
Drama di antara Stress - Stefani Jovita (Tema: Bos Galak yang Jadi Viral)
Stefani Jovita mendapatkan tema Bos Galak yang Jadi Viral. Bagaimana karyanya? Langsung saja, yuk ^^
"Satu minggu lagi?!" Si Bos menggebrak meja. "Kita mau rilis website-nya akhir minggu ini dan kamu mau diperpanjang lagi? Ini bukan masa kuliah! Pokoknya saya nggak mau tahu, mau lembur kek, nggak tidur kek, kita harus kelarin ini besok!"
Shin terbata-bata mengiyakan. Dia sama sekali tak pernah menatap bosnya semenjak detik pertama mereka bicara, hanya berdiri sambil menunduk. Diduganya, si Bos memelototi. Dengusan dan desahan napasnya sesekali memotong kalimat. Di satu sisi, Shin paham. Sudah dua kali proyek itu telat sampai ke klien. Namun, bukan semua salahnya. Banyak yang cuti dan pekerjaannya pun bertambah hingga si Bos sempat turun tangan di beberapa bagian. Satu-satunya kesalahan terbesarnya adalah salah perkiraan waktu pengerjaan tugasnya sendiri. Shin menghela napas sambil berjalan kembali ke tempat duduk, di pojok kiri ruangan.
Suara ketikan mendominasi. Sambil memandang layar hitam bertuliskan bahasa pemrograman, Shin memasang headset. Dia memang harus fokus untuk menyelesaikan ini lebih cepat dan tepat waktu. Untuk itu, si pemuda butuh lagu. Dibukanya YouTube.
Bunyi ping mengalihkan perhatiannya. Sebuah pesan tertampil di pojok kanan layar, berasal dari chat group teman sekantor.
"Ih, itu si Bos mirip yang di Bos Da Market, deh."
Shin mengernyitkan alis. "Bos Da Market?" ketiknya.
"Lah, kamu nggak tahu? Lagi tren, lho. Nih."
Sebuah tautan menuju situs YouTube terpampang di pesan berikutnya. Shin meragu. Dia sebenarnya harus segera menyelesaikan tugas atau benar-benar lembur dua hari ini. Namun, stres cukup membuat otaknya penat. Bukankah satu-dua menit video tidak masalah?
Setelah melirik si Bos di ujung yang berlawanan dari ruangan, memastikan bahwa pria botak itu sedang sibuk sendiri, Shin akhirnya menekan tautan. Seorang wanita tua dengan tampang asam memaki-maki pria di seberang meja, lalu membanting timbangan ke lantai.
Obrolan teman-temannya berlanjut sebelum Shin menyimpulkan.
"Si ibu-ibu yang banting timbangan itu bosnya. Sadis, 'kan? Kayak bos kita."
Shin menelan ludah. Dia sebenarnya merasa kalau si wanita ini lebih sadis. "Lagian kenapa sampai lempar timbangan, sih? Itu pedagangnya sendiri, 'kan?"
"Gara-gara nggak bayar uang sewa tempat jualannya."
"Beneran?"
"Ya apa lagi?"
Si Bos tiba-tiba terbatuk, membuyarkan konsentrasi Shin pada obrolan di chat group. Teman-temannya ini memang bisanya menggerecoki. Untung si Bos memang hanya terbatuk, bukan sedang mengawasi. Shin akhirnya memutus pembicaraan dan kembali pada pekerjaan.
Sayang, jam makan siang datang sepuluh menit kemudian. Teman-temannya mengajak Shin turun.
"Nanti aku bantuin, deh," bujuk salah satu dari mereka yang sudah ketahuan jelas bohongnya. Tidak ada orang saling bantu di tempat kerja karena masing-masing punya tugas sendiri.
Shin sempat melihat si Bos yang masih saja duduk. Pria botak itu terus bekerja. Matanya sempat terarah ke Shin, yang mana membuat si pemuda kembali menunduk. Temannya mengajak lagi dan Shin akhirnya ikut, dengan niat akan balik ke kantor setengah jam kemudian.
******
"Ada berita apaan?" tanya Shin setelah menyeruput mie ayam di salah satu restoran kecil.
"Itu, si Bos Da buat ulah lagi. Nih baru mau lihat videonya."
Karena disodorkan, Shin ikut-ikutan saja. Tampak seorang pria digotong oleh pria-pria kekar bawahan si wanita tua Bos Da. "Mau diapakan dia?" Nada suara Shin meninggi.
"Ya mau dipukuli. Apa lagi? Ini si Bos Da mesti dilaporin polisi, lho. Kasihan yang jualan di sana."
"Memangnya belum ada yang mengadu? Sudah ada bukti gini."
"Entahlah. Mungkin pedagang-pedagang sana juga takut kehilangan tempat kerja? Biasa. Orang-orang golongan menengah ke bawah cuma bisa nurut saja."
Shin ingin membantah, tapi teleponnya tiba-tiba bergetar. Si Bos! Gawat!
"Ada apa, Bos?"
"Sudah selesai sampai mana kamu?"
Mati! Baru sebentar Shin melanjutkan pekerjaan, tak mungkin bisa lapor progress. "Belum banyak, Bos. Masih betulin bug."
"Ya ampun, Shin!" Si Bos menghela napas kesal. Waktu makan siang memang hak tiap pekerja, jadi si Bos tidak bisa memaksakan kehendak juga. "Pokoknya selesaikan bagian itu jam dua, atau pekerjaan kita tidak akan pernah selesai."
Shin mengiyakan. Setelah telepon mati, dia buru-buru menghabiskan mie dan membayar, lalu setengah berlari menuju kantor di seberang.
Kali ini, tanpa memedulikan obrolan teman-temannya, Shin berhasil mengerjakan perintah. Sebelum jam dua sudah kelar malah. Senyam-senyum dia memberi tahu si Bos, tapi rupanya pria botak itu masih berwajah masam dengan kerutan di pangkal hidung. Memang, satu tugas kelar bukan berarti kerjaan habis. Shin mulai melanjutkan kerjaannya kembali.
Pesan lain muncul di pojok kanan layar komputer. "Gebetan gue nih," kata si penulis, yang setahu Shin masih single kemarin-kemarin. Tentu, Shin jadi penasaran. Sambil minum air untuk istirahat sejenak, dia klik pesan itu. Chat group langsung menampilkan foto cewek Asia dengan rok mini berpaha seksi. Shin menyemburkan air yang belum sempat tertelan.
Si Bos berdeham, lalu memelototinya.
Shin tak mau melihat. Diam-diam, dia mengetik penuh amarah. "Kerja woy, kerja!"
"Galak bener, Bos. Udah kayak Bos Da aja."
Giliran meme foto si bos wanita berambut keriting yang sedang jadi tren itu muncul di chat group. Tulisannya persis omongan Shin barusan.
Sialan! Yang lain mungkin kurang kerjaan karena secara kebetulan tenggat waktu pekerjaan Shin saja yang minggu ini. Susah pula! Shin mengetik lagi kencang-kencang. "Giliran kalian yang deadline, bakal aku gangguin juga!"
Rentetan pesan masuk satu demi satu, tapi Shin sudah mengabaikannya. Napasnya memburu. Di saat dia harus konsen, kenapa bisa ada masalah bos ini dan bos itu? Satu bos saja sudah bikin semrawut! Tombol Enter ditekannya keras-keras tiap kali memulai baris pemrograman baru. Teman-temannya sesekali memperhatikan, membicarakan. Shin mengencangkan musik demi menutupi semuanya. Tidak ada gangguan lagi sampai jam lima—jam pulang kantor—tiba.
Satu-satu temannya pulang, meninggalkan si Bos dan Shin yang masih sibuk mengetik sambil memandangi layar. Shin harus sesekali cek Google demi mencari tahu beberapa pemrograman yang belum dimengerti. Sekitar pukul enam sore, si Bos beranjak dari tempat duduknya.
"Bagaimana perkembangannya?"
"Lancar, Bos. Besok sepertinya bisa selesai."
Si Bos tersenyum, meskipun tidak dilihat Shin. "Baguslah kalau begitu. Saya mau keluar dulu. Kalau bisa hari ini sudah kelar 80%. Oke?"
Bukannya tidak bisa, tapi berarti masih 20% lagi yang harus Shin kerjakan, padahal dia sudah ingin bersantai di rumah. Namun, apa daya? Tidak bisa melawan bos. Shin hanya mengangguk.
Sepeninggalan si Bos, Shin menyandarkan punggung pada kursi dan memejamkan mata sejenak. Diperkirakan, bisa-bisa kelar jam sembilan atau sepuluh malam dengan kecepatan kerja seperti ini, terutama karena dia sendiri sudah lelah. Si Bos juga pasti keluar untuk merokok, beristirahat. Shin mempertimbangkan hal itu. Dia butuh kopi dan sedikit jalan-jalan.
"Kamu udah liat si Bos Da yang baru?" Lagi-lagi omongan soal itu keluar dari mulut orang sekitar, yang kali ini adalah pembantu di kantor. Shin mendengarkan sambil menyeduh kopi.
"Iya, yang dia gotong orang itu, 'kan? Sadis, ih."
Ah, rupanya yang tadi siang, pikir Shin.
Sekembalinya ke ruang kerja, Shin diam, saat dihadapkan pada layar hitam penuh bahasa program. Kalau memang mau istirahat, sekalian saja, bukan? Daripada nanti pulang malah nonton-nonton lagi dan tidur kemalaman.
Shin membuka halaman YouTube soal si Bos Da itu. Matanya bukan tertarik pada video, tapi pada komen. Pasti banyak yang mengecam. Hanya saja, daripada kata-kata pendek seperti "sadis", "lintah darat" atau "kasihan pedagangnya", dia lebih tertarik akan komen-komen panjang.
"Nggak perlu datang lagi ke market ini nih! Biar kita bikin si Bos Da bangkrut!"
Nah ini! Komen balasannya banyak, like-nya juga banyak. Shin membaca lagi satu-satu komen-komen balasan itu. Tidak adakah yang memberi argumen?
"Kasihan pedagangnya juga, dong, kalau gitu."
Ada yang setuju, banyak yang mengatai bodoh atau bahkan menuduh si tukang komen ini temannya Bos Da. Komen terakhir darinya: "Yang bodoh itu siapa? Ngapain kalian capek-capek urusin urusan orang begini, sih?"
Insting Shin langsung bekerja. Dia menulis: "Kalau nggak mau ngurusin orang lain, nggak usah komen."
Tidak lama kemudian, keluar tanda merah notifikasi YouTube. Pesannya sudah dibalas lagi. "Aku cuma bilang, kalau kita harus hati-hati. Reputasi market jelek, yang rugi pedagangnya juga."
Di satu sisi, Shin merasa ini ada benarnya, tapi kemudian orang lain sudah membalas, "Rugi uang bisa diganti lain waktu. Kalau masalah sudah melebar begini, pasti banyak yang bakal prihatin juga kok. Yang penting kita suarakan! Kalau market bangkrut, paling rugi juga si Bos Da. Yang lain seenggaknya bisa hidup lebih tenang! Lebih penting kesehatan dan kenyamanan kerja daripada duit!"
Shin termenung. Untuk satu kalimat terakhir itu, ada benarnya juga. Yang membuatnya bertahan di kantor ini adalah gajinya yang lumayan dan orangtua yang mengharapkan uang itu, sementara pekerjaannya melelahkan fisik dan batin. Bosnya sering marah, teman-temannya sering lalai dan cuti. Dia yang paling rajin, datang pun tepat waktu.
Kalau saja orang-orang tahu bahwa bukan cuma market itu yang tempat kerjanya tidak menyenangkan.
Namun, dalam hati Shin muncul kemantapan. Matanya kembali terarah tajam ke layar, lalu dia membuka Google dan mencari letak market Bos Da. Sangat mudah! Dia langsung menemukan nama jalannya: Jalan Rama No. 2! Sambil mencondongkan tubuh atasnya ke depan, Shin mengetikkan tempat itu di komen YouTube. . . Tak lupa pula dia buka Facebook untuk membagikan tautan-tautan video serta alamatnya, mumpung lagi tren.
Shin tahu bagaimana rasanya jadi bawahan yang dianiaya bos. Meski cerita kehidupan kerjanya sendiri tidak terlihat, dia masih bisa memperlihatkan cerita orang lain!
"Sedang apa kamu?"
Shin terlonjak sampai hampir jatuh dari kursi. Si Bos sudah berdiri di belakangnya, melirik dingin sambil menekuk tangan di depan dada. Shin berdeham. "Tidak, Pak. Saya cuma—"
"Si Bos Da itu, ya?"
Shin menatap heran si Bos. "Loh, Bapak tahu?"
"Ya tahu lah. Lagi tren di sosmed gitu." Si Bos mendesis sambil menelengkan kepala. "Dulu Bapak sering ke situ. Nggak seperti yang dibilang di internet, kok. Dia kasih tempat jualan buat ibu-ibu di jalanan, lho. Makanya Bapak jadi langganan di tempat dia. Bersih juga tempatnya. Dia ngomel-ngomel pasti ada alasan."
Shin mengernyitkan alis. "Tapi dia katanya mukulin pedagang juga, Pak."
"Alah, internet sok lebay-lebayin aja itu." Dia menepuk punggung Shin, lalu melangkah ke mejanya sendiri. "Sudah, kamu urus saja kerjaan kita. Jam delapan nanti Bapak traktir makan di sekitar situ. Kenalan sendiri sama si Bos Da."
Shin meneguk ludah sambil lihat jam. Sekarang sudah pukul tujuh. Bagaimana mungkin dia bisa menyelesaikan 80% kerjaannya dalam waktu sesingkat ini? Ragu-ragu, dia kembali melihat deretan tulisan di Facebook yang belum sempat di-post. Persetan! Dia menutup semua situs soal Bos Da, lalu kembali bekerja.
Lewat lima belas menit, tinggal 15% lagi.
Pukul setengah delapan, belum ada kemajuan.
Sepuluh menit sebelum jarum panjang ke angka dua belas, Shin mengeritkan gigi karena masih sepuluh persen lagi. Bosnya sudah mulai beres-beres. "Bagaimana, Shin?"
"Sebentar lagi, Pak!"
Tulis, tulis, tulis! Cari, cari, cari! Gagal, lalu berhasil! Dia masih harus mengecek, tapi jam 8.15, akhirnya dia mencapai progress 80% yang ditargetkan si Bos.
"Pasti banyak bug lagi itu." Teguran si Bos membuyarkan senyuman lega Shin. Entah kenapa, pria botak itu tahu saja cara agar Shin kecewa. "Yah, tapi yang penting ada progress. Yuk."
Shin mengangguk dan siap-siap pergi.
Namun, tiba-tiba saja telepon si Bos berdering. Setelah beberapa percakapan yang tampaknya dengan klien, dia menutup telepon, lalu menyunggingkan senyum kecut. "Klien kita tidak jadi ketemuan minggu ini. Ditunda sampai minggu depan."
Shin mengangakan mulut, antara ingin tertawa karena itu berarti dia tidak perlu lembur besok, atau ingin berteriak karena stresnya seharian berarti sia-sia. Seolah mengerti, si Bos menepuk-nepuk lengan Shin dan mengajaknya pulang bersama.
"Ke tempat Bos Da itu?" tanya Shin.
"Arahnya sama, 'kan? Sekalian beli ayam lah saya."
Ya itu kan keperluan si Bos, bukan Shin. Namun, apa daya seorang bawahan? Cuma bisa ikut-ikut saja, apalagi sama traktiran, 'kan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro