Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kisah Senja - Nev Nov (Tema Gadis dan Pembunuh Bayaran)

Berikut ini adalah cerita dengan tema sama: Seorang Gadis dengan Pembunuh Bayaran. Cerita ini dibuat oleh Nev Nov. 


Pagi yang cerah, burung-burung berkicau di atas dahan pohon depan kamar Senja. Angin sepoi-sepoi membius mata, serasa enggan untuk beranjak dari ranjang. Di usianya yang menginjak dua puluh tiga tahun, Senja merasa cukup puas dengan hidupnya. Pacar yang tampan dan mencintainya, meski mereka baru berhubungan selama lima bulan ini. Karir yang bagus di sebuah agency periklanan dan orang tua yang menyayanginya.

Senja saat ini hidup sendiri di sebuah kontrakan kecil yang lumayan bersih. Meski tidak mahal tapi kontrakan ini berada di pemukiman yang elite di tengah kota. Saat sore pulang kantor dia selalu berjalan dari halte bus ke rumahnya, melewati deretan rumah megah di samping kiri dan kanan jalan, ia berharap suatu saat akan punya rumah seperti itu. Jika tidak bisa membeli sendiri paling tidak ada Juan, pacarnya yang akan membelikan bila kelak mereka menikah. Memikirkan pernikahan dengan Juan selalu membuat Senja merasa bahagia.

Siang yang panas, selesai makan siang di kantor Senja ingin minum kopi dingin. Di dekat kantornya ada kedai yang menyediakan kopi latte yang nikmat. Nyaris seminggu tiga kali dia minum kopi di sana. Memegang ponsel di tangan kanan dan gelas kopi di tangan kiri, Senja berjalan santai, tertawa bahagia menelepon Juan kekasihnya,

"Kamu di mana?"

Hayoo, tebak dimana?Suara Juan serasa dekat sekali.

"Ngaku dong, kamu di mana? Kalau nggak mau ngaku, aku nggak mau nonton bareng."

Diih, ngambek. Makin cantik kalau ngambek gitu. Suara Juan Tergelak, Senja mendengarkan dengan wajah cemberut. Juan selalu seperti ini, suka sekali menggodanya.

Aku ada di seberang jalan, coba kamu lihat kesini. Senja menoleh, menjulurkan kepalanya untuk mencari sosok Juan di seberang jalan. Lalu-lalang orang di jalanan sedikit menyusahkannya. Kemudian tampak sosok Juan melambai padanya dari seberang.

Dari jauh Senja bisa melihat betapa tampan Juan dalam balutan kemeja dan jas kerja, senyumnya membuat para wanita yang melewatinya akan melirik dua kali. Sering kali senyum manis Juan membuat Senja cemburu karena senyum itu tidak hanya ditujukan untuknya.

Senja mematikan ponselnya, melambai ke arah Juan dan bergegas menyeberang jalan . Terdengar suara ledakan, orang-orang berteriak dan tiba-tiba ia merasakan panas pada lengannya. Senja bingung, melihat orang-orang menjerit berlarian menjauh. Ia hanya merasa kebas di lenganya, tubuhnya gemeteran dan ia ambruk di tanah.

Saat itulah ia melihat sosok Juan yang juga ambruk tidak jauh dari tubuhnya, Senja menjerit dalam hati, Ini tidak mungkin terjadi, Oh Tuhan. Juan....!

Sedetik kemudian Senja merasa kepalanya pusing dan keadaan sekitarnya menggelap.

☼☼☼

Bau alkohol tajam menusuk hidung, suara gemerisik plastik dan sentuhan di lengannya yang perih membuat Senja terjaga. Ia merasakan lengan kanannya sakit luar biasa, dengan napas terengah Senja bangkit dari tidurnya.

Ruangan yang ia tempati dalam keadaan terang benderang. Ini bukan kamar ataupun rumah sakit. Jadi dimana dia?

"Hati-hati, jangan bergerak dulu." Suara seorang laki-laki membuat Senja terkejut. Ia menolehkan kepalanya ke belakang dan melihat sesosok laki-laki dalam balutan celana jeans dan kaos pendek tanpa lengan.

"Siapa kamu, dimana aku?"

Laki-laki itu tidak menjawab, memandang Senja dengan matanya yang besar dan tatapannya yang tajam.

"Hei, kamu bisu ya? Di mana aku?" Senja berteriak sedetik kemudian merintih karena merasa kanannya nyeri.

"Di rumahku," sahut laki-laki itu dengan pelan. "jangan bergerak atau darah dari lukamu tidak akan berhenti." Mengabaikan tatapan Senja yang penuh tanya, laki-laki itu pergi meninggalkan Senja sendirian.

Senja terbaring kembali di ranjangnya, ia masih bingung kenapa bisa ada di tempat ini. Memejamkan mata Senja berusaha mengingat apa yang dialaminya sebelum terdampar di kamar ini.

Aromi kopi, telepon dari Juan. Orang berlalu-lalang kemudian suara tembakan. Yah, itu suara tembakan yang merobohkan Senja juga Juan. Senja menangis dalam diam, teringat akan Juan yang berlumuran darah terkapar di hadapannya. Apa yang terjadi, apa salahnya hingga begini? Senja kembali tertidur dengan rasa nyeri yang memudar perlahan.

☼☼☼

"Bangun, Senja. Kamu harus ganti baju." Suara laki-laki terdengar pelan di kupingnya, Senja merintih. Sebuah lengan yang kokoh membantunya duduk, ia meronta tapi pelukan yang kuat menghentikan perlawanannya.

"Diam, jangan bergerak. Kamu nggak mau darah keluar dari lenganmu?"Laki-laki itu mengeram marah, "Siapa kamu, kenapa membawaku kemari? Apa yang kau inginkan dariku?"

Hening tidak ada jawaban, Senja merasa badannya disangga dari belakang, dia meronta sekali lagi namun kali ini lelaki itu mendekapnya lebih kuat.

Bunyi gunting, robekan kain. Saat sadar Senja melihat blousenya telah di gunting menjadi dua.

"Apa yang kau lakukan?" Senja mulai menangis. Dia tidak ingin merasa lemah di depan laki-laki ini tapi entah kenapa air mata seperti menetes tak terbendung.

Laki-laki itu mengabaikan tangisan Senja, tangannya menyingkirkan blouse yang telah sobek. Untunglah Senja memakai kaos dalam tanpa lengan, entah apa jadinya jika dia hanya memakai bra. Rasa malu dan marah menjalari Senja.

Laki-laki itu bergerak dalam diam, membalut luka Senja dengan rapi setelahnya dia menyodorkan gelas berisi air putih pada Senja.

"Minumlah, dari kemarin tubuhmu tidak terisi apapun." Senja menggeleng, laki-laki itu dengan tidak sabar menyodorkan gelas ke mulutnya. Senja meronta, gelas jatuh dan air tumpah membasahi ranjang juga badan Senja.

"Lihat apa yang kamu lakukan?" Senja terdiam ketika laki-laki itu mengelap ranjang dengan tisu. Ingin rasanya Senja menerjangnya, agar bisa bebas dari kamar ini tapi apa daya badannya terasa lemah.

Senja tidak ingat dia sudah berapa lama berada di kamar ini, laki-laki itu datang dan pergi dari waktu ke waktu. Kadang dia datang membawa makanan, air minum bahkan yang membuat Senja bingung dia juga membawakan kopi latte dari kedai langganan. Siapa dia, apa maksudnya mengurungnya di kamar ini. Pikir Senja murung.

Rasa marah membuat Senja tidak ingin makan dan itu membuat perutnya sakit. Senja merubah taktiknya, ia harus makan agar punya tenaga untuk keluar dari kamar ini.

Saat berikutnya saat laki-laki itu datang membawa makanan, Senja makan dengan lahap, tidak mengindahkan pandangan laki-laki itu. Sambil makan ia melirik dan memperhatikan bahwa penculiknya ternyata laki-laki muda, berusia tidak lebih dari dua puluh tujuh tahun, berparas lumayan tampan atau mungkin juga cenderung cantik untuk ukuran laki-laki. Sampai sekarang ia tidak paham untuk apa Si Cantik ini mengurungnya.

"Aku senang kau akhirnya mau makan. Tidak lagi menyiksa dirimu. Jangan lupa minum susu biar ada tenaga." Senja terus makan dalam diam.

Selesai makan, Senja membiarkan Si Cantik menggendongnya ke toilet. Setelah memastikan Senja duduk di atas toilet dengan benar dia keluar.

"Kau bisa pipis atau apa, aku akan menunggumu di luar." Dia berucap tanpa menutup pintu toilet membuat Senja mendelik marah, Apa dia menyuruhku buang air dengan dia berdiri di depan toilet? Mengabaikan rasa malu, Senja buang air kecil. Saat hendak berdiri untuk membasuh wajahnya, laki-laki itu masuk ke dalam. Mengucurkan air dari kran dan mengambil handuk. Dengan lembut dan hati-hati membasuh wajah, lengan dan leher Senja.

"Aku bisa sendiri." Senja berbisik parau.

"Tidak, kau masih lemah." Selesai semua, Laki-laki itu kembali menggendong Senja ke dalam kamar dan membaringkannya di atas ranjang.

"Siapa namamu dan mengapa kau mengurungku di sini?" Senja bertanya hati-hati, laki-laki itu tidak menjawab.

"Apa yang terjadi pada Juan, apakah dia mati?"Senja merasa suaranya tercekat di tenggorokan.

"Tidak, dia masih hidup." Sahutan pelan dari laki-laki itu membuat Senja mengembuskan napas lega.

Beberapa hari ke depan Senja mencoba bersikap baik, dia makan dengan lahap apapun yang di bawa laki-laki itu untuknya. Minum susu bahkan mencicipi kopi yang selalu di bawakan saat sore. Dan yang lebih aneh lagi, laki-laki itu selalu memutar lagu-lagu kesukaannya dari stereo yang terletak di pojokan kamar. Saat tertentu bahkan membawa roti keju yang selalu dia makan saat sarapan. Terkadang membawa buku-buku untuk ia baca. Dari mana dia tahu semua ini? Senja menatap bingung tumpukan buku di samping ranjangnya.

Setelah beberapa saat, dengan makan teratur juga perawatan laki-laki itu yang telaten pada lukanya, Senja merasa dirinya lebih kuat. Lengannya masih nyeri tapi tidak separah kemarin.

"Siapa namamu?" Tanya Senja sekali lagi, saat laki-laki itu datang membawakan kopi latte.

"Panggil aku Neil." Senja mengangguk, matanya mengawasi gerak-gerik laki-laki itu yang sekarang dia ketahui bernama Neil. Nama yang unik.

"Neil, apa bisa kau bebaskan aku?"

"Tidak." Neil menyahut singkat. Dia sibuk membenahi kamar yang berantakan.

"Paling tidak katakan padaku, untuk apa kau mengurungku di sini?" Senja bertanya dengan suara memohon, jika perlu ia akan tetap memohon agar Neil mengabulkan permintaannya.

Neil tidak menjawab, berjalan mendekati Senja dan memegang dagunya, "Kamu tahu tidak jika kamu cantik, Senja? Pasti banyak laki-laki bahkan Juan yang mengatakan ini bukan?"

"Matamu yang besar, lesung pipit di pipi kanan saat kau tertawa. Tubuh yang aduhai, jika kau hidup di masa lampu pasti mereka sudah membakarmu karena mengira wajah cantik dan tubuh sexymu adalah hasil barter dengan setan." Neil melepaskan pegangannya dan duduk tegak.

"Kumohon, Neil. Lepaskan aku?"

"Tidak, sampai aku mendapatkan sesuatu dari pacarmu."

"Apa-apa yang kau inginkan?" Senja berteriak histeris. Neil tersenyum, menampakan lekukan di dagunya, "kelak kau akan tahu bahwa pacarmu itu tidak sebaik yang kau sangka tapi sementara ini baik-baiklah kau tinggal bersamaku, cantik." Dengan lirikan terakhir, Neil pergi meninggalkan Senja sendirian.

Sial, bagaimana ini

Senja terus memutar otaknya, setidaknya sekarang ia lebih lega mengetahui jika Juan baik-baik saja. Yang harus ia pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya keluar dari kamar ini dan lepas dari jeratan Neil.

Jika ditilik dari penampilannya, Neil bukanlah cowok biasa. Dia keren, caranya berpakaian, sikapnya sopan. Sama sekali bukan seperti penjahat yang ditunjukan di TV.

Mengamati keadaan kamar, Senja melihat tumpukan buku di atas meja kecil. Ia bergerak perlahan, mencoba turun dari ranjang dan berjalan tertatih menuju meja. Syukurlah, rasa nyeri di lengannya sudah berkurang jauh. Ia mengambil beberapa buku, setelah merasa cukup berat melangkah menuju samping pintu. Jam segini adalah waktunya Neil datang mengantarkan kopi.

Benar perkiraan Senja, menunggu kurang lebih sepuluh menit pintu kamar terbuka. Nampak Neil dengan gelas kopi di tangan kirinya. Senja bergerak, memukul kepala Neil sekuat tenaga dengan buku di tangannya.

"Aaah, rasakan ini!" Buku berhamburan di lantai, Senja berdiri dengan goyah tapi Neil yang dipukulnya bergeming. Tidak merasa kaget apalagi sakit. Senja mundur ketakutan, Neil berbalik dan menatap Senja yang merapat di dinding. Dia tidak mengatakan apapun, menyerahkan kopi ke tangan Senja dan melangkah keluar. Menutup dan mengunci pintu kamar. Senja merosot di tempatnya berdiri, tubuhnya gemetar hebat.

☼☼☼

"Sampai kapan kau mengurungku di sini, Neil?" Tanya Senja suatu malam saat Neil tengah mengganti perban di lengannya. Senja berkali-kali mencoba melarikan diri dengan cara mendobrak pintu, memukul Neil bahkan mengancam bunuh diri. Hasilnya nihil, Neil tetap mengurungnya.

"Sampai kau aman," sahut Neil pelan. Senja meliriknya, "Aman dari siapa?"

"Dari Juan."

"Apa? Bagaimana mungkin? Dia pacarku!" Neil tidak menjawab, setelah selesai mengganti perban dia mengambil tumpukan kertas yang dia letakan di atas meja.

"Baca ini, kamu akan tahu siapa pacarmu itu." Neil menyerahkan setumpuk kertas dengan berbagai informasi tercetak di atasnya. Membiarkan Senja membaca sendiri, dia keluar kamar.

Makin lama membaca informasi di tangannya membuat Senja makin merasa mual. Dia tidak menyangka bahwa Juan ternyata jauh dari dugaannya semula.

Dia menangis saat Neil masuk, merenggut baju Neil dan berkata histeris, "Kamu bohongkan Neil? Tidak mungkin Juan seorang pengedar narkoba?"

Neil menggeleng, "Itu benar dan sudah lama dia dalam pengawasan polisi. Dari informasi yang kami dapat, dia berencana menggunakanmu untuk mengantarkan heroin ke Singapura. Bukankah kamu berencana pergi kesana hari ini?" Senja mengangguk.

"Dia sudah memasukan Heroin dalam koper yang nanti akan dia berikan padamu. Percayalah Senja, kami tidak bohong." Senja menangis, merasakan dunianya hancur. Neil merengkuhnya dan mengelus rambutnya. Membiarkan Senja meluapkan perasaannya.

"Apa kamu polisi, Neil?"

"Semacam itu."

Setelah kejadian hari itu, Senja tidak lagi berminat untuk memberontak. Ia membiarkan Neil mengurusnya, mengobati luka-lukanya, menyuapi makan dan membelikan kopi kesukaannya. Bahkan di waktu tertentu saat Neil agak lama tidak datang mengunjunginya, Senja merasa kesepian. Di sini, di kamar ini hanya ada dia dan Neil. Entah kenapa Senja tidak lagi merasa di kurung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro