Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

86. Kuliah Tapi Menikah

Rasanya sih seperti ada manis-manisnya gitu. Ketika kamu membuka mata di pagi yang kesekian kali dan mendapati ada wajah dengan senyum indahnya yang menyapa retina matamu.

Candu yang tanpa sadar telah menjadi kebutuhan.

Apalagi ketika senyuman itu diiringi oleh sapaan mesra.

"Selamat pagi, Kanda."

Wah!

Rasanya benar-benar tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Terlalu indah berwarna-warna. Pokoknya hal tersebut semakin meyakinkanmu bahwa tak ada hal yang lebih membahagiakan selain saat-saat di mana sepasang hati saling terikat pada satu rasa. Lalu memutuskan untuk melewati hari-hari dengan bersama.

"Pagi juga, Dinda."

Ryan membalas sapaan itu dengan tak kalah mesranya. Senyumnya begitu lebar. Tak peduli baru bangun tidur dengan keadaan yang berantakan. Nyatanya mereka sudah saling mengetahui tingkat terparah keberantakan masing-masing kan ya?

Tangan Ryan terulur. Membelai pelan pipi Vanessa sementara wanita itu kemudian berkata.

"Berangkat jam berapa hari ini? Sarapan di sini atau di kampus?"

Ryan menyapu wajah Vanessa dengan embusan napasnya yang hangat. "Di sini. Ujian ntar juga jam sepuluh kok. Ehm ... ntar kamu yang ngawas ujian?"

Vanessa mengangguk. "Jangan coba-coba berani curang."

"Ck. Meragukan aku." Ryan menghela napas. "Aku pikir, kalau kita seangkatan ... kayaknya IPK aku bakal lebih tinggi dari kamu deh.

Vanessa terkekeh. "Aku yakin banget. Tapi, sekarang kita harus melihat kenyataan." Vanessa bangkit dari tidurnya. Menarik tangan Ryan. "Bangun dan siap-siap buat ujian."

Dengan ekspresi manjanya, Ryan bangun. Tapi, ternyata bukan untuk bangkit dari tempat tidur. Melainkan untuk memeluk wanita itu. Mendaratkan kecupan di dahinya sebelum benar-benar bangkit dengan terkekeh ketika melihat wajah merona istrinya itu.

Dan selagi Ryan bersiap, ada Vanessa yang menyiapkan sarapan mereka. Hal yang sempurna untuk menjalani hari.

"Ntar abis ujian kayaknya aku langsung balik deh."

"Nggak mampir ke depot?"

"Nggak. Mau lanjut nyelesaikan skripsi."

"Oh ...."

"Ntar buat makan malam biar aku yang siapin."

"Oke."

"Imbalannya? Sini. Pipi kanan aja deh."

"Males."

"Dasar pelit."

"Emang."

"Kalau gitu, biar aku aja yang cum."

"Eh? Kamu---"

"Emmuuuach!"

"Ryan!"

"Hahahaha."

"Kamu---"

"Aku duluan. Dadah!"

"Dasar."

Tawa Ryan menggema dan pelan-pelan menghilang ketika cowok itu berlari dan keluar dari unit. Meninggalkan Vanessa yang terlihat tak bisa berkata apa-apa untuk perlakuan Ryan barusan. Sedikit menyisakan ekspresi syok di wajah wanita itu dengan tangan yang masih menempel di pipinya.

Mulut Vanessa mengerucut. Walau pelan-pelan pada akhirnya bibir itu bergerak membentuk senyum tipis. Senyum tipis yang masih malu untuk sering-sering menunjukkan wujudnya kalau ada Ryan di sana. Terutama kalau itu sedang di dalam kelas.

"Terima kasih, Bu."

Ryan menerima lembar soal ujian pagi itu. Tersenyum lebar pada Vanessa seolah itu adalah hal yang biasa. Dan wanita itu sebisa mungkin menjaga ekspresi wajahnya, berusaha bersikap layaknya dosen dan mahasiswa. Namun, tak urung juga ada kejahilan Vanessa yang terkadang sulit untuk ia bendung. Maka jangan heran ketika Vanessa justru berkata seperti ini.

"Semoga nilai baru kamu tetap A ya?"

Vanessa membalas senyuman itu sementara Ryan melongo di tengah-tengah tawa mahasiswa lainnya. Lalu, wanita itu berlalu.

Setengah cemberut, Ryan meraih kertas soal ujiannya. Membalikkannya. Lantas cemberutan itu pelan-pelan berubah menjadi senyuman. Itu ketika matanya melihat satu kalimat di sana.

Break a leg!

*

Ada yang pernah mengatakan, waktu akan berlalu dengan cepat ketika kita merasa bahagia. Dulu, Ryan menganggap itu adalah omongan pujangga belaka. Namun, sekarang ia membuktikannya.

Kalau ingin menilik ke belakang, Ryan rasa-rasanya tak percaya dengan apa yang telah dibawa oleh Sang Waktu untuk dirinya. Dulu, Ryan dan Vanessa hanyalah mahasiswa dan dosen. Lalu, berubah status dalam sekejap menjadi pasangan suami istri yang sering beradu mulut. Kemudian, yah ... mereka memang masih sering beradu sih. Walau lain yang diadu. Hihihihi.

Secepat itu waktu berlalu, pikir Ryan.

Terkadang ia tak menyangka, bahwa ia akan sampai di titik ini. Di mana pada akhirnya semua perjuangan dan kesabarannya membuahkan hasil. Salah satunya pada hari itu, ketika ia berdiri dengan toga dan jubah wisudawan. Tersenyum lebar seraya memamerkan piagam penghargaan sebagai lulusan dengan nilai IPK terbaik. Satu melintas di benaknya.

Untung satu huruf B itu berubah jadi A.

Hahahaha.

Dan tak hanya itu, ketika ia keluar dari gedung wisuda, ia mendapati semua orang menyambut dirinya dengan kebahagiaan yang sama besarnya. Lagipula, seumur hidup Ryan tidak pernah menduga bahwa acara wisudanya akan dirayakan oleh dua keluarga dan---

"Selamat, Yan! Akhirnya kamu ninggalin aku buat tamat duluan."

Ryan tertawa. Menyambut pelukan hangat dari Abid siang itu. Bergantian dengan teman-temannya yang lainnya. Saling bertukar ucapan selamat dan doa harapan. Agar mereka yang belum wisuda bisa menyusul secepatnya.

Tapi, semua senyum dan tawa di sana mendadak berubah longoan ketika Ryan terlihat celingak-celinguk ke sana ke mari. Membuat teman-teman Ryan terlihat saling tatap dengan para wisudawan lainnya. Saling bertanya-tanya.

"Dia nyari siapa?"

"Ada teman seangkatan kita yang belum keluar?"

Namun, tak ada jawaban yang Abid dan teman-temannya dapatkan. Alih-alih, mereka justru mendapati para wisudawan itu berusaha menggaruk di balik toga yang mereka pakai. Terlihat menampakkan wajah dengan ekspresi bingung, syok, atau 'siap-siap aja deh kalian jantungan'.

"Ah!"

Ryan berseru. Beranjak meninggalkan kerumunan teman-temannya. Menghampiri seorang wanita bertubuh ramping dengan balutan kebaya bewarna ungu gelap yang kontras sekali dengan kulitnya yang putih.

"Kamu ke mana aja? Kenapa lama banget keluarnya?"

"Kamu nggak ngeliat aku susah pake kain kayak gini?"

Ryan menundukkan pandangannya. Pada kain yang melilit di seputaran bagian bawah tubuh ramping itu.

"Aduh. Sorry sorry. Tadi sih aku mau megang tangan kamu, kamunya nggak mau. Kan jadinya ketinggalan. Untung nggak ilang."

"Ilang? Dikira aku anak ayam?"

Dan sementara dua insan itu saling bicara satu sama lain dengan begitu luwesnya, ada sekelompok orang yang terbengong-bengong. Melongo tak percaya dengan apa yang mata mereka lihat.

"I ... bu?"

Lirihan pelan itu sontak membuat Ryan dan wanita itu –yang tak lain adalah Vanessa- sama-sama menoleh. Pada mereka yang terlihat kompak bingung.

"Ehm ...."

Vanessa mendehem singkat. Mendadak saja wajahnya terasa kaku. Menyunggingkan seulas senyuman pun menjadi hal yang sulit bagi wanita itu. Tapi, berbeda dengan dirinya, Ryan justru merasa hal yang sebaliknya. Dengan begitu penuh percaya diri, tangan cowok itu bergerak. Meraih jemari tangan Vanessa dan menggenggamnya.

"I ... bu dan Ry ... an?"

"Kok ibu jadi pendamping wisuda Ryan?"

"Ryan, kok kamu bisa ngebujuk Bu Vanessa buat jadi pendamping kamu?"

Wajah Ryan berubah dengan pertanyaan terakhir itu. Sementara Vanessa spontan terkekeh kecil.

"Hehehehe. Saya disogok pake adenium lima warna sih sebenarnya," kata Vanessa pada mantan mahasiswanya itu.

"Oh ...."

"Hahahaha."

"Pinter banget kamu, Yan."

Mereka tertawa-tawa sementara Ryan semakin manyun. Hingga tanpa sadar cowok itu berkata.

"Tega kamu ya, Sa? Ini hari bahagia aku coba. Malah digodain kayak gini."

A-apa tadi?

Sa?

Tanpa embel-embel ibu?

"Makanya itu. Di hari bahagia jangan manyun."

Ryan melepaskan tangan Vanessa. Dengan wajah yang masih cemberut, ia mengucapkan permisi seadanya dengan teman-temannya, lalu putar badan. Beranjak dari sana.

"Eh? Kamu mau ke mana, Kanda?"

Mata semua orang melotot.

Tadi Bu Vanessa manggil Ryan apa?

Dan belum hilang rasa bingung mereka yang semakin lama semakin bertambah, mereka justru melihat bagaimana Vanessa yang berlari-lari kecil berusaha mengejar Ryan yang menuju ke keluarga besarnya yang berkumpul.

"Bentar deh. Ini sebenarnya ada apa?"

"Kenapa Bu Vanessa bisa jadi pendamping Ryan?"

"Dan kalian tadi dengar gimana Ryan manggil Bu Vanessa?"

"Sa? Itu maksudnya Vanessa?"

"Terus ... Kanda?"

Mereka semua saling mempertanyakan hal yang membuat otak mereka terasa berputar-putar. Bingung dan benar-benar tidak bisa menerka dengan apa yang terjadi.

Sementara itu, di seberang gedung ketika Vanessa berhasil menyusul Ryan, tepat beberapa meter sebelum sampai pada keluarga mereka, wanita itu menggamit tangan Ryan.

"Kamu tau sesuatu nggak?"

Ryan tak menjawab. Melainkan terus saja berjalan.

"Tadi ... sebelum aku ke sini, aku udah mampir ke Jurusan."

Langkah Ryan berhenti. Berpaling dan bertanya. "Kenapa?"

Vanessa tersenyum. "Ngasih undangan resepsi kita."

"Ah ...."

Ryan mengulum senyumnya. Refleks meraih tangan wanita itu. Mengabaikan berpasang-pasang mata yang melihat pada mereka berdua, ia justru menimang-nimang tangan Vanessa di tangannya.

"Kamu gitu mah. Giliran aku udah mau ngambek, baru deh dibuat seneng kayak gini."

"Kamu nggak suka aku buat gini?"

"Dikira aku bakal luluh?"

"Emang nggak?"

"Luluh sih."

Vanessa tertawa melihat tatapan nelangsa cowok itu.

"Aku emang lemah banget."

"Aku pikir justru sebaliknya," kata Vanessa kemudian. Tersenyum dengan begitu tulus dengan tatapan yang terarah lurus pada sepasang mata Ryan. "Kamu kuat banget."

Wajah Ryan seketika merona. Lirik kanan lirik kiri, ia berbisik di telinga wanita itu. "Jangan ngomong kenceng-kenceng ah. Malu didengar orang. Ntar cewek-cewek pada iri sama kamu."

Tentu saja Vanessa mengetahui maksud perkataan Ryan. Tapi, sebenarnya bukan itu yang Vanessa maksud.

"Dasar mesum! Maksud aku, kamu kuat udah berhasil menjalani kehidupan enam bulan ini."

"Bukan soal---"

"Bukan!" potong Vanessa dengan mendelik.

Tapi, hal itu justru membuat Ryan sedikit merenung. "Kayaknya sih iya," katanya kemudian. "Kuliah sambil meladeni istri super nguras tenaga kayak kamu."

Vanessa mengangkat tangan. Melambai pada orang tua mereka yang tampak berjalan menyambut kedatangan mereka.

"Jadi, gimana? Kehidupan enam bulan kamu apa terasa melelahkan?"

"Melelahkan?" Wajah Ryan terangkat melihat pada langit yang cerah. "Sebaliknya." Ia berpaling. Dan di waktu yang bersamaan, Vanessa pun juga berpaling padanya. "Kalau diberi pilihan pun aku akan tetap memilih seperti ini."

"Kuliah, tapi ternyata sudah menikah?"

"Kenapa nggak?" balik bertanya Ryan. "Kalau menikahnya dengan keadaan yang sudah siap jasmani, rohani, dan finansial, ditambah lagi calonnya kayak kamu ..." Ryan terkekeh. "Aku bakal selalu memilih pilihan ini."

Vanessa tertawa. Dan ketika itulah para orang tua mereka tiba menghampiri keduanya. Melengkapi semuanya dengan pelukan dan ciuman yang mewarnai hari bahagia tersebut. Yang mana sebenarnya adalah bukan hari itu saja mereka berbahagia. Ada hari-hari lainnya. Tepat setelah mereka meributkan hal-hal kecil dan kemudian mereka tertawa lagi, mereka bahagia. Atau setelah mereka beradu pendapat dan mereka terbahak bersama, mereka bahagia. Dan hal tersebut pelan-pelan menyadarkan mereka berdua bahwa ketika setiap hal yang tak mengenakkan itu muncul, sebenarnya mereka hanya butuh waktu lebih banyak lagi untuk saling mengerti. Karena itu, di penghujung hari biasanya mereka sama-sama berjanji.

"Besok kita harus tetap bersama ya?"

Dan tentu saja itu bukanlah hal yang sulit bagi mereka. Alih-alih justru menjelma menjadi hal yang teramat mudah. Karena jelas, baik Vanessa maupun Ryan memiliki satu mantera yang selalu terpateri ketika hari akan berganti. Mantera itu adalah ....

"Aku cinta kamu."

*

*Tamat*

Cuuus! Jangan lupa baca Season 2 nya ya :* Judulnya: [Masih] Kuliah Tapi Menikah 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro