Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

I'll Show You

BY: Layla

Suara bising memenuhi pendengaran, musik keras diiringi suara dentingan gelas kaca terus membabi buta gendang telinga. Minuman-minuman beralkohol dituangkan, wanita-wanita penghibur menggondeli setiap pria yang datang. Klub malam, tempat manusia-manusia sialan menghabiskan malam mereka, mencari hiburan dari wanita-wanita yang siap menjamah tubuh pria manapun.

"Oh, di sini rupanya kau, Keparat Sialan," gumamku menangkap sesosok pria tua beruban yang seakan tanpa beban tertawa lepas dengan gelas minuman di tangannya. Di kedua lengannya tampak bergelayut dua wanita penghibur yang tengah mabuk bersamanya.

Setelah segala yang kualami, setelah aku mengejarnya dari kota satu ke kota yang lainnya, akhirnya kutemukan pria brengsek ini di tengah gemerlap kota yang tak pernah berani kudekati bahkan dalam mimpi di masa kecilku. Kedua sudut bibirku tertarik ke atas, membentuk senyuman lebar untuk pertama kalinya sejak kepergian ibu dan adik manisku.

"Ibu, manusia keparat ini tak sepantasnya hidup bukan?" ucapku pelan dengan mata menatap tajam pria brengsek yang kini dengan santai berciuman dengan salah satu wanita di bangku sana. Emosiku naik, rencanaku seketika samar. Tanganku mengepal kuat, kakiku baru saja hendak melangkah sebelum seseorang bergelayut di lenganku. Parfumnya menusuk tajam hidung sensitifku, membuat amarahku buyar, menoleh mencari tahu makhluk apa yang menempel pada lenganku.

Tepat ketika kepalaku tertoleh sempurna, mataku disapa dengan wajah penuh riasan seorang wanita klub. Bibir dengan lipstik merah tebalnya melengkung, membentuk sebuah senyuman, mengarahkannya padaku, "Apa kau menginginkan wanita itu? Dia sudah dipesan. Lebih baik denganku, mari kita bersenang-senang, Tampan," wanita itu mengedipkan matanya, nyaris membuatku muntah di tempat.

Dengan penuh rasa muak aku memasang wajah datar, "Menjauhlah, Bitch."

"Ah, kau pria kasar, kau tipeku!" pekiknya membuatku mengernyit, suaranya mengerikan, ditambah dia terus mengoceh, menawariku minuman di tangannya. Pikiranku kini berkecamuk kacau. Berbagai cara kupikirkan untuk lepas dari makhluk yang bergelayut manja di lenganku. Diantara kecamuk pikiranku, saran dari seorang senior perusahaan melintas begitu saja di otakku.

Tanpa berpikir panjang, aku melepaskan pelukan wanita di lenganku, "Aku tidak suka wanita."

Berhasil, ucapanku membuat mulutnya bungkam seketika. Matanya membulat terkejut, menatapku tak percaya. Meski wanita ini memuakkan, kuakui aku berterima kasih padanya. Jika saja tak karena dia sudah pasti aku telah melayangkan tinjuku dan diseret keluar oleh penjaga keamanan karena membuat keributan. Jika tak karena wanita berparfum menyengat itu rencanaku sudah pasti berantakan karena emosiku.

Langkah kakiku yang sebelumnya mengarah ke meja tempat pria keparat itu sedang menghabiskan waktunya sekarang berubah haluan ke arah tangga. Kaki jenjangku menaiki satu per satu anak tangga yang ada, menuju sebuah ruangan khusus tempatku membuat janji dengan seseorang.

"Kau juniornya Alton, bukan begitu? Apa benar itu orang yang kau cari?" sebuah suara menyambut tepat ketika aku membuka pintu.

***

Aku menatap datar cermin di hadapanku, menyapu penampilanku dari bayangan yang terpantul. Rambut palsu, riasan tebal, dan pakaian yang menampilkan banyak bagian tubuh melekat pada diriku. Tak tanggung-tanggung dua benda mengganjal di dadaku, membuatnya terlihat menonjol.

"Kau benar-benar terlihat cantik. Apa kau yakin kau adalah laki-laki?" sebuah bisikan terdengar di telingaku, membuatku refleks melirik tajam pada seorang pria usia kepala tiga yang menjabat sebagai manajer klub, seorang kenalan Tuan Alton yang membantuku di sini.

"Wow, wow, matamu mengerikan. Jangan menatapku begitu. Dan tolong kendalikan ekspresimu kalau mau semuanya berhasil. Aku sudah bilang aku tak mau ikut terlibat dengan polisi-polisi merepotkan itu kalau kau sampai ketahuan. Keluar ruangan ini kau adalah Thena, ingat itu," nada bicara manajer yang kuketahui namanya Arthur itu berubah serius, menepuk pundakku, "ruangan nomor tujuh. Semoga beruntung."

Kepalaku terangguk, "Tentu, Tuan Arthur. Serahkan padaku. Akan kubuat kematiannya seakan merupakan ulah anak buah si Keparat itu. Malam ini juga kudeportasi dia ke neraka," tanganku yang dibalut sarung tangan hitam bergerak, memeluk leher Tuan Arthur yang memang lebih tinggi dariku.

"Oy, apa yang kau lakukan, hah?!" ucap Tuan Arthur membulatkan matanya, tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, apalagi ketika kubuat dirinya terduduk dengan aku di atas pangkuannya.

Dengan gerakan lembut kuarahkan jari-jariku ke lehernya bersamaan dengan berdiri dari atas pangkuannya. Tangan kiriku membungkam mulutnya, menghentikan teriakannya. Tanpa basa-basi, dalam hitungan detik kupindahkan manajer itu ke alam selanjutnya.

"Maaf Tuan Arthur, tak boleh ada saksi," dengan perlahan kututup matanya yang terbelalak, membuat tubuh tak bernyawa itu dalam posisi duduk dengan kepala tertunduk, persis seperti posisinya ketika menungguku berias diri beberapa waktu lalu.

Aku kembali ke depan cermin, menatap bayanganku, memastikan tubuhku bersih tanpa ada bekas perbuatanku barusan. Bersih, kakiku melangkah menuju pintu, keluar dari ruangan manajer, menuruni anak tangga dengan kaki jenjangku yang beralaskan sepatu hak tinggi. Bersikap seakan tak ada yang terjadi.

Bunyi ketukan sepatuku mulai samar, tak terdengar, digantikan suara musik keras ala klub malam. Masih sama seperti kemarin, ramai dan penuh sesak. Bau alkohol menyengat, dan orang-orang mabuk memenuhi ruangan besar itu. Beberapa pria menatap ke arahku, beberapa menjilat bibirnya. Para pria bajingan ini benar-benar haus belaian.

Sebelum aku muntah dengan tatapan lapar dari banyak pasang mata itu, aku melanjutkan langkahku ke arah sebuah lorong, ke bagian paling dalam klub ini, tempat di mana banyak lelaki hidung belang kurang belaian bercumbu dengan wanita-wanita yang sengaja menjual dirinya untuk uang.

Aku berhenti tepat di depan kamar nomor tujuh, memasang senyum menggoda pada penjaga kamar yang merupakan anak buah dari pelanggan di dalam sana, mengajaknya bersalaman sebelum masuk ke dalam ruangan VIP kedap suara itu.

***

"Dasar.. penjah..at.. kep..par..at..," ucapnya dengan pandangan penuh kebencian yang dia tujukan padaku sebelum tubuhnya lunglai tak berdaya di atas kasur.

Sial, aku tertawa mendengar perkataannya. Aku menyelimuti tubuhnya yang tak lagi berjiwa sambil terbahak. Teringat percakapanku semalam dengan Tuan Arthur.

"Kau benar-benar penjahat sialan ya?" kekehan terdengar dari mulut Tuan Arthur.

Tanpa permisi sebuah tawa lolos dari mulutku, "Jika kau bilang begitu, dengan senang hati akan kutunjukkan seperti apa yang disebut penjahat itu, Tuan Arthur."

Aku menghentikan tawaku, menyisakan sebuah senyum lebar yang terukir pada wajahku yang tertutup riasan tebal, "Memang akulah penjahatnya."

Kutaruh sebilah pisau tepat di atas nakas sebelah kasur, menempelkan sidik jari penjaga depan kamar yang kudapat saat bersalaman tadi pada pegangan pisau besar itu, "Dan beginilah cara penjahat menegakkan kebenaran yang ia percaya."

Segera setelahnya kurapikan diriku, mematut diri di depan cermin untuk ketiga kalinya pada malam ini. Kutinggalkan ruangan tempat pria keparat yang paling kubenci itu meregang nyawa. Tak lupa bualan manis untuk mengelabuhi penjaga kamar.

"Dia bilang aku harus pergi, dan dia bilang jangan ganggu dia~ Tadi itu benar-benar sangat liar.. biarkan dia istirahat, aku pun harus pulang dan istirahat sekarang.." ucapku tersenyum lebar dengan tangan menutupi satu sisi leher.

Benar, aku tidak bohong, itu tadi sangat liar. Liar sekali gerakannya berkelit, membuatku kesulitan mendeportasinya ke neraka. Leherku jadi korban, beruntung tidak ada darahku yang menetes. Bisa rumit urusannya.

Dengan langkah santai aku pergi menuju tempat terakhir yang ingin kukunjungi sebelum aku kembali ke perusahaan.

Makam ibu dan adik manisku, Tian.

Aku menarik nafas panjang, menatap dua gundukan tanah dengan batu nisan bertuliskan nama ibu dan adikku ditengah gelapnya pemakaman.

"Ibu, Tian, pria itu sudah mati. Sudah kupindahkan dia ke alam baka. Aku tak jadi menyiksanya, jadi kukirimkan langsung ia ke alam selanjutnya. Yah, meski aku tahu darahnya mengalir dalam tubuhku, aku tak pernah mau memanggil pria bajingan itu 'Ayah'. Maafkan aku untuk itu, Ibu. Beristirahatlah dengan tenang."

Aku menaburkan kelopak bunga di tanganku yang kupetik di jalan saat menuju ke sini.

"Aku mungkin tak bisa datang lagi... Aku harus mengucapkan selamat tingga—"

"Ucapkan selamat tinggal pada ragamu, Dasar Bocah Sial."

Sesuatu menyentuh tengkukku, diikuti dengan suara yang telah kuhafal mati, suara senjata api yang siap menembak.

Dalam gelap pemakaman, masih bersimpuh di pusara ibu, aku tersenyum, "Selamat istirahat, Ibu, Tian."

Dor!

Suara senapan mengawali akhir dari untaian tali perjalanan balas dendam.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro