Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. Perdebatan

Setelah melewati beberapa drama selama perjalanan, pada akhirnya Ryan dan Vanessa tiba pula di unit apartemen mereka.

Tadi sebelum menuju ke unit, Ryan menyempatkan diri untuk menyapa resepsionis. Sekadar berkenalan singkat dan baru setelahnya ia naik bersama Vanessa yang terlihat hanya menunggu dirinya di dekat lift.

Mungkin dia capek, pikir Ryan.

Dan sekarang, ketika Ryan dan Vanessa melangkah masuk ke dalam unit, sontak saja mata keduanya membelalak. Bahkan rasa-rasanya Ryan ingin mencuci mukanya dulu kalau-kalau ada kotoran mata yang menghalangi pandangannya kala itu.

"Wah!"

Ryan tanpa sadar terkesiap besar. Ia pun kemudian berdecak kecil berulang kali seraya mengedarkan pandangannya mengelilingi ruang tamu yang berukuran besar itu. Benar-benar merasa takjub.

"Wah wah wah! Ini Eyang sebenarnya ngasih hadiah pernikahan atau ngasih harta warisan?"

Cowok itu geleng-geleng kepala beberapa kali.

"Tau kayak gini, beneran udah nikah aku dari dulu."

Dan ucapan Ryan yang satu itu sukses membuat Vanessa membeku. Wajahnya memerah hingga ke telinga.

Sementara itu Ryan yang tampak fokus mengamati interior di ruang tamu itu seolah tak menghiraukan keberadaan Vanessa di sana. Hingga kemudian ketika ia membalikkan badan, ia mengernyit melihat Vanessa yang terlihat aneh.

"Ehm ... kamu kenapa?" tanya Ryan menghampiri Vanessa.

Gadis itu mengangkat wajahnya agar bisa melihat kedua mata Ryan. Ia lantas bertanya. "Jadi, itu alasan kamu?"

"Alasan?" Dahi Ryan berkerut. Tak mengerti dengan pertanyaan Vanessa. "Alasan apa?"

Mata Vanessa tidak bergeser dari memaku tatapan mata Ryan. "Alasan kamu menerima pernikahan mendadak ini," jawab Vanessa. "Untuk mendapatkan harta dari eyang kamu?"

What?

Mata Ryan melotot. Lalu mengerjap-ngerjap.

Vanessa mengembuskan napas panjang. "Akhirnya rasa penasaran aku terjawab sudah," lirihnya seraya beranjak. Memilih untuk duduk di sofa empuk itu. "Beberapa hari terakhir ini aku penasaran mengapa kamu yang masih mahasiswa justru mau menerima dengan cepat pernikahan antara kita. Itu terdengar nggak masuk akal sama sekali."

Ryan hanya bisa terbengong mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Vanessa.

"Ternyata karena harta," simpul Vanessa tersenyum miris.

Di sofa itu, Vanessa terlihat duduk dengan gestur yang kaku walau ia berusaha untuk sedikit bersandar di punggung sofa. Wajahnya terlihat lelah dengan beberapa ekspresi lainnya yang tidak mampu untuk Ryan terjemahkan. Terasa sulit.

Pada akhirnya, Ryan mengerjapkan mata. Berusaha untuk menyadarkan dirinya sendiri dari kebingungan yang melanda.

Pernikahan dadakan? Harta Eyang?

Ryan geleng-geleng kepala.

Memangnya kemaren Eyang ada ngomong mau ngasih aku unit mewah ini sebelum aku nerima pernikahan ini? Kan nggak.

Sembarangan aja ini cewek ngebuat kesimpulan.

"Ehm ...." Ryan mendehem. Memilih untuk duduk pula. Merasa bahwa ada sesuatu yang harus diluruskan antara mereka berdua. "Tunggu bentar, sepertinya ada kekeliruan di sini."

Mata Vanessa berkedip sekali. Tapi, kali ini bibirnya terlihat tersenyum sendu. Ia menggeleng pelan.

"Udah. Kamu nggak perlu bohong. Tenang aja, aku nggak bakal sakit hati kok. Lagipula dari awal aku memang udah nggak berharap apa pun dengan pernikahan ini. Jadi, ya santai aja."

"Eh?"

Vanessa mengembuskan napas panjang. "Secara logika saja, ini jelas adalah hal yang mustahil. Kamu, cowok yang masih berusia dua puluh dua tahun bersedia menikah dengan cewek yang nggak kamu kenal. Belum lagi karena cewek itu lima tahun lebih tua dibandingkan kamu." Gadis itu mendengus tipis. "Dan untuk melengkapi itu semua, ternyata cewek itu juga adalah dosen kamu sendiri."

Ryan menangkap senyum di wajah Vanessa, walau tak yakin apa maksud senyum itu.

"Bukankah mustahil kalau kamu menerima pernikahan ini tanpa ada embel-embel di belakangnya? Jadi ya sebenarnya lebih masuk di logika aku justru kalau kamu nerima pernikahan ini karena mengharapkan sesuatu."

Ehm ....

Semua perkataan Vanessa terdengar masuk akal di telinga Ryan. Tapi, tetap saja cowok itu tidak terima.

"Menerima pernikahan ini demi harta Eyang?" tanya Ryan tak percaya.

Ryan menggaruk kepalanya. Membuat rambut pirangnya terlihat sedikit acak-acakan. Namun, anehnya hal itu justru membuat ia terlihat lebih tampan.

Sejurus kemudian, Ryan baru saja akan membuka mulutnya kembali untuk bicara. Sekadar untuk membela dirinya sendiri dari tuduhan tersebut, tapi Vanessa lebih dulu bicara.

"Kamu nggak perlu ngerasa nggak enak atau gimana sama aku. Tenang saja. Aku juga sudah mengantisipasi hal ini dari awal."

"Mengantisipasi? Mengantisipasi apa?"

Tapi, pertanyaan Ryan itu tidak dijawab oeh Vanessa. Alih-alih menjawab, Vanessa justru bertanya.

"Bagaimana kalau kita permudah ini semua demi kebaikan kita berdua?"

"Maksud kamu?"

Sejenak Vanessa tampak menimbang sebelum ia lanjut berkata. "Pernikahan kita dari awal adalah keinginan orang tua kita." Ia menatap Ryan. "Kita berdua nggak saling mengenal. Kita hanya sebatas tau sebagai dosen dan mahasiswa. Aku pun juga, jujur saja. Harus memeriksa portal pusat data mahasiswa di jurusan untuk tau kamu itu yang mana."

Ryan melongo.

"Dan menurut kamu, apa mungkin kita bisa menjalani pernikahan ini dengan permulaan yang sudah nggak bisa diharapkan seperti itu?" tanya Vanessa. "Nggak mungkin kan?"

Ryan ingin sekali bicara, tapi ada sesuatu di diri Vanessa yang membuat ia untuk memilih diam saja.

"Dari awal pernikahan ini nggak akan berhasil, Yan, karena niat kita memang sudah salah. Kamu sendiri berniat menerima pernikahan ini karena harta."

Jleb!

"Jadi, karena itulah sebelum kita berdua menjalani pernikahan ini semakin lama dan jauh, aku harap kita bisa saling memahami."

"Memahami apa?"

"Aku harap kita nggak saling mengganggu."

"Mengganggu?"

Kepala Vanessa mengangguk. "Kita buat hubungan kita untuk tetap profesional. Yah, walaupun aku tau karena status kita maka mau tak mau kita memang harus merahasiakan pernikahan kita di muka umum."

Ryan mengangguk. "Aku tau itu. Rasanya pasti nggak nyaman kalau sampai orang-orang tau ada dosen yang dinikahi mahasiswanya sendiri."

"Aku harap kamu selalu ingat. Kampus ya kampus, rumah ya rumah. Dan karena itulah aku harap agar kita nggak saling mencampuri hubungan satu sama lain," lanjut Vanessa. "Kita menikah, tapi kita tetap dosen dan mahasiswa. Pun di sini, aku harap kita nggak saling mengganggu. Anggap saja kita dua orang asing yang terdampar di tempat yang sama."

"Eh? Dua orang asing?" tanya Ryan tak percaya. "Dua orang asing gimana ceritanya kalau sudah pernah tidur bersama?"

Mata Vanessa melotot mendengar perkataan Ryan yang ceplas-ceplos itu. Sekejap membuat ia syok.

Sejurus kemudian Venassa terlihat meneguk ludahnya. Tampak berusaha untuk mengendalikan dirinya sendiri.

"I-itu ...."

Ryan mengangkat tangannya. Mengisyaratkan Vanessa untuk berhenti bicara.

"Sebenarnya dari tadi kamu ngomong, aku benar-benar nggak ngerti." Ryan berkata seraya mengerutkan dahi. "Kamu minta kita merahasiakan hubungan kita di kampus, ya itu oke. Itu memang benar. Sangat benar malah. Tapi, kalau harus bersikap kayak dua orang asing di dalam satu rumah yang sama? Itu gimana ceritanya ya bisa gitu?" tanya Ryan menggebu. "Otak aku yang lemot atau kamu yang kelewat pintar ya? Kok kita harus gitu?"

Vanessa merasakan wajahnya memanas. Ia bisa menebak bahwa warna wajahnya saat ini benar-benar sudah memerah kelam karena perkataan Ryan.

"Kamu memang secerewet ini ya?" tanya gadis itu.

"Kebebasan mengeluarkan pendapat diatur dalam undang-undang," tukas Ryan. "Lagian, kamu juga memang sekasar dan semembingungkan ini ya?"

"Kasar?"

Ryan berusaha mengusap punggungnya walau tidak sampai. "Dalam semalam ini aku udah berapa kali kena pukul coba?"

"Ehm ... itu ...."

Ryan mencibir. "Intinya adalah aku nggak taulah ya gimana asal usul pernikahan kita, tapi ya walau kita nggak bisa langsung dekat ya bukan berarti juga kita harus bersikap kayak orang asing. Mana kita tinggal satu rumah lagi."

Napas tertahan sejenak di dadá Vanessa sebelum meluncur keluar dari hidungnya. "Aku cuma ingin ngebuat kita sama-sama sadar akan kedudukan kita masing-masing."

"Oke, tell me. Kedudukan yang seperti apa? Kedudukan di mana aku adalah suami dan kamu adalah istri?"

Blusssh!

Vanessa membeku.

"Ini bukan soal patriarki atau apa ya, tapi aku lihatnya kok malah kamu yang ngatur-ngatur sih?"

"Yang ngatur-ngatur siapa?"

"Lah itu!" tunjuk Ryan. "Dari tadi ngomong nggak boleh ini nggak boleh itu. Apa itu namanya kalau bukan ngatur?"

"Astaga!" desis Vanessa seraya menutup matanya. "Kok susah banget sih ngomong sama cowok yang lebih muda?"

"Eh?" Mata Ryan melotot.

Mata Vanessa membuka. Balas menatap garang pada Ryan. "Aku cuma ingin kita jaga jarak."

"Yang kayak aku virus mematikan aja pake acara jaga jarak segala macam," kata Ryan sewot. "Tenang aja. Nanti biar aku bersih, aku mandi pake alkohol sekalian."

"Ryan, dengar. Aku nggak mau karena pernikahan ini ngebuat kamu ngerasa benar-benar jadi suami aku."

"Eh? Pernikahan kita kan sah secara agama dan hukum. Gimana ceritanya aku nggak ngerasa benar-benar jadi suami kamu?"

"Ya, tapi kita sama-sama menikah karena terpaksa."

"Aku nggak terpaksa tuh!"

Vanessa terdiam.

Matanya berkedip-kedip melihat Ryan yang tampak enteng sekali mengatakan hal itu seraya bersidekap di depan dada.

"Kamu ... kamu ... kamu nggak terpaksa nikahi aku?" tanya Vanessa.

"Ya nggak dong," kata Ryan mantap. "Ngapain juga terpaksa nikah? Emang kemaren kamu nggak liat waktu aku ngucapin akad? Ada gitu orang yang maksa aku? Kan nggak. Orang aku dengan sadar dan ikhlas kok nikahi kamu."

Vanessa menarik napas dalam-dalam. Menenangkan gejolak emosi di dalam dadanya. Untuk beberapa saat gadis itu terdiam karena perkataan Ryan, lalu ia berkata seraya mengangguk.

"Ya, aku baru ingat. Karena harta tadi."

"Eh?"

"Tapi, aku mohon, Ryan. Kita sama tau kalau pernikahan ini nggak bakal berhasil."

"Karena dasar pernikahan kita adalah dijodohkan dan kita menikah dalam waktu yang mendesak?"

Vanessa mengangguk. "Salah satunya karena itu."

"Salah duanya?"

Pundak Vanessa terlihat jatuh ketika ia berkata. "Kamu nggak tau aku. Nggak kenal aku gimana. Sifat aku dan semua tentang aku. Kamu nggak tau apa pun."

"Terus?"

"Gimana bisa kamu nerima aku dalam pernikahan ini kalau kamu nggak tau apa pun tentang aku? Iya kan? Dan gitu juga dengan aku. Gimana bisa aku nerima kamu dalam pernikahan ini kalau aku nggak tau apa pun tentang kamu?" Vanessa menoleh pada Ryan. "Sampai di sini kamu paham?"

Kedua tangan Ryan yang semula bersidekap tampak terurai. Kali ini ia mengusap-usap dagunya.

"Kalau karena itu masalahnya maka jalan keluarnya bukan dengan saling menghindari dan bersikap seolah seperti orang asing," kata Ryan.

"Maksud kamu?"

Ryan tersenyum enteng dan menjawab. "Kalau kamu nggak tau apa pun tentang aku, ya aku bakal dengan senang hati ngasih tau kamu semua detail tentang aku. Kalau perlu aku ketik, terus aku print deh. Biar kamu mudah untuk belajar tentang aku."

"Eh?"

"Dan sebagai timbal balik, ya berarti kamu juga harus ngebuka diri biar aku tau tentang kamu."

Vanessa langsung geleng-geleng kepala. "Udahlah. Ini nggak bakal berhasil."

"Kenapa? Kita belum mencoba."

"Kamu tau alasannya?" tanya Vanessa dan ia mendapati bahwa Ryan menunggu lanjutan perkataannya. "Alasannya adalah karena hubungan dengan orang yang telah lama saling mengenal saja bisa hancur dalam sekejap mata, apalagi dengan orang yang benar-benar baru."

Ryan terdiam. Merenungi perkataan Vanessa dengan sebaik-baiknya. Mencoba untuk mencerna makna dari perkataan itu.

"Aku cuma nggak mau melakukan hal yang sudah terlihat nggak akan menjanjikan."

"Eits! Jangan salah," sanggah Ryan. "Aku adalah hal yang paling menjanjikan yang kamu dapatkan di tahun ini. Aku nggak terima dibilang seperti itu."

Vanessa geleng-geleng kepala. "Benar-benar deh. Ngomong sama cowok yang lebih muda memang menguras lebih banyak tenaga."

Ryan tersinggung. Tapi, ia memilih untuk tidak mempermasalahkan hal itu. Melainkan ia berkata.

"Tapi, kamu jangan sampe salah ya. Cowok yang lebih muda ini bisa dengan gampang membuat hidup cewek tua lebih bewarna."

Vanessa melotot.

"Kenapa?" tanya Ryan. "Butuh bukti?" Dan ia cengar-cengir saat berkata. "Lihat saja tadi. Baru bersama dengan aku bentar aja, kamu udah ngerasa ngerem mendadak di tengah jalan kan? Gimana? Bukannya itu ngebuat jantung kamu berdebar-debar?"

Vanessa meneguk ludahnya. "Ryan, jaga omongan kamu ya. Aku ini dosen kamu."

"Di kampus iya, di sini nggak," kata Ryan menyeringai. "Bukannya tadi kamu bilang hubungan kita harus profesional? Kampus ya kampus, rumah ya rumah. Itu beda."

Perkataan Ryan yang membalikkan perkataannya sendiri membuat lidah Vanessa terasa kelu. Membuat ia sontak tidak bisa bicara apa-apa lagi. Ia merasa Ryan membuat ia mati kutu oleh ucapannya sendiri.

Sedang Ryan sendiri terlihat sedikit pongah karena merasa senang bisa memutar perkataan itu kepada empunya.

Hihihihi.

Hingga kemudian, Ryan tersadar sesuatu.

"Ngomong-ngomong ...."

"Apa?"

"Kalau kamu nganggap aku mau menikahi kamu karena harta," kata Ryan seraya menatap Vanessa dengan sorot bertanya-tanya. "Terus, kamu mau dinikahi sama aku karena apa?"

Itu adalah pertanyaan yang tak terduga oleh Vanessa. Lagipula, mana ia tau kalau Ryan akan memedulikan hal seperti itu. Tapi, Vanessa memutuskan untuk menjawab.

"Untuk meyakinkan orang tua aku kalau aku bisa bahagia."

Dan jawaban itu membuat Ryan tertegun.

Tak mampu berkata apa-apa lagi.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro