9. Tragedi Pengantin Baru
Ryan bergeming di tempatnya duduk. Perkataan Vanessa barusan itu membuat ia seolah membeku. Benaknya tak mengerti.
Dan di saat Ryan membeku tak bergerak sedikit pun, Vanessa kemudian berkata pada dirinya.
"Kayaknya karena aku sudah meluruskan beberapa hal dengan kamu malam ini, berarti kamu harusnya udah paham dong ya?"
Sumpah!
Aku tuh kayaknya mendadak lemot banget malam ini.
Apa gara-gara ngeliat mata kucing tadi itu ya?
Vanessa menarik napas sekilas lalu berkata lagi. "Karena itu jadi ya hubungan kita kayak gini aja. Jangan mencampuri urusan satu sama lain. Dan karena di sini ada dua kamar, jadi aku pikir lebih baik kita tidur di kamar yang terpisah."
Mata Ryan menatap bengong pada Vanessa. "Apa?"
"Ya wajar kan kalau kita tidur di kamar yang terpisah?"
Mata Ryan kemudian justru mengerjap-ngerjap melihat Vanessa. "Ini sorry banget deh ya. Kayaknya aku agak dehidrasi hari ini makanya kerja otak aku agak seret. Tapi ...." Ryan menarik napas dalam-dalam. "Kamu jelas udah berhasil banget buat aku bingung."
Vanessa diam dan hal itu membuat Ryan kembali bicara.
"Fine ya, aku tau pernikahan kita memang karena para orang tua kita. Tapi, kalau memang kamu nggak suka dengan pernikahan ini, seharusnya kamu nggak menyetujuinya."
"Loh? Kamu sendiri kenapa menyetujuinya? Padahal kamu kan juga nggak suka," tukas Vanessa.
"Eh ya ampun." Dahi Ryan berkerut. "Bilang ke aku, Nona. Kapan aku pernah ngomong aku nggak suka dengan pernikahan ini? Bukannya tadi aku juga udah ngomong kalau aku nggak terpaksa buat nikahi kamu? Jadi, kenapa kamu ngerasa aku nggak suka? Lagian ya, kalau aku nggak suka ya aku nggak bakalan mau nikahi kamu."
"Kamu ..." Vanessa meneguk ludahnya. "Kamu cerewet banget sih jadi cowok."
"Soalnya kamu itu begok banget jadi cewek."
WHAAAT!
Did I say dosen aku sendiri begok?
Ryan menutup mulutnya dengan mata yang membelalak besar. Sama besarnya dengan sepasang mata Vanessa yang tak percaya bahwa Ryan mengatai dirinya seperti itu.
Gila!
Nilai aku nggak bakal hancur kan ya?
Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Sejurus kemudian Vanessa tampak menarik napas dalam-dalam seraya memejamkan matanya. Mungkin ingin menenangkan diri agar tidak menerkam dan mencabik-cabik tubuh Ryan saat itu juga.
Gimana bisa dia ngomong gitu ke aku?
Aku kan dosennya?!!!
Lalu terdengar suara deheman yang membuat Vanessa kembali membuka matanya. Dan langsung saja mata Vanessa menatap tajam pada Ryan hingga membuat cowok itu berulang kali meneguk ludahnya.
"So-so-sorry," lirihnya terbata. "Ya kamu juga sih. Mancing-mancing aku buat ngumpat. Lagian ...."
"Lagian apa?!"
Glek.
Ryan tak percaya bahwa di hadapannya kini benar Vanessa adanya. Bagaimana ya ngomongnya. Tapi, penampilan garang wanita itu benar-benar tidak seperti yang selalu ia lihat di kampus.
Astaga!
Ternyata benar kata orang.
Setelah menikah, semua orang akan terlihat bentuk aslinya.
Tuhan!
Aku menikahi ratu srigala berbulu anak domba.
Ya salam.
"Lagian, Sa ...."
Aduh.
Ryan lagi-lagi meneguk ludahnya saat lidahnya menyebut nama gadis itu. Terasa ada yang berdesir-desir begitu di dadanya.
"Kita ya sudah nikah. Suka atau nggak suka, berarti ya kita harus hidup bersama. Dengan kata lain, ya nggak mungkin dong kita betingkah kayak orang asing."
Kepala Vanessa menggeleng-geleng pelan.
"Dengar, Sa. Seharusnya kalau kamu emang nggak suka pernikahan ini atau bahkan kamu nggak suka sama aku ..."
Hiks. Pedih rasanya saat Ryan mengatakan itu.
"... ya dari awal kamu nggak nerima pernikahan ini." Ryan menatap Vanessa. "Tapi, kamu kan justru nerima. Dan sekarang, di saat kita baru saja nginjakkan kaki di unit ini, kamu justru ngomong tentang banyak hal yang nggak aku mengerti."
Bola mata Vanessa berputar dengan malas. "Memangnya apa lagi yang nggak kamu mengerti?"
"Semua yang kamu katakan. Bersikap kayak orang asing, jangan saling mencampuri, dan bla bla bla. Itu beneran nggak logis untuk orang yang udah nikah."
"Karena kita nikah bukan karena kemauan kita dan kita nggak saling kenal satu sama lain."
Perkataan Vanessa membuat Ryan mengangguk-angguk.
"Kamu benar, tapi nggak sepenuhnya benar. Mungkin kita nggak saling kenal. Sorry." Tangan Ryan terangkat. "Kita belum mengenal satu sama lain. Tapi, aku jamin. Kalau kamu mengenyahkan ide kamu agar kita bersikap seperti orang asing, lama kelamaan kita bakal saling mengenal juga kok. Dan ... karena kita sama-sama nggak mabuk dan kejiwaan kita sama waras dua minggu yang lalu, itu artinya kita sama-sama sadar saat kita berdua nikah. Bahkan ya, kalau mau aku ingatkan. Apa kamu lupa betapa sadarnya kamu saat cium tangan aku waktu itu?
Blusssh!
Rasa panas serasa menggigiti seluruh wajah Vanessa hingga wajah wanita itu tampak memerah parah. Lain halnya dengan Vanessa, Ryan justru terlihat mengulum senyum. Ya mau bagaimana lagi. Seketika saja bayangan syahdu saat itu terbayang lagi.
Hihihi.
"Bukannya apa ya, Sa, cuma ..." Kali ini Ryan membawa kedua matanya untuk menatap lekat-lekat pada sepasang bola mata Vanessa yang bening. "... kita harus bertanggungjawab dengan pilihan yang udah kita ambil. Harusnya sebagai orang yang lebih tua dari aku, kamu ya ngerti dong masalah kayak gini. Bukannya malah betingkah kayak anak kecil."
"Wah!" Vanessa terkesiap tak percaya dan langsung saja mengipasi wajahnya dengan telapak tangannya. "Kamu ini .... Gaya kamu bicara itu benar-benar menakjubkan."
"Trust me, Sa," kata Ryan dengan seringai di wajahnya. "Banyak hal dari aku yang bakal ngebuat kamu takjub."
"Hah?"
Tapi, belum cukup rasa kaget Vanessa karena perkataan Ryan tersebut, cowok itu di detik selanjutnya justru bangkit dari duduknya. Semula Vanessa mengira bahwa cowok itu akan pergi, tapi ia kecele. Ya memang sih Ryan pergi, tapi cowok itu pergi menuju dirinya.
Mata Vanessa membelalak ketika tanpa ia duga Ryan justru datang padanya dan tanpa aba-aba langsung mengurung dirinya yang duduk di sofa satu orang itu. Tangan Ryan dengan kokoh menekan tiap lengan sofa tersebut. Membuat ia tak bisa melakukan apa-apa selain menengadah dengan tatapan antisipasi.
"Ka-ka-kamu mau apa?"
Glek.
Vanessa meneguk ludahnya. Melihat bagaimana mata Ryan terlihat menyipit menatap padanya. Raut wajah cowok itu terlalu abstrak untuk mampu ia terjemahkan.
Sulit.
Detik selanjutnya, tanpa mengangkat sedikit pun tubuhnya yang setengah membungkuk di atas Vanessa, pelan-pelan bibir Ryan bergerak. Menyunggingkan seringai liciknya.
"Aku nggak mau apa-apa kok. Aku cuma mau ngomong sesuatu ke kamu."
Vanessa kembali meneguk ludahnya. Tanpa sadar menarik wajahnya untuk menjauh dari Ryan. Membuat kepalanya tertahan di punggung sofa. Tapi, seakan ingin benar-benar membuat wanita itu jengah, Ryan justru semakin menundukkan wajahnya. Membuat Vanessa benar-benar kelabakan dan semakin melototkan matanya.
"Kamu jangan macam-macam, Yan. Aku ini dosen kamu."
Ryan mencibir. "Ini bukan kampus."
Glek.
Oh, jelas sekali Ryan bisa melihat bagaimana tenggorokan Vanessa yang bergerak naik turun saat ia meneguk ludah itu. Tapi, Ryan benar-benar bergeming.
"Ka-ka-kamu mau ngomong apa?"
Bahkan Vanessa bisa merasakan kehangatan napas Ryan yang mengembus dan membelai wajahnya saat itu. Cukup menjadi tanda bahwa jarak mereka berdua sungguh dekat.
"Tadi kamu bilang kalau kamu nerima pernikahan ini karena ingin meyakinkan orang tua kamu kalau kamu bisa bahagia. Benar?"
Mata Vanessa mengerjap-ngerjap. Merasakan bagaimana suara berat Ryan membuat ia menjadi membeku seluruh tubuh. Rasa-rasanya ia benar-benar tidak bisa bergerak lagi saat itu. Tapi, nyatanya sedetik kemudian kepalanya mengangguk. Sebagai jawaban untuk pertanyaan Ryan tadi.
Lalu, Ryan menarik napas dalam-dalam. Lagi-lagi dengan begitu sengaja mengembuskannya ke wajah Vanessa. Hanya untuk mempermainkan gadis itu.
"Aku cuma ngomong kalau kamu nggak usah khawatir."
"Eh? Khawatir apa?"
"Khawatir kalau kamu nggak bahagia."
"Maksudnya?"
"Jelas kan?" Satu alis Ryan naik dengan gerakan menggoda. "Sudah pasti banget kamu bakal bahagia karena nikah sama aku."
Dan setelah itu Vanessa hanya melongo seperti Ryan itu adalah makhluk halus yang tersasar ke sana. Bahkan hingga pada akhirnya Ryan berlalu dari sana, Vanessa masih saja membeku tak percaya dengan apa yang dikatakan cowok itu padanya.
Hanya karena ia merasa rahangnya pegal maka Vanessa kemudian tersadar. Terutama ketika ia mendengar suara Ryan yang terdengar semakin pelan saat cowok itu beranjak masuk semakin ke dalam.
"Kamu tidur aja di kamar utama, biar aku tidur di kamar satunya lagi."
Lalu entah mengapa, Vanessa langsung meraih bantal sofa dan meremasnya sekuat tenaga.
"Kenapa juga aku harus nikah sama brondong?!"
*
Ryan cengar-cengir saja mendengar umpatan Vanessa ketika ia beranjak dan menuju ke kamarnya. Cowok itu geli.
Lagian sih ya. Agak kurang waras kayaknya itu cewek.
Apa efek kebanyakan belajar kali ya?
Makanya otak dia agak berat sebelah gitu.
Hihihi.
Dasar.
Ryan menutup pintunya, bertepatan dengan terdengarnya suara pintu yang dibanting. Ah, dia tak heran. Itu pasti suara pintu kamar utama yang dibanting Vanessa. Mungkin biar terasa seperti sedang membanting kepala Ryan.
Masuk dan mengamati kamar itu, Ryan mendapati kamar itu luas. Terutama karena penghuni kamar itu hanya seorang. Hiks. Hal yang menyedihkan untuk Ryan.
Cowok itu beranjak dan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Melipat kedua tangannya dan menaruhnya di bawah kepalanya, ia menatap langit-langit kamar.
Ia merenung.
Ya ampun.
Sekalinya nikah, eh nikah sama cewek yang lebih tua. Eh, dosen sendiri pula. Eh, langsung pisah kamar pula.
Ya salam.
Nasib nasib.
Kenapa berasa kayak jadi duda gini sih?
Hiks.
Apa bedanya aku nikah sama masih bujangan? Akhir-akhirnya tidur juga masih sendiri.
Ckckckckck.
Tapi, ya itu cewek.
Beneran sumpah.
Nggak ngira aku kalau sikap dia yang asli kayak gitu. Kasar, omongannya nggak jelas, dan ehm ... apa dia ada menyembunyikan sifatnya yang lain?
Semacam pencitraan aja nggak sih dia selama ini di depan mahasiswa?
Wah wah wah!
Pembohongan publik.
Sejurus kemudian, Ryan bangkit. Melihat ke satu lemari di sana dan mendekatinya walau ragu. Ketika tangannya membuka pintu lemari itu, benar saja. Isinya kosong melompong. Ya bukannya apa. Sudah pasti pakaian dan barangnya ditaruh di kamar utama bersama dengan barang-barang Vanessa.
Ryan berkacak pinggang.
"Ya kali aku ngedor kamar dia terus bilang 'Sa, buka bentar dong. Aku mau tidur nggak mungkin pake celana jeans gini'."
Ryan geleng-geleng kepala.
"Itu berbanding terbalik banget dengan sikap sok cool aku pas ninggalin dia dengan mulut nganga di ruang tamu tadi."
Huh.
Pilihan sulit.
Tapi, manusia mana yang nyaman tidur dengan mengenakan celana jeans kalau tidak dalam situasi terdesak? Dan Ryan adalah salah satu orangnya.
Tak ada pilihan lain, akhirnya Ryan melepas kemejanya. Meletakkan di punggung kursi karena ia akhirnya menyadari bahwa di kamar itu tidak ada kamar mandi. Begitu pula dengan celana jeansnya. Ia lepaskan pula.
Hanya mengenakan celana dalam bertipe low-rise briefs, Ryan pada akhirnya kembali berbaring ke tempat tidurnya. Seraya menguap berulang kali, ia menarik selimut menutupi tubuhnya.
Memejamkan mata dan langsung terlelap tak lama kemudian.
*
Vanessa baru saja selesai mencuci wajahnya kala itu dan beranjak membuka pintu lemari untuk mengambil pakaian tidurnya. Dan saat itulah matanya melotot saat melihat ada celana dalam cowok di lemari itu.
Secepat kilat Vanessa menutup pintu lemari itu. Wajahnya memerah dan ia beranjak membuka lemari yang lainnya. Dan di lemari itulah ia menemukan pakaiannya, termasuk dengan gaun tidurnya.
Beberapa menit kemudian, Vanessa pun tertidur dan terbuai dalam alam mimpinya. Cukup menjadi bukti bahwa wanita itu lelah. Terutama karena adanya perdebatan yang menguras tenaganya tadi.
Keesokan harinya, Vanessa bangun sekitar jam enam pagi. Vanessa ingat bahwa hari itu jadwal mengajarnya siang hari dan itu membuat Vanessa berpikir untuk datang sedikit terlambat saja ke kampus.
Meraih jepit untuk mengikat rambut panjang bergelombangnya, Vanessa lantas keluar dari kamar. Ia terpikir untuk membuat sarapan atau semacamnya untuk mengganjal perutnya yang entah mengapa terasa sangat lapar saat itu. Tidak seperti biasanya.
Vanessa melangkah menuju ke dapur. Di saat ia meraih satu mangkok melamin bewarna ungu muda, di saat itulah ia mendengar suara air dari kamar mandi. Tanpa perlu bertanya gadis itu pun tau siapa orang yang berada di dalam kamar mandi itu. Ya pasti Ryan.
Dengan membawa mangkok itu, Vanessa beranjak. Melangkah menuju ke kabin dapur sekadar untuk mengecek apakah ada bahan makanan yang bisa ia olah sepagi itu.
"Kreeekkk!"
Pintu kamar mandi terbuka. Spontan membuat gadis itu menoleh. Dan lalu ....
"AAAHHH!"
Vanessa menjerit saat melihat Ryan yang melangkah keluar dari kamar mandi. Jeritan itu sontak membuat Ryan panik dan ikut-ikutan menjerit pula.
"AAAHHH!"
Dua jeritan memeriahkan suasana pagi hari mereka.
"Kamu gila?!" bentak Vanessa melotot. "Kamu cuma pake celana dalam doang dan keliaran ke mana-mana?!"
Glek!
Ryan panik. Gelagapan.
"Ya sorry." Tangannya sibuk berusaha menutupi area selangkangannya. "Aku nggak tau kamu udah bangun."
"Walaupun aku belum bangun ya bukan berarti kamu boleh keliaran nggak pake baju dan cuma pake celana dalam gitu!"
Sial!
Vanessa benar!
Ryan hanya mengenakan celana dalam tanpa baju!
Sadar akan hal itu, Ryan justru berusaha menutupi dadanya. Tapi, ya ampun. Yang ada Vanessa makin menjerit.
"Ya kalau nggak suka mah mata dipejam terus balik badan! Bukannya jerit-jerit sambil melotot!" tukas Ryan kesal. "Ya tau badan aku bagus!"
Lantas Ryan kembali sibuk melihat tubuhnya sendiri. Memikirkan bagaimana caranya menutupi tubuhnya.
Aduh!
Ini tangan dua nutup dadá sama si adek nggak cukup.
Apa butuh tangan Vanessa ya?
Eh?
"Kamu ...!" geram Vanessa kemudian menyadarkan pikiran Ryan.
Ryan mengangkat wajahnya dan penuh waspada melihat Vanessa. Bukannya apa. Wajah gadis itu terlihat mengeras, memerah, dan menyiratkan emosi yang akan meledak. Hal itu sedetik kemudian tersalurkan dalam bentuk gerakan tangannya yang melempar mangkok yang ia bawa.
Dan lantas, mata Ryan pun akhirnya ikut-ikutan melotot saat melihat bagaimana mangkok di tangan Vanessa melayang ke arahnya.
Gawat!
Ryan seketika saja panik.
Tangan terangkat mengantisipasi kedatangan mangkok itu. Dan jeritan Vanessa semakin kencang karena organ intim Ryan menjadi tidak tertutupi lagi di bawah sana.
Ya ampun.
Ryan meneguk ludah.
Ini kepala mana yang harus aku selamatkan?
Kepala bawah atau kepala atas?
Dan mangkok semakin mendekat.
Sial!
Lebih baik benjol bentar daripada putus keturunan.
Sedetik kemudian.
"Buuuk!"
Ryan merasa kepalanya pusing.
Beberapa saat sebelum ia jatuh ke lantai, Ryan sempat bergumam seraya tetap menangkup organ intimnya dengan kedua tangannya.
"Demi kalian wahai anak cucuku."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro