84. Mungkin Saja
Ketika pulang sore itu, Ryan mendapati Vanessa telah berada di rumah. Yang mana sebenarnya itu bukanlah hal yang mengherankan mengingat Ryan memang sedikit terlambat tiba kala itu. Ia mampir ke depot dan sedikit terlalu lama menghabiskan waktu di sana. Dan ketika ia pulang, ia melihat Vanessa yang ternyata sedang berkutat di dapur.
"Kamu udah pulang?" tanya Vanessa tatkala melihat kedatangan Ryan.
Ryan mengangguk. Beranjak untuk duduk di kitchen island sementara Vanessa sibuk dengan panci berisi airnya. Terlihat ingin memasak sesuatu yang berkuah.
"Sa ...."
Vanessa meletakkan panci itu di atas kompor. Baru setelahnya menoleh pada Ryan. "Ya?"
Ryan meneguk ludahnya. Untuk beberapa saat, cowok itu hanya terdiam seraya menatap Vanessa lurus-lurus. Tepat pada kedua bola mata Vanessa yang bening.
Di tempatnya berdiri, Vanessa menunggu. Namun, Ryan tak kunjung bicara.
"Kenapa?" tanya Vanessa seraya menyalakan kompor, lantas beranjak mendekati Ryan. "Mau ngomong apa?"
Ryan menarik napas dalam-dalam. Melihat mata Vanessa entah mengapa membuat lidahnya kelu.
Sumpah!
Aku mau banget nanya ke dia.
Tapi ....
Kalau jawaban yang aku dapatkan justru ngebuat aku kecewa, gimana?
Bukannya orang sering ngomong? Lebih baik nggak tau daripada tau dan justru buat kecewa?
Mengembuskan napasnya dengan irama yang panjang, Ryan lantas tersenyum. Ia berkata.
"Nggak apa-apa. Cuma mau ngomong kalau kamu cantik banget."
Mata Vanessa membesar. Dahinya sedikit berkerut. Merasa ada yang aneh dengan apa yang Ryan katakan.
Bukan!
Bukan dengan apa yang Ryan katakan. Melainkan dengan cara cowok itu mengatakannya.
Bukankah biasanya Ryan akan mengatakan itu dengan mata berkilat nakal? Atau dengan senyum menggoda?
Bukan dengan tatapan yang terlihat nelangsa seperti ini.
"Kamu---"
"Aku ke kamar dulu ya. Mau istirahat bentar."
Ryan memotong ucapan Vanessa. Membuat wanita itu melongo sejenak sebelum pada akhirnya hanya mengangguk sekali dengan kaku. Dan ketika cowok itu berlalu dari sana, Vanessa menjadi bertanya-tanya.
Dia kenapa sih?
Lalu, raut wajah Vanessa berubah.
Dia nggak ada masalah dengan Bu Fatma kan?
Memikirkan hal itu, Vanessa merasakan jantungnya mendadak berdebar dengan kencang. Ia pun memutuskan untuk memadamkan kompor. Setengah berlari, ia menyusul Ryan.
"Ryan!"
Vanessa menyerukan nama itu seraya membuka pintu kamarnya. Tapi, kosong. Hingga dengan langkah ragu, ia pun melihat ke kamar mandi. Tapi, ternyata juga kosong.
"Tadi dia bukannya ngomong mau ke kamar ya?"
Dan selagi Vanessa bingung, tatapan matanya yang mengarah ke pintu membuat ia terpikir sesuatu. Ragu, tapi Vanessa tetap saja keluar dari kamarnya. Tanpa aba-aba langsung membuka pintu kamar yang semula ditempati oleh Ryan.
"Braaak!"
"Astaga!"
Ryan terlonjak kaget dari atas bantalnya. Tampak melotot terkejut melihat pada Vanessa yang mendatangi dirinya.
"Kamu istirahat di sini?" tanya Vanessa langsung. "Nggak di kamar kita?"
Mata Ryan mengerjap-ngerjap. Begitupun dengan Vanessa. Keduanya terlihat sama-sama salah tingkah karena perkataan Vanessa tadi.
Kamar kita?
"Ehm." Ryan mendehem. Ia menggaruk tekuknya. Menghindari tatapan mata Vanessa dengan tak nyaman. "Ehm ... itu."
Vanessa memilih duduk di tepi tempat tidur. Mendekati Ryan. Berusaha untuk melihat mata cowok itu.
"Kamu kenapa?" tanyanya kemudian.
Ryan semakin salah tingkah. Jadi, ia hanya menggeleng. "Nggak apa-apa, Sa. Aku cuma mau istirahat aja."
"Di kamar kamu?" tanya Vanessa. "Nggak mau istirahat di kamar ... kita aja?"
Ryan meneguk ludahnya.
Ini berasa aku yang kayak pengecut banget nggak sih?
Jadi uring-uringan cuma karena takut buat nanya.
Tapi, ya kali.
Kalau jawabannya ngebuat aku depresi, gimana?
"Ka-kamu bukannya juga nggak suka ya kalau aku tidur di kamar kamu?" tanya balik Ryan. Dan sedetik setelah pertanyaan itu terlontar dari bibirnya, Ryan menggigit lidahnya sendiri. Merasa tidak nyaman dengan kata-kata 'kamar kamu'.
Ya ampun.
Padahal tadi Vanessa udah ngomong itu kamar kami.
"Ada sesuatu ya?" tanya Vanessa kemudian hati-hati. "Ada apa?"
Ryan mengembuskan napas panjang. "Nggak apa-apa, Sa."
"Masalah bimbingan?" tanya Vanessa menebak. "Bu Fatma marahin kamu?"
Ryan geleng-geleng kepala. "Ini nggak ada masalahnya dengan skripsi aku."
"Terus masalahnya apa?"
"Masalahnya ...."
Ryan menahan laju lidahnya. Tangannya sontak mengepal. Dan itu tak luput dari mata Vanessa.
Lalu, Ryan geleng-geleng kepala.
"Aku cuma mau istirahat aja."
"Di kamar kamu?"
"Iya."
"Nggak di kamar kita?"
Ryan mengerjapkan matanya. Berat sih, tapi Ryan menggeleng.
Kali ini Vanessa yang mengembuskan napas panjangnya. Untuk beberapa saat, Vanessa masih duduk di tempatnya. Ia melihat Ryan yang selalu berusaha menghindari kontak mata terhadap dirinya. Dan hal itu membuat Vanessa yakin.
Ryan pasti nyembunyiin sesuatu.
Tingkah dia aneh banget.
"Ehm .... Sabtu besok---"
"Kenapa dengan Sabtu besok?" tanya Ryan memotong dengan cepat. Mendengar nama hari itu disebutkan oleh Vanessa membuat darah Ryan terasa mengalir lebih cepat. "Ada sesuatu?"
Satu senyum kecil timbul di bibir Vanessa. "Kita balik ke rumah aku yuk. Ngeliat Mama dan Papa bentar."
Ryan mengembuskan napasnya. Ternyata yang Vanessa katakan bukanlah hal yang ia harapkan.
"Kenapa? Kamu nggak mau?"
"Bukannya aku nggak mau, tapi ..."
Bukan itu yang aku harapkan tadi, sambung Ryan di dalam hati.
"... aku pikir kamu berubah pikiran dan justru ngajak aku ke kondangan temen kamu itu," lirih Ryan dengan hati-hati.
Dan setelah selesai mengatakan hal tersebut, Ryan memberanikan diri untuk melihat pada Vanessa. Diam-diam mengamati ekspresi wajah wanita itu. Namun, Vanessa terlihat biasa-biasa saja. Tampak santai.
"Kan aku udah ngomong tadi," kata Vanessa. "Aku nggak datang ke pesta dia."
"Kenapa?"
Bola mata Vanessa tampak berputar sekali. "Ya nggak apa-apa juga. Nggak mau datang aja."
"Tapi, dia kan udah ngasih kamu undangan. Kenapa? Kamu nggak mau datang sendirian? Aku bisa nemenin kok," ujar Ryan dengan penuh semangat. "Aku kan nggak malu-maluin banget buat dibawa ke kondangan."
Perkataan Ryan memancing kekehan kecil dari bibir Vanessa. Lantas, wanita itu bangkit berdiri.
"Udah ah. Daripada ngomong yang aneh-aneh, mending aku lanjut masak aja," katanya kemudian. "Kamu mau makan sesuatu?"
Raut kesal kali ini tercetak dengan begitu jelas di wajah Ryan. Mendengus, ia berbaring kembali. Memeluk guling dan berkata dengan ketus.
"Aku nggak makan malam ini."
Dan Vanessa mengerutkan dahinya.
Ini cowok kenapa mendadak jadi kayak gini?
*
Sepeninggal Vanessa, Ryan memeluk gulingnya dengan erat.
Kenapa juga aku pake acara ngomong mau istirahat di sini?
Kan jadinya malah meluk guling lagi.
Ryan meringis.
Tapi, kalau ia kembali membayangkan soal undangan dan bisik-bisik di ruang Jurusan tadi, perasaannya kembali bagai diombang-ambing ombak di lautan.
Nggak mungkin Vanessa masih ada perasaan sama itu cowok.
Mana ada coba cewek pintar yang masih cinta sama cowok yang jelas-jelas udah mengkhianati dia?
Nggak ada kan?
Secepat itu pikiran positif datang ke benak Ryan dan secepat itu pula sanggahannya muncul setelahnya.
Tapi ..., yang namanya perasaan ya. Emangnya siapa yang tau?
Dia juga nggak mau ngajak aku ke sana.
Dia pasti ....
Dia pasti ....
"Argh!"
Ryan meremas rambutnya sendiri.
Kenapa aku yang jadi kayak bocah gini sih?
Dia kan udah jadi istri aku.
Untuk apa aku mengkhawatirkan hal yang nggak-nggak coba?
Membuka matanya, Ryan lantas bangkit dari tidurnya. Melepas guling dan bertekad.
"Aku harusnya nanya langsung ke Vanessa. Alasan dia nggak mau ngajak aku ke kondangan itu. Apa memang karena masih menjaga perasaan itu cowok atau ...."
Glek.
Nyali Ryan ciut kembali. Perlahan tubuhnya melemas dan jatuh lunglai ke atas kasurnya lagi.
"Aku nggak siap untuk mendengar segala kemungkinan yang nggak mau aku terima, Tuhan."
Hiks.
Ryan meraih gulingnya lagi.
Aku emang payah!
Dan sementara itu, selesai memasak makan malam –sup ayam, sambal kecap, dan perkedel jagung-, Vanessa mencuci tangannya. Seraya melepas celemek, wanita itu menyadari kalau saat itu hari sudah berubah malam. Di saat itulah Vanessa menyadari sesuatu lainnya, dari tadi Ryan tidak keluar dari kamarnya.
Sebenarnya dia kenapa sih?
Balik-balik langsung uring-uringan.
Mana ngomong dia mau istirahat di kamar dia aja.
Mata Vanessa mengerjap.
Ini bukan yang kayak aku ngarep buat tidur bareng dia.
Bukan.
Tapi, dia aneh banget.
Udah aneh, eh malah sibuk ngomongi yang nggak jelas.
Pake acara ngajak ke kondangan An ...
Langkah kaki Vanessa yang semula akan berjalan menuju keluar dari dapur, mendadak berhenti seketika.
"... aku pikir kamu berubah pikiran dan justru ngajak aku ke kondangan temen kamu itu."
Perkataan Ryan terngiang. Membuat mata Vanessa membesar dengan satu kemungkinan yang melintas di benaknya.
Jangan-jangan ....
Dan karena memikirkan hal tersebut, Vanessa kemudian memutuskan untuk kembali menemui Ryan. Lagi-lagi. Tanpa ketukan atau pun aba-aba, wanita itu membuka pintu kamar Ryan dengan keras.
"Braaak!!!"
"Ya ampun, Tuhan!"
Ryan berseru kaget dan lagi-lagi melonjak bangun seketika. Mengusap dadá kirinya, ia berkata.
"Kok kamu hobi banget yang buka pintu mendadak gitu sih, Sa? Aku bisa jantungan juga lama-lama."
Mengabaikan perkataan Ryan, Vanessa melangkah dengan wajah yang mengeras. Hingga membuat Ryan waspada saat wanita itu sudah menghampiri dirinya di atas tempat tidur.
"A-apa?" tanya Ryan penuh antisipasi. "Ka-kamu kenapa?"
Mata Vanessa lurus menatap pada Ryan. Tanpa tedeng aling-aling, wanita itu bertanya.
"Gara-gara undangan itu?"
"Eh?" Ryan melongo. "Apa?"
"Kamu uring-uringan gara-gara undangan Anthony?"
Glek.
Ryan meneguk ludahnya.
Tadi aku sibuk mikir mau ngomong soal ini ke dia atau nggak. Sekarang? Eh, malah dia duluan yang ngangkat topik ini.
Tapi ....
"Iya kan?" desak Vanessa.
Pada akhirnya, Ryan menyadari bahwa ia tak bisa mengelak. Daripada berusaha menutupi, tapi ketahuan ya ... Ryan pikir lebih baik dibuka saja sekalian.
Ryan mengangguk. Dan anggukan itu membuat Vanessa mengembuskan napasnya. Matanya melihat pada mata Ryan.
"Kamu tau dia siapa?"
Ryan kembali mengangguk kaku. "Tau."
"Setelah kamu tau dia siapa," lanjut Vanessa dengan suara yang sedikit tercekat. "Kamu justru mau datang ke sana?"
"Sa, itu ...."
Ryan merasa lidahnya tidak lincah seperti biasanya. Hingga untuk pertanyaan seperti itu saja ia tak mampu untuk menjawab.
"Iya?"
Ryan mengangkat wajahnya. Balas menatap mata Vanessa yang menyiratkan penuntutan untuk jawaban akan pertanyaannya tadi.
Menyerah. Ryan pikir lebih baik ia memang menuntaskan semuanya saat itu juga. Toh, Vanessa sudah membahasnya.
Maka, menguatkan hati dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi, Ryan pun bicara.
"Sebenarnya sepanjang hari ini aku bertanya-tanya," katanya kemudian. "Segitunya ya kamu nggak mau ngajak aku ke kondangan dia? Aku berasa kayak ..."
Vanessa bergerak. Kembali mengikis jarak di antara mereka.
"... yang apa gitu."
Napas lesu meluncur dari lobang hidung cowok itu. Entah mengapa, tapi mendadak saja Ryan merasa tubuhnya begitu letih.
"Ryan."
"Aku cuma mikir. Apa kamu masih ada perasaan sama dia? Apa aku memalukan banget buat jalan bareng kamu? Apa ... argh!"
Ryan mendengkus kesal. Mengatakan hal tersebut, di luar perkiraan dirinya, ternyata memiliki efek yang sangat kuat bagi kedamaian emosinya. Sekarang, Ryan merasa dirinya semakin kacau dengan dadá yang terasa panas.
Sungguh tidak mengenakkan untuk cowok itu.
"Udahlah, Sa. Aku mau tidur aja."
Ryan menyerah. Ia tidak ingin melanjutkan pembicaraan yang menguras kewarasan dirinya itu. Mungkin dengan menarik diri sejenak, Ryan pikir itu akan mampu menenangkan kegalauan yang sedang ia rasakan. Namun, ketika Ryan berencana untuk beranjak –sekadar untuk sedikit menjauhi Vanessa-, di luar dugaan cowok itu Vanessa justru mengulurkan tangan. Menahan tangan Ryan. Membuat niatan cowok itu tertunda sejenak.
"Ryan ...."
Suara Vanessa kali itu terdengar bergetar. Lebih dari itu, Ryan justru membeku ketika melihat ada kaca di kedua bola mata Vanessa.
Jantung Ryan terasa berhenti berdetak di dalam sana. Panik seketika melihat ada bakal air mata yang siap untuk tumpah dari kelopaknya.
"Sa ..., aku ...."
Ryan membawa tangannya. Meraih pipi Vanessa yang terasa dingin.
Di saat itulah Ryan merutuk. Bertanya-tanya dan kemudian bisa mengira bahwa apa yang telah ia katakan pastilah menyakiti hati wanita itu. Memangnya siapa orangnya yang mau diingatkan hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu yang menyakitkan?
"Aku ...."
Tapi, sejurus kemudian Vanessa justru memaksa Ryan untuk menghentikan ucapannya tanpa sadar. Itu adalah ketika Vanessa justru meraih tangan Ryan di pipinya. Menggenggamnya dan tanpa pernah diduga oleh Ryan –atau oleh seluruh makhluk hidup di dunia ini kalau menurut Ryan-, Vanessa memajukan wajahnya.
Mata Ryan justru melotot saat melihat mata Vanessa menutup kala itu. Tepat ketika dirasakannya bibir Vanessa yang kemudian bergerak dan menyentuh bibirnya dengan sentuhan lembut.
"Aku cinta kamu, Yan."
Ryan tak bergerak. Layaknya patung yang membeku. Dan di saat itu, hanya otaknyalah yang mampu untuk sedikit berpikir. Karena ... untuk pertama kalinya, Ryan menyadari sesuatu.
Mungkin sekali untuk manusia merasakan surga sebelum kematian.
Mungkin sekali.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro