Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Terlambat Menghargai

BY: Aira Present

"Jangan mendekat!" Perempuan bermanik pure hazel itu menjauh beberapa langkah sembari menutup hidungnya.

"Kamu belum mandi, Vin!" Lelaki jangkung di depannya terkekeh pelan. Lantas menyugar surai legamnya yang tampak basah karena keringat. Baru saja lelaki itu mengakhiri aktivitasnya dari tempat gym.

"Oke-oke. Aku mandi dulu,kamu tunggu bentar,ya."

"Dih, ogah." Perempuan pemilik nama Shena itu mengendikkan bahunya.

"Nggak lama, Shen. Habis itu langsung kuantar ke gramed,deh." Calvin melempar permen susu pada Shena. Tak ingin merespon lelaki jangkung berparas menawan itu,kini ia duduk di teras rumah sembari memandangi ikan koi di depannya. Menunggui seraya mengeluarkan sebuah buku kecil dari dalam tasnya,lantas ia torehkan beberapa rangkain kata.

Sebelum matahari merambat ke sisi barat, keduanya lekas menuju gramedia. Sebenarnya, Calvin ada hal penting yang harus ia lakukan saat itu. Akan tetapi, demi Shena ia akan meluangkan waktunya sebentar. Ya, mereka sudah terbiasa seperti itu sejak keduanya menjalin persahabatan.

"Awas! Hati-hati kalau jalan!" Calvin begitu sigap meraih tubuh Shena dan melindunginya dari anak-anak remaja yang berjalan gerombolan. Mereka gegas memasuki toko buku terbesar di kota itu.

Selagi Shena masih mencari buku untuk bahan referensi proposal skripsinya, Calvin memutuskan untuk melihat koleksi novel dari berbagai genre. Tak ada yang menarik baginya, tapi ia tahu jika sahabatnya itu adalah kutu buku. Apapun itu jika bisa menambah wawasannya, Shena tak segan untuk membaca.

Netra selegam obsidian milik Calvin tiba-tiba membola cukup lebar. Ia tengah terkejut mendapati sosok masa lalunya berada di tempat yang sama. Seorang perempuan yang begitu lama menempati hatinya, namun semesta belum berkehendak pada keduanya saat itu.

Buku dalam genggaman tangan Calvin terjatuh, matanya mengekor sosok perempuan yang begitu ia rindukan selama ini.

"Vin, lihat apa,sih?" Shena memungut buku tersebut lantas memandang heran pada sahabatnya. Lelaki itu bahkan tak merespon ucapan Shena, ia lebih memilih untuk mengikuti kemana langkah Raya–mantan kekasihnya itu pergi.

"Vin!" Baru kali ini Calvin mengacuhkan dirinya. Biasanya, ucapan lirih sekalipun dari Shena selalu menarik perhatian Calvin.

Langkah keduanya kini terhenti di persimpangan koleksi buku anak-anak. Calvin berhasil menangkap sosok Raya yang tengah memilih buku dengan anggun. Benar, perempuan itu masih memiliki tempat di hatinya meski pernah sekali menoreh luka. Hingga Calvin dan Raya memutuskan untuk berpisah.

"Shena!" Mata bersahabat milik Calvin kini berubah dengan sorot kepedihan serta kerinduan yang mendalam.

"Ya?" Shena mengerjap pelan ketika kedua tangan Calvin meraih pundaknya.

"Raya ... Raya ada disini," ucap Calvin haru. Terlihat jelas bagaimana manik obsidian itu mengutarakan sebuah kerinduan. Shena memilih diam. Ia tahu bahwa Calvin pernah memiliki masa lalu. Ia juga pendengar setia ketika Calvin menceritakan bagaimana sosok Raya. Shena tahu akan hal itu. Tetapi ... ada satu hal yang belum ia mengerti. Ya, tentang mengeja perasaannya sendiri selama ini.

####

Berawal dari saling berambisi memenangkan rangking 1 dari jaman SMP hingga SMA, mereka memutuskan untuk tak lagi menjadi rival. Bagi Shena, bersahabat dengan sosok Calvin tak akan merugi. Terbukti ia berhasil masuk ke perguruan tinggi favorit berkat les privat dengan Calvin.

Hari-hari mereka begitu menyenangkan. Menonton film horor di akhir pekan sudah menjadi kebiasaan. Saling mengejek ketika salah satunya mendapat nilai B juga bagian dari kekonyolan mereka. Apalagi ketika Calvin mendapat banyak pujian di sosmed, Shena pasti akan merusuh. Begitupun sebaliknya, ketika Shena mendapat pernyataan cinta dari anak jurusan teknik,Calvin adalah orang pertama yang menceramahi Shena supaya tidak salah pilih pasangan.

"Kamu tahu nggak siapa itu Juna?"

"Dia tuh baik, Vin. Kayaknya juga serius kok."

"Aduh!" Spontan Shena meringis karena tangan Calvin menjitak kepalanya. Ia tahu jika Calvin akan berada di garda terdepan untuk mengetahui siapa saja yang bakal mengajukan proposal cinta untuk Shena.

"Jangan cuma kayaknya. Memilih pasangan itu nggak semudah milih boxer obral sepuluhribuan dapat tiga."

"Ye, emang ada boxer harga segitu?" Shena malah meledek.

"Eh, dibilangin sama yang lebih tua malah ngeyel." Calvin siap-siap bangkit. Berusaha menangkap Shena lantas ia bungkus dengan jaket oversizenya itu.

"Oh, iya pak tua, Shena bakal nurut,deh." Alih-alih menurut sungguhan, perempuan yang memiliki tinggi sebahu Calvin itu justru mengambil kuda-kuda untuk siap berlari. Taman komplek yang sering mereka kunjungi berakhir dengan suara jeritan histeris Shena yang berusaha menghindar dari Calvin.

"Sini kamu cebol!" Calvin mengambil napas, lelaki itu membentangkan jaketnya dan siap membungkus Shena sang sahabat yang jahil bukan main.

"Siap, mau dilempar kemana cebol jahil satu ini." Calvin tertawa penuh kemenangan ketika tubuh kecil Shena berhasil ia bungkus dengan jaketnya.

"Ke hati kamu aja."

"Apa?"

"Hati kamu, Vin!"

"Yang keras?"

"Lempar aja ke hati kamu, Vin,"ucap Shena dari balik jaket. Sontak hal itu mengundang gelak tawa Calvin.

"Mulai ngaco,ya." Senyum Shena mengendur perlahan. Percayalah, saat itu ia mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Persahabatan yang terjalin antara perempuan dan laki-laki? Tak mungkin jika salah satunya bertahan untuk tidak memiliki rasa.

Kebetulan saat itu malam minggu, keduanya sudah setuju untuk melihat film horor terbaru di bioskop. Akan tetapi, Shena menolak pergi karena ia merasa tidak enak badan. Calvin yang mengetahui hal tersebut gegas menghampiri. Kebetulan rumah mereka tidak jauh, hanya berbeda gang saja.

"Kamu pasti makan cimol pake bubuk cabe sekilo kan?" Calvin marah-marah tak jelas, bunda Shena yang baru saja mengganti kompres putrinya itu menggeleng pelan menyaksikan pertengkaran kecil itu. Terlihat seperti kakak adik. Namun, terkadang juga tampak sebagai sepasang kekasih. Benar, siapapun yang melihat kedekatan Calvin dan Shena akan mengira begitu.

"Vin, aku tuh sakit. Jangan dimarahin."

"Sakit kok masih nonton konser oppa-oppa? Heh?" Gemas, Calvin menarik pipi chubby Shena ketika ia menjatuhkan diri di bibir ranjang. Sesuai penjelasan dari dokter tadi, perempuan itu mengalami gejala typus dan lambung.

Setelah merampas ponsel Shena dengan ceramah yang sepanjang tembok Cina, Calvin berhasil membujuk sahabatnya itu untuk segera makan dan menelan pil-pil pahit tersebut. Ia tahu jika Shena tidak menyukai semua jenis pil meski rasanya manis sekalipun.

"Tidur." Malam ini, Calvin sengaja memilih untuk menemani Shena. Jika sahabatnya itu sakit, maka siapa yang membuat kehebohan setiap harinya?

"Merem, Shena!" ucap Calvin saat Shena hanya berkedip-kedip memerhatikan dirinya.

"Nggak bisa, Vin. Kepala aku muter-muter terus." Calvin mengulurkan tangannya, lalu mengusap dahi perempuan itu hingga tertidur. Satu tangannya sibuk menscroll akun Raya, perempuan di masa lalu yang masih enggan pergi dari harinya.

###

Bagai tersulut api semangat, pagi ini Calvin tampak berbeda dari biasanya bagi Shena. Setelah tiga hari mengambil izin sakit, Shena merasa tubuhnya kembali membaik. Ia sering begadang membaca buku hingga larut malam. Apalagi, kini Shena menekuni hobi baru yaitu menulis novel. Bukan mencari peruntungan, ia hanya menorehkan beberapa hal dan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan.

"Ganteng banget. Tumben." Shena bersiap, Calvin sudah datang dari tadi dengan motornya di depan rumah.

"Maksudmu biasanya aku jelek?" Calvin melengos sewot. Tak lama setelah itu Shena sudah nangkring di boncengan. Satu hal yang membuat alis Calvin tertaut, ia seperti membonceng angin.

"Shen!"

"Ya?"

"Kamu kok kurusan? Mikir apa?" Tatapan Calvin berubah sendu. Meski seringkali mereka bertengkar dan jahil, tak memungkiri jika keduanya saling peduli. Calvin bagaikan perisai utama untuk Shena. Tidak ada yang boleh membuat sahabatnya itu menangis ataupun terluka.

"Diet aku." Shena berkilah, ia tidak mungkin memberi tahu Calvin yang sebenarnya.

"Ya udah pegangan." Perempuan itu perlahan menarik kedua sudut bibirnya ketika tangan Calvin meraih tangannya untuk berpegangan. Shena harap bisa menyimpan rasa itu sekuat mungkin, ia takut jika Calvin perlahan menjauh jika mengetahui tentang isi hatinya selama ini.

Setibanya mereka di kampus, Calvin begitu antusias mengajak Shena untuk menemui seseorang. Karena jadwal mereka masih dua jam lagi, jadi tak ada salahnya jika Shena menurut.

"Kamu tahu Raya yang sering aku ceritain kan, Shen?" Binar bahagia itu terlukis jelas di wajah rupawan Calvin. Sepanjang mereka menuju foodcourt ia menaruh tangan Shena dalam genggamannya. Jika tidak begitu, pasti banyak kakak tingkat yang mengobral rayuan untuk sahabatnya itu.  Calvin tidak suka.

"Hmm... ." Shena sudah menduga. Berawal dari gramedia saat itu, Calvin pasti gencar menghampiri kembali masa lalunya.

"Raya," sapa Calvin pada seorang perempuan yang tengah duduk di sudut ruang.  Tiga minuman sudah tersaji di depan mereka. Raya sengaja memesannya.

"Mas." Cantik,anggun dan semampai. Begitu yang barusan ditangkap oleh Shena. Bohong jika Calvin bisa melupakan perempuan itu.

"Kenalin, dia Shena sahabat aku." Shena tersenyum canggung. Perkataan Calvin barusan seolah menamparnya berulangkali jika hubungan mereka hanya sebatas sahabat.

"Oh, iya,salam kenal, Mbak Shena." Membuang segala rasa gemuruh di dada, Shena menerima uluran tangan Raya untuk saling mengenal. Calvin kini mendominasi perbincangan. Ia merasa bahagia bisa kembali bertemu dengan mantan kekasihnya. Ah, sebenarnya mereka belum resmi memutus hubungan itu. Shena tahu, betapa terlukanya Calvin saat bercerita bagaimana Raya meninggalkannya tanpa pamit, tanpa sepatah katapun.

Sejurus kemudian, Shena merasai kecanggungan. Baginya ia tak pantas berada di antara dua orang yang sedang sibuk menyemai rindu. Mengulang kembali kisah mereka yang belum usai.

"Vin."

"Sebentar, Shen." Calvin kini fokus mendengar cerita Raya yang berhasil pindah ke kampus ini. Dan cerita lain yang masih harus ia dengar setiap hari.

"Calvin," bisik Shena lirih.

"Kamu duluan aja, Shena. Ntar aku susul."

"Pake ini, kemeja kamu agak  nrawang." Shena sigap menangkap jaket oversize milik Calvin. Ia melangkah pergi tanpa ingin berkata lagi. Mengapa, mengapa ada rasa ketidakrelaan di sudut hatinya ketika Calvin bersama dengan perempuan itu. Mengapa hatinya sesakit ini saat Calvin seolah menganggap dirinya hanya patung yang menjadi saksi cinta mereka.

Sesak, amat menyesakkan.

###

Sejak kedatangan Raya di kehidupan Calvin. Persahabatan mereka perlahan merenggang. Calvin yang biasanya mengajak jalan sore di taman kini tidak lagi. Calvin yang biasa suka rela mengantarnya ke toko buku kini tidak lagi. Calvin yang biasa menjemput, memasangkan helm hingga menjenguknya saat dia sakit, kini tidak lagi. Seolah dunia Calvin dipenuhi oleh Raya, sementara dunia Shena hanya ada Calvin.

"Shena!" Perempuan itu terkejut saat Calvin menangkup tubuh kecilnya dari belakang. Ia hanya memamerkan senyum jahil seperti biasanya.

"Kaget tahu!"

"Kok kurusan, sih? Aku nggak suka lihatnya."

"Ya terserah aku,dong." Shena membuang muka. Ia menyadari berat badannya kian menurun.

"Shena, bilang sama aku kalau ada yang berani nyakitin kamu. Jangan diem aja,oke." Kedua tangan Calvin menggenggam pundak Shena. Calvin  tak ingin melihat sahabatnya terluka oleh gombalan dan  omong kosong dari kakak tingkat yang sering berusaha merayu Shena. Calvin bahkan menyeleksi satu persatu siapa saja lelaki yang dekat dengan Shena.

"Ada. Seseorang yang kuharapkan selama ini, Vin. Tapi sepertinya dia tak peduli dengan ku. Dia terang-terangan mengungkapkan cintanya pada orang lain di depanku." Calvin yang mendengar itu cukup geram. Ia tak bisa diam saja jika Shena tersakiti.

"Siapa? Anak jurusan mana?" Ketika Calvin menatap serius pada Shena, alih-alih menjawab, perempuan itu malah tertawa renyah. Berhasil membuat wajah Calvin merah padam.

"Percaya aja sih kamu,Vin? Hahaha." Sebelum berhasil Shena mendahului langkahnya, Calvin meraih lengan perempuan itu dengan sigap.

"Jangan bercanda lagi. Aku nggak bisa lihat sahabat aku terluka." Setelah keduanya sempat saling memandang cukup lama, Shena buru-buru melepas genggaman itu ketika Raya menghampiri Calvin.

"Aku ke perpus dulu,ya. Bye, Vin, Raya." Shena berlari kecil meninggalkan Raya dan Calvin—yang sedang terperangkap dalam perasaan semu.

###

Hampir satu bulan lebih keduanya sibuk mengurus skripsi. Biasanya, sesibuk apapun itu Calvin akan menyempatkan waktunya untuk Shena. Kadang bermain, atau hanya sekedar joging di taman komplek. Shena sadar prioritas Calvin saat ini adalah Raya. Sebagai sahabat yang mencintainya dalam diam, ia tak bisa berharap lebih. Melihat lelaki itu bahagia saja sudah lebih dari cukup.

"Shena, kamu yakin nggak mau kabarin Calvin, Nak?"

"Aku nggak mau merusak kebahagiaanya, Bun. Biarkan saja." Shena yang terbaring lemah selama seminggu kini hanya boleh melakukan aktivitas ringan. Bundanya amat menyesal kenapa tidak memerhatikan putrinya dengan serius. Hingga penyakit tipes itu mulai merembet menuju komplikasi yang bisa berakibat fatal kapan saja.

Pandangan perempuan itu nampak kosong, tubuhnya kian kurus. Kulitnya juga semakin memucat. Tapi, tetap saja ia memaksakan diri untuk mengerjakan tugas skripsinya di rumah.

"Bun?"

"Iya,Nak? Shena mau apa?"

"Aku mau sholat, Bun. Tadi belum sholat Zuhur." Bunda Shena memantau keadaan putrinya 24 jam. Ia tahu putrinya itu tidak suka bau rumah sakit. Jadi ia terpaksa menutup kios bajunya dan fokus merawat sang putri.

Usai memanjatkan beberapa doa hingga mata itu berlinang, Shena tak sadarkan diri. Bundanya merasa amat takut jika sesuatu buruk terjadi pada sang putri kesayangan. Tangannya sampai bergetar saat menghubungi nomer Calvin.

Baru saja ingin menyalakan mobil untuk menjemput Raya,Calvin urung setelah mendapat panggilan dari bunda Shena. Hatinya mendadak terasa nyeri saat ia sampai di rumah itu. Ia mendapati Shena yang berbalut mukena dan tak sadarkan diri.

"Sejak kapan Shena sakit seperti ini, Tante?" Perlahan bulir bening jatuh dari manik hitamnya. Ia hanya mendapat tangis pilu dari bunda Shena sebagai jawaban.

"Shena ... ." Calvin menangkup pipi itu perlahan. Sebelum mereka berhasil menelpon mobil ambulance, beruntung Shena kembali sadar. Perempuan itu memamerkan senyum sumringah meski tubuhnya tak bertenaga.

"Ngapain?" tanya Shena lirih, suaranya serak begitu pula napasnya yang berat.

"Aku antar ke rumah sakit sekarang." Entah, rasanya hati Calvin terpecah belah saat itu. Ia tak pernah merasakan hal sesakit ini selama hidupnya.

Shena menggeleng pelan. Ia hanya mau berjalan-jalan sore dengan Calvin di taman komplek seperti dulu. Lelaki itu mengiyakan dengan hati yang terluka. Ia merutuki kebodohannya selama ini mengapa tak memperhatikan Shena setelah Raya kembali hadir dalam hidupnya.

"Bun, aku mau dandan boleh?" Bundanya mengangguk pasrah. Ia menyisir rambut putrinya, lantas membubuhkan riasan tipis di wajah Shena.

"Ayo!" Perempuan itu tampak semangat. Ia rindu saat-saat kebersamaannya dengan Calvin. Sesampainya di taman komplek perumahan mereka  sore itu, Calvin berjanji menuruti semua keinginan Shena. Hatinya tak baik-baik saja. Melihat Shena seperti ini, sakitnya melebihi saat Raya pergi meninggalkan dirinya.

Keduanya berjalan menyusuri taman. Tangan kekar Calvin terus memapah tubuh kecil itu dan tak akan melepaskannya.

"Mau jaket kamu,Vin." Mereka memutuskan duduk di kursi taman, Calvin suka rela membungkus tubuh lemah Shena dengan jaket miliknya. Rasa takut perlahan menjalar di dinding hati Calvin. Ia takut kehilangan Shena yang selalu memberi kenyamanan selama ini.

"Raya nggak marah kan kalau aku pinjam kamu sebentar?"

"Nggak, dia baik,kok." Calvin berucap dengan lelehan air mata yang tak bisa berhenti. Ia terus mendekap tubuh Shena. Sesaat kemudian mereka kembali mengulang cerita pertemuan pertama mereka hingga menjadi sahabat yang berjanji untuk saling berbagi kesedihan dan tak akan menyakiti satu sama lain.

"Cowok kok nangis?" Tawa lirih Shena berderai melihat Calvin yang tak bisa menghentikan tangisnya sepanjang mereka bercerita.

"Maaf." Calvin semakin mengeratkan genggaman tangannya. Ia menepis segala kemungkinan buruk yang berdatangan.

"Shena, katakan. Kamu mau apa?" Perempuan itu memandang Calvin dengan tatapan sendu.

"Pundak kamu. Boleh kan? Jangan bilang ke Raya,ya?" Tanpa disadari bunda Shena terus memantau keadaan putrinya dari belakang mereka.

"Boleh, sini." Perlahan Shena menjatuhkan kepalanya di atas pundak Calvin. Menyenangkan,nyaman dan ia ingin terus seperti ini. Sesaat kemudian mereka terdiam. Isak tangis Calvin semakin terdengar memilukan.

"Kamu udah lupain aku, ya? Kamu jarang main ke rumah, Vin."

"Maaf, maaf Shena." Hanya itu yang bisa Calvin ungkapkan untuk mewakili kebodohannya selama ini.

"Jaga Raya baik-baik. Jangan sampai dia pergi lagi darimu." Calvin tergugu, ia bahkan tak memikirkan Raya saat ini. Ia hanya ingin Shena kembali seperti Shena yang jahil dan ceria seperti dulu.

"Kamu ... ."

"Iya, Shena. Katakan semuanya. Aku nggak apa-apa." Perlahan Calvin mengusap kepala Shena dengan lembut. Ia berjanji tak akan mengabaikan Shena lagi.

"Kamu ... nggak marah kan kalau  selama ini ... ." Suara Shena semakin lirih, melemah. Napasnya kian berat.

" Aku ... mencintaimu." Tangis Calvin tercekat. Genggaman tangan perempuan itu perlahan mengendur. Shena tertidur begitu pulas di pundak Calvin. Sementara bunda Shena menangis histeris di belakang mereka. Calvin tak mampu lagi berkata apapun. Ia memejamkan mata merasakan sakit yang luar biasa saat Shena tak lagi merespon panggilannya.

"Kamu pasti marah sama aku kan? Sampai nggak mau bangun lagi, Shena?" Tak kuat menahan lagi, sekuat mungkin Calvin memeluk Shena yang kini sudah tiada. Ia berharap keajaiban datang dan memberinya kesempatan. Ia tersadar bahwa lelaki yang pernah menyakiti Shena adalah dirinya sendiri.

Shena tahu, kecewa yang paling menyakitkan adalah ketika melangitkan harapan yang terlalu tinggi. Sementara Calvin merutuki diri sendiri, bahwa luka yang paling menyakitkan daripada patah hati adalah perpisahan yang tak bisa diobati oleh sekedar  temu.

Setelah pemakaman selesai. Calvin membaca isi buku Shena di depan pusara dengan tangis tergugu saat tahu bahwa buku itu menceritakan tentang semua perasaan Shena padanya. Ia hanya ingin berada di sisi Shena sampai lelah.

Kini, lelaki itu tersadar. Kepergian seseorang mengajarkan betapa ia harus menghargai arti sebuah kehadiran.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro