21. Patah Hati
Naka sengaja membuka pintu kosnya lebar-lebar, meski sudah hampir tengah malam. Ia membentangkan gambar-gambar yang sebelumnya ia buat untuk seminar proposal. Laptop pinjaman dari laboratorium juga sudah menyala dengan banyak tab yang dibuka. Bagian taskbar-nya juga sudah dipenuhi oleh beberapa aplikasi yang dibuka bersamaan. Laki-laki berambut gondrong itu berani jamin, kalau laptopnya yang sudah pensiun pasti akan nge-lag jika dipaksa bekerja seperti ini.
Kamar sempit itu tambah ramai karena Naka memutar lagu JKT48 keras-keras. Tanpa sadar, ia jadi merindukan Iqbal. Laki-laki berambut terikat itu sedang mencoret-coret buku catatannya dengan serius.
"Oy." Kepala Wisnu nongol di pintu. Hanya kepala, tanpa badan. Wajahnya semringah dengan tatapan yang mencurigakan.
"Bangsat!" Naka hampir terkena serangan jantung karenanya. "Tengah malam, ini, Sat! Jangan muncul tiba-tiba gitu!"
Wisnu tertawa puas, tetapi sebagai laki-laki bermartabat, ia tidak tertawa kencang. Tawanya hampir tanpa suara. "Cailah, udah balik jadi setelan mahasiswa, nih, ceritanya?"
Naka bangkit dari duduknya. Kebangkitannya diiringi suara mengerang dan beberapa bunyi dari tulang yang membuatnya terlihat seperti kakek-kakek jompo. Naka melakukan peregangan, sambil bertanya, "Kenapa?"
Kini Wisnu berpindah ke depan pintu kamar nomor 6 itu dengan wajah serius. "Sakit nggak dijewer Ilham?"
Naka menghela napas panjang sebelum melemparkan pena yang ada di tangannya. "Ya, menurut lo aja!"
Wisnu berhasil menghindar dengan gerakan cepat. Saking lamanya berteman, ia bahkan sudah tahu ke mana Naka akan melempar penanya. Ia memungut pena tersebut, kemudian tersenyum tipis. "Ada yang bisa dibantu nggak?"
"Kalo bantuan uang, sori-sori, nih, ya. Uang gue lagi banyak." Naka mengangkat dagunya dan tersenyum penuh kesombongan.
"Pantes, ya, lo beliin anak-anak es krim." Laki-laki bermata sipit itu duduk memalang di pintu. "Denger-denger, lo udah beliin kado buat Ayu, ya?"
Naka yang sudah kembali duduk ke tempatnya, langsung tersenyum malu. "Duh Uci, kok bilang-bilang."
Wisnu langsung menggeleng. "Kok jadi Uci? Tadi siang lo pamit mau cari kado katanya."
Ingatan tentang kejadian siang tadi membuat wajah Naka langsung berubah suram. Bahu yang tadinya tegap, berubah lesu. Ia kembali mengambil penanya dan sok sibuk mencoret buku catatan yang sudah penuh dengan coretan. Ternyata, keliling bundaran HI tidak mampu membuat ingatannya hilang sementara.
Wisnu menghela napas dan tidak melanjutkan tanyanya. Namun, hening yang tercipta itu hanya sementara karena Ilham muncul sambil membawa dua gelas berisi cairan putih yang menyeruakkan bau jahe. Sudah bisa dipastikan, kakak tertua itu pasti membuatkan susu jahe untuk Naka dan Wisnu. Hal itu sudah menjadi kebiasaan sejak mereka tinggal bersama. Ilham selalu doyan membuat susu jahe ketika adiknya belajar dan kopi ketika mereka akan begadang.
Laki-laki yang mengenakan celana panjang dan kaus lengan panjang itu langsung berdecak. "Astagfirullah, Nayaka!"
"Aguy, Ham! Dateng-dateng marah, tuh, gimana ceritanya?
Ilham menggeleng dan segera menyerahkan dua gelas yang ada di tangannya ke Wisnu. "Dari tadi gue ke atas, pintu kamar lo udah kebuka. Nggak takut masuk angin? Sampe tengah malem gini masih aja lo pake singlet sama bokser doraemon itu?"
Naka otomatis melihat ke bokser legendarisnya.
Tawa Wisnu akhirnya pecah juga. Kini ia tidak lagi menahan tawanya. "Perasaan udah gue suruh buang itu bokser keramat."
"Ya, kenapa geh?" Naka masih ngotot.
Ilham memijit pelipis, kemudian menghela napas panjang. Dengan gerakan cepat, ia melewati Wisnu dan masuk ke kamar Naka hanya untuk menarik selimut dan melilit Naka hingga laki-laki berambut gondrong itu terlihat seperti telur gulung. "Nggak cukup kayaknya jeweran gue tadi, ya, Ka? Baru gue mau minta maaf, tapi kayaknya lo emang harus dihukum biar sadar. Kapan dewasanya, sih, Nayaka?"
"Ampun, Bang!" Naka yang tengah berdiri tegak itu berusaha membungkuk dan memohon bantuan pada Wisnu yang sedang sibuk tertawa.
"Mas-mas sama Abang, bisa tolong jangan berisik? Suaranya kedengaran sampe atas." Pia yang mengenakan baju tidur itu bicara dengan wajah mengantuk.
Tiga penghuni paling lawas kosan Bu Endang itu langsung membeku di tempat. Setelah Pia pergi, ketiganya bertukar tatap dan tertawa bersama.
Malam itu, kenangan buruk Naka ditutup dengan suatu kejadian manis yang mungkin akan ia ingat sepanjang hidupnya.
***
Hari ulang tahun Ayu bertepatan dengan jadwal Naka ke rumah mewah Nenek. Bukan karena sengaja, tetapi semesta seolah-olah mendukungnya sepenuh hati untuk urusan satu ini. Setelah membeli bahan untuk membuat kue, Naka bergegas menuju rumah Nenek.
Setelah berhasil membuat dan menghias kue dengan seluruh kemampuan yang ia punya, Naka langsung pamit dan berterima kasih dengan memberikan masing-masing satu cup cakes pada Nenek, ART dan satpam di sana. Anehnya, hari itu Nenek tidak membuat banyak kue. Mereka hanya membuat kue sesuai dengan kebutuhan, itupun dengan bahan dasar yang Naka bawa. Meski beberapa ornamen dan buah yang digunakan sebagai penghias diambil dari kulkas Nenek, setidaknya laki-laki berambut gondrong itu tidak malu-malu amat.
Tidak seperti biasanya, Naka terang-terangan mengajak Wisnu untuk turut andil dalam proyek kejutan ulang tahun Ayu. Laki-laki berpipi tembam itu cemberut, tetapi tetap menurut ketika Naka minta tolong untuk memindahkan paper bag besar dan boneka beruang ke lantai atas. Selain tas yang diurus oleh Uci, Naka akhirnya membeli beberapa pernak-pernik plus satu buah boneka beruang besar yang mampu membuat Wisnu mengomel hampir seharian.
Naka berencana mengadakan pesta kejutan untuk ulang tahun Ayu. Ia sudah menyiapkan berbagai macam komponen untuk dekorasi area yang biasa menjadi tempat anak-anak indekos menjemur pakaian sekaligus rumah bagi tanaman mawar Ilham.
"Kemaren aja, nyari uang susahnya setengah mampus. Kapan udah punya uang, langsung nggak tau diri!" Wisnu menaiki tangga sambil menggerutu.
"Aguy. Duit-duit gue, kok lo yang sewot. Ngomongnya langsung aja, jangan ngedumel."
Wisnu berdecak. "Dih, siapa yang ngedumel? Gue ngomong keras-keras biar lo denger. Ngapain coba lo beli boneka segede gini. Terus buket bunga yang gedenya bisa saingan, noh, sama karangan bunga orang mati. Ini juga, pohon Natal bisa insecure kalo liat lampu sebanyak ini."
Naka yang tengah memeluk buket bunga, hanya menggeleng.
"Buang-buang uang tau, Ka." Meski mengajukan protes, tetapi tangan Wisnu tetap bergerak membantu menyusun kado di dekat pot-pot mawar milik Ilham.
"Murah ini, gue belinya di langganan. Kan sering gue ke sana ambil pesenan orang. Aman, diskon, kok. Lagian bukan bunga mahal gue belinya."
Wisnu menghela napas. Ia paham betul kalau ini adalah cara Naka untuk menunjukkan rasa sayangnya pada Ayu, tetapi tetap saja, dengan kondisi seperti sekarang, hal-hal seperti ini termasuk pemborosan.
"Beneran, Sat. Asli, ini semuanya nggak sampe sejuta, kok."
Wisnu menatap teman rasa sahabatnya itu dengan sengit. "Awas aja kalo lo tiba-tiba rajin puasa! Nggak bakalan gue bagi makanan gue!"
Naka tertawa cukup keras sehingga membuat Wisnu agak kesal. Kemudian, keduanya melanjutkan kegiatan mendekorasi tempat yang biasa menjadi area galau anak-anak indekos itu. Ada hening sejenak sebelum sebuah suara menarik perhatian keduanya.
Suara dentingan sendok yang beradu dengan mangkuk membuat dua laki-laki dewasa itu bertukar tatap dan kompak menyeringai.
"Yang terakhir sampe, dia yang turun ambil baksonya." Wisnu bicara dengan suara penuh tekad.
Keduanya kompak mengangguk dan berlari ke balkon. Belum juga keduanya berseru untuk menghentikan abang tukang bakso, langkah keduanya langsung terhenti ketika melihat adegan yang seharusnya haram disaksikan oleh Naka.
Suara denting abang tukang bakso semakin menjauh, Wisnu tidak berani bicara.
Mereka bisa melihat dengan jelas, Ayu berdiri di depan rumah. Ia tersenyum sangat lebar karena seorang laki-laki yang berdiri di hadapannya itu menyanyikan lagu selamat ulang tahun sambil memegang kue cantik yang tentu saja dibeli dari toko elit. Kilau hiasan kuenya saja mampu memantulkan cahaya matahari yang mulai tenggelam.
Wisnu tidak lagi melihat Ayu dan laki-laki itu. Ia malah mengalihkan pandangannya dan menatap Naka yang masih membeku di tempat.
Wajah Naka menggelap. Ia menatap kue di tangan Ayu begitu lama, kemudian melihat kue buatannya yang ada di meja. Tiba-tiba ia merasa kalau kuenya telah berubah menjadi itik buruk rupa ketika dibandingkan dengan kue yang serupa angsa cantik.
Laki-laki berambut gondrong itu menyibak rambutnya berkali-kali. Kemudian, ia menghela napas panjang. "Beresin aja, Nu."
Wisnu menatap proyek setengah jadi mereka dan turut menghela napas. "Nggak sayang, Ka?"
Naka berbalik dengan cepat dan langsung terduduk di lantai.
Gerakan tiba-tiba dari teman rasa sahabatnya itu membuat Wisnu segera memalingkan wajahnya hanya untuk melihat kalau Ayu berada di pelukan laki-laki tadi. "Ka, lo nggak apa-apa?"
Naka menghela napas berat. Lebih berat dari sebelumnya. "Lo bener, Sat! Gue udah buang-buang uang. Lo liat aja, semua effort gue nggak bakal sebanding sama kue mahal yang cowok itu kasih."
"Mahalan kue lo kali, dibuat sendiri gitu." Wisnu mencoba mencairkan suasana setelah duduk di samping kuncen kosan itu.
Naka bangkit dari duduknya dan berniat melepaskan lampu-lampu yang sudah selesai dipasang. Namun, gerakannya terhenti ketika rombongan adik perempuannya dari lantai dua malah datang dan menatap kagum.
"Wih, dapet lampu dari mana, Bang?" Pia bertanya dengan wajah antusias.
"Bagus banget. Jadi terang." Lala mendongak sambil berjalan.
Uci mengacungkan dua jempol. "Bagus buat spot foto ini jadinya."
Wisnu langsung kewalahan begitu melihat ekspresi antusias adik-adiknya harus tumpang tindih dengan wajah Naka yang suramnya berhasil mengalahkan pantat panci gosong.
"Hari ini aja. Areanya steril, ya. Jangan ada yg ke atas dulu. Yuk, turun, yuk." Wisnu meruntuhkan semua tembok es yang biasanya ia bangun, terpaksa ia harus bicara dengan bujuk rayu supaya adik-adiknya mau turun.
"Lho, kenapa, Mas?"
Wisnu menjitak kepala Uci. "Kalian nggak baca grup, ya?"
Uci mengaduh, kemudian menunjukkan kado kecil yang ada di tangannya. "Baca, Mas. Makanya kami naik. Siapa tahu ada yg bisa dibantu."
Wisnu menggeleng cepat. "Rencana batal. Gagal total. Jangan ganggu Naka dulu."
Ketiga gadis itu kompak bertanya, "Kenapa?"
"Abangnya lagi galau. Jangan diganggu dulu. Yang boleh naik ke atas cuma gue sama Ilham. Yang lain dilarang naik. Tolong bilang di grup." Wisnu sudah kembali dengan setelan mode serius.
***
Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro