Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pelangi Untuk Seno

BY: Erlin Park

Rintik hujan masih terlihat dari balik jendela mobil. Namun, langit yang gelap beberapa waktu lalu sudah mulai terlihat terang setelah menuangkan tetesan air yang mengendap di gulungan awan hitam.

Sheril, gadis dengan manik karamel itu tersenyum tipis saat netranya menangkap cahaya warna-warni di sudut langit. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul empat sore lalu menoleh ke arah pria yang saat ini fokus dengan setir mobil.

"Seno! Kamu lihat itu."

Pria yang terpanggil menoleh secara refleks pada wanita di sebelahnya, Seno lantas tersenyum tipis melihat arah pandang Sheril sebelum kembali fokus pada jalan yang sedikit ramai.

"Pelangi?"

Sheril mengangguk cepat. Ia pertajam penglihatannya pada sesuatu yang ia anggap sebuah keajaiban Tuhan.

"Indah bukan? Secanggih apa pun teknologi manusia gak akan ada yang kalahi ciptaan Tuhan yang satu itu," tutur Sheril kagum. Kemudian menoleh saat tangan Seno menggenggam tangannya yang berpangku di atas paha, mengusapnya lembut dengan ibu jari.

"Kamu mau makan dulu, Sayang?"

Sheril hanya mengangguk tipis dengan senyum yang ia pamerkan pada pria tinggi itu.

Seharian ini, mereka menyelesaikan beberapa keperluan pernikahan yang selalu tertunda oleh pekerjaan masing-masing. Mulai dari feeting baju, mendatangi WO dan mencicipi makanan yang akan ada di pesta pernikahan mereka yang akan digelar kurang dari dua minggu lagi.

Seno maupun Sheril tak terlalu merencanakan pernikahan mewah. Hanya menyewa gedung yang tak terlalu besar karena mereka lebih memilih budget yang ada dipakai untuk keperluan setelah menikah.

Sheril sejak kecil hanya hidup bersama sang nenek dan Seno adalah anak tunggal dari keluarga yang terbilang pas-pasan. Mereka bertemu saat memasuki perguruan tinggi, berkenalan, dekat kemudian berpacaran dan saat hubungan mereka sudah menginjak tahun ke lima--saat Seno sudah resmi menjadi seorang Dokter dan Sheril sudah lulus dengan gelar sarjana ekonomi-nya, mereka mengambil komitmen serius dalam sebuah hubungan yaitu; pernikahan.

Perjalanan cinta mereka tak terlalu pelik. Bahkan hubungan mereka begitu dikagumi karena selalu terlihat romantis saat berada di mana saja.

Mobil jenis SUV berwarna hitam itu berhenti di salah satu rumah makan yang menyediakan makanan khas negeri ginseng. Salah satu makanan kesukaan Seno.

"Bimbimbap lagi?" tanya Sheril.

Seno menoleh dan menyengir. "Kamu mau cari tempat makan lain? Mumpung kita belum turun."

Sheril menggeleng dan terkikik geli. "Gak usah, di sini aja. Aku juga lagi kepingin makan khimci."

Tak bertanya lagi, Seno keluar dan mengitari mobil untuk membuka pintu penumpang. Merangkul pinggang Sheril dengan posesif saat wanita yang saat ini menggunakan dress biru langit keluar dari mobil dan berjalan ke arah pintu masuk restoran.

Mereka memesan makanan favorit dan menghabiskannya dengan di selingi obrolan ringan dengan canda yang lebih sering di lontarkan Seno, sampai kegiatan itu selesai dan mereka kembali lagi ke dalam mobil untuk menuju arah pulang.

"Sayang, nanti habis dari Bali kita langsung ke Korea ya. Aku kepingin banget ke sana."

"Gak bisa, Yang. Aku cuma dapat cuti dua minggu dari rumah sakit. Itu pun aku pakai empat hari sebelum hari H. Bunda minta di temenin ke rumah saudara."

Sheril mengerucutkan bibirnya. Menghela napas pelan, memaksa mengerti dengan pekerjaan calon suaminya yang super sibuk.

"Nanti aja, ya. Aku rencana ke Kanada lho. Katanya mau lihat pohon maple?"

Senyum semringah langsung muncul di wajah manis Sheril. Ia kemudian melepas seatbeltnya, bergerak maju ke arah Seno yang kembali fokus menyetir lalu dengan santai mendaratkan kecupan singkat pada pipi pria itu.

"Sebelah lagi dong?" pinta Seno menggoda.

"Ck, fokus nyetir aja!" sahut Sheril malu. "Nanti aja di rumah."

Seno terkekeh mendengarnya dan mengusap singkat puncak kepala wanita yang kembali memakai sabuk pengaman. Suara tape mulai menemani perjalanan pulang mereka, nyanyian yang dibawakan oleh penyanyi ternama, Jhon Legend berjudul All Of Me menjadikan suasana romantis yang mereka ciptakan sendiri, semakin terasa.

Sesekali Sheril akan mengikuti lirik lagu berbahasa Inggris itu dengan terus menatap keluar jendela yang sudah menampilkan langit malam yang tampaknya tak banyak menghadirkan bintang.

Lalu saat melihat hujan kembali turun, Sheril mulai merasakan perasaan berbeda. Entahlah, ia hanya ingin cepat sampai rumah bersama kekasihnya yang memang sudah tinggal seatap dengannya. Mengistirahatkan tubuh yang begitu lelah setelah menghadapi segala urusan pra-nikah yang memusingkan lalu tidur dengan berpelukan seperti malam-malam sebelumnya.

Namun, perasaan tak mengenakan yang dirasakan Sheril ternyata sebuah firasat buruk yang beberapa menit kemudian menjadi nyata saat sebuah truk yang hilang kendali menabrak mobil yang ia tumpangi, dari lawan arah. Membuat roda empat itu terpental jauh hingga belasan meter. Suara hantaman keras itu terdengar begitu hebat, kepanikan dan ketakutan melingkupi hati.

Sheril menoleh ke arah Seno yang ternyata menjadi tempat pertama jatuhnya wajah truk besar itu dan ia bisa melihat dengan jelas, kepala pria itu terbentur keras, darah mengalir di wajahnya lalu tangan pria itu meraih tangannya untuk digenggam dan setelah itu ia merasakan hantaman keras dari pembatas jalan menimpa sisi yang ia duduki.

Lalu semuanya mulai terdengar sunyi dan terasa gelap.

***

"Seno!"

Refleks terduduk dengan nafas tersengal dan teriakan, kucuran keringat sebesar biji jagung terlihat di wajah pucatnya. Dadanya bergemuruh dengan detak jantung yang seperti ingin meledak. Tangannya yang gemetar meraba dan menekan dadanya kuat. Mencoba menghirup oksigen yang terasa menipis setelah mimpi buruk itu kembali menghampiri.

"Sheril? Kamu gak apa-apa?"

Suara berat itu tak mampu mengambil atensi wanita yang masih sibuk mengatur napas tak cepatnya.

"Kenapa, Sher. Kamu baik-baik aja?"

Saat si pemilik suara mulai merengkuh tubuhnya, barulah Sheril menoleh. Matanya sudah meneteskan air mata saat kesadarannya kembali. Dengan tangan yang berpegangan pada biseps pria di sampingnya, tangis Sheril pecah dengan raungan pilu yang menyesakkan.

"Gak apa-apa, kamu tenang, ya?"

"Kev, Seno ... aku ... aku mimpiin Seno, Kev. Aku ...."

"Shhh, iya aku tahu. Udah ya."

Kevin, pria yang menjadi sahabat sekaligus dokter psikolog bagi Sheril semakin erat mendekap wanita malang itu. Mengusap punggung yang gemetar karena tangis yang tak tertahankan.

***

Kejadian  delapan bulan lalu masih menjadi belenggu bagi wanita yang saat ini menatap jendela rumah sakit. Kevin yang saat ini baru saja masuk setelah semalaman berjaga di samping Sheril, hanya menghela napas pelan. Merasa iba dengan pasien sekaligus mantan calon istri sahabat karibnya.

Setelah kecelakaan maut yang menimpa calon pengantin itu, Kevin menjadi dokter bagi Sheril yang syukurnya masih selamat dari maut meski kondisinya tak kalah memprihatinkan karena trauma hebat.

"Seno! Kamu lihat pelangi itu?" Sheril berceloteh. "Iya, itu! Indah bukan?"

Kevin tersenyum miris melihatnya.

"Kapan kita ke Kanada? Ini musim semi bukan? Pohon Maple pasti sudah menguning. Kapan kita ke sana?"

Menyentuh sudut mata yang terasa berair karena melihat pemandangan itu, Kevin mulai berjalan mendekat pada wanita yang begitu tenggalam dalam delusinya sendiri.

"Lihat! Ada dua pelangi! Ah, itu pasti kamu kan? Iya kan, Sayang?"

Tidak ada.

Tidak ada pelangi karena di luar langit begitu sombong memancarkan terik dengan warna biru muda kebanggaannya.

Wanita itu begitu terpuruk hingga menghabiskan delapan bulan lamanya berada di rumah sakit untuk pengobatan fisik dan mental. Entah sampai kapan waktu yang ia butuhkan.

"Sheril?"

Sheril menoleh ke arah Kevin yang membawa nampan berisi sarapan juga beberapa butir obat yang tersedia di sisinya.

"Sarapan dulu, ya." Kevin duduk di samping Sheril yang masih sibuk memandang langit lewat jendela rumah sakit. Tatapan yang tadi begitu ceria kini berubah sendu, menyiratkan kesakitan dan kerinduan yang begitu dalam.

"Sayang?"

"Seno suka panggil aku kayak gitu?" ucap Sheril mengiba. "Dia sayang banget sama aku, kan, Kev."

"Iya, aku tahu. Dan sekarang aku yang bakal panggil kamu kayak gitu. Gak apa-apa, kan?"

Sheril hanya terdiam. Lalu menoleh ke arah Kevin lagi. "Seno nanti marah."

"Gak Sayang, dia marah kalau kamu gak mau minum obat. Gak mau sarapan, gak mau istirahat. Aku udah bilang sama Seno buat gantiin dia jagain kamu."

"Aku gak mau, aku maunya Seno, Kev." Tatapan Sheril mulai tak beraturan, gemuruh napasnya mulai terasa cepat. Tangannya meremas baju rumah sakit yang saat itu ia pakai.

Kevin meletakan sarapan di atas nakas, ia tahu apa yang selanjutnya terjadi lalu kembali memeluk Sheril yang mulai menarik rambutnya sendiri dengan kasar sembari meracau tak jelas.

"Seno berdarah, wajahnya ... kepalanya ... dia ... aku lihat Seno, dia ... Kev. Aku takut. Kita mau nikah, kita bakal nikah di ...."

"Shhh, tenang Sher." Kevin menangkup wajah yang sudah banjir air mata. Mencoba menenangkan meski hasilnya gagal karena Sheril terus meracau dengan air mata dan keringat yang muncul karena rasa gelisah. "Lihat aku, Sher!"

Wanita itu menggeleng, memukul-mukul kepalanya sendiri dengan kesal.

"Jangan Sayang, Seno bakal marah kalau kamu kayak gini. "Kevin menarik tangan Sheril. Masih mencoba menenangkan wanita itu lalu kembali memeluknya erat sampai yang terdengar hanya tangis yang terdengar pilu.

"Jangan nyiksa diri kamu, Sher. Seno pasti sedih lihat ini, kayak aku. Aku sedih lihat kamu begini Sher. Aku kangen senyum kamu, kangen omelan kamu, kangen ketawa kamu. Kangen kamu yang dulu. Kamu pasti bisa sembuh, Sher. Relain Seno, please." Kevin menunduk, mengecup puncak kepala gadis itu kemudian mengeratkan pelukannya dengan netra yang ikut memanas saat raungan tangis Sheril berubah menjadi isak kecil yang sama menyesakkan.

"Aku kangen Seno, Kev. Aku kangen banget."

"Iya, aku tahu. Aku tahu, Sher."

Lalu dekapan Kevin menjadi wadah tumpahnya tangis dan rindu yang tak pernah bertuan. Sheril tak tahu harus bagaimana merelakan pria yang pergi tepat di depan matanya dengan cara yang begitu tragis. Ia harusnya bersyukur dengan keajaiban Tuhan yang masih memberi ia kesempatan hidup, sayangnya justru Sheril hidup tanpa jiwa yang dulu.

Karena jiwanya pergi dengan pria yang membawa hampir seluruh hatinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro