SABTU HOROR - ARWAH
Sudah 2 minggu lebih aku sendiri di rumah. Kedua orang tua dan adikku pulang kampung demi lebaran di rumah nenek, padahal pemerintah sudah melarang semua aktivitas mudik sebagai langkah mengendalikan penyebaran virus. Akibatnya, mereka masih menunggu waktu pembatasan usai untuk bisa pulang kembali ke rumah.
Aku tidak ikut pulang kampung karena tidak begitu suka menghabiskan waktu di rumah nenek. Sinyal di sana susah dijangkau dan listrik hanya menyala di malam hari. Aku tidak tahan dengan kondisi minim hiburan seperti itu! Terlebih, bagiku ini adalah kebebasan! Sendiri di rumah tanpa harus dilarang-larang dan disuruh-suruh sungguh menyenangkan! Ini juga berarti hari-hari tanpa berkelahi dengan adik yang selalu dibela orang tuaku sekalipun dia yang salah.
Akan tetapi, kenyamananku tampaknya berlangsung cukup singkat. Sudah beberapa hari rumah terasa tidak aman. Banyak kejadian-kejadian aneh terjadi. Aku merasa tidak sendiri di rumah, sering terdengar suara-suara seperti bisikan atau benda-benda yang bergerak sendiri. Pendapatku langsung berubah 180 derajat. Aku berharap keluargaku lekas kembali! Syukurlah mereka akan pulang besok lusa. Aku hanya perlu bertahan selama dua malam lagi.
***
Ternyata dua malam itu rasanya sangat lama! Sejak hari Sabtu, gangguan-gangguan mulai sering muncul dan makin lama makin parah.
Saat aku mandi, air yang keluar dari shower berwarna merah darah dan berbau anyir. Sontak aku berteriak lalu berlari keluar kamar mandi dan mendapati warna air di tubuhku kembali seperti air biasa yang tidak berbau.
Kemudian pada pagi hari ketika sarapan, makananku terasa aneh. Aku memuntahkannya di wastafel. Dari mulutku keluar belatung dan gumpalan rambut! Begitu menoleh ke piring, makananku berubah menjadi tanah kotor yang dipenuhi belatung! Aku memekik dan segera berkumur-kumur berulang kali. Namun, rasa jijik di mulutku masih tersisa!
Kejadian mengerikan selanjutnya terjadi saat bercermin di kamar pada malam hari. Aku melihat dua sosok bayangan buram—yang terpantul di cermin—berdiri di belakang seperti sedang menatapku lekat-lekat. Sedetik kemudian, aku dikagetkan dengan pigura-pigura foto yang terbanting hingga pecah dan barang-barang yang beterbangan ke sana kemari. Aku teriak ketakutan sekencang mungkin sambil berlari keluar dari kamar tidurku—tempat di mana gangguan terparah kualami.
Akhirnya kuhidupkan televisi tanpa menontonnya. Suara berisik layar lebar tersebut dapat mengurangi rasa takutku dibanding harus berdiam dalam keheningan yang panjang. Dengan terbungkus selimut, aku meringkuk gemetaran di atas sofa depan televisi.
Tidak lama kurasakan tangan-tangan dingin masuk ke dalam selimut, memegang kakiku. Kubuka selimut untuk melihat apa yang menyentuhku.
Aku sontak menjerit ketika muncul wajah kurus seperti batang kayu berambut panjang awut-awutan dan mata kosong tanpa bola mata. Ia tersenyum dengan mulut robek. Makhluk mengerikan itu tidak hanya satu! Mereka mengelilingi sofa tempatku meringkuk dan menggapai-gapaiku.
"MAMA! TOLONG! HUHUHU!" jeritku sambil menangis tidak karuan, tapi makhluk-makhluk tersebut semakin mendekat. Tubuhku mulai ditarik ke berbagai arah.
'TOK-TOK-TOK'—Terdengar ketukan dari pintu depan rumah. Makhluk-makhluk tadi ikut menoleh bersamaku ke arah asal suara.
'DUG-DUG-DUG'—Ketukan tadi berubah menjadi gedoran yang makin lama makin keras. Makhluk-makhluk menyeramkan di sekitarku bergegas menarik diri mereka mundur ke bagian terdalam rumah.
"Anggi ...." Terdengar suara ramah dari arah pintu depan.
Siapa yang memanggil namaku?
Ketakutanku terbagi menjadi dua. Aku takut makhluk-makhluk menyeramkan itu akan kembali lagi karena masih kurasakan tatapan-tatapan dingin mengintai dari kegelapan di bagian rumah yang gelap. Namun, aku juga takut membuka pintu. Seperti apa sosok yang dapat membuat makhluk-makhluk mengerikan kabur ketakutan?
"Anggi ...."
Namaku dipanggil lagi. Aku tidak merasakan bahaya dari suara tersebut. Kuberanikan diriku untuk melangkah ke depan rumah. Terdengar suara mendesis di belakang seolah memprotes apa yang akan kulakukan. Aku semakin mantap untuk membuka pintu.
Ketika kubuka pintu, angin dingin berembus ke dalam rumah. Kudapati sesosok laki-laki paruh baya dan berwajah teduh berdiri di depan rumah sambil tersenyum. Aku tidak mengenal laki-laki asing tersebut, tapi aku tidak merasa takut.
Satu hal aneh membuatku tersentak: pemandangan di luar rumah tampak seperti ruang tanpa batas berwarna abu-abu! Selain rumahku, tidak ada apa-apa lagi!
Laki-laki tadi mengulurkan tangannya. "Sudah waktunya, Anggi."
Aku pun tersadar, seolah baru saja bangun dari mimpi yang panjang.
"Ah, benar."
Sinar terang memenuhi pandangan ketika kusambut uluran tangan pria itu.
***
"Apa Anggi sudah tenang?" tanya seorang pria berkumis.
"Ya, saya sudah menjemputnya. Dia hampir saja menjadi arwah tersesat," jawab sosok laki-laki paruh baya berwajah teduh.
"Huhuhu ... Anggi ...." Seorang wanita menangis tersedu-sedu di dalam pelukan pria berkumis.
"Paman, a-apa Kakak memaafkanku? Aku bertengkar dengan Kakak sebelum pergi ke rumah Nenek. Kak Anggi marah karena aku habiskan es krimnya." Seorang anak yang baru menginjak usia remaja menunduk dengan air mata bercucuran. Di tangannya terdapat sekotak es krim yang dijulurkan ke depan. Suaranya masih bergetar ketika ia melanjutkan kata-katanya. "To-tolong beri es krim ini ke Kakak. Hiks .... Bilang pada Kakak kalau aku minta maaf."
Si laki-laki paruh baya tersenyum dan mengelus rambut hitam remaja itu. Remaja yang di raut wajahnya tergambar penyesalan mendalam.
"Kakakmu sudah memaafkanmu. Dia bilang makan saja es krimnya. Yang dia butuhkan sekarang adalah doa. Kamu berdoa saja untuk kakakmu."
Seusai berbincang dengan kata-kata penuh penghiburan, laki-laki paruh baya itu pamit pergi dan menolak ketika disodorkan sejumlah uang. Lalu ia kembali ke mobil yang terparkir di depan rumah keluarga yang baru berduka tersebut.
Di dalam mobil, dirinya melihat kembali artikel pada layar handphone—artikel yang membuatnya pergi ke rumah tadi. Terdapat judul berita yang ditulis dengan huruf tebal:
'RUMAH MAHASISWI YANG MENINGGAL SAAT DIRAMPOK MENJADI ANGKER.'
"Anak yang malang."
-End-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro