Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Abusive Me

BY: CN Angel

Dua bersaudara itu saling berpelukan. Terduduk di antara dua makam yang masih basah. Aroma tanah yang mengudara membuat isak keduanya semakin kuat. Kakak laki – laki—Reza—menepuk dan mengusap bahu adik perempuannya. Sama – sama tidak sanggup untuk mengeluarkan beberapa kata hiburan.

"Ibu ... Ibu ... Ibu tidak akan kembali, hiks, Ayah juga." Kalla membenamkan wajahnya semakin dalam di dada sang kakak.

"Kakak di sini, Kakak masih di sini, Kakak tidak akan pergi," bisik Reza sambil mengeratkan pelukannya. Dia menunduk dalam, sesekali melirik dua makan di kanan kirinya. Air matanya menetes meski kedua matanya terbuka.

Reza tidak bisa membayangkan bagaimana takut dan hancurnya Kalla saat itu. Tidak hanya menyaksikan kedua orang tua mereka yang disiksa hingga meninggal. Bahkan menjadi salah satu orang yang disiksa bahkan harus mengalami pelecehan di usia muda. Dokter mengatakan kalau Kalla hampir kehilangan nyawa karena kehabisan darah, jika Reza terlambat sedikit saja.

Masih terbayang – bayang di kepalanya, bagaimana keadaan rumah ketika dia baru saja pulang dari kantor. Aroma anyir darah yang memenuhi ruangan.  Vas – vas bunga pecah dan berserakan di lantai. Pigura pernikahan orang tuanya yang sudah rusak dan tergeletak begitu saja.

Kucing – kucing peliharaannya mengeong ribut dari arah dapur dan membuat Reza bergegas menghampiri. Kedua kakinya langsung lemas ketika menemukan keluarganya sudah berlumuran darah.

Reza memanggil – manggil ayahnya yang tersungkur di dekat meja kompor. Kulit lehernya koyak dan menganga lebar. Namun tidak ada jawaban. Ibunya pun sama. Tergeletak mengenaskan di depan pintu kamar mandi dengan pisau menancap di mulutnya yang terbuka. Sementara adiknya, Kalla, berada di bawah meja, tanpa mengenakan sehelai benangpun. Tulang hidungnya patah dan terus mengeluarkan darah. Beberapa kuku jarinya lepas, tangan kirinya patah dan banyak lebam di tubuhnya yang kurus. Luka tusuk di bagian perutnya membuat Reza pikir kalau dia juga akan kehilangan adik kesayangannya.

Ketika dokter mengatakan Kalla masih hidup, Reza langsung jatuh bersujud. Menangis penuh rasa syukur, karena setidaknya dia tidak berakhir sendirian.

***

Tidak pernah Reza maupun Kalla berpikir, bahwa rumah yang selama ini menjadi saksi keluarga mereka, kini menjadi tempat yang memicu trauma. Jika bukan karena polisi sedang melakukan penyelidikan ulang dan ada beberapa barang yang harus mereka ambil, Reza tidak mau membawa Kalla kembali. Setidaknya sampai keadaan adiknya cukup sehat, bukan seperti sekarang yang berjalan saja masih menggunakan kursi roda.

"Maaf, membuat kalian harus datang kemari," ucap Elea, kepala departemen tindak kriminal, yang menangani kasus kematian orang tua Reza dan Kalla. Perempuan itu berjongkok di hadapan Kalla. Bibirnya mengembangkan senyum simpati sambil mengusap rambut Kalla. "Pasti berat untukmu mengalami semua ini."

Air mata Kalla kembali menetes. Dia menundukkan kepalanya, memandangi tangannya yang diperban sibuk menarik – narik lengan kausnya. Dengan suara pelan, Kalla berkata, "I ... ibu sedang me ... menyiapkan makan malam dan A ... ayah baru saja pulang bekerja. A ... aku se ... sedang mengerjakan tugas sekolah, sa ... saat orang – orang itu datang."

"Berapa banyak orang – orang itu?" tanya Elea lembut.

Kalla menggelengkan kepalanya. "Le ... lebih dari dua."

"Maaf, Bu Polisi, adik saya masih merasa trauma." Reza yang sudah selesai mengambil beberapa barang, langsung menghampiri adiknya. "Bisa kami pergi?"

"Tunggu, Tuan Reza, bisa kita bicara sebentar?" pinta Elea menahan pemuda itu yang akan mendorong kursi roda adiknya. "Hanya sebentar ... hanya kita."

Setelah mendapat anggukan, Elea mengajak Reza untuk sedikit menjauh. Dia tersenyum canggung. "Sebelumnya saya minta maaf, Tuan, tapi saya ingin bertanya. Apa hubungan kedua orang tua Anda dan kalian harmonis?"

"Maaf, saya tidak mengerti maksud, Ibu." Dahi Reza mengerut bingung, mendengar apa yang Elea katakan. Bukan benar – benar tidak paham, Reza hanya tidak mengerti korelasinya dengan kematian orang tua mereka. "Keluarga kami normal, yaah, enggak seharmonis yang dibayangkan sih. Tapi, hubungan antar anggotanya baik – baik aja kok. Kenapa?"

Elea menggelengkan kepalanya. Dia terlihat bingung, mengusap tengkuknya. "Begini, Tuan, hasil dari forensik mengatakan kalau tidak ada sidik jari orang lain selain sidik jari keluarga Anda. Tidak ada tanda – tanda pembobolan."

"Lalu, barang – barang yang hilang?" Reza bertanya.

"Soal barang – barang yang hilang, kami masih menyelidikinya," jawab Elea, dia menoleh ke arah Kalla yang diikuti oleh Reza. "Saya rasa adik kamu yang paling tahu."

***

Beberapa waktu berlalu dan Kalla sudah bisa berjalan tanpa menggunakan kursi roda. Dia sudah meminta izin kakaknya agar bisa kembali bersekolah, tapi Reza masih enggan membiarkan adiknya keluar dari tempat tinggal mereka. Alhasil, Kalla hanya menghabiskan harinya dengan maraton drama atau membaca novel.

Demi kesehatan mental Kalla, keduanya juga tidak kembali ke rumah dan memilih menetap di sebuah aparemen sederhana yang letaknya lebih dekat dengan kantor Reza. Padahal polisi sudah melepas police line dan mengijinkan jika mereka ingin kembali.

"Ah, Miku, kemarilah." Kalla memanggil kucing hitamnya yang berjalan di bawah televisi. Namun, kucing itu langsung bergegas saat mendengar suara pemiliknya. Gemas, Kalla berlari mengejar dan menangkapnya. Membawanya kembali ke ruang tengah sembari mengomel, "Ey, kamu sejak kejadian itu jadi menghindariku terus. Jangan takut, meski kamu sering menyakar wajahku, aku tidak akan melukaimu. Mana saudara – saudaramu?"

Kucing itu mengeong pelan dan berbaring dalam pangkuan Kalla. Wajahnya lesu dan seperti terpaksa menurut. Pasrah ketika bulu – bulu cantiknya dibelai sang majikan.

"Tenang saja, Miku, aku lebih menyayangimu dari pada mereka." Perempuan itu meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ada beberapa pesan masuk dari polisi yang menangani kasus orang tuanya. Mengajak bertemu.

Kalla berdecih dan menunjukkan foto profil polisi itu pada kucingnya. "Miku, orang ini kayaknya curiga deh. Dia kemarin lihat luka di tanganku soalnya. Aish, kenapa aku dulu ngelakuin cuting? Apa kali ini aku terima ajakan dia, ya? Sekaligus ngecek, dia beneran curiga atau enggak."

Setelah berpikir selama beberapa saat, Kalla memutuskan untuk menghubungi kakaknya. Meminta izin apakah dia boleh keluar rumah dan bertemu dengan polisi itu. Tidak lupa juga dia meyakinkan kakaknya, bahwa dia sudah baik – baik saja.

***

Kalla hanya mengenakan celana jins longgar dan hoodie merah muda ketika mendatangi Elea di kafe seberang apartemennya. Polisi itu juga sama seperti terakhir kali mereka bertemu, mengenakan pakaian serba hitam dari atas hingga bawah. Seolah hanya warna itu yang si polisi miliki.

"Maaf mengganggu waktu istirahat Anda, Nona Kalla," ucap Elea bangkit dan bertukar jabatan dengan si perempuan muda.

"Tidak masalah, Ibu," sahut Kalla dan mendudukkan diri di kursi yang berhadapan dengan Elea.

"Panggil saya, Elea, Kakak El atau Kak Lea. Terserah, tapi jangan ibu. Saya masih muda dan yang pasti belum menikah," protes Elea, bibirnya sedikit mengerucut lucu dan itu membuat Kalla tertawa.

"Kalau begitu, Kakak juga jangan panggil saya dengan embel – embel Nona. Panggil saja Kalla," sahut Kalla dengan senyum lebar.

Keduanya saling bertukar pandang dan tersenyum juga tertawa kecil. Pembicaraan dilanjut saat pesanan datang. Elea sudah memesankan milk shake cokelat untuk Kalla, sementara dirinya hanya capuchino biasa.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Elea, senyum yang mengembang di bibirnya terlihat begitu hangat dan menenangkan. Membuat Kalla teringat pada kakaknya. "Kabar hati dan fisikmu."

Kalla tersenyum dengan tangan mengaduk – aduk minuman di depannya. "Semuanya sudah baik – baik saja. Cara mengikhlaskan terbaik adalah menerima apa yang terjadi. Dan yang terjadi adalah ayah dan ibu sudah pergi. Mereka tidak akan kembali, tapi hidup terus berjalan."

Jawaban Kalla membuat Elea tersentuh. Bahkan cara menjawab Reza tidak seperti itu. "Uhm, sedih melihatmu sudah dewasa sebelum waktunya."

"Kenapa sedih? Bukankah bagus anak seumuran saya bersifat dewasa?" tanya Kalla spontan.

Elea tidak menjawab dan hanya tersenyum. Dia mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi perekam suara. Tanda kalau mereka sudah memasuki sesi serius. "Kalla, bisa kamu ceritakan kronologi kejadian saat itu?"

Kalla terdiam sejenak. Matanya terkunci pada mata Elea yang terus memperhatikannya. Sama – sama memperhitungkan sesuatu di dalam kepala masing – masing. Dua menit berlalu, barulah Kalla menjawab, "Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, saya sedang mengerjakan tugas sekolah, ibu sedang menyiapkan makan malam dan ayah baru saja pulang. Saya mendengar suara langkah kaki yang lumayan ramai memasuki rumah, lalu disusul dengan teriakan ayah dan ibu. Ada suara perkelahian di bawah dan benda – benda pecah. Saya penasaran, jadi saya turun ke bawah untuk melihat. Dan yaah ... seterusnya Kakak bisa menebak apa yang terjadi."

"Kenapa kamu bisa sampai di bawah meja?" tanya Elea.

"Ah, karena saya mencoba menghindari mereka."

Pandangan keduanya masih terkunci, seakan enggan untuk melihat yang lain. Elea bahkan menyudahi rekamannya tanpa menunduk melihat ponselnya.

"Baiklah, terima kasih atas jawabannya, Kalla," ucap Elea. Dia tidak membawa tas. Ponsel, pistol, lencana dan KTAnya tersimpan di dalam jaket kulit yang dia kenakan. Jadi, ketika dia ingin pergi, Elea hanya langsung berdiri. "Kalau begitu saya pamit pergi. Tenang saja, semua pesanannya sudah saya bayar."

Kalla ikut berdiri dan tersenyum lebar. "Ah, terima kasih, Kak El. Semangat untuk menemukan orang – orang yang membunuh orang tua ku. Aku percaya sama Kakak."

Polisi itu sudah berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Namun, dia seperti teringat sesuatu dan langsung membalikkan badannya. "Ah, omong – omong soal pertanyaanmu sebelumnya. Saya lebih suka orang yang bertingkah sesuai umurnya. Terkadang anak – anak yang dewasa sebelum waktunya, jauh lebih mengerikan dari mereka yang benar – benar dewasa."

Senyum di bibir Kalla hampir goyah. Seiring langkah Elea yang menjauh, senyumnya juga perlahan – lahan menghilang. "Dia curiga."

***

"Apa yang kamu bicarakan dengan polisi itu tadi?" tanya Reza di tengah kegiatan makan malam mereka. Matanya memandang sang adik dengan lembut.

"Ah, polisi itu bertanya tentang kronologi kejadian," jawab Kalla, dia tersenyum tipis lantas menunduk memakan makanannya perlahan.

Reza menghela napas. Dia tidak suka adiknya terus dikejar – kejar polisi di saat Kalla sendiri adalah korban. Mereka juga masih dalam keadaan berduka. "Lain kali, kalau polisi itu ingin menemuimu lagi, abaikan saja, ya?"

"Baik, Kak." Kalla mengangguk dan melanjutkan makannya dengan tenang.

Usai makan malam, Kalla membantu kakaknya untuk mencuci piring. Dia baru akan melangkah ke kamarnya, ketika Reza mengatakan kalau dia boleh masuk sekolah mulai besok. Kalla sontak berseru girang dan menghamburkan diri kepelukan sang kakak.

Keesokan paginya Kalla bahkan bangun lebih awal. Merapikan rumah, mensetrika pakaian dirinya dan sang kakak, juga menyiapkan sarapan. Membuat Reza hanya bisa tersenyum melihat adiknya yang begitu bersemangat.

"Mana mungkin adikku yang akan menangis histeris ketika kucingnya hilang, tega melukai keluarganya sendiri. Polisi itu ... haah," ucap Reza dalam hati.

Usai mengantar Kalla ke sekolah, barulah Reza pergi untuk bekerja. Kalla tetap berdiri di gerbang sampai mobil kakaknya menghilang di antara banyaknya kendaraan. Dia menghela napas lega. Meregangkan tubuhnya dan melepas dua kancing teratas seragamnya.

"Aku bebas sekarang."

***

Kehadiran Kalla pagi itu mengejutkan teman sekelas dan para guru. Mereka berbondong – bondong memberikan kata penyemangat juga pelukan. Menanyakan keadaannya sekarang, juga bagaimana semua kejadian itu bisa terjadi.

Kalla menjawab semua pertanyaan itu dengan singkat. Mengatakan semuanya sudah baik – baik saja. Dia dan kakaknya sudah pindah, memutuskan untuk memulai hidup baru berdua. Tersangka pembunuhan orang tuanya juga masih dicari oleh polisi.

Usai sekolah, Kalla menghubungi Reza untuk tidak menjemputnya. Dia beralasan ingin menghabiskan sore dengan berkumpul bersama teman – temannya. Meski kenyataan menunjukkan dia pergi ke rumah lamanya.

Ada spanduk bertuliskan 'dijual' yang menggantung di pagar dengan nomor Reza tertulis di sana. Kalla bergumam dalam hati, kalau orang yang kelewat butuh yang mau membeli rumah dengan tragedi mengerikan. Dia masuk dengan santai, mengambil beberapa barangnya yang masih tertinggal dan duduk di ruang makan.

Meski sudah bersih, samar – samar Kalla masih mencium aroma darah di udara. Entah karena benar – benar belum bersih atau hidung Kalla yang bermasalah.

"Ah, andai kalian memperlakukanku dengan normal, aku tidak sampai hati melakukan itu pada kalian," ucap Kalla, dia menopang dagunya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya mengetuk – ngetuk meja. "Sudah aku katakan, aku tidak pandai matematika dan olahraga. Juga tidak tertarik mengenai masak – memasak. Kenapa kalian memaksaku mempelajari hal yang tidak aku sukai."

"Karena semua itu berguna untukmu." Sebuah suara mengejutkan Kalla dan spontan menoleh. Menemukan Elea sudah berdiri bersandar di ambang pintu. Memandangnya dengan senyum, seolah dia akhirnya menemukan sesuatu.

Kalla hanya terkejut selama beberapa detik dan menghela napas masa bodoh. Dia menarik lengan jaketnya dan menunjukkan banyak bekas sayatan di sana. "Jika itu benar berguna untukku, luka – luka ini tidak akan pernah ada. Mereka juga tidak perlu mengunciku di kamar mandi saat nilaiku turun, bahkan tidak memberi makan."

"Seharusnya kamu melaporkannya pada pihak berwajib atau jika takut ... kamu bisa bilang pada kakakmu," ujar Elea, dia melangkah mendekati Kalla dan duduk di seberangnya.

"Kak Reza terlalu baik dan orang tua kolot itu akan bertingkah seperti malaikat saat ada dia. Ketika Kak Reza pergi, mereka mulai memukuliku hanya karena aku terlambat datang ke tempat les," sahut Kalla. Bibirnya tersenyum memandang polisi di hadapannya. "Orang seperti Kak El tidak akan mengerti."

"Benar, orang tua ku baik dan akan sangat marah jika aku masih belajar di jam sepuluh malam." Elea memperhatikan gerak – gerik Kalla yang terlihat santai meski fakta tindakan kejinya sudah diketahui. "Namun, apa kamu tidak pernah membayangkan bagaimana respon kakakmu jika tahu kalau adik kesayangannya yang membunuh orang tuanya?"

"Kak Reza tidak akan tahu," jawab Kalla.

Elea mengeluarkan ponsel dari jaketnya dan menunjukkan kalau percakapan mereka terekam. "Dia akan tahu, Kalla."

Pandangan keduanya terkunci. Mereka hanya diam selama beberapa saat, sebelum Kalla tiba – tiba mendorong meja dengan kuat. Elea yang terkejut langsung terdorong dan terjatuh.

Kalla membuka satu lemari yang dia hafal dan mengeluarkan tiga pisau dari sana. Menodongkannya pada Elea yang keluar dari bawah meja dengan tangan menggenggam pistol. Dia mengambil ponsel Elea dan menjatuhkannya ke dalam wastafel, menyalakan airnya.

"Kamu masih di bawah umur, Kalla. Aku bisa membuatmu dikirim ke rehabilitasi alih – alih penjara," rayu Elea.

"Aku tidak peduli soal masuk penjara atau rehabilitasi." Kalla tertawa dan menggelengkan kepalanya. Namun, di tengah tawa itu, ada air mata yang menetes. "Apa bedanya dengan tinggal di rumah ini bersama ayah dan ibu? Tidak, tidak ada."

Kalla melempar satu pisau ke arah Elea yang dengan mudah polisi itu hindari.  Mengambil kesempatan, dia berlari keluar dari ruang makan. Bersembunyi di balik tembok saat Elea melepaskan tembakan.

Kakinya menjegal Elea yang berlari menyusul hingga polisi itu terjatuh dan Kalla menendang pistolnya menjauh. Dia tertawa dan ingin menusuk tubuh Elea dengan pisaunya. Namun, bagaimanapun Elea adalah polisi berpengalaman, dia berguling menghindar. Melompat bangun dengan mudah.

Elea menunduk saat Kalla melayangkan sebuah tendangan dan bergerak maju mendorong tubuh Kalla hingga jatuh. Menggenggam tangan remaja itu dengan kuat untuk menghalangi pergerakannya. "Nona Kalla, Anda di dakwa menjadi tersangka penyerangan dan pembunuhan dari Tuan Yardiansyah dan Nyonya Felisya. Anda memiliki hak untuk diam sampai persidangan dan juga memilih pengacara untuk membantu meringankan hukuman."

"Enggak, enggak." Kalla menghantamkan kepalanya pada kepala Elea, saat polisi itu sedang mengambil borgol dari jaketnya. Keduanya mengaduh, tapi Kalla buru – buru mengambil kesempatan untuk bangun. Gesit tangannya melukai wajah Elea yang ternyata bisa menghindar.

"Ah!" Elea mengusap pipinya sekilas dan berlari mengejar Kalla yang menaiki tangga menuju lantai dua. Mendobrak kamar yang di masuki perempuan itu dan menemukan Kalla mengarahkan mata pisau di tangannya ke lehernya sendiri. "Jangan, Kalla. Kamu harus ingat kakak kamu."

Elea bergegas menghampiri dan menahan Kalla untuk membunuh dirinya sendiri. Namun, ketika tangan Elea menggenggam pergelangan tangannya dengan kuat, saat itu juga Kalla menancapkan pisaunya.

"Kalla!"

***

Reza sekali lagi tersungkur jatuh, menangis histeris memeluk gundukan tanah di depannya. Adik semata wayangnya pergi meninggalkannya. Hal yang semakin membuatnya syok adalah suara rekaman yang membuktikan kalau Kalla yang membunuh kedua orangtuanya.

"Kalla mengalami depresi ringan akibat perlakuan abusive dari orang tua kalian. Ada banyak jejak penyiksaan di tubuhnya. Hal itu yang mendorongnya melakuan semua itu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro