80. Tawa Di Atas Derita
"Hasil analisis datanya memang nggak berbeda nyata, Bu. Terutama untuk variabel tinggi tanaman, waktu berbunga, dan hasil panen. Hampir sama semua."
"Jadi, menurut kamu gimana?"
Ryan menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan dari dosen pembimbing utamanya itu. Sekilas ia teringat hasil diskusi dirinya dua malam yang lalu dengan Vanessa dan karena itulah, pagi ini ketika dirinya siap maka ia memutuskan untuk menghadap Fatma. Untuk melaporkan hasil terakhir penelitiannya dan juga untuk mendiskusikan rencana ke depannya. Termasuk di antaranya rencana untuk seminar hasil dan juga sidang skripsi.
Bukannya sombong, tapi Ryan merasa yakin sekali. Maka tak heran bila ia terlihat begitu santai ketika memberikan pendapatnya.
"Menurut saya, Bu, dengan hasil olah data yang menunjukkan nggak berbeda nyata itu menandakan bahwa kelima perlakuan memberikan hasil yang bisa dikatakan sama. Dengan kata lain ada tidaknya penambahan ZPT itu tidak mempengaruhi pertumbuhan dari stek cabe tersebut. Jadi, kalau boleh saya simpulkan sekarang, yah ... lebih baik nggak perlu pakai ZPT sih, Bu."
Fatma tersenyum kecil. Fokus matanya tetap pada layar laptop Ryan walau ia mendengarkan setiap penuturan cowok itu dengan serius.
"Progress skripsi kamu sampai mana?" tanya Fatma kemudian. "Kamu sudah mulai nulis skripsi kan?"
Ryan mengangguk. "Sudah, Bu. Dari beberapa bulan yang lalu sudah mulai saya kerjakan. Sampai sekarang sih bagian awal sudah selesai semua. Tinggal hasil dan pembahasan, serta kesimpulan."
Penjelasan Ryan membuat Fatma mengangguk-anggukkan kepalanya. Seraya memutar laptop Ryan, mengembalikan benda itu pada pemiliknya, Fatma berkata.
"Kalau begitu saya tunggu draft skripsi kamu. Kalau sudah siap bisa kamu antarkan ke saya. Biar kita lihat, kapan kamu bisa seminar hasil. Kalau draft kamu sudah oke, tinggal kamu buat artikel untuk seminar hasilnya saja lagi."
"Siap, Bu," jawab Ryan dengan senyum lebar. "Saya mohon bimbingannya, Bu. Mudah-mudahan saya bisa mengadakan seminar hasil dalam waktu dekat."
"Tentu saja. Kita bisa seminar hasil kapan pun kamu siap. Tinggal nanti kamu cek jadwal dosen yang lainnya kalau kita sudah fix dengan draft kamu. Tapi, ya kamu nggak perlu terburu-buru juga." Fatma terlihat memperbaiki sejenak letak kacamatanya. "Toh kamu juga nggak bisa sidang dalam waktu dekat kan ya?"
Mata Ryan mengerjap. Dahinya sontak berkerut dengan pertanyaan dosen pembimbingnya itu.
"Memangnya kenapa, Bu?"
Kali ini mata Fatma yang sedikit membesar melihat Ryan. Ikut-ikutan mengerutkan dahi dengan pertanyaan mahasiswa bimbingannya itu. "Bukannya kamu sekarang sedang mengulang empat mata kuliah ya?" tanya Fatma datar. "Seingat saya, salah satu syarat sidang itu adalah tidak mengikuti perkuliahan lagi." Fatma bertanya. "Benar kan?"
Ryan melongo.
Perkataan Fatma membuat Ryan tak bisa berkata apa-apa lagi sementara di benaknya melintas beberapa bayangan. Khayalan akan rencana yang sudah ia persiapkan semalaman.
Dari mengganti foto profil semua akun sosial medianya dengan foto dirinya dan Vanessa yang memegang buku nikah.
Membuat feed di Instagram yang memamerkan cincin kawin mereka yang hingga sampai saat ini hanya tersimpan di lemari.
Berfoto bersama Vanessa dengan mengenakan toganya.
Dan yang terpenting, ia bisa berjalan ke mana pun bersama Vanessa tanpa rasa khawatir akan terpergok oleh orang kampus.
Lihat?
Semua rencana yang ia sudah ia susun selalu melibatkan Vanessa. Sudah lebih dari cukup untuk membuktikan betapa berambisinya Ryan untuk segera tamat demi! Ya, demi! Demi Vanessa. Demi menunjukkan pada dunia bahwa di antara banyak pria di dunia ini, dirinya-lah yang paling beruntung.
Dan sekarang, kenyataan terpampang di depan matanya.
Aku nggak bisa tamat Agustus ini?
Karena masih ada kuliah empat MK?
Nyawa seakan asap yang pelan-pelan keluar dari ubun-ubun cowok itu. Berembus. Melayang pelan ke angkasa.
Oh-My-God.
*
Vanessa tertawa terpingkal-pingkal. Wanita itu memeluk perutnya, mengabaikan liputan berita yang tengah disiarkan di salah satu saluran televisi swasta. Tertawa dengan begitu keras hingga tanpa sadar matanya basah karena air mata. Pun saking tak bisa menahan gelinya, tubuhnya sampai terbungkuk-bungkuk di atas sofa itu.
"Hahahaha."
Di ujung sofa, berbeda dengan keadaan Vanessa, ada Ryan yang tengah cemberut parah. Sekilas Vanessa pikir bibir Ryan akan jatuh hingga ke dagu.
"Yah yah yah! Ketawa aja sepuas kamu. Senang kan? Senang? Ngeliat suaminya nggak bisa sidang dalam waktu dekat, eh malah senang kan?"
"Hahahaha."
Tawa Vanessa semakin meledak. Alhasil perut wanita itu terasa sakit sekali saat ini. Tangannya pun sampai memukul-mukul sofa empuk itu.
"Sa!" geram Ryan. "Kamu kebangetan banget ya? Bisa-bisanya kamu ngetawain aku di situasi kayak gini?"
"Hahahaha."
Vanessa berusaha menahan tawanya. Tapi, itu susah sekali. Dengan payah, Vanessa menahan sejenak napasnya. Berharap itu bisa menahan laju tawanya, tapi yang ada malah tawanya tersembur dengan ekspresi yang begitu memalukan. Dan itu membuat Ryan semakin misuh-misuh.
"Astaga, Kanda ... hahahaha." Vanessa menutup mulutnya. Lagi-lagi berusaha menahan tawa, tapi lagi-lagi pula gagal. "Hahahaha. Aku ... aku ...."
"Ih! Kamu ngeselin deh, Sa. Bisa-bisanya kamu ketawa selepas ini? Kamu nggak tau gimana frustrasinya aku nggak bisa sidang dalam waktu dekat?"
"Hahahaha. Yang kayak draft kamu bakal langsung di-ACC aja sama Bu Fatma."
Mata Ryan melirik sebal. "Kamu nggak ada mau ngasih motivasi gitu ya ke aku? Malah ngeledekin aja dari tadi."
"Hahahaha. Ayoh, Kanda! Semangat berjuang. Bisa kok wisuda periode selanjutnya."
Dooong!
"Nggak mau," kata Ryan ketus. "Pokoknya Agustus aku harus tamat." Ia mengacak-acak rambutnya. "Tapi, gimana ceritanya aku bisa wisuda Agustus kalau orang UAS aja bulan Juli?" Ryan melihat pada Vanessa. "Berkas wisuda harus masuk akhir Juli kan ya?"
Sebisa mungkin Vanessa menjawab. Walau hanya dengan satu anggukan yang payah. Tapi, anggukan itu sudah cukup sukses membuat Ryan semakin uring-uringan.
"Nggak mungkin bisa aku wisuda bulan Agustus. Ya Tuhan!!!"
Vanessa mengusap air matanya. Sumpah! Matanya saat itu benar-benar sudah basah. Dengan tawa yang masih menyelip di antara usahanya bicara, wanita itu berkata.
"Kok ngebet banget sih kamu mau wisuda Agustus? Yang penting kalaupun kamu sidang Agustus, kan udah bebas uang semesteran. Nggak usah stres banget, Kanda ...."
Ryan mendengus. "Ini bukan perkara uang semesteran, Sa."
"Terus?"
"Ini masalah kita," jawab Ryan langsung. "Semakin cepat aku wisuda, itu artinya semakin cepat juga kita bisa mem-publish hubungan kita."
"Oooh ...." Vanessa melirih panjang. Tersenyum menggoda. "Jadi itu toh masalahnya."
Kedua tangan Ryan sekarang meremas-remas rambutnya. "Tapi, gimana aku bisa wisuda Agustus kalau aku masih kuliah empat MK? Ya ampun. Aku nggak bisa wisuda Agustus ini," racau Ryan lagi. "Padahal aku rencana udah mau nyari jas buat wisuda coba, Sa. Bahkan aku udah ngebayangin kamu bakal jadi pendamping wisuda aku."
"Hahahaha."
Tawa Vanessa pecah lagi. Racauan Ryan yang bernada frustrasi justru membuat ia terpingkal-pingkal.
"Kamu itu ...." Ryan mengepalkan tinjunya dengan remas. "Beneran seneng ya ngeliat aku hampir gila kini?"
"Loh?" Tawa Vanessa berhenti. Tergantikan oleh wajah polos merona miliknya. "Aku pikir selama ini kamu udah gila. Ternyata belum ya?"
"Saaa ...!"
"Hahahaha."
"Kamu itu beneran yang kayak orang-orang bilang."
"Apa?"
"Bahagia di atas penderitaan orang. Dan ini suami kamu sendiri, Sa. Parah banget kamu ya?"
"Hahahaha. Ehm." Vanessa mendehem sejenak. "Kanda, coba deh Dinda tanya."
"Giliran gini aja Kanda Dinda keluar," tukas Ryan manyun. Dan ia pun sedikit menyadari hal tersebut. "Kamu bermanis mulut itu cuma buat ngangguin aku aja kan?"
Vanessa mengulum senyum gelinya. "Nggak kok, Kanda. Ini tulus."
Mata Ryan menyipit. Memilih diam saja untuk hal yang satu itu. Ya walaupun Vanessa menggodanya, tapi dipanggil seperti itu kan mau tak mau membuat Ryan senang juga.
"Segitu kesalnya ya Kanda gara-gara nggak bisa wisuda Agustus ini?"
Ryan mendengus. "Masih ditanya lagi. Ya ampun, Sa. Ini beneran buat aku pengen makan beling tau nggak?"
"Eh, aku nikah sama kuda lumping."
Cuping hidung Ryan kembang kempis. "Kamu bayangkan aja. Kalau aku gagal wisuda karena alasan yang berat, ya aku masih bisa terima. Kayak penelitian gagal atau apa gitu. Lah ini? Aku gagal wisuda gara-gara aku masih ngulang empat mata kuliah yang mana nilai keempat mata kuliah itu sebenarnya pada bagus."
Sedetik kalimat itu terucap di lidahnya, Ryan tertegun. Kali ini remasan tangan di rambutnya benar-benar semakin kuat. Vanessa pikir Ryan bisa botak karenanya.
"Ya ampun. Aku nggak bisa wisuda gara-gara ketololan aku sendiri? Kenapa aku sampe ngulang mata kuliah yang jelas-jelas nilainya udah pada bagus?"
Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana gelinya Vanessa saat itu. Melihat penyesalan dan rutukan Ryan malam itu sungguh membuat wajahnya terasa kaku karena terus menerus tertawa. Tapi, Vanessa sadar akan satu hal. Kesempatan seperti itu langka sekali. Maka ia pun bertekad untuk menggoda Ryan habis-habisan.
"Oooh ...." Vanessa melirih dengan penuh irama. "Sekarang Kanda nyesel udah ngulang empat mata kuliah?" tanya Vanessa dengan nada menggoda. Wanita itu beranjak. Mendekati Ryan dan mencolek-colek pipi Ryan. Sama seperti yang sering dilakukan cowok itu padanya. "Padahal kan empat mata kuliah itu aku yang ngajar. Masa gitu sih? Kan katanya Kanda ngulang demi bisa ngeliat aku di kelas."
"Ih!" Ryan menoleh dan memperlihatkan wajah gusarnya. "Ini bukan waktu yang tepat buat ngangguin aku, Sa. Aku beneran kesel. Kamu nggak ngeliat tanduk bakal keluar dari kepala aku?"
Bahu Vanessa bergetar parah. Pertanda bahwa semakin lama tamanya semakin menjadi-jadi. "
Kesel kenapa? Gara-gara ngulang mata kuliah aku?"
"Vanessa ...," geram Ryan.
"Nggak seneng ngeliat aku di kelas?" tanya Vanessa semakin bersemangat menggoda suaminya itu.
"Ya ampun ...."
"Padahal aku seneng banget loh ngeliat kamu di kelas."
"Sa ..., please, aku i ...." Ryan mengerjapkan matanya. Melihat Vanessa yang masih tertawa geli. Sepertinya ia melewatkan sesuatu. "Eh, tadi kamu ngomong apa?"
Mengatupkan kedua belah bibirnya, mencegah untuk tidak tersenyum –yang mana itu gagal-, Vanessa bertanya.
"Ngomong apa?"
"Itu ... yang tadi," jawab Ryan seraya meraih kedua tangan Vanessa.
"Ehm .... Kesel kenapa?"
Ryan geleng-geleng kepala. "Bukan. Setelahnya, Sa."
"Ehm .... Gara-gara ngulang mata kuliah?"
Ryan geleng-geleng kepala lagi. "Bukan ... bukan. Terus deh."
Sorot mata Vanessa berubah. Lantas ia pun berkata.
"Terus, Pak, terus. Kiri dikit. Nah, balas ke kanan, Pak. Hahahaha."
"Lah malah jadi Kang Parkir." Ryan sih tidak mau tertawa, tapi terlepas begitu saja. "Hahahaha. Ada bakat jadi tukang parkir heh?"
"Hahahaha. Terus, Pak, terus. Biar lupa keselnya karena nggak jadi wisuda."
Ryan meledak. "Ini cewek ya. Bukannya membangkitkan semangat suaminya, eh malah ngeledek habis-habisan."
"Hahahaha."
Ryan sudah tidak mampu bertahan lagi. Ia bergerak. Geram melihat Vanessa yang terus menerus menertawai dirinya membuat ia meluncurkan kedua tangannya ke arah pinggang wanita itu.
Sepuluh jari bergerak abstrak. Menyentuh dan berkeliaran di sana. Membuat Vanessa sontak terpekik geli.
"Ryan! Hahahaha." Vanessa berusaha menjauh, tapi Ryan makin mengikis jarak. "Be ... renti, Ya ... n."
Ryan menyeringai. "Apa heh?" Jarinya terus bergerak. "Aku nggak denger."
Vanessa berusaha menahan kedua tangan Ryan dan ketika gelitikan itu sedikit terjeda, Vanessa menarik napas sekilas.
"Aku tadi bilang," katanya, "Cie ... yang gagal wisuda Agustus."
"Vanessa!"
"Hahahaha!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro