Rasa Yang Kehilangan Raga
BY: Itaa
"Nakala, laki-laki tunawicara yang membawa perubahan besar dalam hidupku. Rasanya, mendengar namamu saja bisa membuatku bahagia, juga merasakan sakit dibuatnya.
Karena kamu, untuk pertama kalinya aku ingin mengenal seseorang dengan ketertarikan yang begitu besar. Karena kamu, untuk pertama kalinya aku bisa tertawa dengan leluasa dan merasakan kekhawatiran dengan mudahnya. Karena kamu, aku tidak lagi menganggap kota ini terlalu kecil untuk kutinggali. Dan lagi-lagi karena kamu, aku mengenal banyak warna, selain hitam dan abu-abu.
Nakala... aku masih ingat, dihari itu kamu pernah berkata padaku jika kita bisa melupakan orang yang mati, tapi tidak dengan orang yang berubah.
Kamu tahu? Aku selalu mencaci dalam hati jika mengingatnya. Kamu salah, nyatanya sekat antara kita terlalu jahat dari sekedar jarak. Ia mampu membuat berpisah tanpa aba-aba sebelumnya, membuat hari yang berwarna, jadi berubah seketika.
Nakala, aku takut bertahan seorang diri dalam kegelapan. Aku takut dengan sebuah penderitaan. Aku takut, dengan akhir yang menyedihkan.
Namun lagi-lagi karena kamu, yang pernah berkata bahwa akhir yang menyedihkan adalah sebuah awal dari cerita yang menakjubkan, dan tak akan ada penderitaan tanpa disusul oleh kebahagiaan. Aku memutuskan untuk mencoba menerimanya.
Aku berharap, perkataanmu itu kali ini bisa dipercaya.
Nakala... aku melepasmu dengan rela, pergilah, biarkan aku disini dengan duka yang tercipta.
* * *
"Ada yang tersumbat di otakmu?" aku bertanya, pada Nakala yang sedang menatap langit diatas sana.
Nakala tertawa mendengar ucapanku, lalu tak lama laki-laki itu mengangguk.
Ia membuka tasnya, mengambil notebook kecil yang selalu ia gunakan untuk menuliskan apa yang ingin ia sampaikan.
Ada dua pertanyaan yang menyumbat otak Kala.
Aku tertawa membacanya. "Tentang apa?"
Pertanyaan pertama, mengapa Kala sangat menyukai langit dan hujan?
"Bukannya kamu bilang langit dan hujan membawa ketenangan?"
Nakala tersenyum sembari mengangguk kecil, lalu kembali menulis.
Pertanyaan kedua, apa sore nanti Amarta mau jalan dengan Kala?
"Jadi pertanyaan yang kedua itu untuk aku?" Tanyaku diiringi tawa.
Nakala lagi-lagi mengangguk dan menyengir padaku.
"Tentu, aku mau."
Laki-laki itu tersenyum lebar lalu mengambil tanganku untuk ia genggam. Nakala selalu seperti ini jika ia ingin berterima kasih padaku.
"Terima kasih kembali Kalaaa," menjawab kata yang tidak bisa Nakala sampaikan.
Apa Kala boleh mengatakan sesuatu?
Aku mengangguk, "Tentu saja boleh."
Nakala lagi-lagi tersenyum. Laki-laki itu kembali menulis hal yang ingin ia sampaikan di notebook kesayangannya itu, namun kali ini sedikit lebih lama.
Amarta tahu? Dalam kondisi apapun, Kala tidak pernah asing dengan kesendirian, Kala tidak pernah takut dengan kesepian. Akan tetapi, kali ini dengan lancangnya tangan Kala menahan seseorang untuk tetap tinggal. Seseorang dengan binar mata indahnya, yang memberikan Kala uluran. Kala sangat berterima kasih. Mungkin terlalu berlebihan, tapi ini nyata. Amarta harus tahu, kehadiran Amarta, adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan untuk Kala.
Aku tersenyum membaca rentetan kata itu. Jantungku berdebar, pipiku bersemu. Rasanya, hatiku seakan ingin meledak hancur dalam kebahagiaan.
Kala, selalu saja memiliki cara agar aku lagi dan lagi terjatuh dalam pesonanya.
* * *
Aku bergegas lari sekuat tenaga, tanpa peduli dengan penampilanku yang berantakan, tanpa peduli dengan tali sepatuku yang sudah lepas ditengah jalan. Yang aku pikirkan sekarang, aku harus segera sampai.
Jantungku berpacu bersamaan dengan langkah kakiku yang berlari. Rasa takut itu menyekap dan menjalar dengan mudahnya pada diriku. Bayangan dan pikiran buruk mulai bermunculan, membuat tangisan keluar dari mataku dengan mudahnya begitu saja.
Ayolah.. sedikit lagi, mengapa kaki ini berlari lama sekali!
Didepan sana, ada banyak orang yang berkerumun. Membuatku tanpa berpikir dua kali berlari menerobosnya. Terserah dengan mereka yang marah karena terganggu, aku tidak peduli. Yang aku pedulikan hanyalah, dia. Objek didepan sana yang menjadi kerumunan orang-orang sejak tadi.
"Raja berhenti!"
Aku cepat-cepat menghampiri Nakala yang sudah setengah sadar dibawah kungkungan Raja. Wajahnya dipenuh lebam, sisi bibirnya berdarah, bajunya kusut dan kotor. Aku menangis. Rasanya hatiku seperti diiris, menyakitkan sekali melihat Nakala seperti ini.
"Bangun Amarta."
Aku menggeleng, memilih memeluk Nakala yang sudah hampir hilang kesadarannya. Melindungi Nakala, berjaga-jaga jika saja Raja lagi-lagi memukulinya.
"Bangun, atau aku menarikmu secara paksa."
"Aku mohon Raja, bantu aku kali ini saja," ucapku, dengan derai air mata.
Raja menatap sengit pada Nakala yang berada dalam pelukanku, tangannya mengepal, rahangnya mengeras. "Pencuri seperti dia sangat pantas mendapatkan itu."
"Nakala tidak pernah mencuri apa yang menjadi milikmu Raja."
"Dia mencurinya!!!" Suara Raja mengeras, dia naik pitam. "Dia mencuri semua milikku!! Dia mengambil Ibu, Ayah, dan dirimu!!!"
"Satu kali pun. Aku, tidak pernah menjadi milikmu."
Hanya dengan kata itu, Raja terdiam seribu bahasa. Tapi aku tahu, dia menyimpan amarah besar didalam dirinya. Tangannya yang terkepal memutih, dan kepalan itu membuat urat-uratnya mencuat.
Aku membantu Nakala untuk berdiri, susah payah memapahnya untuk pergi dari sana. Sebelum amarah Raja meledak dan membuat keributan lagi.
Sepanjang jalan, aku terus menasihati Nakala, mengoceh tiada henti. Bahkan hingga sekarang saat aku sedang mengobati lukanya. Kesal sekali rasanya setiap melihat Nakala yang diam saja saat Raja berlaku kasar padanya.
"Kamu harusnya melawan Kala," ucapku sembari mengobatinya. "Aku tau kamu sangat menyayangi Adikmu itu, tapi setidaknya jika kamu tidak ingin melawan cobalah untuk menghindar. Jangan berdiam diri saja seperti orang bodoh."
Nakala menggenggam tanganku yang sedang mengobati luka diwajahnya. Setelah itu ia mengambil notebook dari sakunya, lalu menuliskan sesuatu disana.
Kala baik-baik saja, Marta.
Setelah membacanya, aku kembali melanjutkan mengobati luka Nakala tanpa bicara. Akan tetapi kali ini aku sengaja menekannya cukup keras, membuat Nakala meringis kesakitan.
Aku mendengus, "Apanya yang baik-baik saja."
Nakala tersenyum menanggapinya, lalu menepuk dua kali kepalaku.
"Diam, aku sedang marah Kala."
Nakala langsung mengatupkan bibirnya. Dia benar-benar diam, tidak bergerak sama sekali.
"Aku ingin bicara serius. Jadi kamu harus diam, dan dengarkan. Mengerti?"
Nakala mengangguk sebagai jawaban.
Aku mulai berbicara, "Nakala.. percaya atau tidak, aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan, meski kamu tidak pernah bercerita tentang bagaimana selama ini kamu bertahan." Hela napas panjang keluar dari mulutku. "Aku tahu, kamu pasti memiliki alasan kenapa kamu tidak melawan saat Raja berkali-kali memukulmu. Kamu sengaja, agar Raja melampiaskan amarahnya padamu, kamu merasa bersalah, sebab merasa benar dengan apa yang Raja katakan bukan?"
Nakala bergeming ditempatnya.
"Kala, kamu sama sekali tidak mencuri apa yang menjadi milik, Raja. Ayah dan ibu itu milik kalian berdua. Aku, bukan milik siapa-siapa."
"Berhenti berpikir jika keberadaanmu adalah penghalang, Kala. Mungkin kamu tidak sadar, tapi disekelilingmu, diluar sana, ada banyak orang-orang yang pernah begitu mensyukuri keberadaanmu. Seperti ibu-ibu yang kamu persilahkan duduk saat di bus kereta, pedagang kaki lima yang mengucap syukur saat uang kembaliannya sengaja tidak kamu terima, kucing dijalanan yang kami beri makanan, senyuman tulus yang kamu berikan, juga kehangatan yang kamu pancarkan."
Aku tersenyum menatapnya. "Kala, keberadaanmu itu anugerah bagi orang-orang disekitarmu. Jadi berhenti berpikiran yang tidak-tidak."
Nakala diam menatapku lama, setelahnya ia menuliskan sesuatu di notebooknya.
Apa kehadiran Kala juga anugerah bagi Amarta?
Aku mengangguk tentunya,"Aku sangat bersyukur dengan adanya kehadiranmu dalan hidupku, Kala."
Nakala menatapku dengan binar indah dimatanya, sudut bibirnya terus terangkat, bahkan ada semburat merah dipipinya saat aku selesai berbicara.
Aku yang tadinya serius langsung tertawa melihatnya. "Ternyata Nakala bisa tersipu juga."
Nakala mengambil notebooknya, lalu kembali menuliskan sesuatu disana.
Kala malu, tapi Kala sangat senang mendengarnya. Rasanya darah Kala seperti mengalir lebih cepat dari ujung kaki keujung kepala. Jantung Kala juga berdebar tidak karuan, dan semua itu karena Amarta.
Lagi-lagi aku tertawa, anak ini jujur sekali.
* * *
Sore itu.. seperti keinginan Nakala yang ingin berjalan bersama. Aku menunggunya di taman tempat biasa kita berdua bertemu, taman yang selalu ramai oleh banyaknya orang yang bermain disana.
Aku memutuskan untuk datang lebih awal dari jam yang ditentukan. Karena biasanya, Nakala selalu sengaja datang lebih awal, katanya tidak ingin membiarkan aku menunggu lama. Jadi kali ini, sekali-kali biar aku yang menunggunya.
Aku mengedarkan pandanganku melihat sekitar. Tempat ini, menyimpan begitu banyak kenanganku bersama Nakala.
Aku ingat sekali pertemuan pertamaku dengan Nakala di taman ini. Bagaimana Kala yang menghampiriku dengan wajah gugup karena sandal kita yang sama tertukar. Aku tertawa mengingatnya, entah kejadian itu sudah direncanakan Nakala atau memang sandalku benar-benar tertukar dengannya, sampai sekarangpun aku masih belum mengetahui kebenarannya. Tapi yang pasti, aku bersyukur. Karena kejadian itu, sekarang sosok Nakala ada dalam hidupku.
Aku kembali mengingat-ingat kebersamaanku dengan Nakala. Tak lama senyuman merekah dibibirku, saat momen lucu dan menyenangkan itu terlintas dalam benakku.
'Ini apa?' Nakala menuliskan pertanyaannya di dalam notebook yang selalu ia bawa, sembari menunjuk objek yang menjadi rasa penasarannya.
Aku yang sedang membaca buku menoleh, 'Ini namanya guide, Kala.'
'Pungsinya untuk apa?'
'Untuk pembatas, ataupun sekat. Bisa juga untuk menandai hal yang penting,' kataku.
Nakala mengangguk, lalu kembali menuliskan sesuatu. 'Kala boleh meminta satu?'
Waktu itu aku langsung mengangguk, karena sedang asik-asiknya membaca buku. Tapi perlakuan Nakala membuat diriku bergeming waktu itu. Dia tiba-tiba saja menempelkan Guide yang ia pinta padaku. Awalnya aku bingung, namun tak lama aku tersenyum, sebab mengerti dengan apa dari maksud Nakala.
Aku melihat jam tangan yang kugunakan. Waktu sudah menunjukkan pukul 16:42. tapi Nakala masih saja belum kunjung datang. Tumben sekali ia terlambat, tidak seperti biasanya.
Aku membeli permen kapas yang masih ada disana, memutuskan untuk menunggu Nakala sembari memakannya. Akan tetapi, sampai permen kapas itu habispun Nakala tetap tak ada.
Apa laki-laki itu lupa? Tapi sepertinya itu tidak mungkin. Nakala bukan orang yang mudah lupa, apalagi jika itu adalah rencana darinya.
Cepat sekali menit-menit berlalu, sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Namun senja tidak muncul, tergantikan oleh gumpalan awan kelabu. Sama dengan Nakala, laki-laki itu tidak terlihat batang hidungnya. Sepertinya, dia benar-benar lupa.
Akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Akan tetapi saat berbalik, aku mendapati Raja ada disana, dengan baju yang dipenuhi bercak darah. Penampilan kacau, matanya berkaca-kaca, dan.. seperti ada ketakutan besar, juga rasa penyesalan didalam sana.
Aku awalnya bingung, namun saat Raja bersuara.. itu adalah jawaban telak dari pertanyaan mengapa Nakala tak kunjung ada.
"Dia, pergi."
T
epat dibawah guyuran hujan tak terbendung dari langit yang dipenuhi awan kelabu. Tuhan merebut Nakala, semestaku.
* * *
Kursi-kursi sudah dikeluarkan. Tetangga, kerabat maupun teman sampai saat ini masih terus berdatangan. Begitupun dengan langit kelabu yang menurunkan hujan, mereka seolah ikut merasakan kesedihan yang aku rasakan.
Orang-orang datang dengan membawakan puluhan kata penenang, dan berbela sungkawa. Yang mana membuatku terus menangis setiap mendengarnya.
Jadi, seperti ini rasanya ditinggal pergi? Sesak sekali.
Rasanya, baru kemarin siang aku dan Nakala menghabiskan waktu bersama, bercerita, tertawa, hanya untuk menerima kenyataan jika sore harinya Nakala sudah tak ada. Ingin sekali aku menganggap hal ini adalah sebuah mimpi. Akan tetapi, tubuh Nakala yang terlentang kaku dihadapanku, menjadi bukti nyata, bahwa ini bukan khayalan saja.
Rasanya aku ingin marah pada sang pencipta, mengapa ia mengambil Nakala disaat aku sedang tidak ingin jauh-jauh darinya? Mengapa ia mengambil Nakala, disaat aku teramat begitu besar mencintainya.
Aku marah sekali pada orang yang menabrak Nakala, yang lari begitu saja tanpa ada pertanggungjawabannya. Aku juga ingin marah pada Nakala, sebab laki-laki itu yang tanpa berpikir rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan Raja. Dan sekarang, laki-laki itu hanya diam saja. Entah apa yang Raja pikirkan, tak ada tangisan yang keluar dari matanya, hanya tatapan kosong yang tertuju pada Nakala yang tetap setia menutup mata.
Aku memilih acuh, dan kembali memperhatikan tubuh kaku Nakala. Tak lama memutuskan untuk mendekatinya, memandang wajah Nakala untuk terakhir kalinya. Ku kecup keningnya lama dengan derai air mata, kuusap wajahnya, membingkai untuk yang terakhir kali.
—————
Nakala... kamu berhasil membuat perasaan ini jatuh begitu dalam, lebih dalam saat hati ini mengetahui jika pemiliknya pergi dan tak akan kembali lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro