Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

City Island

BY: Acar Step

Aku terbangun, mendapati diriku berada di dalam tabung berisikan cairan aneh.

Cairan ini berwarna hijau, tapi kenapa aku bisa bernafas di dalam cairan ini? Kenapa ada banyak gelembung yang bergerak ke atas?

Pergerakanku kenapa terbatas? Aku menggoyang-goyangkan kedua kakiku dan tidak terjadi apa-apa.

Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Kenapa aku tidak bisa mengingat apapun?

Siapa aku? Dimana aku? Apa tujuanku?

ARGH!

Seketika tabung yang memerangkap diriku perlahan retak dan kemudian pecah, mengeluarkanku bersama kumpulan cairan itu.

Aku menarik nafas sekuat-kuatnya, merasakan udara masuk melalui hidungku.

Kenapa rasanya sangat segar? Aku mencoba bangkit dan berjalan menyusuri ruangan yang dipenuhi dengan kumpulan tabung yang hancur ini.

Tampak segalanya telah rusak. Namun ada secarik kertas yang tak terkena air sama sekali.

Kuambil kertas itu. Kulihat ada sebuah kalimat yang bertuliskan "Julian Neo" yang berada tepat di bawah foto diriku. Mungkinkah itu namaku? Bahkan judul dari kertas itu adalah "Percobaan manusia", membuatku sedikit ngeri.

Aku seketika tersadar bahwa aku tidak mengenakan apapun, dengan cepat aku segera mengambil kain yang memang kebetulan ada di sana. Kulilitkan kain panjang itu di sekujur tubuhku. Setidaknya tubuhku tidak terlalu terekspos sekarang.

Seketika sebuah pintu yang tak kusadari ada terbuka, membuatku langsung bergerak keluar dari ruangan itu.

Alangkah terkejutnya diriku melihat dunia luar yang sangat berantakan. Bangunan hancur dan gosong, kendaraan roda empat yang terguling hingga penyok, bahkan ada sisa tulang belulang.

Dengan perlahan aku berjalan mendekati salah satu kendaraan yang masih cukup bagus. Di sana aku mendapatkan sebuah senapan laras panjang serta beberapa bungkus roti.

"Berhenti di sana!"

Gerakanku seketika terhenti. Seseorang dengan cepat membalikkan badanku dan membuatku terbaring di atas tanah.

Aku bisa melihat wajahnya yang garang, tapi juga ada rasa takut di sana.

"Katakan siapa namamu!" ucap orang itu.

Ia kelihatan semakin takut. Terbukti dengan tangannya yang bergetar pelan. Baru saja ingin menjawab, seketika sesuatu di dalam tubuhku bergejolak. Awan-awan mulai menghitam, pandanganku juga seketika menjadi cerah.

JDER!

Sebuah petir keluar dari telapak tanganku, membuat orang itu kaget dan mundur beberapa langkah.
Tanpa ragu, orang itu menembakku dengan senapannya. Tapi entah kenapa aku merasa aku bisa mengendalikan petir.

Aku mencoba mengeluarkan petir dari telapak tanganku dan...

JDER!

Aku terkejut bukan main. Peluru yang tadinya ingin menghantam diriku sekarang malah terjatuh dalam keadaan hangus.

Kekuatan yang kuat, namun membuatku merasa aneh dengan tubuhku sendiri, serasa ada yang mengendalikanku.

Dengan segera aku bangkit. Orang itu tampak panik dan hendak menembak sekali lagi.

Aku ingin mengeluarkan petir. Namun seketika...

"Stop!"

Teriakan seseorang seketika membuat pandanganku yang super terang menjadi normal kembali.

Terlihat sekumpulan orang yang bersenjatakan senapan dan tombak datang menghampiri orang yang ingin menembakku tadi.

Mereka terlihat berbincang serius. Tak lama kemudian, salah satu dari mereka menghampiriku.

Perempuan, berparas cantik, berambut kuncir kuda, lumayan tinggi. Entah kenapa aku merasa familiar.

"Neo? Kau kah itu?"

Bahkan suaranya sangat lembut.

"Mungkin. Namaku Julian Neo," ucapku tak yakin.

Orang itu tampak tak percaya. Ia seketika menangis, membuatku reflek memeluknya.

Eh? Kenapa aku memeluknya?
Aku segera melepas pelukanku. Ia tampak senang dan terharu, seperti menemukan benda lama yang ia rindukan.

"Aku tahu kau masih hidup. Ikutlah denganku, akan kuceritakan semuanya."

Perempuan itu menarik lenganku. Entahlah, rasanya aku sudah lama mengenalnya. Namun... dia siapa?


***


Disinilah aku berada, di persembunyian yang mereka buat. Semenjak aku datang, aku diminta untuk menunggu di pojok ruangan. Mereka menodongkan senapan padaku.

Setakut itukah mereka padaku?

Aku hanya diam, tak berniat mengeluarkan petir. Mungkin yang tadi hanya kebetulan semata.

Tak lama kemudian, perempuan tadi datang menghampiriku. Ia membawakan sebuah roti, segelas air dan satu setel pakaian sederhana.

"Makanlah. Dari pakaianmu, aku bisa menebak kau baru keluar dari laboratorium itu, bukan? Kejam sekali mereka."

Aku fokus melihat roti dan air yang ia berikan. Rasanya aku tidak berselera untuk menyantapnya. Lagipula aku tidak merasakan lapar sama sekali.

Aku pun segera pergi ke tempat dimana kami membuang air besar maupun kecil. Aku mengganti pakaianku di sana. Setelah selesai, aku membuang kain yang kupakai tadi dan kembali ke tempat aku dan perempuan itu berbicara.

"Jadi, apakah kau bisa menjelaskan apa yang terjadi? Kenapa tadi di luar sana sangat kacau?" tanyaku.

Bisa kudengar bisikan tak jelas dari sekumpulan orang itu. Andaikan telingaku adalah telinga gajah, mungkin bisikan mereka bisa kudengar.

"Ceritanya panjang. Intinya, pihak laboratoriumlah dalang dari semua ini. Kami tidak tahu mereka melakukan eksperimen kepada manusia yang mengalami mutasi. Setelah itu, mereka malah melepas objek eksperimen mereka yang kemudian menghancurkan kota, sementara mereka sendiri kabur entah kemana. Beruntung tadi kita tidak bertemu dengan manusia mutasi itu."

Penjelasan dari perempuan ini membuatku terpikir akan sesuatu. Apakah manusia mutasi itu adalah orang yang pernah ada di dalam tabung? Apakah diriku juga manusia mutasi?

"Oh ya, perkenalkan, namaku Liana. Kita pernah bertemu sebelumnya."

"Benarkah?"

Kenapa aku tidak mengingat apapun? Aku dan Liana pernah bertemu, apakah hanya sekali? Tapi kenapa ia bisa mengingatku?

"Kau tahu? Kau adalah satu-satunya manusia mutasi yang normal."

"Maksudmu, manusia yang lain tak normal?" tanyaku.

"Ehm... bukan begitu."

Liana terlihat berpikir, mungkin ia ingin menjelaskan dengan kata-kata yang mudah untuk dipahami.

"Anggap saja manusia mutasi itu bentuknya seperti monster. Sedangkan dirimu masih dalam bentuk manusia. Untuk ukuran kekuatan, aku bisa menebak kau satu-satunya objek penelitian mereka yang berhasil."

Aku mengangguk paham walau sebenarnya masih bingung. Mereka yang tadinya menodongkan senjata padaku sekarang malah duduk, asik berbincang-bincang.

"Jadi... apa yang akan kau lakukan?" tanyaku.

"Apa yang akan kulakukan? Tentunya membalaskan dendamku pada manusia sok pintar itu. Mereka melepas manusia mutasi lalu kabur begitu saja. Mereka masih ada di kota ini. Mereka tidak pergi entah apa alasannya."

Aku mengangguk paham.

"Dan mereka? Kenapa mereka mengikutimu?" tanyaku.

"Aku memimpin mereka, berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk berlindung dan mencari bahan makanan. Namun mereka juga memiliki tujuan yang sama, balas dendam."

Aku mengerti. Mereka yang berhasil bertahan hidup dari serangan manusia mutasi ingin membalaskan dendam.

"Aku akan ikut."

Liana terlihat terkejut, begitu pula dengan yang lain.

"Kau ikut?" tanya Liana.

"Tentu saja. Aku juga ingin tahu kenapa mereka menghapus ingatanku dan membuatku memiliki kekuatan yang aneh ini walau aku sangat terbantu. Aku merasa seperti orang bodoh sekarang."

"Bagus. Akhirnya ada bantuan kuat yang memihak kita."

Mereka bersorak gembira dan kemudian segera berbaris, entah untuk apa.

"Kita akan berangkat sekarang. Aku sudah mengetahui keberadaan mereka, namun tidak berani menyerang karena tak cukup kuat. Dengan adanya dirimu, kita bisa menang."

Liana kemudian bangkit dan segera mengisi peluru senapan untuk dipakai. Ia melemparkan salah satu senapan itu padaku.

"Untukmu, berjaga-jaga jika kekuatan petirmu tak bisa digunakan."

Aku mengangguk. Tunggu... kenapa dia bisa berasumsi kalau aku tidak bisa menggunakan kekuatan petirku? Apakah dia mengetahui sesuatu mengenai kekuatanku?

Merekapun mulai keluar satu persatu, dipimpin oleh Liana dan aku yang keluar terakhir.

"Hei," panggil salah seorang yang tadi ingin menembakku.

Aku menoleh dan mengangkat salah satu alisku.

"Maaf tentang tadi. Aku terlalu panik sehingga menembakmu. Ngomong-ngomong, aku James."

"Julian."

"Apa kau tahu? Mereka tadinya yang tidak ada harapan sekarang bersemangat karena adanya dirimu. Benci kuakui kalau kami mendapatkan bantuan dari manusia mutasi, tapi kau tampak seperti manusia dengan kekuatan super, sangat jauh berbeda dengan manusia mutasi yang menghancurkan kota."

"Oh ya? Memangnya bedanya apa?"

James tampak serius. Bahkan ia sampai tak sadar ia berbicara tanpa menarik nafas sedikitpun.

"Mereka berbadan raksasa, botak, mata mereka besar melotot keluar, tak berhidung, gemuk obesitas, kaki dan tangan pendek, ada kekuatan aneh, hidup pula. Sedangkan kau, kekar dan sehat serta berperilaku seperti manusia. Itu aja sih."

Aku ingin tertawa mendengar James mendeskripsikan manusia mutasi lainnya. Namun aku tersadar. Apakah diriku juga akan berubah menjadi monster gemuk obesitas dan berkaki tangan pendek?

"Siaga! Ada manusia mutasi!"

Ucapan Liana membuat semuanya bergegas bersembunyi. Aku mendekat ke Liana dan bersembunyi bersamanya.

"Di mana?"

"Di situ."

Aku mencoba memfokuskan pandanganku, dan benar saja. James benar-benar mendeskripsikan segalanya dengan detail.

Aku bisa melihat manusia itu tak berhidung, botak serta gemuk obesitas. Akan kupanggil mereka raksasa obesitas mulai sekarang. Julukan manusia mutasi sangat tidak cocok untuk mereka.

"Liana? Kenapa mereka sangat ditakuti? Bukankah seharusnya dengan kondisi obesitas serta ukuran tangan yang pendek membuat mereka tak bisa mengeluarkan kekuatan mereka?" tanyaku.

"Kau lihat saja sendiri. Kita hanya harus menghindar, tak perlu melakukan kontak fisik apalagi sampai bertempur."

Mau bagaimana lagi, aku harus mengamati apa yang terjadi seperti kata Liana.

Raksasa obesitas itu berjalan dengan lamban, namun ada aura aneh yang kulihat.

Seketika bulu-bulu di sekujur tubuh raksasa obesitas itu berubah menjadi duri besi yang sangat tajam, membuatku terkejut.

"Inilah alasan kenapa kami tidak ingin melakukan pertempuran. Kami kalah telak."

Aku mengerti, Dengan senapan dan tombak saja tak cukup untuk melawan makhluk itu. Diperlukan senjata yang lebih kuat.

Berselang lima menit, akhirnya raksasa obesitas itu pergi. Kami segera keluar dari persembunyian kami dan bergerak mengikuti arahan Liana.

Siapa sangka, raksasa obesitas lainnya yang mendekat. Tapi yang ini berbeda. Ia bisa berlari walau lambat, membuat kami berlari sekencang-kencangnya menjauhi raksasa obesitas itu.

Jujur saja, aku tak merasakan lelah sama sekali meskipun sudah setengah jam berlari sementara mereka bahkan ada yang hampir tak sadarkan diri.

Liana memberi arahan agar mereka semua beristirahat sejenak dan mengumpulkan beberapa ranting untuk dijadikan perapian kecil.

JDER!

Akupun menghidupkan perapian itu dengan petir yang kukeluarkan dari telapak tangan kananku.

Kini mereka bisa beristirahat, bahkan ada yang sampai tertidur, entah kenapa aku juga tidak merasa ngantuk walau hari sudah malam.

"Liana?" panggilku.

Liana menoleh, kemudian melanjutkan aktivitas menjaga perapian agar tetap menyala.

"Kenapa daratan di sini gersang dan berpasir? Setahuku kota itu megah dan ada lahan hijaunya."

"Kota ini berpasir karena manusia mutasi. Salah satu dari mereka terus mengeluarkan pasir. Jika mereka dalam bentuk manusia sepertimu, mungkin mereka juga bisa mengendalikan pasir."

Aku mengangguk paham. Liana terlihat menatap langit yang kini dipenuhi bintang-bintang. Ya, sekarang sudah malam. Sekeliling kami sangat gelap, membuat kami harus berhati-hati.

"Apa kau tahu Neo?"

Aku menatap Liana yang masih setia melihat langit.

"Dulu ada seseorang yang sangat lucu. Dia bodoh, ceroboh pula."

"Benarkah?"

Liana mengangguk.

"Namun, ia selalu berani. Ia bahkan bisa melakukan sesuatu yang tak wajar. Ia kuat dan membuatku terpesona."

Aku diam, mendengar dengan sedikit rasa cemburu. Hei! Kenapa aku harus cemburu?

"Tapi gara-gara satu kesalahan, aku tidak bisa bertemu dengannya lagi, untuk selamanya."

"Kenapa? Apa kau memukulinya hingga babak belur?" tanyaku.

Liana menggeleng. Ia menghapus air matanya yang mulai berjatuhan.

"Aku... mengorbankannya. Kata maaf pun sepertinya tak cukup. Namun setidaknya aku tahu ia masih hidup."

Liana kini menatapku dengan tatapan bersalah. Aku mulai merasakan perasaan yang tak enak di hatiku. Entahlah. Ada rasa marah yang bercampur dengan kesedihan.

Liana kemudian memintaku untuk berjaga malam karena melihatku yang masih penuh energi dan tidak mengantuk sama sekali.

Aku menatap perapian begitu lama, mencoba untuk mengingat siapa diriku sebenarnya, hingga aku mendengar sesuatu. Suaranya pelan, tapi aku bisa memastikan aku mendengar langkah kaki.

Dengan segera aku membangunkan Liana dan James. Mereka segera membangunkan yang lain. Aku berdiri dan menjauh sedikit, melihat apa yang terjadi.

Entah kenapa aku juga baru menyadari bahwa aku bisa melihat dengan terang meskipun hari sudah malam.

Dan ya... gawat.

"

Dari arah utara! Empat raksasa obesitas!" teriakku mendadak.

Liana, James dan yang lainnya berpose seperti mannequin untuk sesaat, sebelum akhirnya mereka panik dan segera mengemas bahan makanan yang tadinya ingin dimasak.

Liana memimpin di depan, aku dan James berada di posisi paling belakang.

Aku sekali lagi menoleh ke belakang. Keempat raksasa obesitas itu datang dengan berjalan. Namun ada yang aneh dari pergerakan mereka.

"James, bisakah kau ke barisan depan?"

"Untuk apa?"

Aku di saat aku menoleh ke arah samping kanan, aku melihat tiga raksasa lainnya berlari mendekati kami.

"Laporkan ini pada Liana. Tiga raksasa lainnya sedang berlari menuju di mana kita berada sekarang."

James memandangku tak percaya sekaligus ketakutan.

"Bagaimana kau tahu?"

"Kekuatanku memungkinkanku untuk melihat dalam gel—"

Di saat aku menoleh ke arah depan, kenapa ada raksasa lainnya yang juga mendekati kami?

Lupakan dengan James. Aku harus berteriak.

"DARI ARAH KANAN DAN DEPAN, MASING-MASING TIGA RAKSASA OBESITAS MENDEKAT!"

Sebenarnya aku tidak ingin berteriak karena mereka bisa saja panik. Tapi ini keadaan genting. Bisa saja mereka akan tiba dalam dua menit kedepan.

Liana terlihat berpikir sembari memperlambat tempo lari mereka.

Liana kemudian meminta James untuk memimpin di depan sementara. Kini di barisan paling belakang ada aku dan Liana.

"Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanyaku.

Liana mengangguk.

"Sudah. Namun ini bergantung apakah di arah kiri juga ada manusia mutasi atau tidak."

Aku mencoba menoleh ke arah kiri. Tidak ada raksasa obesitas, melainkan pantai, pantai kosong dan beberapa perahu yang entah bisa digunakan atau tidak.

"Hanya pantai kosong dan beberapa perahu yang tak jelas kondisinya."

"Bagus, sesuai dengan rencanaku."

Liana kemudian meminta mereka semua untuk berhenti.

"Kita akan pergi ke arah timur. Di sana ada pantai kosong. Kita akan berlayar di lautan, berharap ada bantuan di luar sana."

"Tapi bagaimana jika tidak ada bantuan?" ucap salah satu dari mereka.

"Kalian lebih memilih mati di sini oleh manusia mutasi itu atau mengarungi lautan yang berkemungkinan kecil bisa memberikan kita bantuan? Terserah kalian."

Liana segera berlari ke arah timur, diikuti oleh beberapa orang termasuk James.

Bisa kulihat mereka yang tak ikut merasa tidak yakin dengan keputusan Liana. Namun pada akhirnya mereka memilih untuk pergi ke arah timur dan aku yang berada di barisan belakang.

Sesampainya aku dan rombongan yang ragu-ragu tadi, kulihat Liana dan yang lainnya tengah mendorong perahu yang terjebak pasir ke lautan.

Aku kembali menoleh ke arah belakang. Betapa terkejutnya diriku melihat total sepuluh raksasa obesitas tadi telah berada mungkin sekitar lima puluh meter dari pantai.

"MEREKA HAMPIR TIBA!"

Aku segera membantu James mendorong perahu terakhir yang tersisa. Ketiga perahu yang sudah didorong ternyata hanya dua yang bisa dipakai, belum termasuk perahu yang aku dan James dorong.

"Sedikit lagi," gumam James.

Aku mendorong sekuat tenaga dan akhirnya perahu terakhir bisa mengapung di atas air dalam kondisi baik.

Mereka segera menaiki perahu dengan tertib. Aku cukup salut dengan mereka yang tidak panik meskipun sudah terpojok.

Aku dan James mendorong satu persatu perahu yang sudah berada di atas air agar dapat menjauh dari tepi pantai.

Tiba di perahu terakhir, James dan Liana menaiki perahu yang memang khusus untuk meletakkan barang-barang bawaan.

"Naiklah, Neo," ucap Liana.

Aku berniat naik, namun lemparan batu yang cukup besar menciptakan ombak kecil yang membuat perahu berisikan barang-barang serta James dan Liana terdorong kembali ke tepi pantai.

"JAMES! LIANA!" teriak mereka yang perahunya tak terdorong kembali ke tepi pantai.

Raksasa obesitas itu terus melempari batu ke lautan, aku, Liana dan James tidak bisa mendorong perahu jika terus demikian.

"Kalian fokus saja pada perahunya. Aku akan mencoba menahan mereka untuk tidak melempari batu."

James dan Liana mengangguk pelan. Aku segera berlari ke tengah pantai, mencoba mengeluarkan petir.

Sedetik... dua detik... tiga detik...

Tidak terjadi apapun. Sialan! Sudah sampai di titik ini kenapa kekuatanku tidak bisa keluar?

Aku terus mengarahkan telapak tanganku pada raksasa obesitas itu bergantian, namun nihil.

Kenapa? Apakah kekuatanku telah habis? Aku hanya ingin melindungi mereka hingga selamat. Kini James dan Liana juga berusaha mendorong perahu terakhir itu dengan sekuat tenaga melawan arah ombak.

Sialan! Apakah aku harus berubah menjadi raksasa obesitas agar kekuatanku dapat keluar kapan saja?

Tapi sebentar, kenapa raksasa obesitas itu terus menerus melempari batu-batu yang lumayan besar di area pantai? Bukankah mereka memiliki kekuatan?

Aku mencoba menatap ke lautan. Ada sebuah kapal besar berwarna hitam dan di bagian tepi kapalnya tertampang tulisan "X-Born Group" yang sebentar lagi akan tiba di lautan pantai.

Kesempatan ini sangat bagus untuk mereka. Mereka bisa selamat, tetapi raksasa obesitas ini harus kuhentikan terlebih dulu.

"AAAKH!"

Suara itu... aku segera menoleh dan melihat Liana yang kini tak sadarkan diri dan kepalanya mengeluarkan cukup banyak darah akibat terbentur batu yang dilempari raksasa obesitas itu.

Aliran darah di dalam tubuhku seketika mengalir deras, air mataku jatuh begitu saja. Beberapa kilasan memori masa lalu seketika berputar begitu saja di kepalaku.

Seorang perempuan, memakai baju pengantin berwarna putih, kalender bulan Januari yang disertai angka dua puluh tiga yang dilingkar, cincin emas, apakah ini memori pernikahanku?

Seketika dari balik awan, kilat mulai bermunculan. Penglihatanku menjadi semakin terang.

"Kalian! RASAKAN INI!"

Bak kerasukan, tubuhku bergerak dengan sendirinya, membabi buta menyerang raksasa obesitas itu dengan melempar petir dan membuat sebuah pedang petir, menebas mereka semua. Namun beberapa dari mereka sangatlah kuat, bahkan bisa menangkis serangan petirku, salah satunya yang bisa mengubah bulu-bulu di tubuhnya menjadi duri tajam.

Marah, aku meluapkan emosiku. Langit seolah mendukungku dengan menurunkan hujan dari petir yang kencang. Kekuatanku seolah meningkat berkali-kali lipat.

"HIAAAT!"

Bersamaan dengan teriakanku yang berat, sekujur tubuhku terlapisi petir. Aku bergerak dengan cepat, memotong kaki-kaki raksasa itu sebelum mereka mampu menangkis seranganku.

Mereka semua tumbang dan dengan samar-samar asap perlahan-lahan mulai keluar dari tubuh mereka. Dengan segera aku menghampiri James yang masih berusaha mendorong perahu.

"Naiklah. Aku akan mendorong perahunya."

"Tapi bagaimana denganmu?" tanya James.

"NAIK!"

Teriakanku membuat James segera menaiki perahu dimana Liana berbaring bersama barang-barang bawaan.

Perahu itu seolah tak ada beban, aku mendorongnya dengan mudah hingga berlayar dengan sempurna menjauhi tepi pantai.

Aku melihat para kru kapal itu membantu mereka semua. Proses evauasi itu bahkan tak memakan waktu lama. Mereka semua sudah naik ke kapal besar itu. Liana yang sudah sadar melihatku dari kejauhan dengan tatapan tak rela.

Aku pun mengangkat tangan kananku, membentuk angka dua, tiga, dan satu bergantian. Liana yang melihat itupun menangis sejadi-jadinya.

Ya, aku ingat. Perempuan berbaju pengantin putih itu adalah Liana. Kami menikah pada tanggal dua puluh tiga bulan Januari.

"AWAS!"

Teriakan Liana yang terdengar kecil di telingaku membuatku menoleh ke belakang, mendapati raksasa obesitas yang Liana katakan tadi. Ia mengeluarkan pasir sedikit demi sedikit dari telinganya.

Tanpa basa-basi, aku segera menyerang raksasa obesitas itu dengan pedang petir milikku. Namun sebentar... ia bisa mengendalikan pasir?

Raksasa obesitas itu mengangkat kedua tangannya hingga setinggi bahu dengan telapak tangan yang menghadap ke atas.

Pasir-pasir yang berada di sekitarnya seketika naik ke telapak tangannya.

"RAAAAAAAKH!"

Raksasa obesitas itu berteriak keras. Seketika pasir yang kupijak menghisapku dengan cepat, mengunci seluruh tubuhku kecuali area kepala.

Aku menatap raksasa obesitas itu. Kedua telapak tangannya kini sudah ada bola pasir yang sangat padat. Ia melempar kedua bola pasir itu ke arahku.

Sial. Aku harus bebas sebelum bola pasir itu mengenai—

GUBRAK!

Kedua bola pasir itu seketika hancur. Tubuhku yang tadinya terhisap oleh pasir kini menaikkanku kembali ke permukaan.

Sebentar... kenapa raksasa obesitas itu tumbang dan mengeluarkan asap?
Aku melihat bayang-bayang seseorang yang memegang dua bilah pedang panjang dari kumpulan asap itu. Sebelum aku mampu melihatnya dengan jelas, bayangan itu seketika pergi dengan cepat.

Aku menatap ke lautan. Kapal besar itu kini telah berada sangat jauh dari pantai, bahkan hampir tidak bisa ku lihat.

Siapa sebenarnya bayangan tadi? Apakah dia adalah manusia mutasi yang berhasil selain diriku?

Saat aku tengah memikirkan itu semua, sebuah tombak seketika menerjangku. Aku segera menghindar dan menyadari ada seseorang yang sudah menungguku di belakang.

Aku mengeluarkan petir, melemparnya ke arah belakang. Namun orang itu sangatlah cepat. Dalam hitungan detik, ia menjatuhkanku serta mengancamku dengan pedangnya yang tajam.

"Julian Neo, bukan?"

Kenapa dia bisa mengetahui namaku? Aku menoleh, melihat wajahnya yang kini tertutup oleh sinar matahari.

Ia mengeluarkan sebuah suntikan dari sakunya. Ia jongkok dan menusukkan jarum tajam itu tepat di leherku.

"Apa yang kau lakukan padaku!"

Orang itu tak menjawab. Tubuhku kini lemas, tak bisa digerakkan. Ia kemudian mengikat kedua tangan dan kakiku.

"Maafkan aku. Suka tidak suka, kau harus ikut denganku."

BUK!

Wajahku dipukul dengan sangat kuat, membuatku tak sadarkan diri tanpa tahu kemana aku dibawa dan apa yang akan dia lakukan padaku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro