Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Alchemist

BY: Lailatul

Elena mengamati bulan keperakan yang menerangi langit malam, benda langit itu sekilas tampak seperti sebuah mutiara yang sangat indah. Si pelayan mengamati Tuan Putrinya yang sedang termenung di dekat jendela, si pelayan yang mulai penasaran berinisiatif untuk mendekatinya.

"Apa yang sedang kau pikirkan, Tuan Putri?", tanya si pelayan. Elena mengalihkan pandanganya pada pelayannya.

"Aku harus segera membuat ramuan awet muda yang diminta Warlock, itu saja." Si pelayan mengamati mata elena yang seindah batu safir, ada sesuatu yang disembunyikan oleh gadis itu. Si pelayan duduk di tepi ranjang, lalu mengusap kepala Elena dengan lembut.

"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, aku bisa melihatnya dengan jelas." Elena kembali memandang keluar jendela.

"Aku ingin keluar dari sini, aku ingin pulang." Si pelayan berpikir sejenak.

"Kalau kau mengijinkan, aku akan menyampaikannya pada Tuan Eric." Elena kembali memandang si pelayan sejenak.

"Kenapa kalian memanggil Warlock dengan nama depannya? Bukankah dia majikan kalian?" Si pelayan agak terkejut mendengar pertanyaan Elena.

"Itu karena... Tuanku sendiri yang memintanya."

"Kenapa bisa begitu?", tanya Elena lagi.

"Mungkin... karena dia kesepian."

"Kesepian?" Si pelayan mengangguk.

"Dulu... dia berteman dekat dengan seorang gadis, hanya gadis itu memanggilnya dengan nama depan. Sayangnya, hidup gadis itu tidak lama. Sejak gadis itu tiada, dia memerintahkan kami untuk memanggilnya dengan nama depannya."

"Teman dekat... maksudmu kekasih?" Si pelayan terlihat bingung.

"Mm... entahlah, aku tidak tahu pasti." Elena teringat pada sosok gadis cantik yang tergambar dalam buku sketsa.

"Dia pasti gadis yang sangat istimewa bagi Warlock, wajar kalau dia sulit melupakannya."

"Kau benar, gadis itu pasti sangat berarti baginya." Elena menghela nafas panjang, berusaha menahan rasa sakit di dadanya.

"Begitu juga orang tuaku, mereka sangat berarti bagiku. Warlock sudah membunuh mereka, aku mungkin tidak akan bisa memaafkannya." Si pelayan menatap Elena dengan ekspresi bersalah. "Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu."

"Tidak apa-apa, kau tidak bersalah."

Elena mengepalkan tangannya, jelas dia sangat marah. Dia sangat ingin membalas kematian ayah dan ibunya, tapi dia tahu bahwa saatnya belum tepat. Terlebih lagi, dia punya janji pada penyihir itu.

"Dimana Warlock?", tanya Elena.

"Dia ada di luar."

"Sampaikan pada Warlock kalau aku ingin bicara, sekarang!" Si pelayan bangkit dari tempatnya, lalu memberi hormat pada Elena.

"Sesuai perintah, Tuan Putri." Si pelayan segera keluar dari ruangan. Elena mengambil dagger yang dia simpan di bawah bantal, dagger itu adalah dagger yang dibelikan Eric untuknya. Elena sengaja meminta dagger itu untuk berjaga-jaga, gadis itu akan menggunakan daggernya untuk membela diri jika Eric berani berbuat kurang ajar padanya.

Sejauh ini, Eric memang selalu baik padanya. Akan tetapi, Elena tetaplah seorang gadis. Bukan tidak mungkin kalau Eric akan bertindak kurang ajar padanya, apalagi Elena adalah seorang gadis belia yang mempesona.

Tok! Tok!

Terdengar suara ketukan di depan pintu kamarnya.

"Siapa?", tanya Elena.

"Ini aku." Suara Eric terdengar dengan jelas dari balik pintu, Elena segera menyembunyikan daggernya.

"Masuklah, Warlock!"

Cklak!

Eric membuka pintu,

"Warlock, aku ingin bicara." Eric menutup pintu, lalu duduk di kursi berada di samping ranjang.

"Apa yang ingin kau bicarakan?"

"Tentang ramuan yang bisa membuat tubuh beregenerasi dan awet muda, aku belum bisa membuatnya."

"Kenapa?"

"Karena aku belum tahu formula alkimia yang tepat." Eric terlihat kecewa mendengar penjelasan Elena.

"Kalau begitu, kau harus menemukan formula yang tepat. Kau pasti bisa membuatnya, aku tahu itu."

"Kenapa kau sangat yakin?" Eric tersenyum.

"Karena ada seorang peramal tua yang mengatakannya padaku."

"Apa yang dikatakan oleh peramal itu?" Eric terdiam sejenak.

"Ramuan regenerasi tubuh atau ramuan awet muda itu, hanya bisa dibuat oleh seorang alkemis dan penyihir berbakat, seorang anak jenius yang bisa menciptakan potion merah. Dan kau, Gadis Kecil hanya kau yang cocok dengan ramalan itu." Eric menyentuh wajah Elena dengan lembut.

"Kau harus menemukan formula alkimianya! Bagaimanapun caranya, aku tidak peduli.", Eric melanjutkan. Eric mendekatkan wajahnya, membuat Elena merasa takut dan risih.

Elena menyelipkan tangannya ke bawah bantal dengan hati-hati, mencari dagger yang dia sembunyikan. Eric segera menjauh, kembali ke posisinya semula.

"Kau tidak harus membuatnya dalam waktu dekat, kau pasti butuh waktu untuk membuat ramuan seperti itu." Eric memperhatikan tangan kanan Elena terselip di bawah bantal.

"Aku sudah berbaik hati padamu, jadi berhentilah menguji kesabaranku!" Eric beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju pintu keluar.

"Tunggu, Warlock!" Eric menghentikan langkah, tapi dia tidak memandang Elena.

"Tolong bawa aku pergi besok pagi!" Eric mengangguk mantap.

"Tentu, kita akan pergi besok. Selamat tidur, Elena!"

Eric pergi meninggalkan ruangan dan mengunci pintu.

"Good night, Warlock."

***

Galatea

Kota Galatea sangat padat seperti biasa, penduduk asli dan pendatang memenuhi jalanan dan tempat-tempat strategis di kota itu.

"Kemana kita akan pergi?", tanya Eric.

"Toko buku atau perpustakaan, ada beberapa buku yang aku perlukan.", jelas Elena.

Elena berjalan sambil mengamati toko-toko yang berdiri di pinggir jalan, kemudian gadis itu akan berhenti setiap kali menemukan sebuah toko buku. Eric dengan sabar mengikuti Elena, mengunjungi belasan toko buku dan membantunya mencari buku. Setelah hampir seharian mencari, Elena berhasil mendapatkan beberapa buku. Buku-buku yang dibelinya adalah semua buku yang berhubungan dengan alkimia, Elena memerlukan petunjuk untuk bisa membuat ramuan yang diminta Eric. Setelah mendapatkan semua buku itu, Elena langsung mengajak Eric kembali ke kastil. Eric mengamati ransel Elena yang penuh dengan buku.

"Kau yakin akan membaca semua buku itu?", tanya Eric.

"Tentu, aku memerlukan banyak petunjuk untuk membuat ramuan yang kau minta.", jelas Elena. Eric berpikir sejenak.

"Kalau aku mempelajari semua buku itu, apakah aku bisa membuat ramuan sendiri?" Elena mengeleng pelan.

"Praktek dalam alkimia lebih sulit dari pada teorinya, membaca ratusan buku tidak menjamin seseorang akan bisa membuat ramuan." Eric memahami penjelasan Elena.

"Karena itu tidak sembarang alkemis bisa membuat potion merah."

"Apa itu sebuah pujian?"

"Bisa dibilang begitu." Elena mengamati sebuah menara jam dari kejauhan, malam akan segera tiba.

"Ayo kita pulang!", ajak Elena.

***

Bruk!!

Elena meletakkan ranselnya di atas meja.

"Huft... hari ini cukup melelahkan, ada begitu banyak teori yang kuperlukan." Elena memandang keluar jendela, mengamati bulan yang menerangi malam.

"Ayah, Ibu... aku terpaksa melakukan semua ini. Aku hanya ingin bebas, itu saja." Untuk kesekian kali, air matanya kembali menetes. Tapi dengan segera dia mampu menenangkan diri. Elena merebahkan tubuhnya di ranjang, melepas lelah setelah berkeliling seharian. Si pelayan segera menemui Elena sepeti biasa.

"Apakah perjalananmu menyenangkan, Tuan Putri?" Elena mengalihkan pandangannya. "Well... kurasa begitu." Si pelayan duduk di tepi ranjang, lalu mengusap kepala Elena dengan lembut.

"Istirahatlah!"

"Maukah kau menyanyikan lagu pengantar tidur untukku?", pinta Elena.

"Tentu, aku akan bernyanyi untukmu." Elena memejamkan matanya, si pelayan mulai bernyanyi.

***

Elena masih sibuk membaca hingga larut malam, dengan sabar dia menandai setiap kalimat dan paragraf yang berhubungan dengan ramuan pengobatan. Elena sudah berkutat dengan buku-buku tebal sejak matahari terbit hingga larut malam, tapi belum ada satupun teori yang berkaitan dengan ramuan awet muda. Kalaupun ada, itu hanya cerita kuno yang belum tentu kebenarannya. Elena menutup buku ke tiga, lalu menumpuknya di atas meja.

"Kenapa tidak ada teori yang menyinggung ramuan awet muda itu? Mungkin ramuan hanya mitos." Si pelayan mendekati Elena.

"Sudah hampir tengah malam, kau harus istirahat, Tuan Putri!" Elena mengamati jam dinding yang terpasang di atas rak buku, jarum jam sudah hampir menunjuk angka dua belas.

"Kalau aku tidak menemukan teorinya, aku tidak akan bisa membuat ramuan itu. Aku belum bisa istirahat sekarang."

"Tapi kau sudah mencarinya sejak pagi, kau pasti kelelahan. Kalau kau membaca dalam keadaan lelah, akan semakin sulit untuk menemukan apa yang kau cari." Si pelayan benar, tidak ada gunanya membaca dalam kondisi seperti itu.

"Kau benar, aku sudah kelelahan. Tapi juga tidak bisa tidur, terlalu banyak hal yang aku pikirkan." Si pelayan menuangkan segelas air untuk Elena.

"Silahkan, Tuan Putri." Elena meraih gelas itu.

"Terima kasih." Elena meminumnya sedikit, lalu mengembalikan gelas itu pada si pelayan. "Jika tidak ada teori yang menerangkan tentang ramuan awet muda, mungkin aku harus melakukan percobaan sendiri."

"

Boleh aku bertanya, Tuan Putri?" Elena mengalihkan pandangannya.

"Tentu."

"Apakah para alkemis juga bisa menggunakan sihir?" Elena mengangguk.

"Bisa, tapi hanya sihir tingkat satu atau dua. Kebanyakan alkemis hanya menguasai mantra yang digunakan dalam meracik ramuan sihir, itu saja." Si Pelayan terdiam sejenak.

"Tuan Wolven memiliki kekuatan sihir yang besar, tapi dia tidak bisa membuat ramuan sihir. Kenapa bisa begitu?" Elena tersenyum.

"Karena Warlock tidak memiliki bakat dalam alkimia, itulah sebabnya. Walaupun bisa dipelajari, membuat ramuan yang tepat butuh keterampilan kusus."

Si pelayan mengangguk pelan, dia memahami penjelasan Elena.

"Mm... boleh aku mengajukan satu pertanyaan lagi?"

"Tentu, tanyakan saja!"

"Dari mana kau tahu nama lengkap Tuan?" Elena terdiam sejenak.

"Saat pertama kali kami mengunjungi Galatea, kami diserang oleh seorang Necromancer bernama Roman. Necromancer itulah yang mengungkapkan jati diri Warlock sebagai Eric Wolven atau Warlock of Rivengard."

"Kalian bertemu dengan Roman Falcon?" Elena mengangguk.

"Apa kau mengenalnya?"

"Tentu, aku mengenalnya. Dia adalah necromancer yang pernah berseteru dengan Tuan Wolven."

"Apa yang membuat mereka berseteru?"

"Mereka memperebutkan sebuah batu sihir, tapi aku tidak tahu batu sihir seperti apa yang mereka perebutkan."

"Lalu... siapa yang mendapatkan batu itu?"

"Tuan Wolven berhasil merebut betu sihir itu, lalu membawanya pergi." Elena kembali mengingat pertempuran kecil antara pasukan nightmare melawan undead yang terjadi tiga hari yang lalu, dia masih ingat dengan jelas bagaimana Eric memenangkannya.

"Saat itu, Warlock juga mengalahkan Necromancer dengan mudah. Seperti yang kau bilang tadi, Warlock memiliki kekuatan sihir yang besar." Si pelayan terdiam sejenak.

"Lalu... apa yang mereka ributkan sekarang?"

Elena tampak terkejut mendengar pertanyaan itu, tentu saja yang diperebutkan adalah dirinya. Walau bukan urusan asmara, tetap saja pertanyaan itu terasa sensitif baginya.

"Mm... aku tidak tahu, mungkin masalah yang sama.", jelas Elena. Si pelayan memandang buku-buku yang bertumpuk di atas meja.

"Apakah Necromancer muncul lagi saat kalian pergi mencari buku?" Elena menggeleng. "Tidak, dia tidak muncul lagi. Mungkin karena tempat itu terlalu ramai."

"Aku tidak mencemaskan Tuan Wolven karena dia kuat, aku hanya mencemaskanmu." Elena tersenyum simpul.

"Warlock akan melindungiku, jadi kau tidak perlu cemas!" Foster yang tadinya hanya duduk di sudut langsung melompat ke pangkuan Elena.

Elena mengusap kepala dan punggung Foster dengan lembut.

"Aku harus mencari beberapa bahan alkimia besok pagi, kuharap Warlock bersedia menemaniku." Si pelayan tersenyum.

"Dia pasti bersedia, tapi kau harus tidur malam ini!" Elena mengangguk mantap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro