Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Doughty

BY: Sasa

Meski sudah satu bulan menjadi murid baru di SMA Cemara, Hera masih belum bisa beradaptasi di sana. Keadaan nyata di sekolah sangat berbeda jauh dengan apa yang orang lain bicarakan di luar sana. Pem-bully-an di sana sangat parah. Niat Hera awalnya tidak mau peduli untuk mengamankan diri, tetapi nyatanya ia tidak bisa melakukannya. Ia sangat geram saat korban kian terluka, tapi pihak sekolah seakan menutup mata dan telinga.

Bahkan sekarang, ia mendengar seseorang menjerit kesakitan. Hera celingukan mencari sumber suara, hingga ia menemukannya. Itu dari arah gang kecil di ujung jalan sana. Ia pun bergegas melangkahkan kakinya dengan cepat.

Membulatkan mata, ia berhenti seketika. Sedikit memundurkan tubuhnya, ia lalu hanya mengintip dari tempatnya. Mengeluarkan ponsel, inisiatif ia merekam kejadian yang sedang berlangsung di sana. Terlihat Diana bersama kedua temannya tengah menertawakan Rindu yang berlutut meminta maaf dengan keadaan basah kuyup.

"Lo tuh, udah gue bilang buat keluar dari sekolah. Orang miskin kayak lo gak berhak bersaing sama kita," ujar Diana, lalu menendang Rindu.

"Gila!" Hera geram. Mematikan ponselnya, ia memikirkan bagaimana caranya ia membantu Rindu.

Di saat berpikir, ia menemukan sebuah kantung plastik dan ia juga sadar bahwa ada selokan kecil di sana. Ide gilanya muncul, dengan cepat ia mengambil kantung plastik itu dan mengisinya dengan air selokan yang kotor dan bau itu. Ia sedikit merasa mual, tapi ia tidak peduli. Setelah hampir terisi penuh, ia mengikat kantung plastiknya.

Tidak apa, kali ini ayo membuat masalah.

Berjalan perlahan, ia pun berhenti beberapa meter dari tempat Diana. Mengambil aba-aba, ia lalu melempar kantung plastik itu dengan sekuat tenaga ke arah Diana. Tepat sasaran, seketika kantung plastik itu pecah tepat di kepala gadis angkuh itu.

Terdengar Diana menjerit dan langsung menoleh ke belakang. Hera diam saja sembari menatap Diana dan teman-temannya dengan santai.

"Gila ya lo!?" Diana berteriak. Merasa tidak terima dengan perlakuan Hera kepadanya.

"Lo yang gila," jawab Hera sembari melangkahkan kakinya, mendekat pada Diana.

"Nyari masalah lo sama gue? Lo gak tau gue siapa, hah?"

Ah, Hera benci mendengar suara Diana yang keras itu. Membuat telinganya sakit.

"Lo? Tukang bully gak tau diri, kan," jawab Hera sambil mengangkat sebelah alisnya.

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipi mulus Hera. Diana tidak terima Hera memanggilnya dengan sebutan tukang bully, padahal itu memang kenyataannya.

"Gak terima?" tanya Hera, meledek.

"Lo gak usah ikut campur kalau lo gak mau jadi korban selanjutnya! Mending sekarang lo pergi sebelum gue buat lo kenapa-kenapa," kata Diana.

"Gue bakal pergi kalau lo lepasin Rindu," balas Hera, menunjuk Rindu yang masih terduduk lemah.

"Gak ada hak lo nyuruh gue lepasin Rindu."

"Ya lo juga gak berhak nyuruh gue pergi dari sini."

Diana kesal. Ia pun hendak memukul wajah Hera. Namun, Hera lebih dulu menahan tangannya saat sedikit lagi kepalannya itu mengenai wajah Hera.

"Lepas, anjing!" umpat Diana, meminta Hera melepas pertahanannya.

Namun, bukannya menuruti Diana, Hera malah memutar lengan Diana sampai terpelintir. Diana menjerit kesakitan sambil meminta dilepaskan.

Memutar bola mata, Hera akhirnya melepas tangannya dan mendorong Diana hingga gadis itu tersungkur. Salah satu teman Diana langsung saja membantu tanpa melawan pada Hera.

Yang satunya lagi memaksa Rindu untuk ikut dengannya dan pergi dari sana agar Hera tidak bisa membantu gadis lemah itu.

Hera ingin mengejar, tetapi Diana dan Laura menahan tubuhnya. Laura memegang tangan Hera dari belakang dan Diana menyerang dari depan. Gadis itu menendang perut Hera cukup keras.

Memberontak, Hera akhirnya bisa lepas dari Laura. Ia bergegas pergi setelah mendorong Diana lagi. Ia ingin menyusul Rindu, tetapi ia tidak tahu kemana orang itu dibawa pergi. Hingga ia pun memutuskan untuk pulang ke rumah karena langit sudah terlihat menggelap dan juga perutnya terasa sangat sakit. Ia juga bersyukur karena Diana tidak mengejarnya.

•••

"Pa, kalau nanti Hera kenapa-kenapa, Hera mohon buat Papa bantu Hera terus, ya! Hera butuh Papa," ucap Hera. Ia sedang menelepon Papa yang sekarang sedang berada jauh darinya.

"Papa pasti bantu Hera, dong. Hera lagi ada masalah, kah?" tanya Papa dari dalam telepon sana.

"Hera gak tau, Pa. Hera cuma jaga-jaga kalau misalnya nanti Hera kena masalah aja," jawab Hera.

Sebenarnya ia sedang memikirkan tentang kasus pem-bully-an di sekolah. Ia ingin membantu para korban dan memberantas para pelaku. Tapi ia hanya sendirian. Ia tidak mempunyai teman yang bisa membantunya. Ia jadi bingung.

"Papa bakal bantu Hera terus. Papa bela Hera kalau misalnya Hera enggak salah. Kamu jaga diri baik-baik ya selama Papa enggak ada di sana. Maaf Papa enggak bisa nemenin Hera terus."

"Iya Papa."

Memutuskan sambungan telepon, Hera lalu membaringkan tubuhnya. Ia terus memikirkan bagaimana caranya ia membantu Rindu dan korban yang lainnya tanpa ia menjadi korban juga.

•••

Wajahnya basah kuyup setelah Diana menyiramnya dengan air mineral. Setelah Hera melawannya di lapangan sekolah siang ini, Diana merasa kesal.

Setelah kehadiran Hera di SMA Cemara, hidupnya itu terganggu. Ia tidak suka saat ada yang menghalanginya untuk menggertak para siswa-siswi yang menurutnya lemah dan tidak bisa melawan.

Saling bertatapan dengan amarah yang sama-sama menggebu, keduanya juga saling terdiam. Hingga fokus Hera terpecahkan saat ia sadar ada seseorang yang berdiri di atas pembatas rooftop sana.

"Rindu," gumam Hera. Ia pun berlari begitu saja, tidak peduli dengan Diana yang ia tinggalkan.

Hera berlari sekuat tenaga. Ia tidak mau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Ia tidak mau Rindu menjatuhkan dirinya ke bawah.

Bersamaan dengan Hera yang membuka pintu keluar, Rindu menjatuhkan tubuhnya ke bawah. Hera terlambat, harapannya pupus begitu saja. Ingin menghentikan pun sudah tidak bisa, tubuh Rindu sudah berada di atas tanah.

Hera cepat-cepat kembali ke bawah untuk melihat keadaan Rindu. Jujur saja, ia merasa begitu takut sekarang ini. Pikirannya kacau. Ia sudah gagal bahkan sebelum memulai.

Tubuhnya bergetar, Rindu yang tidak sadarkan diri itu ... Dengan darah yang mengalir entah dari bagian mana, Hera tak kuasa melihatnya.

Mengeluarkan ponsel, ia menelepon pun ambulans. Ia tidak berani menghampiri Rindu karena ia takut. Ia juga merasa bingung. Kemana semua orang? Mengapa tidak ada yang peduli pada keadaan seperti ini?

"Ada apa ini?"

Hera menoleh ke belakang. Seorang guru menghampirinya sembari bertanya-tanya. Guru itu seketika terkejut setelah melihat keadaan Rindu.

"Jelaskan kejadian ini, Hera! Kenapa Rindu bisa seperti ini?" tanya sang guru.

"Rindu ... bunuh diri," jawab Hera dengan bibir yang bergetar.

Guru itu menghembuskan napasnya panjang. Ia tidak habis pikir mengapa kejadian ini bisa terjadi.

Memanggil guru-guru yang lain, hingga kemudian mereka mengurus Rindu yang bahkan sudah kehilangan nyawanya itu. Mereka membawanya ke rumah sakit setelah ambulans datang.

•••

"Ibu lupa? Kita masih dalam keadaan berduka, loh, Bu ... Bisa-bisanya sekolah mau ngadain acara?" tanya Hera, tidak terima saat wali kelasnya mengumumkan bahwa minggu depan sekolah akan mengadakan pentas seni.

"Berduka untuk waktu yang lama itu tidak baik. Lagipula, kasusnya sudah ditutup dan kita semua sudah sepakat untuk tidak membicarakan mendiang," balas sang guru.

"Kasusnya ditutup? Maksudnya gimana, Bu? Sekolah mau tutup mata sama kejadian ini? Rindu bunuh diri karena dia di-bully, Bu! Kenapa gak ada yang bela dia sama sekali?" Hera meninggikan suaranya.

"Kok lo tau? Lo pelakunya, ya? Atau jangan-jangan, lo juga yang nyuruh Rindu buat bunuh diri?" Diana menimpali. Ia menuduh Hera tanpa bukti.

"Kok gue? Jelas-jelas lo yang selalu bully Rindu. Gue punya buktinya, kok."

Dengan segera Hera menunjukkan video yang ia rekam hari itu. Kejadian di mana Rindu tengah diperlakukan tidak baik oleh Diana dan kedua temannya.

"Bisa saja video itu direkayasa, kan? Kamu enggak usah mengada-ada, Diana tidak mungkin melakukan hal seperti itu," ucap guru.

"Hanya karena Diana anak kepala sekolah, Ibu jadi bisa bela dia gitu? Dunia ini emang gak adil. Semua orang di sini udah gila, gak waras semuanya."

"Jaga bicara kamu, Hera!" Guru itu merampas dan membanting ponsel milik Hera tanpa persetujuan. "Kamu tidak pernah diajarkan sopan santun, kah?"

"Persetan dengan sopan santun. Orang-orang di sini tidak ada yang pantas untuk dihormati." Hera menjawab dengan lantang. Seisi kelas hanya diam, tidak ada yang berani membuka suara.

"Pokonya saya akan usut kasus kematian Rindu sampai Rindu dapat keadilan. Dunia harus tau kalau SMA Cemara itu gak sesuai sama apa yang dibicarakan kebanyakan orang."

"Punya apa kamu sampai mau melakukan itu?" tanya sang guru.

"Saya punya keberanian!" jawab Hera dengan lantang. "Harusnya kita gak boleh membiarkan pem-bully-an makin menjadi-jadi. Percuma saja ibu menjadi pembicara di seminar dan menyampaikan tentang larangan pem-bully-an, tapi ibu sendiri kenyataan tutup mata dan telinga saat ada kasus seperti itu di sekolah ini. Saya tau semuanya, Bu. Meski saya baru satu bulan sekolah di sini, tapi saya gak bodoh. Saya tau banyak korban Diana di sekolah ini."

"Lo kalau ngomong itu yang jujur, bisa? Dengan lo fitnah gue kayak gitu gak akan bikin lo keliatan keren," ujar Diana.

"Betul, Hera. Kamu sudah fitnah Diana," timpal sang guru.

"Saya ngomongin kejujuran, Bu. Sama sekali saya gak fitnah Diana. Dia emang pelaku yang sebenarnya."

Merasa tidak terima, Diana sontak menarik rambut Hera. Keduanya pun saling berkelahi. Guru dan murid lain yang berusaha memisahkan akhirnya berhasil setelah Diana sengaja melepas tangannya dari rambut Hera.

"Bisa Ibu liat, kan bagaimana sifat Diana yang sebenarnya?" tanya Hera dan guru itu hanya menggelengkan kepalanya.

"Sudah. Kalian duduk di tempat masing-masing. Jangan ada yang membuat keributan lagi," ucap guru itu lalu keluar dari kelas.

"Lo gak bisa ngalahin gue, Hera. Nyerah aja deh lo," kata Diana dan duduk di kursinya.

"Gak. Gue gak akan nyerah."

•••

Melewati ruang guru, Hera tidak sengaja mendengar percakapan di dalam sana. Rasa penasarannya muncul saat mereka membicarakan Rindu. Diam-diam ia pun menguping dari balik pintu yang sedikit terbuka itu. Tak lupa ia juga merekam pembicaraan dari dalam sana.

Untung saja ponsel yang tadi dibanting oleh wali kelasnya tidak rusak. Jadinya ia masih bisa menggunakannya dengan baik.

"Tolong kerja samanya, jangan sampai ada yang membuka kasus bunuh diri Rindu lagi. Anggap saja Rindu bunuh diri karena keinginannya sendiri, bukan karena dari tekanan Diana." Itu suara sang kepala sekolah, ayah Diana.

"Sekolah kita akan di cap buruk jika berita ini tersebar luas. Kalian anggap saja tidak ada kejadian apapun di sekolah ini."

"Tentang pem-bully-an yang dilakukan Diana, saya mohon biarkan saja."

Menggelengkan kepalanya, Hera tidak habis pikir. Memang tidak ada yang waras di sekolah ini. Ia jadi sangat menyesal karena bersekolah di SMA Cemara ini.

Mendengar suara kaki dari dalam, Hera buru-buru pergi dari sana. Mengambil tas dari dalam kelas yang sepi karena semua murid sedang berada di kantin, Hera lalu kabur. Ia akan pergi ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian ini. Ia tidak peduli meski sekolah sudah menutup kasusnya, ia akan tetap berusaha.

•••

Sore hari, area sekolahan nampak sepi. Di jalanan juga hanya ada beberapa kendaraan yang melewat. Setelah Hera mengirim rekaman bukti ke kantor polisi, ia pun kembali ke sekolah.

Turun dari taksi, matanya langsung tertuju pada kerumunan di dekat gerbang sekolah. Ia sudah yakin bahwa Diana dan teman-temannya itu pasti tengah membully seseorang.

Baru saja hendak menghampiri kerumunan itu, beberapa pihak berwajib mendahuluinya. Tertangkap basah, Diana dan teman-temannya tidak bisa berkutik.

Para pihak berwajib itu langsung saja membawa pelaku ikut bersama mereka dan korban diantarkan ke rumah sakit. Hera hanya diam di sana. Ia bersyukur karena pihak kepolisian bergerak cepat sesuai dengan harapannya.

Ia pun memutuskan untuk kembali ke rumahnya.

•••

Keesokan harinya, sekolah ternyata sedang dalam pemeriksaan. Hera sangat bersyukur karena para korban di sekolah mengaku pernah dibully oleh Diana. Salah satu siswa juga menyerahkan sebuah surat dan rekaman milik Rindu yang ia dapatkan di rooftop setelah kejadian hari itu.

Karena mendapat banyak tentangan dari masyarakat, akhirnya sekolah ditutup dan para murid dipindahkan ke sekolah lain.

Hera merasa lega. Berkat bantuan ayahnya juga ia bisa menghentikan kasus pem-bully-an di sekolah ini.

Setelah kembali dari sekolah, Hera memutuskan untuk mengunjungi makam Rindu. Perasaannya campur aduk, antara sedih dan bahagia.

"Tenang di sana, ya, Rindu. Gue yakin, setelah ini gak akan ada lagi orang yang kayak kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro