JUMAT SLICE OF LIFE - TONGKRONGAN
Aku hanya bisa memeluk dan mencium tangan Ayah yang sedang berbaring tak berdaya di atas tempat tidur di teras rumah sakit. Berkali-kali kucoba untuk menahan air mata agar tidak tumpah di tempat umum seperti ini, tapi seringkali percobaanku itu gagal.
Dengan penuh kesedihan, kutatap wajah Ayah yang terlihat kesulitan bernapas. Beliau tidur memakai masker dengan selang yang terhubung ke tabung oksigen di samping tempat tidur. Sesekali terdengar gumaman kecil darinya.
Aku memandang sekitar. Teras Rumah Sakit Umum Daerah ini dipenuhi banyak tempat tidur dan pasti ada pasien yang tidur di atasnya. Tidak sedikit pasien ditempatkan di halaman dengan tenda darurat menaungi mereka dari panas dan hujan, kondisi yang sebenarnya jauh dari layak untuk penanganan pasien. Namun, apalah daya karena keadaan yang memaksa.
Rumah sakit lain menutup penerimaan pasien karena sudah melebihi kapasitas daya tampung, bahkan merujuk ke rumah sakit daerah. Padahal rumah sakit milik pemerintah daerah pun sudah penuh, tapi mereka berusaha mengadakan tempat tidur darurat sebagai tambahan. Seperti Ayah, semua pasien yang ditempatkan di teras dan halaman rumah sakit ini tengah menunggu antrean ketersediaan kamar kosong.
Pandemi yang disebabkan virus kali ini telah merenggut banyak hal dalam hidupku. Pekerjaanku, pertemananku, bahkan keluargaku menjadi kacau karenanya! Hanya penyesalan yang tertinggal membayangi hari-hariku.
Semua dimulai berawal dari sifat keras kepalaku.
Di akhir pekan beberapa bulan lalu, tepatnya pada hari Jumat, aku dipanggil oleh atasanku yang mengabarkan berita buruk tentang pemangkasan jumlah pegawai dan aku termasuk satu di antara sekian pegawai yang terpaksa diberhentikan.
Terpaksa aku menjadi pencari kerja lagi yang berkeliling ke sana kemari mencari pekerjaan. Namun, pandemi juga berimbas pada ekonomi sehingga sulit menemukan lowongan.
Banyak berdiam di rumah dengan uang yang mulai menipis, membuatku semakin uring-uringan. Aku pun melampiaskannya dengan berkumpul bersama teman-teman lama sesama pengangguran di pos hansip yang sepi saat siang hari. Kami bercanda di sana, main kartu, mengobrol hal yang tidak penting, atau menghujat keadaan dan pemerintah.
Keadaan terus berlanjut seperti itu sampai suatu hari, ibuku mengungkapkan kekesalannya akan kelakuanku yang keluyuran ke mana-mana di masa pandemi seperti ini. Ibuku memang orang yang mudah khawatir.
"Adit cuma nongkrong di pos hansip depan gang kok, Bu. Nggak ke mana-mana. Bosen tau di rumah mulu." Aku membela diri.
"Tapi kamu nongkrong setiap hari, Dit. Ibu dengar teman kamu dari gang sebelah yang namanya Bimo positif kena virus, tapi malah jalan-jalan. Ibu juga lihat waktu pulang dari pasar kemarin, dia nongkrong bareng kamu."
"Haduh .... Virus! Virus! Virus! Percaya banget sih Ibu nih. Nggak ada itu virus! Semua cuma akal-akalan pemerintah buat meras dan nyiksa rakyat! Buktinya si Bimo baik-baik aja. Adit juga baik-baik aja nongkrong sama Bimo. Mana virusnya? Mana?! Lagian Adit nongkrong kan ada manfaatnya, siapa tau ada yang nyebar lowongan kerja di tongkrongan. Daripada di rumah terus nanti jadi kolot kayak Ibu!"
Kata-kata yang segera kusesali di kemudian hari. Hampir semua temanku yang sering nongkrong bersama di pos hansip mengabarkan jika mereka positif virus. Mereka ada yang baik-baik saja, tapi ada yang cukup parah hingga meninggal dunia.
Aku pun terjangkit meski tanpa gejala. Namun, aku ternyata membawa virus tersebut ke dalam rumah, menjangkiti keluargaku sendiri! Ibu—sebagai satu-satunya yang divaksin di rumah—tidak menunjukkan gejala, sama sepertiku. Sementara Ayah—yang keras kepalanya mirip denganku dan menganggap virus ini hanya konspirasi—mengalami gejala parah karena memiliki komorbid darah tinggi. Komorbid adalah penyakit bawaan yang diderita bersamaan dengan penyakit utama.
Ayah mengalami kesulitan bernapas yang makin lama makin parah. Aku dan Ibu pun memutuskan untuk membawa Ayah ke rumah sakit terdekat. Namun, kami ditolak karena rumah sakit tersebut sudah penuh. Kami ke rumah sakit lainnya dan mendapat penolakan yang sama. Beruntung kami mendapat driver mobil online baik hati yang bersedia menemani hingga mendapatkan rumah sakit yang mau menampung Ayah. Sampailah kami di rumah sakit milik pemerintah daerah.
Dapat kulihat pasien yang mengular hingga ke halaman rumah sakit. Namun, dengan kondisi ayah yang parah, di mana pun tidak masalah selama bisa dipantau oleh tenaga kesehatan jikalau ada keadaan darurat yang membutuhkan penanganan medis.
Aku menunggui Ayah, bergantian dengan Ibu. Pada saat itu, aku sempat melampiaskan kegundahanku di grup chat tongkrongan pada aplikasi WhatsApp.
Aku: 'Ayah masuk rumah sakit. Kondisinya parah.'
Jarwo: 'Semoga cepat sembuh ayah Adit :('
Bimo: 'Gws.'
Aku: 'Cuma gws, Bim? Semua gara-gara lo nih.'
Bimo: 'Lah. Ngapain lo nyalahin gua?'
Aku: 'Kalau lo positif. Diem di rumah! Ngapain jalan-jalan nyebarin penyakit?!'
Adam: 'Udah-udah. Nggak usah ribut. Udah terjadi.'
Hendy: 'Benar tuh, Bim. Gilang kemarin meninggal juga gara-gara lo nyebarin!'
Adam: 'Hen, nggak usah memperkeruh suasana deh.'
Bimo: 'Heh, semua juga tau kalau gua kena. Salah lo semua masih dekat-dekatin gua! Nggak usah munafik! Kalian kemarin juga bilang virus itu nggak ada!'
Aku: 'Tapi harusnya lo tetap tahu diri, Bim.'
Bimo: 'Emangnya kalian pikir gua pengen Gilang meninggal? Gua gitu yang bunuh dia? Lo juga Dit, lo tuh yang harusnya sadar diri! Yang nyebarin ke keluarga lo, ya lo sendiri. Dah ah, males gua sama orang munafik!'
Bimo pun keluar dari grup chat itu.
Aku terdiam sesaat. Ya ... Bimo benar. Aku yang harusnya tahu diri! Aku yang menyebarkan sendiri tapi malah mencari kambing hitam!
Kutatap kembali wajah Ayah. Aku sungguh-sungguh berharap Ayah segera sembuh! Karena aku tidak tahu akan tenggelam dalam penyesalan sebesar apa jika orang yang kusayangi meninggal akibat kesalahanku sendiri.
-End-
Nb: Cerita ini terinspirasi dari kejadian-kejadian selama pandemi Covid19. Mari berdoa untuk kesembuhan semua orang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro