10-8
BY: Lira Altair
Ini bukan sekolah, ini neraka! Sekolah mana yang tega memberi tugas sebanyak ini? Oh astaga, rasanya aku ingin menyerah saja.
Dibanding dengan kehidupan anak SMA di drama-drama, aku lebih percaya pada realitanya yang tak seindah itu. Inilah tahun pertamaku di SMA yang di luar dugaan sudah mabuk tugas.
"Asa, pulang sekolah jadi 'kan kerja kelompok di rumahku?" tanya Yosi, teman semejaku.
Aku mengiyakan. Beginilah kehidupan seorang siswa SMA kelas 10 bernama Asa. Iya betul, Asa itu aku sendiri. Di awal masuk sekolah saja sudah disuguhkan tugas begitu banyaknya, bagaimana ke depannya? Aku tidak yakin bisa menyelesaikan dengan baik.
Selain tugas mandiri, tugas kelompok juga tidak aku sukai. Menyusahkan saja.
"Kamu sudah belajar, Sa?" Yosi bertanya padaku.
"Sudah."
Hari ini ada ulangan harian matematika maka aku sudah belajar sejak kemarin. Meski begitu percuma saja belajar, nilaiku tetap di bawah KKM. Namun, sebenarnya ada yang aneh di kelas ini, setiap ulangan harian jarang sekali yang mendapat nilai di atas KKM. Bukan hanya ulangan, bahkan tugas biasa saja pun nilai kami kecil. Entah sebuah kebetulan atau tidak, tetapi ini tetap aneh untukku.
Jam pertama dan kedua dihabiskan dengan ulangan matematika, sisanya untuk mata pelajaran PPKN. Dua-duanya bukan favoritku, lagipula aku tidak punya pelajaran favorit.
Begitu bel istirahat berbunyi, tanpa berlama-lama lagi aku dan Yosi segera menuju kantin. Selama perjalanan kami berdua tidak banyak bicara, sama-sama malas untuk bicara. Energi kami terkuras karena pelajaran yang luar biasa memusingkan itu, belum lagi tugas seabrek-abrek yang diberikan sang Guru.
"Aku mau beli makanan di kantin Mami, kamu mau ke mana?" tanya Yosi begitu kami sampai di tempat yang sudah ramai ini.
Aku berpikir sejenak, lantas memutuskan untuk membeli makanan di kantin Bunda.
"Ya sudah, aku ke sana dulu ya!" ucap Yosi kemudian melangkah pergi ke tempat tujuannya yang berada paling ujung.
Biasanya aku juga jajan di sana, tetapi kali ini aku ingin mencicipi jajanan Bunda. Ini pertama kalinya aku membeli makanan selain di kantin Mami. Kantin yang lain selalu ramai, hanya di situlah yang sepi, makanya aku lebih suka di situ.
Aku memesan nasi goreng dan es teh, sembari menunggu pesanan datang aku duduk di kursi yang telah disediakan.
"Asa!" Seorang siswi yang amat aku kenali secara tiba-tiba memanggilku.
"Kamu benar Asa 'kan?" tanyanya dengan muka seperti tak percaya telah melihatku.
"Kamu kenapa deh, Na?" Aku menatap Kyuna heran.
Sosok yang kini duduk di hadapanku adalah teman SMP, dulu kami cukup dekat hingga memasuki SMA mulai merenggang karena perbedaan kelas.
"Aku tidak pernah lihat kamu di sekolah, ke mana saja?" tanya dia.
"Tidak ke mana-mana, aku ada di sekolah. Aku malah beberapa kali melihatmu di kantin," jawabku.
Kyuna mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia tidak bertanya lebih jauh lagi tentang hal ini dan justru mengalihkan topik.
"Besok main, yuk! Ada bazar buku di dekat rumahku!" kata Kyuna bersemangat.
Bazar buku adalah hal yang kusuka, dulu saat SMP aku dan teman-teman—termasuk Kyuna—sering pergi bersama. Aku sudah jarang pergi ke bazar, terakhir sekitar satu tahun yang lalu. Kali ini aku sangat ingin ikut, tetapi tidak bisa sebab banyak tugas yang harus dikerjakan.
"Maaf, tapi sepertinya tidak bisa, aku memiliki banyak tugas yang harus dikerjakan," ucapku lesu, padahal aku ingin sekali ikut, tetapi tugas yang jumlahnya tak terhitung itu menghalangi saja. Mungkin beberapa orang akan menganggapku lebay, tetapi percayalah kalau tugasku itu sungguhan banyak. Setiap mata pelajaran pasti saja ada PR.
"Oh ya? Perasaan tugasku sedikit," gumam Kyuna.
"Kita 'kan beda kelas," gumamku agak sebal.
Kelas aku dan Kyuna beda jauh, kalau tidak salah dia kelas 10-2, sedangkan aku di akhir. Tak jarang aku merasa iri pada Kyuna, dia mendapat kelas yang mana dari segi ruangan, fasilitas, dan guru jauh lebih baik dari kelasku.
Aku sering melihat kelas lain tidak ada guru dengan nama lain jam kosong. Enak sekali bukan? Sudah gitu yang aku dengar pengajar di kelas lain itu jarang memberi tugas dan termasuk guru yang santai. Coba bandingkan dengan kelasku yang 'gila' itu. Oh astaga, kenapa kelasku berbeda?
"Memangnya kamu kelas apa? Aku lupa?" tanya Kyuna.
"Kelas paling akhir alias 10-8," keluhku yang merasa itu adalah kelas terburuk.
Aku lihat dahi Kyuna mengerut. "Maksudmu kelas 10-7?"
"10-8! Kenapa jadi 10-7?" jawabku dibarengi keheranan.
"Tapi sekolah ini hanya sampai 7, baik kelas 10, 11, atau 12!" seru Kyuna sembari menggebrak meja.
Aku terdiam sejenak, masih berusaha mencerna ucapan Kyuna hingga beberapa detik kemudian menyadari kalau yang dia katakan mungkin bercanda.
"Kamu aneh, tiba-tiba datang lalu bercanda seperti ini. Benar-benar aneh," komentarku dibarengi wajah dan perasaan tak suka karena leluconnya.
Kyuna mengembuskan napas kasar, dia memberi jeda sebelum berbicara lagi.
"Sa, aku serius. Kelas terakhir itu 10-7, kamu bisa tanya murid lain atau guru," kata Kyuna tanpa ada raut wajah bercanda.
Aku mendesah, mendadak pusing setelah mendengar kalimat Kyuna. Jika kelas terakhir adalah 10-7, lantas kelas 10-8 itu apa? Bagaimana bisa hal ini terjadi?
"Asa, kamu memikirkan apa yang aku pikirkan?" tanya Kyuna ragu-ragu.
"Hantu?" Walau sulit dipercaya, tetapi inilah kemungkinan paling besar.
Jika itu adalah kelas hantu yang sudah dipastikan tidak nyata, lantas bagaimana dengan murid dan guru di kelas tersebut? Apakah mereka semua hantu atau manusia sepertiku yang terjebak di dunia lain? Untuk membuktikan ini, ada satu cara yang bisa aku gunakan.
"Kyuna, kamu tahu kantin Mami?" tanyaku.
Kyuna menggeleng.
"Kantin yang berada paling ujung itu, kamu sungguh tidak tahu?" Aku menunjuk ke arah kiri, tempat kantin itu berada.
"Kamu ini kenapa lagi? Kantin paling ujung milik Kak Aca, jangan bicara yang tidak-tidak!" serunya.
Tanpa meminta persetujuan, aku memegang lengan Kyuna dan membawanya. Kami berhenti 10 meter sebelum kantin Mami. Di tengah kerumunan para murid, aku masih bisa melihat Yosi di sana.
"Kyuna, kamu sungguh tak melihat kantin itu?" Aku menunjuk persis ke tempatnya.
"Itu hanya lahan kosong!" tampik Kyuna menahan kesal.
Aku tidak menyerah, kali ini aku menanyakan perihal Yosi yang berdiri tak jauh dari kami.
"Tidak ada siapa-siapa di sana!"
Kakiku melemas, benarkah Yosi juga bukan manusia? Jadi, selama ini aku dan Yosi ... telah beda alam. Fakta mengejutkan macam apa ini?
"Asa, kamu seharusnya berada di kelas 10-5 dan yang aku dengar kamu itu tidak pernah masuk selama ini. Makanya aku terkejut saat melihatmu di kantin." Perkataan Kyuna menyadarkan aku.
Tidak perlu dijabarkan lebih jelas lagi aku sudah bisa menyimpulkan semuanya. Ini sangat mustahil terjadi, tetapi faktanya ini terjadi padaku.
Apakah segala sesuatu mengenai tugas, ulangan, kerja kelompok, dan lain sebagainya itu hanyalah sia-sia?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro