Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

85. Pengakuan Perasaan

Ini kelewatan banget.

Gimana bisa bibir dan telinga aku kompak gini errornya?

Ryan menarik napas dalam-dalam. Mencoba menahan udara itu sejenak di dadanya, berpikir bahwa itu bisa sedikit mewaraskan kembali pikirannya. Tapi, ketika ia mengembuskan kembali napasnya, matanya justru terpaku pada sepasang mata Vanessa yang pelan-pelan membuka.

Mata itu terlihat berkaca-kaca. Tampak rapuh, tapi juga mendamba.

Ya Tuhan.

Dan sekarang mata aku ikut-ikutan error juga?

"Ryan ...."

Suara lembut Vanessa yang memanggil namanya membuat Ryan semakin tak karuan. Mendadak saja seluruh tubuhnya seperti padang pasir yang mendapat kiriman air tsunami. Tak bisa dibayangkan.

Ryan meneguk ludahnya. Berusaha untuk menguasai keadaan saat itu yang terlalu rancu untuk pikirannya.

"Vanessa ...."

Suara Ryan terdengar begitu memalukan. Serak, parau, dan hampir tak terdengar oleh telinga manusia. Seakan ia tak mampu lagi untuk bicara.

Separah inikah tingkat error tubuh aku?

"Sa ..., kamu ...." Ryan kembali menarik napas dalam-dalam. "Sepertinya malam ini aku agak linglung, Sa."

Vanessa melongo.

"Aku ngerasa tadi kamu ... kayak yang ngomong---"

Vanessa buru-buru mengangguk. "Aku cinta kamu."

Mata Ryan otomatis terpejam. Ketika membuka lagi, terlihat sorot ketakutan di sana.

"Aku khawatir ini halusinasi aku aja," lirih cowok itu. "Apa aku benar-benar ketiduran ya? Sampe mimpi dapat ungkapan cinta dari kamu. Tapi ..." Mata Ryan menatap pada bibir Vanessa. "... nggak mungkin ada mimpi yang selembut itu."

Vanessa menggigit bibir bawahnya. "Kamu nggak percaya dengan apa yang aku bilang tadi?"

Pertanyaan Vanessa membuat Ryan tertegun. Mata mengerjap sekali, lantas bertanya dengan suara bergetar.

"Ka ... mu serius?"

Menahan sejenak napas di dadanya, Vanessa tanpa sadar meremas tangan Ryan yang ia pegang. Menengadahkan wajahnya yang terlihat putus asa pada Ryan hingga cowok itu terasa pusing karenanya.

Vanessa mengangguk.

"Aku cinta kamu, Yan," kata Vanessa dengan lirih keputusasaan. "Aku cinta kamu."

Mungkin ... untuk pertama kalinya, Ryan pada akhirnya mengetahui apa yang orang bilang Bumi seperti berhenti berputar. Seperti semua waktu menjadi membeku hanya karena satu momen itu.

Dan di saat itu pula Ryan menyadari bahwa ternyata kebahagiaan memang paling bisa membuat manusia yang paling pintar bersilat lidah menjadi bisu seketika. Tak ada satu kosakata pun yang terasa bisa ia ucapkan saat itu.

Selama ini ... bersama dengan Vanessa entah sudah berapa kali Ryan mengutarakan perasaannya pada wanita itu. Pagi, siang, sore, malam, dan bahkan menjelang tidur hingga bangun tidur, ia selalu mengungkapkan cintanya. Itu seperti Ryan bernapas. Spontan saja dan terasa seperti kebutuhan bagi dirinya untuk mengatakan perasaannya.

Sedang untuk perasaan Vanessa, Ryan tak pernah ingin berharap lebih. Merasakan perhatian dan sikap wanita itu yang sudah melunak pada dirinya saja sudah membuat ia merasa senang. Sejujurnya, terkadang walau Ryan sangat ingin mendapatkan cinta wanita itu, nyatanya ia tetap pernah merasa kecil hati. Ia tidak ingin berharap terlalu banyak. Tapi ....

Ryan merasakan tenggorokannya tercekat. Susah sekali bagi cowok itu untuk bisa bersuara.

"Kamu ...."

Ryan menarik napas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa bagaimanapun rasa bahagia itu datang, tetap saja ada setitik pikiran buruk yang mengikutinya. Manusiawi. Tapi, entah mengapa itu terasa mengganggu. Kali ini Ryan mengambil risikonya.

Perlahan, bibir cowok itu terlihat melengkung. Berusaha untuk tersenyum.

"Kamu nggak perlu ngomong sesuatu yang nggak kamu rasakan, Sa," katanya lirih. "Kamu nggak perlu sampe kayak gini cuma untuk menenangkan perasaan aku." Ryan meletakkan satu tangannya di atas tangan Vanessa. "Aku baik-baik saja. Kalaupun aku uring-uringan sekarang, nanti bakal nggak apa-apa kok. Aku---"

"Kamu nggak percaya aku?"

Satu pertanyaan yang memotong perkataannya dengan begitu telak membuat Ryan terdiam. Lekat, ia menatap kedua mata Vanessa.

"Aku nggak akan mengatakan sesuatu hanya untuk menenangkan perasaan kamu. Bukankah itu yang aku lakukan selama ini?" tanya Vanessa. "Berulang kali kita beradu kata, apa pernah aku rela mengatakan hal kosong hanya untuk menenangkan kamu?" Mata Vanessa bergerak mencari-cari di sepasang bola mata suaminya itu. "Pernah?"

Ryan tau jawaban pertanyaan itu. Vanessa lebih rela melempar dirinya dengan mangkok ketimbang harus repot-repot berbohong padanya. Maka, Ryan pun menggeleng sebagai jawabannya.

"Aku nggak ngajak kamu ke kondangan itu bukan karena aku ingin menjaga perasaan dia," kata Vanessa kemudian. Kata-kata itu ia ucapkan dengan perlahan, seolah untuk memastikan bahwa Ryan akan mengingat tiap katanya dengan baik. "Melainkan perasaan kamu yang aku jaga."

"Vanessa ...."

"Ssst .... Dengarkan aku dulu," cegah wanita itu seraya menahan bibir Ryan dengan satu jemarinya. "Aku nggak akan marah atau tersinggung kalau kamu meragukan aku. Nyatanya sikap aku selama ini memang nggak ada yang bisa menjadi bukti."

Bukti?

Dengan dia memuji aku di depan orang tua aku?

Yang diam-diam memerhatikan aku.

Yang bahkan berulang kali jelas-jelas lebih memilih aku dibandingkan Pak Nathan?

Dan semua hal melintas di benak Ryan.

Vanessa yang selalu terlihat abai, namun ternyata memikirkan dirinya. Memperhatikan kuliahnya. Hingga menyusun rencana untuk skripsinya.

Dia mungkin memang bukan tipe wanita yang suka bermanja, tapi di balik itu semua ada perhatian yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Di mana lagi aku bisa dapat cewek kayak gini?

Yang memang nggak mengobral kata cintanya, tapi justru diam-diam menunjukkannya dengan perbuatan.

Kalau itu bukan bukti, lantas apa lagi?

Dan pemikiran itu membuat dadá Ryan menjadi sesak. Oleh rasa bersalah.

"Maafkan aku, Sa."

Namun, permintaan maaf bukanlah hal yang diantisipasi oleh Vanessa. Hingga lantas wanita itu kebingungan.

"Selama ini aku selalu membanggakan diri. Ngomong aku cowok yang peka. Padahal sebenarnya nggak sama sekali." Ryan bergerak. Meraih kedua tangan Vanessa. "Harusnya aku udah tau dari dulu. Kamu selama ini memperhatikan aku dengan cara kamu sendiri. Bahkan ketika berulang kali aku berpikir yang nggak-nggak ke kamu ...."

Bayangan Nathan mendadak saja membayang kala itu.

"..., kamu justru melakukan hal yang sebaliknya. Meninggikan nama aku dan percaya kalau aku adalah yang terbaik untuk kamu."

"Ryan ...."

"Dari awal harusnya aku tau. Dari ketika kamu justru memuji aku di hadapan keluarga aku, harusnya aku tau. Kamu sudah memandang aku sebagai suami kamu."

Tangan Ryan bergerak meremas. Kuat hingga membuat Vanessa sedikit meringis karenanya.

"Tapi, aku terlalu buta. Terlalu fokus dengan sikap kasar kamu dan justru mengabaikan semuanya. Hingga ngebuat kamu merasa kalau aku meragukan perasaan kamu."

Lantas, Ryan melepaskan tangan Vanessa. Beranjak untuk menangkup kedua pipi itu. Menahannya. Hanya sekadar untuk menatap lurus pada jendela jiwa wanita itu. Melihat ribuan kata dalam satu bentuk rasa di sana.

"Kamu cinta aku kan?"

Vanessa menelan semua gumpalan emosi yang mengancam ingin meledak. Tak menyisakannya sedikit pun. Namun, ia justru membuncah dalam satu tetesan air mata.

"Di saat aku takut kamu bohongi ..., di saat itu aku takut kamu sakiti."

Ryan menggeleng. Namun, kedua tangan Vanessa yang beranjak meremas dadá cowok itu meyakinkan Ryan, bahwa wanita itu benar-benar serius dengan apa yang ia katakan.

"Karena di saat itu ... ternyata aku sudah jatuh cinta ke kamu."

Tentu saja.

Sederhana saja.

Hanya orang yang mencinta yang berpeluang merasakan sakit.

Tapi ....

"Tiap hari aku bilang kalau aku cinta kamu, Sa. Kamu pasti tau dong artinya apa?" tanya Ryan kemudian. Tapi, tanpa menunggu jawaban, Ryan lanjut berkata. "Itu karena tiap hari aku juga merasa seperti jatuh cinta lagi ke kamu."

Perkataan itu membuat wajah Ryan terlihat mengabur di mata Vanessa. Ia sudah tak lagi mampu melihat wajah Ryan dengan jelas. Tidak bisa dengan genangan air mata yang mulai semakin merebak itu.

Perasaan Vanessa semakin membuncah. Tak tertahankan lagi. Hingga ketika air matanya menetes, ia berkata dengan suara serak.

"Aku cinta kamu, Ryan. Ya Tuhan. Aku---"

Ryan tak butuh pengakuan berkali-kali. Biarlah pengungkapan cinta menjadi rutinitas dirinya saja. Vanessa tak perlu.

Maka dari itu Ryan menarik wajah Vanessa. Merebut pengakuan tersebut dalam ciumannya yang dalam dan menggebu. Dan ciuman itu mendapatkan balasan dengan tak kalah menggebunya.

Hingga beberapa saat kemudian, ketika mereka menyerah dalam napas yang berubah payah, ciuman itu pun terurai. Namun, sebagai gantinya ada kedua dahi mereka yang saling menempel. Sejenak, mereka menenangkan napas masing-masing. Dan lebih dari itu, ada pikiran yang mesti mereka damaikan.

Semua prasangka. Dugaan akan ketakutan. Setiap hal yang menimbulkan keraguan. Segalanya musnah dengan satu kejujuran di antara mereka.

Ada Ryan yang menyadari bahwa begitulah Vanessa. Wanita yang melihat dari sudut pandang yang berbeda. Dengan cara lain yang membuat ia dan wanita-wanita lain menjadi tak sama. Vanessa yang ternyata lebih pintar memberikan penjelasan kuliah ketimbang mengutarakan cintanya. Tapi, tak ada yang lebih memerhatikan dirinya ketimbang wanita itu.

Begitupun dengan Vanessa yang menyadari bahwa seperti itulah Ryan. Pria yang selalu spontan mengutarakan apa yang ia rasakan. Bentuk nyata dari ungkapan bahwa cinta harus selalu ditunjukkan. Ryan adalah refleksi dari impian dari semua wanita. Penuh canda, tawa, namun ternyata juga pernah merasa cemburu dan tak percaya diri. Membuat ia tanpa sadar justru menikmati hari-hari penuh warna dengan pria itu.

Mereka berdua adalah hal yang berbeda. Dua insan dengan kepribadian yang tak sama. Yang memiliki jalan berbeda untuk mengungkapkan cintanya. Tapi, mereka sadar. Perbedaan itulah yang pada akhirnya membuat mereka justru banyak belajar. Memahami satu sama lain. Memilih untuk menikmati itu semua.

Sampai di beberapa saat kemudian, terdengar suara Vanessa. Memecah keheningan beberapa waktu yang melingkupi mereka.

"Jadi ... apa malam ini kamu bakal tetap istirahat di sini?"

Pertanyaan yang langsung memancing tawa spontan Ryan. Membuat ia menarik dirinya. Membuka mata dan menatap Vanessa dengan geli. Di hadapannya, wanita itu pun terlihat sama gelinya dengan matanya yang masih basah.

"Bisa-bisanya kamu ngomong kayak gitu," ujar Ryan geleng-geleng kepala. "Menurut kamu?"

"Menurut aku ...," jawab Vanessa seraya bangkit dan membawa satu tangan Ryan. "Kamu sebaiknya ikut aku ke kamar kita."

Entah bagaimana, tapi air mata yang mengering di pipi Vanessa dan rasa lelah di wajah Ryan, telah lenyap begitu saja. Tatkala cowok itu ikut berdiri, membiarkan Vanessa menarik tangannya, ia berkata dengan sorot keterpanaan di matanya.

"Untuk yang satu ini, Dinda, aku pasti dengan senang hati patuh."

Di hadapannya, seraya terus berjalan, Vanessa melihat melalui pundaknya. Tersenyum tanpa melepaskan tatapan matanya dari cowok itu.

Tak ada kata-kata. Hanya itu.

Tapi, astaga!

Itu sangat ampuh melebihi mantera sihir sekalipun. Buktinya, Ryan terlihat bak zombie yang tak punya pikiran. Tak bisa berpikir untuk melakukan hal lain. Selain mengikuti ke mana sumber kehidupannya membawa dirinya.

Vanessa.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro