Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

83. Satu Pertanyaan

Suara siulan terdengar memenuhi koridor pagi itu. Bersamaan dengan langkah penuh keceriaan khas Ryan.

Pagi yang cerah setelah malam yang cerah.

Ha ha ha ha.

Jangan berpikir ke mana-mana dulu, nyatanya kebahagiaan itu karena Ryan merasa Vanessa begitu perhatian pada dirinya.

Nggak nyangka kan? Ternyata Dinda emang mikirin aku selama ini.

Hihihihi.

Aku sekarang berasa kayak yang jadi manusia paling bahagia sedunia.

Saking merasa bahagianya, Ryan merasa ledakan keinginan untuk melompat-lompat sepanjang langkah kakinya berjalan di koridor. Sambil menyanyikan lagu Tasya Kamila dulu, Aku Anak Gembala. Lalu, ups! Langkahnya terhenti seketika. Tepat di depan ruangan Vanessa.

Celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri berulang kali, Ryan memastikan keadaan di lantai dua itu sepi. Kelas praktikum sudah dimulai sekitar setengah jam yang lalu dan tidak banyak mahasiswa yang ingin datang pagi ke kampus kalau tidak ada kelas.

Aman.

Lantas, Ryan pun mengetuk pintu ruangan Vanessa yang setengah terbuka itu.

"Masuk."

Suara Vanessa terdengar dan dengan senang hati Ryan pun masuk. Ketika ia masuk, ia mendapati pelototan mata Vanessa yang menyambut.

"Kamu masih berani ke sini?"

Ryan mengedip-ngedipkan matanya. Menutup pintu di belakang punggungnya. Terlihat berusaha menenangkan wanita itu dengan cengiran khas miliknya.

"Tenang aja, Sa. Tadi aku udah ngecek kok. Nggak ada orang."

Mata Vanessa semakin melotot tak percaya. "Tapi, bukan berarti kamu masih nekat datang ke sini, Yan," kata Vanessa mendelik. Ia bangkit dari duduknya. Menghampiri Ryan yang duduk di sofanya. "Kamu nggak takut kalau kepergok Pak Nathan lagi?"

Alih-alih memikirkan hal tersebut, Ryan justru mengatakan pendapatnya. "Justru aneh kalau aku mendadak langsung menghilang dari ruangan kamu, Sa. Itu berasa banget mencurigakan nggak sih?"

Vanessa menarik napas dalam-dalam. Berusaha menahan kesabarannya pagi itu.

Sabar, Sa, sabar.

Ngamuk di sini justru berbahaya untuk peradaban dunia.

"Karena itu, aku harus menghilang pelan-pelan. Kalau kemaren aku datang sehari sekali, nah! Sekarang aku bakal datang dua hari sekali."

Tangan Vanessa bergerak ke perut Ryan. "Alasan kamu aja."

"Eits!" Ryan menangkap tangan Vanessa. "Ini di kampus, Dinda. Nggak boleh pegang-pegang. Ntar kalau keterusan gimana coba?"

"Kamu ...."

"Udah ah. Nggak usah panik gitu." Ryan mengulum senyumnya. Lalu, bangkit. "Aku tuh cuma mau ngeliat kamu bentar. Ini sebenarnya aku tu mau bimbingan lagi sama Bu Fatma."

"Oh ...." Vanessa turut bangkit. "Tapi, ruangan Bu Fatma di lantai satu coba. Harus ya kamu naik dulu, udah itu baru turun lagi?"

"Hehehehe. Namanya aja cuma alasan."

"Kamu ini ...."

"Udah udah. Tenang, Sa. Ini aku pergi dulu ..." Mata Ryan mengerjap. Melihat sesuatu di atas meja kerja Vanessa membuat ucapannya terhenti di udara. Tangannya terulur dan mengambil benda itu yang tak lain adalah undangan resepsi pernikahan. "Siapa yang nikah, Sa?"

Vanessa melihat pada undangan itu. "Ehm ... itu undangan dari teman lama aku dulu," jawabnya datar.

"Oh!" Ryan membalik undangan tersebut. Melihat pada tanggalnya. "Minggu besok nih." Wajah Ryan terlihat begitu antusias. "Kita pergi, Sa? Aku temenin nih."

Vanessa mengerjap sekali. "Kayaknya nggak deh."

"Eh? Kenapa?"

Vanessa hanya menarik napas sekali sebagai jawaban. Lalu malah memberikan pertanyaan lain pada Ryan.

"Apa nggak sebaiknya kamu nemui Bu Fatma sekarang?"

Mata Ryan membesar. Seolah baru menyadari bahwa dirinya nyaris melupakan hal sepenting itu hanya gara-gara undangan.

"Ah! Aku hampir lupa. Untung kamu ngingetin aku."

Terburu-buru Ryan meletakkan kembali undangan itu di atas meja. Setelah mengedipkan sebelah matanya pada Vanessa, cowok itu pun keluar. Meninggalkan Vanessa yang berulang kali menghela napas lega seraya menatap pada undangan tersebut. Vanessa beranjak. Mengambilnya dan kemudian membuang undangan tersebut di tempat sampah di depan ruangannya.

Sementara itu, setelah keluar dari ruangan Vanessa maka Ryan pun langsung menuruni tangga menuju ke lantai satu. Berbelok, melewati koridor dan menuju ke ruangan Fatma. Tapi, belum lagi cowok itu sampai, ia berpapasan dengan teman seangkatannya.

"Nyari Bu Fatma, Yan?"

Pertanyaan itu membuat Ryan menghentikan langkah kakinya. Melihat pada Ogi yang menghampiri dirinya.

"Eh, iya, bro," jawab Ryan. "Emang kenapa?"

Ogi melirik sekilas ke arah ruangan Fatma yang tertutup. "Kalau nggak salah, Bu Fatma lagi ke Jurusan deh. Baru aja."

"Oh." Ryan mengangguk sekali. "Oke, deh. Makasih. Biar aku ke Jurusan bentar."

"Yoi."

Ryan memutar langkahnya. Menuju ke arah sebaliknya, di mana ruang Jurusan berada. Dan ketika kaki Ryan berencana untuk masuk ke ruangan tersebut, mendadak satu suara membuat langkah kakinya berhenti.

"Iya. Undangan dari mantan pacarnya dulu itu."

Undangan?

Mantan pacar?

Tidak ada nama yang disebutkan di sana, tapi entah mengapa tubuh Ryan seketika saja bereaksi. Kakinya berubah kaku dan mendadak jantungnya terasa berdebar dengan rasa yang tidak nyaman. Ryan mengerutkan dahinya. Semua itu membuat perasaan Ryan menjadi tak menentu.

"Kemaren saya yang nerima undangan itu,Bu. Nggak tau juga sih yang ngantar itu siapa. Mungkin masih keluarga dari mempelai cowoknya."

Ryan tertegun. Lagi-lagi, tak ada nama yang disebutkan di sana. Tapi, aneh saja mendapati dirinya yang diam dan tanpa sadar memutuskan untuk menunggu sejenak lebih lama di depan pintu itu.

"Saya nggak habis pikir dia masih punya muka untuk mengirim undangan ke Bu Vanessa setelah kejadian seperti itu."

Deg!

Vanessa.

Satu nama itu membuat jantung Ryan seperti tak berdetak lagi. Dan Ryan yakin telinganya tak salah mendengar kali itu. Benar-benar Vanessa nama yang dibicarakan di dalam sana.

Itu undangan dari mantan Vanessa ya?

"Tapi, kalau saya jadi Bu Vanessa saya pasti akan langsung datang. Sekalian bawa gandengan baru. Harus bisa membuktikan ke mantan dong kalau kita udah move on."

"Apalagi kalau gandengan baru ternyata lebih cakep dari dia. Kan bisa menaikkan harga diri kita juga. Biar Si Mantan nyesal gitu. Hihihihi."

Lalu, suara Vanessa terasa terngiang di benak Ryan.

"Kita pergi, Sa? Aku temenin nih."

"Kayaknya nggak deh."

Ryan meneguk ludahnya. Menyadari sesuatu.

Dia nggak mau pergi bareng aku?

"Ini loh Pak Nathan. Temenin Bu Vanessa ke kondangan mantan."

Mata Ryan membesar.

A-apa? Per-pergi dengan Pak Nathan?

Wah!

Seketika saja dadá Ryan terasa panas.

"Hehehehe. Bu Vanessa sudah ada pacar baru sepertinya, Bu."

"Ah. Masa?"

"Kalau begitu berarti Bu Vanessa sudah pede dong buat menghadapi mantannya."

Percakapan itu terjadi sahut menyahut begitu saja tanpa tau bahwa ada sepasang telinga lain yang mendengarnya. Yang mana itu membuat pemiliknya membeku. Tak bergerak di depan pintu untuk beberapa saat lamanya. Bahkan Ryan pun tak sadar bila percakapan yang membicarakan Vanessa itu telah berganti dengan topik lainnya. Ia masih berdiri mematung di sana. Hingga kemudian terdengar kesiap.

"Loh? Ryan?"

"Eh?"

Ryan mengerjapkan matanya beberapa kali. Suara itu membuat dirinya spontan tersadar dari lamunannya. Melihat wajah pembimbing di hadapannya. Lidahnya terasa sedikit kelu ketika berkata.

"Bu Fatma."

Di dalam ruangan, terlihat dosen-dosen yang melihat ke ambang pintu seketika. Reaksi alamiah ketika mendengar kesiap Fatma. Termasuk Nathan yang lantas melihat pada Ryan dengan dahi yang sedikit berkerut.

"Sa-saya ingin menemui ibu," lanjut Ryan lagi. "Apa Ibu ada waktu?"

Fatma mengangguk, jelas ingat dengan janji bimbingan yang telah ia buat dengan Ryan kemaren.

"Bimbingan kan?"

"Iya, Bu. Bimbingan," jawab Ryan berusaha untuk tetap sopan dengan melihat pada pembimbingnya, alih-alih mengosongkan pandangan matanya dengan pikiran yang tak menentu.

"Ayo, kita ke ruangan."

Setelah mengatakan hal itu, Fatma beranjak. Dan Ryan pun mengikuti Fatma ke ruangannya. Memulai sesi bimbingannya dan dengan cepat menyadari bahwa ia tak fokus kali itu. Pikirannya masih tertuju pada satu hal. Undangan.

Maka tak heran bila selesai bimbingan, Ryan memutuskan untuk kembali ke ruangan Vanessa dengan pikirannya yang berkelana ke mana-mana. Dan pada dasarnya, Ryan pun tidak tau apa yang akan ia lakukan atau ia katakan bila bertemu lagi dengan Vanessa nanti. Klarifikasi tentang undangan?

Ryan menepis pikiran itu. Namun, hal lain justru muncul di benaknya.

Kenapa dia nggak mau ngajak aku ke sana coba?

Dia malu atau dia masih belum bisa menghadapi mantannya?

Tapi, alangkah terkejutnya Ryan ketika ia sampai di depan pintu ruangan Vanessa. Ia yang semula ingin mengetuk pintu justru melihat sesuatu di tempat sampah wanita itu. Sedikit menyembul dari penutupnya, Ryan memutuskan untuk mengambil kembali benda tersebut. Melihatnya dengan saksama dan memastikan bahwa itu undangan yang sama.

Lalu satu pemikiran lainnya melintas.

Dia masih ada rasa dengan cowok itu?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro