Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Serba Sama

Aku selalu berpikir, bagaimana rasanya jika kami semua terlahir dalam keadaan sama? Karena yang aku lihat perbedaan hanya membawa perpecahan. Buktinya, banyak sekali konflik sara yang terjadi di Indonesia. Mulai dari perang antar suku, pembakaran tempat beribadah, diskriminasi pada minoritas, sampai pemusnahan suatu kelompok. Bahkan Ani dan Nina pun masih belum akur sampai sekarang gara-gara berbeda pendapat saat menentukan tema lomba untuk memperingati ulang tahun sekolah. Ayah dan ibu juga sering bertengkar karena memiliki pemikiran berbeda.

Tapi, bukankah perbedaan itu yang membuat hidup semakin menarik dan penuh warna? Seperti warna kendaraan yang melintas di jalan, karena warnanya yang berbeda aku jadi tidak merasa bosan saat harus menunggu angkot yang lama.

Aku mendongak, siang ini matahari cukup terik. Aku berdiri di pinggir jalan bersama Ani. Kebetulan rumah kami searah. “Lama. Mana sih angkot jingga?” Ini adalah gerutuan Ani yang ke-12. Dasar tidak sabaran.

Aku mengendikkan bahu, “Sabar kenapa,” sewotku. Perpaduan panas dan ocehan Ani benar-benar tidak baik untuk kesehatan kepala. Membuat pusing tujuh keliling.

Ani mengerucutkan bibir. “Masalahnya hapeku lowbat, San,” kesalnya. Benar-benar alasan sepele. Sebagai generasi nunduk, ia memang tidak pernah lepas dari benda persegi panjang itu. Entah apa yang dikerjakannya sampai kuat berjam-jam memelototi layar. “Ih, kenapa yang muncul angkot hijau terus, sih? Gini, nih, kalau butuh suka menghilang. Padahal biasanya banyak berkeliaran.”

Aku menulikan telinga, enggan mendengar celotehan tidak bermutunya. Sayang sekali saat ini aku tidak membawa earphone, jadi tidak bisa mendengarkan musik yang jelas-jelas lebih merdu. Saat melihat angkot jingga mendekat, aku segera melambaikan tangan. Menyeret Ani yang masih asyik mengeluarkan uneg-uneg. Tidak capek apa itu mulutnya nyerocos terus?

“Kenapa warna angkot berbeda-beda?” tanyanya mulai melantur.

Mau tidak mau aku harus menanggapi, kasihan juga kalau dia dianggap gila oleh penumpang yang lain. “Sebagai ciri atau pembeda, agar calon penumpang bisa tahu harus naik angkot yang mana agar sampai ke tujuan tanpa nyasar.”

Ani manggut-manggut, mengerti dengan penjelasan ngasalku. “Berbeda itu indah, ya.”

Aku mengangguk, “Tapi, aku ingin tahu bagaimana jadinya kalau semua hal di dunia ini sama? Menyenangkan atau tidak, ya?”

“Membayangkannya saja aku ngeri, bagaimana bisa aku hidup tanpa warna pink? Pasti sangat membosankan.” Dasar maniak warna pink. “ Mang, kiri. Aku duluan ya, San.” Ani turun dari angkot dengan langkah riang, ia pasti ingin segera sampai rumah untuk mencharger ponsel pintarnya.

“Neng.” Seorang kakek-kakek yang duduk di sebelahku menarik-narik lengan seragam, membuatku was-was. Aku tersenyum kaku, menyembunyikan rasa takut. “Ingin merasakan terlahir di dunia tanpa perbedaan?” tanyanya.

Aku mengernyitkan kening, ternyata kakek ini mendengarkan percakapanku dengan Ani tadi. Aku tersenyum canggung. “Y-ya, begitulah. Aku hanya ingin tahu rasanya.”

“Maka kau akan merasakannya,” kata kakek itu misterius. Perasaanku jadi tidak enak. Aku segera turun saat melihat rumah minimalis berwarna biru, berpamitan pada kakek itu. Dia benar-benar membuatku takut.

Di rumah tidak ada siapa-siapa. Ayah bekerja, sedangkan ibu menjaga toko kue. Setelah makan, aku memutuskan untuk menonton TV yang sedang menayangkan berita tentang bom bunuh diri di beberapa tempat. Aku merasa kejadian ini untuk menjebak salah satu agama, entah untuk tujuan apa. Benar-benar, perbedaan selalu menjadi alasan perpecahan. Meski harus mengorbankan nyawa sekalipun. Lama-lama mataku terasa berat, aku terlelap di atas sofa.

Aku megerjapkan mata, menatap sekeliling heran. Di mana aku? Oh, ternyata aku tertidur di atas sofa ruang keluarga. Meregangkan badan, aku melihat dua orang yang terlihat mirip sedang bercakap-cakap di ruang tamu. Siapa mereka? Wajah mereka benar-benar mirip,  kembar identik? Bukan hanya wajah, tapi rambut, tinggi, bahkan pakaian pun sama. Tapi, siapa mereka? Tamu ayah atau ibu? Aku belum pernah melihatnya. Aku melirik jam di dinding, pukul lima sore. Ayah dan ibu pasti sudah pulang.

“Kamu sudah bangun?” Aku tersentak, mereka mengenalku? Perasaan aku tidak pernah melihat wajah mereka, asing.

“Kalian siapa?” Aku mendudukkan diri di kursi tunggal di depan mereka. Mungkin saja kami pernah bertemu, tapi aku lupa. Duh, ibu mana, sih? Masa tamu dibiarkan saja, tidak dijamu.

Mereka saling pandang, yang duduk di sebelah kanan mengernyitkan kening. “Kamu bagaimana, sih? Masa lupa sama orang tua sendiri?”

Sekarang aku yang mengernyitkan kening, mereka mabuk, ya? Tidak mungkin aku melupakan wajah orang tuaku sendiri. Jangan-jangan mereka ini orang jahat yang ingin mencuri? Tapi itu tidak mungkin. Buktinya mereka malah duduk diam di ruang tamu alih-alih menggeledah seisi rumah. Mereka juga tidak melakukan apapun padaku saat aku sedang tidur. “Jangan bercanda! Wajah mereka berbeda dengan kalian, tidak mungkin ‘kan orang tuaku melakukan operasi plastik agar terlihat mirip? Konyol.”

Yang duduk di sebelah kiri tampak tersinggung, ia menatapku tajam. “Bicara apa kamu ini? Sudah jelas aku ibumu, dan dia ayahmu!” Kalau didengarkan secara saksama, suara mereka benar-benar mirip. Apa-apaan ini? Mereka mau mengerjaiku?

“Jangan bercanda!” desisku tajam. Mengabaikan tatapan mereka yang semakin mengerikan, aku segera bangkit. Hendak mencari ayah dan ibu. Tapi sebelumnya aku ingin buang air kecil terlebih dahulu. Saat akan berdiri, aku tidak bisa tidak kaget saat melihat wajah yang sama seperti dua orang tadi di TV. Apa mereka artis? Iklannya aneh sekali, bagaimana mungkin mereka melakukan semua adegan dengan orang yang sama? Apa mereka tidak memiliki model lain? Aku segera berlari saat kebutuhan alam semakin memaksa hendak keluar.

Ah, lega. Saat akan melap dengan tisu, aku menyadari ada yang aneh dengan alat kelaminku. Tunggu, bukankah aku perempuan? Kenapa aku memiliki batang juga? Tisu dari tanganku terlepas, dan aku segera berteriak histeris. “Arghh!”

“Ada apa?” Aku tidak tahu dia yang mengaku sebagai ibu atau ayah, wajah mereka benar-benar mirip.

Menutup pintu toilet kembali. Aku menatap dia penuh tanya, tanyakan atau tidak, ya?

“Anu, kalau tidak salah aku ini perempuan, kenapa punya dua kelamin?” Aku menarik napas, mencoba menenangkan diri. “Dan kenapa wajahku mirip denganmu?” Iya, tadi aku berteriak untuk kedua kalinya saat bercermin. Kapan aku operasi plastik menjadi seperti mereka? Wajahku tidak terlihat seperti perempuan, tidak juga laki-laki.

Tanpa kuduga dia malah tertawa,  “Kamu ini aneh sekali, semua orang ‘
kan juga sama begitu,” balasnya mengejutkan. Entah kenapa aku merasa benar-benar horor sekarang. Ini sungguh mengerikan, lebih mengerikan dari film horor yang pernah aku tonton.

Untuk menghilangkan rasa penat dan membiarkan otakku memproses informasi dengan baik, aku memutuskan untuk berjalan-jalan walau hari sudah hampir gelap. Persetan, aku lebih menginginkan penjelasan. Aku tidak bisa tidak lebih terkejut saat menginjakkan kaki di luar gerbang. Sepertinya aku terlalu banyak merasa kaget hari ini. Tapi, bagaimana tidak kaget saat mendapati semua lingkungan tampak sama. Rumah-rumah berukuran sama, bentuk sama, warna cat sama, pagar sama, semuanya sama. Aku mengurungkan niat untuk berjalan-jalan, bagaimana jika nanti aku malah tersesat? Aku tidak bisa membedakan mana rumahku dan mana yang bukan jika berjalan lebih jauh.

“Selamat sore, A.” Lagi-lagi aku bertemu dengan orang yang berwajah sama, ia memasang senyum manis. Tangannya membawa keranjang kecil entah berisi apa. Bajunya pun benar-benar sama. Ini benar-benar … mengerikan.

Aku mengerutkan kening, menatap dia penuh tanya. “A? Siapa A?”

Dia menatapku heran, seolah aku orang gila yang menanyakan hal-hal tidak normal. “Aku A, kamu A, semua A,” balasnya yang membuatku semakin tidak mengerti. Dia melambaikan tangan, aku terus melihatnya sampai ia masuk ke salah satu rumah. Dia tidak salah masuk kan? Bagaimana bisa dia mengetahui letak rumahnya?

Tapi tunggu, kalau semua sama, berarti masuk ke rumah mana pun tidak ada bedanya. Kau akan tetap dianggap keluarga, toh kita tidak bakalan tahu mana yang benar-benar si A keluarga kita.

Tuhan, ternyata sama itu semengerikan ini. Jika ini mimpi, tolong cepat bangunkan aku. Aku berjanji akan lebih menghargai perbedaan nanti. Di sini … aneh. Aku tidak kuat.

Tapi, walau sudah melakukan berbagai cara untuk kembali selama berhari-hari, aku tetap berada di sini. Di dunia serba sama yang menakutkan.

Manonjaya, 04 Juni 2018.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #cerpen