81. Yang Akan Datang
"Kanda .... Sudah mau tidur?"
"...."
"Kanda .... Udah tidur ya?"
"Berisik ah."
Vanessa buru-buru menutup mulutnya. Berusaha agar tawanya tidak menyembur. Apalagi karena saat itu Vanessa tengah mengambil posisi di belakang Ryan yang berbaring menyamping di atas bantalnya. Vanessa bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila ia menyemburkan tawanya tepat di telinga cowok itu.
Tapi .... Hihihihi.
Vanessa memilih untuk segera menggigit bibir bawahnya. Rasa geli itu semakin menjadi-jadi menggelitik perutnya.
Aku nggak ngira dia bakal uring-uringan selama ini.
Udah tiga hari wajahnya bener-benar manyun.
Hihihihi.
Padahal biasanya hobi banget ngangguin orang.
Eh, kali ini tanpa aku ganggu dia udah manyun duluan.
"Kanda---"
Sreeet!
Ryan dengan begitu tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Membuat Vanessa yang masih menahan geli menjadi kaget seketika.
Mata Ryan setengah menyipit. Melihat lurus pada kedua bola mata Vanessa.
"Serius ya kamu ngegodain aku selama ini? Udah hampir tiga hari loh, Sa."
Dan kalimat Ryan langsung saja dibalas telak oleh Vanessa.
"Serius ya kamu manyunin aku selama ini? Udah hampir tiga hari loh, Yan."
Perkataan itu sukses membuat Ryan mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Tapi, di detik selanjutnya cowok itu justru menyunggingkan senyumnya. Wajahnya terlihat melunak dan ia lantas membawa kedua tangannya ke bawah kepala.
"Cie ... yang berasa gelisah aku manyunin tiga hari ini."
Dengan posisi tubuhnya yang menelungkup, Vanessa menopang dagu dengan kedua tangannya. Terlihat mengulum senyum.
"Bukan masalah gelisah sih. Sebenarnya tuh aku malah seneng aja ngangguin kamu yang lagi dalam mode manyun dan ngambek nggak jelas gini."
Senyum Ryan menghilang.
"Tapi, aku tu cuma penasaran loh. Minggu depan kamu udah mulai UTS, kamu nggak mau belajar gitu? Kan nggak lucu tuh ngulang mata kuliah, tapi nilainya jadi pada ancur. Hehehehe."
Dooong.
"Kamu akhir-akhir ini hobi banget sih ngeledekin aku, Sa!" rutuk Ryan seraya mendengus.
Cowok itu terlihat gusar dan lantas mengubah posisinya lagi. Akan membelakangi Vanessa kembali. Tapi, Vanessa cepat tanggap. Dengan cekatan ia mengulurkan satu tangannya. Menahan di dadá Ryan.
"Cie ... mau ngambek lagi."
"Kamu ini ..." Ryan semakin merasa geregetan. "... nggak ngerasain gimana frustrasinya aku, Sa. Aku bener-bener nggak tau kalau cowok secakep dan sepintar aku bisa melakukan ketololan kayak gini. Ini bisa masuk rekor MURI sebagai ketololan terhakiki."
"Ehm ... gitu ya? Masuk kelas istri sendiri itu tolol ya?" goda Vanessa. "Padahal kemaren semangat banget loh buat masuk kelas aku. Ehm ... kamu nggak tau ya kalau rasa kesal kamu ini ... itu sama persis dengan rasa kesal yang aku rasakan dulu."
Ryan melongo dengan kejujuran Vanessa. "Kamu ini bener-bener ya. Dideketin suami bukannya seneng, eh malah kesel."
"Kamu juga. Masa sekarang gara-gara nggak jadi wisuda ... kamu nyesal sih untuk waktu kebersamaan kita di dalam kelas selama ini?" balas Vanessa seraya mengedipkan satu matanya.
Ryan benar-benar dibuat tak bisa berkata apa-apa lagi. Setiap kalimat yang ia lontarkan, selalu dibalas Vanessa. Ya ampun. Kali ini Ryan benar-benar tak berkutik.
Mendengus kecil, Ryan kemudian meraih tangan Vanessa di dadanya. Membawa jemari lentik itu ke dalam genggamannya yang tak begitu erat.
"Kamu ini makin lama omongannya mulai nyakitin hati. Nyadar nggak sih?"
Vanessa menahan kikiknya. "Kan aku belajar dari ahlinya," jawabnya. "Ingat? Kita udah lebih sebulan tinggal bersama. Dan ini pun hampir dua bulan. Menurut kamu aja deh."
"Ehm ...."
Dahi Vanessa berkerut mendengar irama yang berbeda dari deheman suaminya itu. Entah mengapa perasaannya menjadi tidak enak. Terutama karena disadari oleh wanita itu bagaimana genggaman tangan Ryan yang perlahan mengerat.
O oh.
Ini bukan pertanda yang bagus. Apalagi saat Vanessa berusaha menarik tangannya, Ryan justru tak melepaskannya. Mata cowok itu terlihat berkilat-kilat dan seringai pun terbit di bibirnya.
"Jadi istri aku sekarang udah banyak belajar ya?"
Glek.
Entah mengapa, tapi pertanyaan Ryan yang satu itu membuat bulu kuduknya meremang. Alarm peringatan di benaknya seketika berbunyi.
"Ehm ...." Vanessa hanya bisa mendehem seraya berusaha menarik lepas tangannya. Tapi, tidak bisa.
Seringai Ryan bertambah lebar. Semakin membuat Vanessa bergidik.
"Bilang deh ke aku," kata Ryan kemudian dengan nada menggoda. "Kamu udah belajar apa aja selama ini?"
"Be-belajar sifat kamu."
"Terus?"
Glek.
"Ke kiri, Pak, ke---"
Ucapan Vanessa berhenti seketika saat mendapati satu tangan Ryan lainnya yang bebas bergerak dan meraih tubuhnya. Menariknya hingga membuat wanita itu mendarat di atas tubuhnya sendiri.
"Ke atas aja ya?"
Vanessa membeku. "A-a-tas?"
Sorot geli berkilat-kilat di bola mata Ryan. Menahan tatapan Vanessa. "Atau ke bawah?"
Susah payah Vanessa berusaha untuk tetap bernapas.yang mana itu ternyata sulit sekali.
"A ... tas. Ba ... wah." Vanessa menarik napas. "Mak ... sudnya?"
Tangan Ryan di pinggang Vanessa bergerak. Mengusap-usap lekukan di sana dengan penuh irama. Irama yang membuat Vanessa sontak panas dingin seluruh badan.
"Ehm ..., Dinda lupa? Tadi kan nyuruh Kanda parkir."
Glek.
"Ah ... parkir."
Vanessa tentu saja ingat kalau dia tadi memang mengucapkan kata-kata seperti tukang parkir. Tapi, eh ...
"Apa yang mau diparkir?" tanya Vanessa spontan. "Atas? Bawah?"
Mata Vanessa melotot ketika satu pemikiran intim muncul di benaknya. Tapi, bersamaan dengan datangnya pemikiran itu, Ryan justru bergerak. Bangkit dan langsung berpindah posisi dengan Vanessa. Menahan wanita itu di bawah tubuhnya untuk tidak kabur dari rengkuhannya.
"Hayo. Kamu pilih yang mana? Parkir atas atau parkir bawah?" Ryan mengulum senyum. "Helm tinggal pilih kok. Dan aku siap parkir di mana aja."
O oh.
"Ryan!"
"Vanessa!"
Vanessa menggigit bibir bawahnya.
"Katanya kamu udah belajar ...." Ryan mencari-cari di kedua bola mata Vanessa. Membelai pipi wanita itu hingga pemiliknya semakin meriang. "Aku kan jadi penasaran. Kamu belajar apa aja."
Jantung sudah mengucapkan selamat tinggal pada Vanessa. Memilih untuk tidak berdetak lagi di saat-saat seperti itu. Nyatanya, Vanessa pun tak yakin saat itu dirinya masih bisa bernapas.
Su-lit se-ka-li.
"Ma-maksud a---"
Mata Vanessa membelalak. Ucapannya terhenti seketika saat menyadari bagaimana tanpa aba-aba Ryan langsung mencium bibirnya. Menyelinapkan lidahnya di antara kedua belah bibir wanita itu dan seketika membuat kedua tangan Vanessa meremas pundak Ryan. Memejamkan mata dan hanya bisa terdiam dengan bibir terbuka ketika ia merasakan embusan napas cowok itu yang panas dan menderu membelainya.
Ada bisikan Ryan yang terdengar.
"Kayaknya ke atas ya?"
Ya ampun.
*
Vanessa keluar dari ruangannya siang itu. Baru selesai menyantap bekal makan siang yang ia bawa dan berencana untuk turun ke ruang Jurusan. Ada hal yang ingin ia cek di sana. Dan berbicara mengenai hal yang ingin ia cek, Vanessa jadi terpikir Ryan.
"Yah yah yah! Ketawa aja sepuas kamu. Senang kan? Senang? Ngeliat suaminya nggak bisa sidang dalam waktu dekat, eh malah senang kan?"
"Ih! Kamu ngeselin deh, Sa. Bisa-bisanya kamu ketawa selepas ini? Kamu nggak tau gimana frustrasinya aku nggak bisa sidang dalam waktu dekat?"
"Kamu nggak ada mau ngasih motivasi gitu ya ke aku? Malah ngeledekin aja dari tadi."
"Nggak mungkin bisa aku wisuda bulan Agustus. Ya Tuhan!!!"
"Hihihihi."
"Ibu?"
Vanessa mengerjap dan langsung menghentikan kikikan gelinya yang tanpa sadar terlontar begitu saja. Salah tingkah, Vanessa berusaha untuk tetap tersenyum pada beberapa orang mahasiswa yang tampak menyapa dirinya dengan dahi yang berkerut-kerut. Mungkin bingung mengapa dosen mereka yang cantik itu mendadak terkikik di koridor. Tanpa angin tanpa hujan dan Vanessa mendadak terkikik seorang diri?
Menebalkan muka, Vanessa berbelok seraya merutuk di dalam hati.
Bisa-bisanya aku beneran ketawa gara-gara ngebayangin dia.
Tapi ....
"Kayaknya Bu Vanessa sedang senang nih."
Satu celetukan membuat kesadaran Vanessa datang kembali. Tepat ketika ia masuk ke ruang Tata Usaha Jurusan. Lagi-lagi, tanpa sadar Vanessa tersenyum geli karena bayangan lucu di benaknya itu.
"Ah, Ibu Diana," kata Vanessa mengulum senyumnya. Ia berjabat tangan sejenak dengan dosen seniornya itu. "Nggak lagi senang sih."
Diana setengah menyipitkan matanya. "Bohong dosa loh," katanya kemudian. "Apa? Ini pasti senang yang berhubungan dengan Pak Nathan ya?"
Vanessa sedikit kaget dengan pertanyaan berisi tebakan itu. Tapi, belum lagi ia mempersiapkan jawabannya, mendadak suara berat itu terdengar.
"Eh? Ada yang ngomongin saya ya?"
Vanessa dan Diana sama-sama menoleh. Pada Nathan yang masuk ke ruangan itu. Terlihat menatap mereka secara bergantian.
"Bu Diana loh, Pak," kata Vanessa cepat. "Bukan saya."
Diana terkekeh. Memukul pelan tangan Vanessa sekilas. Lalu pada Nathan ia berkata.
"Saya lagi ngomongin Bu Vanessa. Kayaknya hari ini dia lagi seneng gitu. Mungkin ada kaitannya dengan Pak Nathan. Gitu loh."
"Oh ...," lirih Nathan. "Benar begitu, Bu?"
Vanessa benar-benar tidak percaya Nathan bahkan terang-terangan menanyakan hal tersebut setelah kejadian beberapa waktu yang lalu.
Ia pun menggeleng. "Nggak kok. Tenang aja, Pak."
Diana dan Nathan saling bertukar pandang geli. Dan sementara itu, Vanessa justru beranjak menghampiri Nanto yang duduk di mejanya. Menyapa karyawan tata usaha Jurusan itu dengan sopan sebelum bertanya.
"Pak, saya bisa lihat jadwal UAS semester ini?"
Nanto berpikir sejenak. "Jadwal umumnya atau jadwal mata kuliahnya, Bu?"
"Jadwal mata kuliahnya, Pak," jawab Vanessa dengan mengerutkan dahinya. "Saya ingin mengecek kapan mata kuliah saya UAS. Soalnya mungkin saya ada mau ngambil cuti setelah UAS nanti."
"Ah ...." Nanto angguk-angguk kepala. "Sebentar, Bu."
Vanessa membiarkan Nanto membuka satu berkas di komputernya. Melihat pada tampilan Excel tersebut.
"Apa aja mata kuliahnya, Bu?"
"Botani, Genetika, Biokimia, dan Bioteknologi."
Nanto segera mengecek keempat mata kuliah tersebut. Menunjukkannya pada Vanessa. "Ini, Bu. Semuanya ujian di minggu pertama bulan Juli nanti."
Vanessa mengerutkan dahi.
Minggu pertama.
"Bisa tolong di-print, Pak?"
Nanto mengangguk. "Siap, Bu. Sebentar saya print."
Vanessa sedikit menarik diri. Sementara menunggu Nanto mencetak jadwal tersebut, Vanessa justru melihat ke papan pengumuman di sana. Tepatnya pada kalender akademik. Langsung menuju ke batas terakhir sidang.
Batas terakhir sidang itu hari Senin minggu ketiga bulan Juli, tanggal sembilan belas. Dan batas terakhir pengumpulan berkas wisudawan itu tanggal dua puluh tiga Juli.
Mata Vanessa melihat pada tanggal wisuda yang tertera.
Tanggal 31 Agustus.
Ehm ....
Kalau dia lulus dan nggak ada perbaikan yang siginifikan, harusnya dalam empat hari dia bisa ngurus semua keperluan wisuda kan ya?
Tapi, kalau memang begitu berarti Ryan harus benar-benar memastikan draft skripsinya nyaris sempurna. Bahkan kalau bisa tanpa ada perbaikan isi lagi.
Harusnya dia bisa.
Harusnya bisa.
"Ini, Bu, jadwalnya."
Ucapan Nanto membuyarkan pikiran Vanessa. Wanita itu tersenyum dan meraih jadwal tersebut.
"Makasih, Pak," katanya. "Kalau begitu, saya permisi dulu."
"Ah, bentar, Bu."
Langkah kaki Vanessa terhenti. "Ada apa, Pak?"
Nanto tampak membuka laci mejanya. Menyerahkan satu undangan pada wanita itu. "Undangan ini baru sampai tadi pagi. Rencana saya mau ke atas, tapi kelupaan."
"Undangan?"
Vanessa menerima undangan itu. Lalu, matanya membaca nama kedua mempelai di sana.
"Riki Anthony dan Tasya Lestari."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro