Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Paxton and his Destiny

BY: Yulia Moirei

Keringat bercucuran membasahi jidat Paxton, pria tua berusia enam puluh tahun. Seperti biasa, ia membabat rumput di halaman rumah tua. Rumah yang cukup lama tidak terurus, tetapi dihuni oleh dua orang anak keluarga kaya. Mereka jarang keluar rumah, menghabiskan waktu dengan bermain. Bahkan, mereka tidak bersekolah. Tetapi, sebulan sekali wanita tua datang memberikan stok makanan dan menyuruh Paxton untuk membabat rumput.

Paxton memanggil wanita itu Nyonya Jemma. Ia jarang berbicara, bahkan tidak pernah tersenyum. Paxton yang hidup sebatang kara, terpaksa mengambil tawaran pekerjaan Nyonya Jemma. Namun, hari ini Paxton merasa cuaca begitu panas.

"Musim panas, anak muda pasti liburan ke pantai," gumam Paxton sembari terkekeh.

Paxton berjalan menuju rumah tua untuk beristirahat di depan terasnya. Paxton menatap rumput yang setiap bulan, tumbuh sepinggang orang dewasa. Paxton tua merasa letih dengan hidupnya.

"Andai saja, saat muda aku bekerja keras dan menikah. Mungkin, hidupku lebih berwarna dan tidak sesuram ini," ucap Paxton meratapi nasibnya.

Tiba-tiba, pintu rumah tua terbuka lebar. Paxton terkejut dan menoleh ke belakang. Ia tidak melihat siapa pun di dalam rumah mewah tua, tetapi lantai begitu bersih dan isinya tertata dengan rapi. Paxton yang penasaran, memanggil dua anak penghuni rumah tua.

"Permisi, nak?" panggil Paxton dengan raut wajah penasaran dan tegang.
Selama ini, Paxton tidak pernah melihat secara langsung wajah anak-anak kaya itu. Ia hanya mendengar dari Nyonya Jemma yang meminta Paxton untuk menjauhi teras rumah dan dilarang berinteraksi dengan penghuninya.

Paxton berniat menjauhi pintu, tetapi rasa penasarannya menuntun ke dalam. Tanpa Paxton sadari, tubuhnya kembali muda saat memasuki rumah tua.

Paxton terus memanggil anak-anak penghuni rumah tua, "Nak!"

Paxton terkejut saat menyadari perubahan suaranya, sontak ia melihat kedua telapak tangan yang berubah menjadi muda. Paxton celingak-celinguk, mencari cermin untuk memastikan wujudnya.

Di ujung lorong terdapat sebuah cermin besar berukiran bunga, Paxton mendapati wajah pria muda rupawan yang berusia sekitar awal dua puluhan. Paxton meraba wajahnya sendiri, takjub dan heran.

"Ba-bagaimana bisa, wajah ini kembali seperti dulu?" Paxton bertanya-tanya, hingga melupakan tempat yang ia pijak.

Seorang wanita cantik, bergaun Hitam dengan topi Witch Hat berdiri di belakang Paxton, menepuk pundaknya dengan pelan. Paxton semakin terkejut dengan kemunculan wanita itu, wajahnya yang cantik membuat Paxton terpesona untuk beberapa detik. Rambutnya pendek sebahu, berwarna hitam pekat.

"Siapa kamu?" tanya wanita itu dengan tatapan sinis.

Tubuh kekar Paxton gemetar, ada aura mencekam di sekeliling wanita itu, "Sa-saya, Paxton, pemotong rumput, halaman depan rumah."

Wanita itu mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan mengintimidasi, tiba-tiba seorang anak laki-laki berusia sembilan tahunan mengangkat tubuh Paxton dengan kekuatan sihir. Paxton melayang di udara dengan taburan sihir berwarna ungu.

"Apa ini ulahmu Jasion?" tanya wanita itu kepada anak laki-laki yang tertawa di puncak tangga.

Anak laki-laki itu terkekeh, "Iya, kak."

"Turunkan dia sekarang!" Perintah wanita itu dengan tegas.

Jasion menurunkan tubuh Paxton yang melayang di udara. Jasion angkat suara, "Sebenarnya, untuk apa kita menunggu dan mengamati Lord Paxton? Sudah waktunya membawa dia ke Mearley."

"Bukan memaksanya seperti ini!"

"Aku tidak memaksa, hanya membukakan pintu untuk Lord Paxton," ucap Jasion.

Paxton masih kebingungan dengan obrolan dua penghuni rumah tua, "Siapa kalian?"

Wanita bertopi itu mengayunkan tongkatnya dan dalam sekejap, posisi mereka ada di ruang tengah dan duduk di sofa empuk. Wanita cantik itu memperkenalkan nama dengan sopan, "Namaku Levana dan dia adikku—Jasion. Kami penyihir yang berasal dari Mearley. Kami diutus Lord Zander untuk mengawasi darah sihir—"

Jasion langsung memotong ucapan kakaknya, "Dan, kamu adalah pemilik darah sihir yang telah diramalkan oleh Lord Zander."

"Kamu penyihir yang terlahir dari rahim manusia. Kami, sudah menunggu kelahiranmu, sejak enam puluh tahun yang lalu," ucap Levana dengan tegas.

"Aku? Seorang penyihir?" tanya Paxton dengan raut wajah bingung.

"Itu alasan kami, hidup bertetangga denganmu," celetuk Jasion sembari mengayunkan tongkat dan seketika sirop jeruk berada di atas meja.

Paxton masih kesulitan mencerna informasi yang diberikan, "Jika aku penyihir, kenapa kalian tidak memberitahuku lebih awal?" tanya Paxton.

Levana terkekeh, "Karena saat remaja, sikapmu masih labil, karakter mudah terhasut dan kondisi pulau Mearley sedang tidak baik. Ratu Lydia diculik oleh penyihir jahat bernama Elfed. Kami tidak bisa kembali ke Mearley karena semua akses keluar-masuk ditutup oleh perisai Elfed. Kami terus menunggu, sampai takdir membawamu masuk."

"Mengapa harus aku?" tanya Paxton yang merasa heran, dari miliaran manusia di bumi yang terpilih itu dia.

"Karena hidupmu paling hancur, tidak ada kebahagiaan yang nyata dalam hidupmu," ujar Jasion.

Memang fakta itu benar, Paxton tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang utuh dari keluarga. Ayah dan ibunya bercerai, Paxton lebih dekat dengan pengasuhnya. Saat remaja, Paxton terjerumus pergaulan bebas, tidak ada kebahagiaan yang abadi. Belasan pacar, berujung putus. Paxton hidup liar, melakukan pemalakan di jalan, beberapa kali tertangkap polisi untuk kasus kekerasan. Paxton tidak mau bekerja, ia menghabiskan waktu untuk berfoya-foya dengan uang warisan mendiang ibunya. Namun, setelah tua uang itu habis dan ia terpaksa bekerja sebagai tukang kebun di rumah tetangga.

Paxton menyadari, ia tidak pernah bahagia, "Iya, mungkin benar, hidupku tidak bahagia."

Paxton tersenyum pahit, "Lalu, bagaimana bisa aku berwujud muda lagi?"

Jasion terkekeh, "Karena rumah ini memiliki sihir."

Levana memegang tangan Paxton, "Sudah waktunya, kamu menjadi bagian Mearley."

Paxton menggelengkan kepala dan keluar dari rumah tua. Seketika tubuhnya menua saat keluar pintu dan di depan halaman rumah tua, Paxton melihat gambaran sosok pria tua yang mati di tengah rumput-rumput liar. Gambaran itu lenyap, digantikan oleh sebuah batu nisan dengan ukiran nama Paxton. Tidak ada bunga dan tangisan. Tidak ada yang peduli dengan Paxton.

Paxton meneteskan air mata, "Baik, aku akan menjadi penyihir."

Paxton berbalik badan dan kembali masuk ke dalam rumah, Levana dan Jasion memeluknya. Levana pun menjelaskan cara memasuki Mearley.

"Kami berdua tidak bisa memasuki Mearley, tetapi kamu bisa memecahkan perisainya."

Levana dan Jasion menuntun Paxton menuju cermin besar di ujung lorong. Paxton menempelkan kedua tangannya dan cermin itu bergerak seperti air. Tangan Paxton tembus ke dalam cermin. Paxton, Levana dan Jasion masuk ke dalam cermin yang terhubung ke Pulau Mearley.

Levana mengayunkan tongkatnya, "Vieni scopa!"

Sapu terbang berwarna hitam dengan gagang cokelat meluncur dari cermin, Levana, Paxton dan Jasion yang terbang bebas langsung terduduk di atas sapu.

Paxton menjerit ketakutan, ia berpegangan erat dengan Levana. Jasion yang berada di belakang tertawa dengan bahagia. Sudah satu abad mereka meninggalkan Mearley. Jasion dan Levana sangat merindukan orang tuanya. Levana langsung meluncur ke pemukiman yang dulu dihuni oleh keluarganya.

Suasana begitu mencekam, tidak ada cahaya yang menerangi desa kecil itu. Semua penghuninya lenyap, tidak ada yang tersisa. Hanya puing-puing bangunan yang hancur. Levana dan Jasion menatap kampung halamannya dengan mata berkaca-kaca.

"Kakak, kita terlambat."

Levana yakin, orang tuanya menjadi tawanan Elfed. Paxton tidak bisa berbuat banyak, ia hanya kebingungan dan merasakan aura yang mencekam.

"Kita ke ruang bawah tanah!" Levana menarik Paxton dan Jasion menuju ruang bawah tanah di salah satu rumah yang runtuh.

Di dalam ruang bawah tanah yang hancur, Paxton melihat punggung pria tua yang tengah memegang erat sebuah tongkat sihir. Perawakan pria tua itu, mirip dengan seseorang yang Paxton kenal. Paxton berlari mendahului Levana. Paxton membalikkan tubuh tua itu.

"A-ayah?" tanya Paxton dengan terkejut. Sudah lama Paxton tidak bertemu ayahnya yang menghilang tanpa jejak, meninggalkan Paxton dengan ibunya.

Pria itu sama terkejutnya, "Paxton?" mereka saling bertatapan.

"Salam hormat, Lord Zander," ucap pria tinggi dan gadis berpakaian yang cukup ketat.

Levana dan Jasion berubah wujud, menjadi wanita dan pria dewasa. Mereka sengaja menyamar agar identitas aslinya tidak diketahui oleh Elfed. Paxton ikut terkejut, karena Levana yang sebelumnya ia lihat berusia sekitar belasan tahun dan Jasion yang berusia sepuluh tahunan.

"Terima kasih Levana-Jasion, kalian sudah menjaga putraku."

Lord Zander, ayah dari Paxton adalah seorang penyihir kelas atas di Mearley. Lord Zander, pemilik darah sihir yang agung. Ia berhasil keluar dari Mearley. Satu abad yang lalu, Lord Zander bertemu dengan ibu Paxton. Lord Zander mencintainya dan menikah, hingga memiliki seorang putra. Namun, saat Paxton remaja. Lord Zander diseret secara paksa ke Mearley, untuk menikahi Ratu Lydia. Perjodohan secara paksa oleh para tertua penyihir, membuat Lord Zander dan Ratu Lydia terikat pernikahan. Status Lord Zander yang sudah memiliki istri, di abaikan oleh para tertua. Ratu Lydia yang memiliki kekasih yaitu—Elfed, terpaksa berpisah. Elfed yang ahli racun, berusaha balas dendam kepada rakyat Mearley. Elfed berhasil menguasai Mearley dan memperbudak penyihir.

Paxton mendengarkan semua cerita Lord Zander, ditemani Levana dan Jasion. Paxton tidak menyangka bahwa Lord Zander itu adalah ayahnya.

"Paxton, aku sudah meramalkan kehidupanmu. Jauh, sebelum aku menikahi ibumu. Namun, aku tidak bisa menghentikan takdir. Kecuali kamu sendiri yang bergerak dan mengubahnya," ucap Lord Zander.

Paxton terdiam, "Lalu, aku harus bagaimana?"

Lord Zander tersenyum, "Maafkan aku yang tidak bisa menjadi ayah bagimu, menuntutmu agar menjadi penyihir dan membantu rakyat Mearley."

Paxton merasa sesak, ia sudah ditakdirkan dan itu tanggung jawabnya, "Aku bersedia menolong mereka."

Lord Zander menunjukkan sebuah tongkat sihir yang  berada di dalam sebuah kaca, "Ini tongkat sakral, terbuat dari dahan Pohon Luce. Ini yang berhasil aku selamatkan dari Elfed."

Levana bertanya, "Lord, dimana tongkat anda?"

Lord Zander tersenyum miris, "Tongkatku dicuri oleh Elfed."

Saat itu, Lord Zander dihadapi oleh dua pilihan. Elfed membunuh Ratu Lydia atau Lord Zander memberikan tongkat ajaibnya. Keselamatan Ratu Lydia, nomor satu. Lord Zander yang jujur, memberikan tongkatnya kepada Elfed. Namun, Ratu Lydia ikut disandera. Lord Zander diserang oleh Elfed. Hingga akhirnya keluar dari kerajaan dengan membawa tongkat sakral. Zander bersembunyi di ruang bawah tanah milik keluarga Levana. Semua rakyat dikurung oleh Elfed. Zander, bersembunyi bertahun-tahun di dalam ruang bawah tanah. Menunggu putra dalam ramalan.

"Apa Lord Zander tidak bisa menggunakan tongkat sakral?" tanya Jasion yang terlihat begitu kritis.

Lord Zander menggeleng, "Aku tidak bisa, tapi Paxton bisa."

"Apa aku boleh mencobanya?" tanya Levana dengan raut penasaran.

Lord Zander membuka kaca dan mengeluarkan tongkat itu, Levana mencobanya, tetapi ia tersetrum dan tangan terluka. Jasion yang sama keras kepalanya, ikut mencoba dan secara tiba-tiba tangannya keram dan berdenyut nyeri, seolah dipatahkan. Melihat Levana dan Jasion, membuat Paxton ragu. Namun, Lord Zander meyakinkan Paxton, bahwa semua akan baik-baik saja.

Paxton meraih tongkat berukiran naga berwarna emas, tidak terjadi sesuatu. Tangan Paxton masih utuh, tidak ada rasa sakit, "Aku baik-baik saja."

Paxton mengayunkan tongkatnya ke kanan dan kiri, "Besok, aku akan melatihmu."

*****

Paxton terbangun dari tidur saat ledakan terdengar begitu dahsyat, Paxton berlari ke atas dan melihat beberapa penyihir dengan jubah hitam menyerang Jasion, Levana dan Lord Zander.

"Ternyata, selama ini kalian bersembunyi di permukiman hancur!" teriak salah satu dari penyihir dengan jubah hitam.

Mereka menyerang Lord Zander yang tidak memiliki tongkat sihir. Levana dan Jasion menjadi pelindung, tetapi kekuatan mereka kalah tanding. Beberapa penyihir mengayunkan tongkatnya, "Magia Nera!"

Mereka terus menyerang perisai yang dibangun Levana dan Jasion. Levana tidak sanggup menahan sihir hitam yang menyerang seperti kumpulan lebah.

Jasion terlempar ke belakang, Levana menyerang dengan kekuatan sihir, "Fuoco!"

Api keluar dari tongkat sihir Levana, menyerang ke arah penyihir dengan jubah hitam. Namun, gagal, sihir Levana ditangkis begitu mudah. Levana terpental ke rumah yang roboh, Paxton hendak menolong, tetapi Levana memberikan isyarat untuk bersembunyi.

Pada akhirnya, Levana, Jasion dan Lord Zander tertangkap. Mereka terlihat pasrah, karena kekuatan sihir mereka tidak sebanding dengan pengikut Elfed. Tinggallah Paxton seorang diri di pemukiman yang hancur. Paxton menatap Levana, Lord Zander dan Jasion yang dibawa dengan kekuatan sihir hitam, mereka terbang menuju utara Mearley.

Paxton kebingungan, ia ingin kembali pulang dan tidak mau terlibat masalah di Mearley. Namun, ia tidak tahu caranya. Paxton sudah berjanji kepada Lord Zander, Levana dan Jasion untuk menolong mereka. Menolong rakyat Mearley.

"Aku harus belajar sendiri!" Tekad Paxton yang membara layaknya kobaran api.

Paxton berlari masuk ke dalam ruang bawah tanah, mengambil tongkat emas. Di dalam ruang bawah tanah, terdapat pakaian, jubah, topi Witch Hat, sepatu, dan pedang. Paxton mencari sesuatu yang dapat memberikan petunjuk mengenai penggunaan sihir.

Di bawah meja kayu kecil, Paxton menemukan sebuah buku kuno. Di dalamnya terdapat banyak gambar dan tulisan. Paxton tidak mengerti bahasa dalam buku. Namun, gambar-gambar itu dapat membimbing Paxton.

Paxton mengayunkan tongkat sihir ke kanan dua kali, "Ubah bahasa ini!"

Sekali gagal, dua dan tiga kali tanpa ada reaksi. Paxton melempar buku dan mendapatkan selembar kertas yang terselip, isi kertas itu ditulis oleh Lord Zander, karena menggunakan bahasa manusia. Paxton membacanya perlahan-lahan.

"Tongkat sihir sakral ini bernama Bene, ia dimiliki oleh penyihir terkuat di Mearley. Tongkat yang diukir secara khusus, berlambang naga berwarna emas, memiliki arti kejayaan dan kuasa. Tongkat ini, hanya bisa dipegang oleh pemimpin berhati tulus. Sebut namanya Bene, ia akan mengikuti kemauan pemimpin."

Paxton tersenyum tipis, "Jadi namamu Bene?"

Tongkat sihir itu bergerak, seolah mengerti ucapan Paxton. Paxton membalikkan selembar kertas itu, begitu terkejutnya ia saat semua mantra sudah tertulis rapi.

Paxton berjalan keluar pemukiman dengan menggunakan jubah panjang, topi Witch Hat, pedang, tongkat dan sapu ajaib milik Levana. Paxton tidak mungkin belajar sihir di halaman terbuka, ia takut tertangkap oleh penyihir jubah hitam. Maka dari itu, Paxton berjalan menuju hutan yang tidak jauh dari pemukiman. Paxton melihat satu lahan yang di atas tertutup rimbunnya pepohonan.

"Baiklah, aku akan belajar disini," Paxton memfokuskan diri, memejamkan mata, menarik nafas dan membuangnya perlahan-lahan.

"Bene Vento!" Paxton berhasil menggerakkan angin.

"Bene Il vento si fermò!" Sekejap angin berhenti.

"Bene Aria!" Paxton berhasil mengendalikan air dengan kekuatan sihir emasnya.

Paxton terus berlatih, sampai ledakan terjadi berkali-kali dan memicu rasa penasaran Elfed. Ia meminta lima pengawalnya untuk turun ke hutan. Lima pengawal Elfed turun ke hutan dan mengawasi Paxton. Mereka tidak berani menyerang, karena Paxton menggunakan kekuatan tongkat sihir sakral.

Paxton berkembang dengan cepat, tidak butuh waktu lama. Ia mampu menggunakan tongkat ajaib dan mengimbangi tubuh di sapu terbang. Paxton terbang menuju barat, menyerang pengawal Elfed dengan tongkat sihirnya.

Elfed, pria itu turun dari singgasananya dan menatap Paxton dengan geram, "Kau pasti putra dalam ramalan itu."

"Iya, Aku Paxton. Putra Lord Zander! Aku lawanmu."

Paxton turun dari sapu dan menyerang Elfed, "Bene Suolo!"

Tanah di sekeliling Elfed bergetar, Elfed meloncat ke tanah yang lain, tetapi Paxton terus menyerang Elfed. Elfed terjatuh, tetapi sapu terbang menolongnya.

"Berhenti menyerang, kita sama-sama terluka. Aku tahu, ayahmu melantarkanmu sedari dulu. Itu sangat menyakitkan. Bagaimana jika kita bersatu? Membantai penyihir-penyihir ini?" tanya pria berambut putih itu, sembari menunjuk tawanan yang ia keluarkan dengan kaki dan tangan terikat rantai. Semua tongkat sihir disita dan tubuh mereka menciut.

Paxton melihat Lord Zander di tengah kerumunan, menatap matanya penuh harapan dan sedikit penyesalan.

Di tengah Paxton yang lengah, Elfed menyerang Paxton dengan kekuatan sihir hitam, "Magia Nera!"

Paxton terjungkal dan masuk ke jurang yang baru saja terbentuk dari pergeseran tanah, Paxton berpegangan erat dengan batu. Dada sebelah kanannya terluka oleh serangan sihir hitam yang mirip seperti lebah. Paxton tidak tinggal diam, ia memanggil sapu terbang milik Levana.

Paxton meramalkan mantra, "Bene Pianta!" Semua akar pohon merambat ke arah kaki Elfed, melilit tubuhnya, tongkat ajaib terlempar ke tanah. Semua penyihir berlomba merebut tongkat Elfed. Elfed menjerit ketika, akar itu menarik paksa kepalanya, hingga terputus.

Paxton menyerang tubuh Elfed dengan mengayunkan mantra terakhirnya, "Bene, Morto!"

Elfed yang ahli racun mati, kepalanya menggelinding ke arah Paxton. Di dalam kepala Elfed terdapat ramuan penyembuh. Paxton membelah kepala Elfed, mengambil botol kecil untuk menyembuhkan kerumunan penyihir. Namun, saat Paxton hendak menolong, Ratu Lydia berlari ke arahnya dan menusukkan sebuah belati tajam ke perut Paxton.

"LYDIA HENTIKAN!"

"Aku tidak akan rela, Elfed mati di tanganmu!"

"Aku hanya ingin hidup bahagia," ucap Paxton.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro