Sekeping Rasa Yang Tertinggal
Aisy menitikkan air mata. Hatinya terluka kian pedih saat harus melihat wajah lelaki itu tersenyum bahagia. Tidak, bukan Aisy dendam atau pun membencinya. Akan tetapi, hatinya kian terasa perih saat lelaki itu bahagia bukan bersamanya. Lelaki yang entah sejak kapan mampu memberi sisi lain di sudut hati Aisy yang terdalam.
Bukan Aisy yang meminta jika rasa itu menetap di sana. Tidak, bukan cinta. Aisy tak mungkin mengartikan bahwa yang dirasakan itu adalah cinta. Aisy tak seberani itu. Dia takut jika harus buru-buru mengartikan semua letupan rasa yang sedikit berfluktuasi itu adalah sebuah rasa cinta. Tidak, Aisy tak seberani itu. Itu bukanlah cinta. Sebab Aisy pun sadar status Dafi dan dirinya kini sama -sama tak lagi sendiri.
Dafi, lelaki berusia 35 tahun sudah tujuh bulan ini dikenalnya melalui salah satu media sosial. Seorang ayah dari tiga orang anak itu telah berhasil mencuri hatinya. Aisy tidak tahu bagaimana semuanya bermula. Siang itu, saat salah satu notifikasi dari media sosial mengirimkan sinyal pesan masuk di salah satu aplikasi ponselnya. Sebuah pesan yang dia terima dari seorang Dafi.
"Sudah mandi?"
Aisy mengerutkan keningnya saat membaca pesan singkat di ponselnya. Pertanyaan macam apa ini? Gumam hati Aisy seraya tersenyum lucu.
Sebuah pertanyaan konyol menurut Aisy, untuk seseorang yang ingin mengawali perkenalan lebih jauh. Tapi Aisy tidak merasa kesal saat pesan-pesan itu mampir di ponselnya. Melainkan merasa lucu. Ada sebersit senyum yang terukir di bibirnya. Menandakan hati Aisy merasa sedikit terhibur dengan setiap kalimat yang Dafi kirim untuknya.
"Sudah. Udah empat kali malah."
"Pantesan...."
"Pantesan apa?"
"Wanginya sampe ke sini."
Aisy tertawa saat membaca setiap pesan yang masuk. Dia sudah sangat akrab dengan Dafi. Ya, akrab, bahkan sebelum Dafi menghubunginya. Tidak, bukan karena sudah saling bertemu, melainkan hanya karena mereka sering saling memberi komentar di setiap status atau postingan mereka. Hingga tidak sulit Aisy tahu siapa dan bagaimana rupa seorang Dafi, istri dan ketiga anak mereka. Semua Aisy rasa tidak ada yang berbeda. Hanya sebatas biasa saja.
Keesokan hari lagi, Aisy mengira tak akan ada lagi pesan dari Dafi setelah Aisy menolak menunjukkan wajahnya meski Dafi membujuknya. Aisy tetap menolak. Aisy pikir jika dia menolak, Dafi tak akan lagi berusaha menghubunginya. Tapi ternyata salah. Semua tidak seperti yang Aisy duga. Dafi tetap menghubunginya lalu meminta nomer ponselnya.
Sehari, dua hari, sampai satu pekan, Dafi terus saja memintanya. Pada akhirnya, Aish berpikir tak ada salahnya jika dia bisa berteman dengan siapa pun. Memilih untuk tidak hanya terikat di sosmed saja. Berkomunikasi bisa melalui apa saja bukan? Lagi pula, dia tidak akan macam-macam apalagi sampai terlibat dalam urusan hati. Tidak, Aisy sangat tahu bagaimana dia menempatkan diri. Tidak mungkin dia akan tergoda pada lelaki yang sudah memiliki pendamping hidup. Tidak hanya itu, Aisy juga jauh lebih tahu kalau Dafi adalah seorang ayah dari ketiga orang anak.
"Cantik."
Komentar Dafi tentang foto profil Aisy melalui satu pesan yang masuk di kontak WhatsApp-nya.
"Iya dong, kan, perempuan." Aisy langsung mengirim balas.
"Pas, kalau di...."
"Di, apa?"
"Dikeukeup (dipeluk)."
Aisy terkekeh, dia tahu Dafi sedang bercanda.
"Enak aja!" balas Aisy.
"Ih, Ge er. Dipeluk oleh-olehnya ... maksud saya."
"Oh, kirain. Ambigu banget soalnya. 🤣🤣🤣"
Begitulah obrolan mereka. Tidak ada yang istimewa selain hanya obrolan-obrolan konyol penuh canda tawa yang Aisy terima dari Dafi. Kadang, bukan hanya Dafi yang mencoba merayu bahasa gombalnya untuk Aisy. Isengnya, Aisy pun kadang menimpali dengan candaan yang membuat Dafi sedikit greget hingga dia hanya membalas dengan satu kata 'Jitak' untuknya.
Seiring berjalannya waktu, canda tawa yang terangkai membuat mereka saling dekat dan terikat. Dafi pun mulai perhatian. Dafi selalu bisa mengartikan bagaimana kondisi Aisy dengan cara hanya menangkap setiap makna dari kalimat yang Aisy tulis. Jika keadaan Aisy sedang tak sehat, Dafi selalu mengirimkan ucapan-ucapan yang sepele, tapi mampu membuat setiap moment menjadi begitu berkesan. Dan, setiap menjelang senja Dafi selalu menyempatkan diri mengirim apa saja yang membuat Aisy tertawa.
Tanpa sadar, setiap celoteh dan kata-kata lelaki itu seperti membiusnya.
Tapi semakin lama di sela-sela kesendirian, Aisy sadar. Dia salah, jika hal ini terus berlanjut. Ini bukan hanya akan menimbulkan perkara kecil, jika semua ini masih saja Aisy diteruskan. Kadang, Aisy perhatikan setiap celotehan Dafi kepada orang-orang selain dirinya. Hampir semua candaan Dafi sama saja. Tapi entah jika di belakang layar tipis ponselnya. Kadang, Aisy bertanya-tanya, apakah sikap Dafi sama pada setiap wanita yang membuat lelaki itu penasaran? Samakah sikap Dafi pada yang lain seperti Dafi memperlakukan Aisy?
Cantik dan shaliha.
Lagi-lagi, satu pesan Dafi, Aisy terima. Mungkin saat itulah Allah secara tak langsung mengirimkan petunjuk-Nya untuk Aisy. Entah mengapa saat pesan itu dibaca, hati Aisy seperti dicubit.
Shaliha? Apakah seorang yang shaliha melakukan hal seperti ini? Apakah pantas dikatakan shaliha, sedangkan prilaku dan kelakuanku tak sedikit pun mencerminkan sebagai wanita shaliha.
Aisy menitikkan air mata. Dia merasa telah disadarkan dengan satu kata 'shaliha' yang Dafi ucapkan. Dusta, jika hal itu adalah menjadi bagian dari diri Aisy, sedangkan kelakuannya sungguh tidak dibenarkan. Menjadi cantik adalah anugerah, tetapi bukankah menjadi shaliha adalah sebuah pilihan? Mana yang akan Aisy pilih? Pujian Dafi membuat Aisy cukup merasa bersalah. Sebab pujian itu belum layak sama sekali disandingkan dengan namanya.
Jemari Aisy menari lincah di atas layar ponselnya. Menuliskan kata-kata yang dia kirimkan untuk Dafi sebagai balasan.
"Lebih shaliha istrimu daripada aku. Bidadari saja sampai cemburu karena keshalihan istrimu."
Aisy tatap layar ponselnya sampai pesan itu terkirim dan berhasil dibaca Dafi. Tak sampai satu menit, ponselnya sudah kembali berdenting. Dari Dafi.
"Oooh ... jadi kamu cemburu, niiih?"
Aku? Cemburu? tanya batin Aisy.
Aisy langsung kembali mengetik jawaban.
"Aku? Ngapain cemburu. Sorry, aku mah bukan tipe cewek yang suka gampang cemburuan."
Lagian apa urusannya aku cemburu sama dia? Gerutu Aisy dalam hati.
Ya, walau Aisy sangat tahu arti ucapan Dafi yang mengatakan bahwa, 'berarti kamu cemburu, niih?' Yang artinya Dafi tengah mengartikan, bahwa bidadari yang cemburu itu adalah Aisy, dan itu adalah dirinya. Sempat Aisy tersipu, tapi semua yang tersirat tak akan mampu dia terka bahkan sulit tuk diartikan. Sedangkan yang tersurat, bisa saja hanya sebuah kalimat penuh kebohongan. Meski pun kadang semua tampak begitu tulus, tapi nyatanya tetap sulit untuk direalisasikan. Kondisi dan situasi juga status yang membuat semua tak seperti yang diinginkan.
Bagi Aisy, cinta adalah sesuatu yang membawanya pada sebuah kebaikan. Bukan menghancurkan bahkan menimbulkan kesakitan. Cinta yang diletakkan pada yang benar, tak akan menuai keterpurukan. Begitu pula saat ini. Aisy salah. Ini tidak dibenarkan. Dafi bisa saja mampu membohongi istrinya, lalu siapa dia jika mau saja menerima candaan yang dia tahu bukan haknya. Aisy tahu bahwa dia harus mundur. Dia tak ingin menjadi seseorang yang akan menghancurkan hubungan seseorang hanya gara-gara nafsu sesaat.
Dan hari terakhir Dafi menghubunginya, Aisy pun memberanikan diri untuk bertanya sesuatu yang akhir-akhir ini selalu melintas di pikirannya.
"Apakah perlakuanmu juga sama jika pada wanita yang lain, Dafi?"
😲😠😠😠 tega kamu nilai aku begitu
"😏😏😏 maaf...🙏🙏🙏," balas Aisy.
Tanpa penjelasan, chat pun tak berlanjut seperti biasanya. Aisy pikir, Dafi sibuk. Tapi setelah dua hari, tak lagi Aisy dapati pesan-pesan Dafi mengganggunya. Sepi, itulah yang Aisy rasakan. Kehilangan, ya Aisy merasa kehilangan. Dia merasa bersalah telah mengucapkan kata-kata itu.
Lima hari setelah kejadian itu, Aisy tetap bersikap biasa saja saat dia berkomentar di media sosial tempatnya berselancar. Hanya saja, ada yang berbeda. Aisy semakin merasa penuh tanda tanya, saat Dafi tak pernah lagi mengomentari setiap postingannya. Dafi melupakan semuanya, mengabaikannya begitu saja.
Ada rasa sakit di sudut hati Aisy atas sikap Dafi kepadanya. Aisy merasa selama ini Dafi hanya ingin mencoba mempermainkan hatinya. Menilai dan menghinanya. Apa maksud Dafi mendekatinya dan mencari tahu segala tentangnya. Dan setelah lelaki mendapatkan semua yang dimaunya, Aisy pun dilupakannya. Ya, Dafi tidak lagi sama. Dafi seakan bersikap tak lagi mengenalnya. Melupakannya.
Apakah selama ini Dafi hanya ingin menguji sikap dan pribadinya? Tapi untuk apa? Apakah salah jika Aisy bersikap ramah? Apakah salah jika Aisy hanya bertanya apa maksud lelaki itu datang dan mencoba dekat dengannya sementara dia telah berkeluarga? Lalu, apakah salah jika akhirnya ada hati yang merasa terusik karenanya?
Aisy memandangi ponselnya. Sepi. Tidak ada lagi Dafi yang bertanya kabarnya. Tidak ada lagi Dafi dengan segala leluconnya. Aisy kehilangan. Ditatap satu kontak yang bertuliskan nama seorang Dafi. Dalam hati Aisy, Dia bertekad untuk menghapus semua jejak tentang lelaki itu dari ponsel miliknya. Ada denyut nyeri di sudut hati yang membuat Aisy tak bisa membendung air matanya untuk tidak jatuh hingga membasahi kedua pipinya.
Aku tidak menyesal mengenalmu. Hanya saja, sesalku adalah, mengapa aku merasa sangat bodoh, hingga aku merasa setiap candamu adalah candu bagiku. Ya Allah... ampuni hambamu ini...
Aisy terisak dalam tangisnya yang tertahan. Menutup wajah dengan kedua tangannya. Apakah sesakit ini rasanya di saat seseorang secara tak langsung telah menghina dan meragukan moralnya? Apakah dia hanya dicap sebagai wanita yang mudah meladeni setiap rayuan? Aisy merasa Dafi menilainya begitu. Meski tak pernah ada penjelasan yang menjurus ka sana. Tapi hatinya seakan membenci dirinya sendiri.
Dasar tolol! Bodoh! Mau aja dikerjain! umpat Aisy dalam hati.
Dua minggu, sudah tak ada respon apa pun lagi. Yang bisa dilakukan Aisy hanyalah mencoba menjalani harinya senormal biasanya. Meski sesekali Aisy merasa luka di hatinya kembali basah, saat dia melihat Dafi lebih banyak memamerkan kata-kata romantis dan gambar dirinya bersama istri tercinta juga anak-anaknya.
Tidak, Aisy tak pernah membencinya. Justru Aisy masih bisa tersenyum bahagia di saat melihat lelaki itu terlihat bahagia dengan keluarganya. Bahkan dalam hati kecilnya, dia selalu berdoa,
Semoga kamu selalu bahagia, semoga Allah selalu menghimpun kalian dalam limpahan rahmat-Nya. Semoga Allah selalu memberimu kemudahan dalam setiap yang kamu hadapi. Berbahagialah... doaku akan selalu ada untukmu sebagai temanmu.
Aisy menyeka air matanya. Menutup layar ponselnya. Merebahkan diri di atas tempat tidur dengan kedua mata terpejam. Dia mencoba menangis sepuasnya. Menormalkan kembali rasa sesak di dadanya bahwa semua yang dilakukannya, keputusan untuk menghindar dan menghentikan semuanya adalah yang terbaik untuknya, Dafi dan keluarga kecil mereka.
Mengapa kamu datang dan mendekat jika akhirnya hanya membuat hatiku terluka? Apakah salah jika aku merasa menikmati semuanya? Siapa yang salah? Kamu atau aku yang terlalu mudah menerima semuanya dengan hati? Lalu menjadikan hal sesederhana mungkin menjadi sesuatu yang istimewa? Aku atau kamu yang salah? Meski jujur bahwa aku tak menginginkan semuanya hadir begitu saja.
Aisy menerawang menatap langit-langit kamarnya. Kesunyian kini kembali menjadi teman dalam sepinya. Untuk ke sekian kalinya, dia berjanji tidak akan lagi mengulangi kebodohan yang sama. Seperti yang dia lakukan pada seorang Dafi. Meski sampai saat ini dia sendiri sulit mengartikan sekeping rasa yang tertinggal. Apakah nama dari rasa itu? Aisy sendiri tak mengerti. Yang lebih jelas adalah dia tak akan menukar akhirat untuk dunianya. Jika itu adalah cinta, biarkan Allah yang membantu dan membimbing hatinya terlepas dari penyakit yang seharusnya tak pernah ada.
*****
Semoga bermanfaat.
Wassalam
Julia Rosyad.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro