Kau Bertanya Mengapa? Maka Bercerminlah!
Katanya, Indonesia itu negara yang kaya.
Katanya, Indonesia adalah negara dengan keberagaman budaya dan bahasa.
Katanya, Indonesia adalah negara dengan umat islam paling banyak di dunia.
Nyatanya ....
Kasus pencurian. Kasus korupsi. Kasus pemerkosaan anak di bawah umur. Konflik sara.
Hah. Aku melipat kembali koran. Tidak adakah berita menyenangkan pagi ini? Indonesia juara Asia dalam bidang matematika, misalnya?
“May, cepat berangkat! Sudah siang,” teriak emak dari dapur.
“Iya.”
Jalanan sudah mulai ramai. Anak-anak berseragam putih merah berjalan sambil tertawa riang. Membicarakan hal-hal seru yang akan mereka lakukan di sekolah nanti. Aku menghela napas, betapa menyenangkannya menjadi anak kecil. Mereka tidak perlu memikirkan hal-hal rumit semacam kasus pelanggaran hak asasi manusia. Sebenarnya, mungkin orang dewasa juga tidak memikirkannya.
Apa aku terlalu rajin, ya, sampai-sampai memikirkan hal serumit itu?
Di pertigaan, aku melihat kakek itu, lagi. Seorang pemulung dengan tubuh bungkuk. Ia mengorek-orek tempat sampah. Mencari barang bekas yang masih bisa dijual.
Aku celingak-celinguk, memastikan tidak ada orang yang memperhatikan. Merogoh uang lima ribu rupiah dari dalam saku, aku memberikannya pada si kakek. Lalu, segera pergi. Takut ada yang melihat. Aku tidak terlalu suka orang lain melihat apa yang aku lakukan. Kebaikan tidak perlu diumbar, bukan?
Kadang aku merasa miris. Kemana keluarganya? Anak-anaknya? Kenapa mereka membiarkan seorang kakek tua banting tulang sendirian? Di mana rasa terima kasih mereka sebagai seorang anak?
Mungkin kakek itu sebatang kara. Batinku berprasangka baik.
Aku tidak akan menyangkal, aku bangga pada kakek itu. Meskipun sudah tua dan bungkuk, ia tetap bekerja keras. Tidak seperti kebanyakan orang yang akan lebih memilih untuk mengemis padahal tubuh masih sehat dan bugar.
Lalu sebuah pertanyaan melintas, di mana peran pemerintah? Bukankah seharusnya kakek itu menerima bantuan? Dimasukan ke panti jompo, misalnya.
“Punten,” sapaku pada beberapa orang yang sedang berkumpul di warung pinggir jalan. Sambil tersenyum dan membungkukkan badan, aku berjalan melewati mereka.
Lihatlah kelakuan orang-orang muda ini, hari masih pagi tapi mereka sudah asyik bermain kartu. Benar-benar. Aku ingin sekali membalikkan meja dan berteriak, “Bekerja sana! Kalian tak malu pada burung yang sudah berkeliling di langit untuk mencari makan?”
“Kapan majunya negara ini kalau kelakuan penduduknya masih begini?” gumamku.
Saat melewati sungai yang penuh dengan sampah dan airnya berwarna hitam, aku berhenti untuk sekadar memotretnya. Aku memang senang mengoleksi foto-foto wajah buruk rupa wilayah indonesia. Bukan untuk diunggah di sosial media seperti kebanyakan orang, tapi lebih ke untuk mengingatkan diri sendiri. Betapa rendahnya kecintaan masyarakat pada lingkungan sekitar.
Berbicara soal cinta, aku benar-benar mual dengan betapa seringnya orang Indonesia membahas hal itu. Cerpen, novel, puisi, film, semuanya tentang cinta. Oh, betapa Indonesia adalah negara yang penuh dengan cinta. Mungkin lebih tepat jika dikatakan Indonesia keracunan cinta. Mulai dari anak-anak sampai kakek-nenek, semuanya membahas cinta. Bahkan anak SD pun sudah tahu apa itu cinta.
Sayang, cinta mereka hanya untuk makhluk fana saja. Kenapa mereka tak mencoba untuk mencintai lingkungan? Mencintai ilmu pengetahuan? Mencintai negara? Mungkin saja sekarang Indonesia sudah menjadi negara maju.
Indonesia negara yang kaya. Semua orang tahu itu. Tanah subur. Minyak bumi melimpah. Laut luas. Tapi mengapa penduduknya masih sangat miskin? Bahkan mereka tak segan-segan mencuri hanya untuk bertahan hidup.
Pemalas. Itu alasannya. Orang Indonesia suka kemudahan. Mereka tak segan-segan membayar mahal untuk sebuah ijazah. Maka, saat bekerja, ilmu mereka tak ada. Ujung-ujungnya korupsi besar-besaran. Hukum dibeli. Katanya dipenjara, tapi bisa liburan ke Bali. Lalu, yang kaya makin kaya, yang miskin makin melarat.
Orang Indonesia juga suka kemudahan. Alih-alih berjuang sekuat tenaga, mengambil milik orang lain memang lebih mudah dilakukan. Itulah mengapa kejahatan di negara ini tidak pernah menurun.
“May, kamu sudah mengerjakan PR Matematika?” tanya Gina ketika bokongku baru bertemu dengan kursi. Ia duduk di atas meja, lalu menatapku dengan mata berbinar. “Nyontek, dong!”
“Aku ajari saja, gimana?” tawarku.
“Kelamaan, May.” Gina melambaikan tangan. “Nanti keburu bel.”
Aku hanya bisa menghela napas sabar saat Gina merampas bukuku. Kenapa dia tak mengerjakannya sendiri? Dia juga pasti punya banyak waktu di rumah. Walau salah, kuyakin guru juga tidak akan mengeluarkannya dari sekolah. Sekolah kan tempatnya salah. Dan sudah menjadi tugas guru untuk membimbingnya.
***
“May, makannya sambil duduk.” tegur Emak. Aku hanya cengengesan tanpa berniat mengubah posisi. Tiduran nonton tv sambil ngemil. Maka nikmat mana lagi yang kau dustakan?
Perseteruan antar suku semakin meningkat. Bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Itu headline berita petang ini.
Hm, sebenarnya, negara yang kaya akan budaya itu menguntungkan atau merugikan? Akhir-akhir ini aku sering melihat berita konflik sara. Aku tak terlalu mengerti apa yang mereka ributkan, tapi kalau sampai menimbulkan korban bukankah ini sudah sangat keterlaluan? Apa mereka tidak belajar tentang toleransi di sekolah?
Kalau tidak salah, bu guru pernah berkata, “Perbedaan merupakan alasan yang paling kuat untuk bersatu.”
Nyatanya, perbedaan merupakan awal perpecahan. Hanya karena berbeda pendapat saja orang-orang banyak yang saling bermusuhan. Apalagi kalau banyak perbedaannya? Seperti bahasa, warna kulit, dan adat istiadat. Jujur saja, aku cukup kagum dengan negara Indonesia. Dengan begitu banyaknya perbedaan, mereka masih bisa bersatu sejauh ini. Lupakan tentang insiden-insiden konflik sara yang merusak bangunan peribadatan, merusak rumah warga, dan lain-lain. Ketika sedang sibuk berpikir, pandanganku mulai menggelap.
Aku membuka mata dan mengernyitkan kening ketika melihat sebuah pemandangan tidak biasa. “Di mana ini?”
Sejauh mata memandang, aku melihat hal-hal sederhana namun menakjubkan. Orang-orang berbeda ras sedang berkumpul sambil bercengkrama. Anak-anak kecil sedang menyiram tanaman. Semua orang saling melempar senyum dan bergotong royong.
“Hai, Nak. Siapa kamu? Kamu bukan penduduk di desa ini, kan? Aku baru pertama melihatmu.”
Aku menoleh kaget, lalu menggaruk kepala canggung. “Halo, Paman. Namaku May.”
“Ah, May. Selamat datang di desa kecil ini.”
“Terima kasih, desa ini sungguh mengagumkan,” ujarku terpesona.
“Oh, ya? Memangnya seperti apa tempat asalmu?” Paman itu mempersilakanku duduk di kursi tepat di bawah pohon dengan daun berbagai warna. Menarik.
“Negaraku disebut sebagai tanah surga. Berbagai jenis tanaman bisa tumbuh subur, lautnya luas penuh berbagai jenis ikan, dan kaya akan ragam budaya. Tapi, penduduknya sangat miskin. Mereka sampai harus melakukan kejahatan demi sesuap nasi.
“Negaraku terdiri dari banyak pulau. Di mana setiap pulaunya memiliki keunikan tersendiri. Bahasa, gaya berbicara, kesenian, semuanya sangat menarik untuk dipelajari. Tapi, penduduknya saling berselisih, berpendirian kalau budaya mereka yang paling baik.
“Ada enam agama yang disahkan negaraku. Bahkan, Indonesia digadang-gadang sebagai negara dengan penganut agama islam terbanyak di dunia. Tapi, moral penduduknya buruk, dan kejahatan terjadi dimana-mana. Ah, maaf, aku bercerita terlalu banyak,” ujarku sungkan.
Paman itu tersenyum menenangkan, “Lanjutkan saja, aku senang mendengarnya. Kau pasti tidak punya tempat untuk mengeluarkan uneg-unegmu, ya?”
Aku merings malu. Lalu kembali bercerita.
“Aku selalu berpikir, betapa indahnya bila hidup damai. Semua orang sadar akan peran diri mereka masing-masing. Salah satu caranya adalah taat beragama. Coba bayangkan, Paman, jika semua orang beragama, pasti tidak akan ada yang melakukan kejahatan. Karena aku yakin, tidak ada satu agama pun yang memerintahkan umatnya untuk melakukan tindakan tercela.”
“Tapi buktinya yang memiliki agama justru sering terkena konflik?” tebaknya benar.
“Ya, bahkan banyak yang sampai menimbulkan korban jiwa. Aku tidak mengerti apa arti agama bagi mereka. Menurut paman, apa yang salah dengan negaraku?”
Paman itu merogoh tas jinjing yang sedari tadi ia genggam, lalu mengeluarkan seluruh isinya hingga berserakan di atas tanah. Ada berbagai benda aneh yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ia mengacak-acak semua barangnya, setelah menemukan satu benda bulat dengan gagang emas ia melempar senyum manisnya padaku.
Aku mengangkat sebelah alis, apa maksudnnya?
“Untukmu,” ujarnya tanpa menghilangkan senyum.
Aku menerimanya agak heran. Setelah kubolak-balik, aku masih tidak mengerti apa maksudnya. “Cermin?”
“Ya,” Paman itu mengangguk. “Semua jawaban dari pertanyaanmu ada di sana.”
“Mengapa negerimu miskin? Mengapa negerimu tidak aman? Karena orang-orang di tempat asalmu tidak pernah bercermin,” lanjutnya, “semua jawaban dari masalahmu ada di cermin ini.”
Aku termenung. Kata-katanya mulai merasuk ke dalam otakku. Semua pertayaan yang selama ini menggangguku, jawabannya begitu dekat. Ada dalam diriku sendiri. Selama ini aku hanya mengeluh, bertanya-tanya tanpa melakukan tindakan apapun.
Percuma aku berkoar-koar, menguras otak mencari jawaban dari berbagai masalah yang menimpa negeriku. Ternyata jawabannya sederhana, aku harus bercermin. Sudahkah aku membantu orang yang membutuhkan? Sudahkah aku menghargai orang lain? Sudahkah aku melestarikan budaya?
“Setelah kau bercermin, kau harus bisa menjadi cermin bagi orang-orang di sekitarmu,” nasihat paman.
“Sudah waktunya kau pergi.” Si Paman tersenyum, perlahan-lahan pandanganku mulai dipenuhi serbuk-serbuk cahaya keemasan.
“May, jangan tidur di sini. Udah sholat belum?” Seseorang mengguncang bahuku lumayan keras.
Dengan malas aku membuka mata, menggeliat. “Belum, Mak,” jawabku masih mengunduh nyawa.
“Ya sudah, sholat dulu sana!”
Aku mengangguk, lalu berjalan ke kamar kecil. Sepertinya tadi aku bermimpi sesuatu, tapi apa, ya? Aku tidak ingat. Ah, tidak penting, sekarang mending sholat dulu aja, deh.
Tanpa kusadari sebuah benda bulat dengan gagang emas terselip di lekukan sofa.
Manonjaya, 2018.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro