannya. Pertama kalinya, seseorang menolongku di saat susah. Pertama kalinya, ada yang ingin bicara denganku. Pertama kalinya, ada yang ingin berteman denganku. Ini, sungguhan kan? Kenapa aku serasa berdebar-debar?

"Marufuji? Halo?" "Ah..itu..aku..mau jadi temanmu." Wataru membuyarkan lamunanku dan kuterima ajakannya. Wajah bingungnya berubah menjadi senyum lebar dan ia melakukan pose berhasil. Aku tidak merasa itu adalah pencapaiannya yang besar, tapi bagi dia mungkin.

"Terima kasih! Kalau begitu, mulai sekarang kalau ada apa-apa kita saling bantu ya Marufuji!" dia menawarkan diri untuk berjabat tangan. Pelan-pelan kugapai tangannya. Hangat dan besar. Seperti kakak, namun lebih hangat. Tanpa kusadari, aku pun ikut tersenyum sambil menjabat tangannya.

"Ya, Koyama." "Nona?" Kakek Souji datang tanpa suara di samping kami. Ia melotot ke arah Wataru yang terlihat kaget, tapi segera memulihkan diri.

"Ah, kakek Souji. Kalau begitu aku permisi dulu Koyama. Kita bicara lagi besok." Aku izin pamit secepatnya untuk menjauhkan kakek Souji dari Koyama. Bukan apa-apa, tapi aku tidak mau teman pertamaku kenapa-napa.

"Oh..hati-hati ya Marufuji. Sampai besok." Kami berdua mengangkat tangan untuk berpisah. Wataru memberi salam pada kakek Souji lalu pulang ke arah berlawanan.

Di perjalanan pulang, kakek Souji bertanya soal Wataru dan kujelaskan semuanya.

"Nona, saya sarankan nona untuk membawa bekal saja dari rumah. Nitta bisa memasakkan makanan yang enak untuk anda. Untung nona memanggil saya untuk menjemput." Kakek Souji menasihatiku. Sebagai pelayan kami yang paling tua, ia sudah menganggap kami semua seperti keluarganya sendiri.

"Tadi karena ada hal yang terjadi di luar dugaan, kakek Souji. Besok pasti akan baik-baik saja." terangku untuk meyakinkan.

"Yang jelas anda jangan sampai kenapa-napa. Tuan muda bisa kalap jika tahu."

"Iya iya." Aku memandang ke arah langit yang semakin gelap. Dulu, aku tidak pernah berharap esok akan tiba. Karena aku hanya akan menjalani hidup yang sama lagi setiap harinya. Yang berbeda hanya misi dan tidak ada misi. Kalau tidak ada, aku hanya belajar atau bermeditasi kemudian tidur. Tapi kali ini lain. Seseorang datang menggapaiku. Aku tidak sabar untuk bertemu lagi dengannya besok. Hanya membayangkan saja, aku nyaris tersenyum lagi.

---

Di rumah keluarga Marufuji, Akito sedang membaca berita-berita terkini dan mengecek daftar target permintaan klien. Akito tidak mau sembarangan memilih klien. Mana yang menurutnya paling menguntungkan, itu yang diprioritaskan. Ketika menyisir nama yang ada, ada 1 nama yang membuatnya tertarik. Ia menyeringai dan memejamkan matanya yang sipit.

"Rupanya kalian masih ada ya? Sekarang, kita lihat siapa yang akan bertahan." Akito mengambil pena dan melingkari nama tersebut lalu tertawa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro