79. Seharusnya
Mulut Ryan terbuka lebar. Menguap sepuas mungkin saat ia baru keluar dari kamar mandi. Baru selesai mencuci muka dan menyikat gigi. Cukup jelas menjadi pertanda bahwa cowok itu akan tidur dalam waktu dekat.
Menyugar rambutnya, alih-alih langsung berbaring di atas kasur, Ryan ternyata memilih untuk menghampiri Vanessa yang masih berkutat dengan pekerjaannya. Ia menarik kursi miliknya sendiri dan duduk di sebelah Vanessa. Bertahan pada satu siku, melihat wajah wanita itu dari samping. Pada bulu matanya yang bergerak-gerak pelan. Pada puncak hidungnya yang mancung. Pada bibir merah meronanya yang ranum. Pada ujung dagunya yang meruncing. Pada bibir merah ....
Eh?
Ryan mengerjap. Memindahkan fokus matanya. Kali ini pada bibir merah ....
Loh?
Eh?
Kok balik mandangin itu lagi sih?
Tapi, mau bagaimana lagi? Pada akhirnya ya Ryan kembali melihat ke titik itu. Pada bibir merah Vanessa yang terlihat sedikit membuka. Membuat mata Ryan jadi sedikit membesar. Entah sadar entah tidak, tapi bibir Ryan jadi ikut-ikutan membuka.
"Kamu belum mau tidur?"
Ryan mengerjap. Tersadar dari keterpanaannya pada bibir Vanessa. Lantas, menggeleng sekali dengan tidak mengubah posisi kepalanya di atas telapak tangan.
"Bentar lagi deh. Mau nemenin kamu dulu."
Vanessa mengembuskan napas. Meletakkan pena yang ia gunakan di atas buku tulis yang terbuka. Menampilkan rancangan bagan penelitian yang akan ia lakukan ke depan.
"Aku nggak perlu ditemani deh kayaknya. Daripada nemenin aku ..." Vanessa berpaling. "... yang mana itu ternyata justru dipandangi lama sama kamu, mending nggak usah deh. Nganggu konsentrasi aku aja."
"Oooh!"
Kali ini Ryan bangkit dari posisi berpangku tangannya. Terkesiap dengan mata yang berbinar-binar.
"Segitunya ya efek kehadiran aku ke kamu?"
Tangan Vanessa langsung meluncur sebagai respon pertanyaan penuh percaya diri khas Ryan. Menyasar ke perut cowok itu sementara si empunya tertawa dan dengan sigap menangkap kedua Vanessa.
"Dasar gila!" rutuk Vanessa berusaha menarik tangannya. "Otak dan semua kesimpulan kamu itu memang nggak ada duanya."
"Hehehehe." Ryan menarik kursi Vanessa ke arahnya. "Jujur deh. Kalau kita kayak gini ... ehm, kamu pasti deg-deg gitu kan ya?"
Vanessa menarik napas sekilas. Menatap mata Ryan dengan sorot yang sulit diartikan oleh cowok itu.
"Kamu mau jawaban jujur atau nggak?"
Dooong!
Ryan melongo.
"Kamu ini. Tega banget sama suami sendiri," gerutu Ryan.
Cowok itu terlihat mencibirkan bibir bawahnya sekilas. Mendorong kembali kursi Vanessa ke tempatnya. Terlihat sedikit kesal. Atau mungkin ....
"Hihihihi. Ada yang ngambek."
Vanessa terkikik. Berusaha menutup mulutnya, tapi tak urung juga kikikan wanita itu lolos. Membuat Ryan menjadi menyipitkan matanya.
"Oh ... sengaja mau ngegoda aku ya? Mau mainin aku ya?"
Vanessa mengatupkan mulutnya rapat-rapat, tapi itu terlihat menggemaskan di mata Ryan. Terutama ketika wanita itu geleng-geleng kepala dengan pipi yang merona merah.
Tangan Ryan kembali menarik kursi Vanessa. Tak tanggung-tanggung, saking cepat dan dekatnya Vanessa spontan berusaha menarik tubuhnya walau pada akhirnya tertahan oleh punggung kursi. Di depan wajah Vanessa, Ryan berkata.
"Aku tau. Yang sebenarnya terjadi adalah ... jantung kamu pasti udah nggak deg-deg lagi."
Vanessa diam.
"Itu karena ..." Ryan mengangkat satu jari telunjuknya, menusuk tepat di atas dadá Vanessa. Kurang lebih di tempat yang Ryan yakini di baliknya ada organ yang bernama jantung. "... saat ini jantung kamu rasanya udah kayak yang nggak berdetak lagi." Seringai tersungging di wajah Ryan. "Iya kan?"
Kedua pasang bola mata itu tampak saling menatap dalam detik yang terus berganti. Sementara di satu pihak ada yang sedang menunggu jawaban, di pihak lain justru sebaliknya. Merasa lelah dengan permainan kata yang terus saja ia terima.
"Apa akan selalu seperti ini?"
Mata Ryan pada akhirnya kalah. Spontan mengerjap. "Apa?"
"Kamu ...," jawab Vanessa. "Bakal terus mendesak aku sampai kamu mendapatkan jawaban." Ada pilihan lain yang berkelebat di benaknya. "Atau sampai kamu menemukan jawaban yang kamu inginkan?"
Ada sedikit keraguan di suara Vanessa. Seperti kata-kata itu mengambang di udara. Lalu, senyum merekah lebar di wajah Ryan. Kali ini bukan senyum menggoda, tapi senyum seperti dirinya tengah dipuaskan oleh sesuatu. Dan itu adalah ....
"Lihat? Ternyata kamu diam-diam memerhatikan sifat aku selama ini."
Ada desakan untuk geleng-geleng kepala, tapi entah mengapa ekspresi Ryan membuat kepala Vanessa tak bisa bergerak. Seperti terpaku pada cowok itu.
"Menurut kamu berguna nggak kalau nggak jawab pertanyaan aku?"
"Ehm ...."
"Nggak kan?"
Mungkin untuk satu hal itu Vanessa menyadari kebenarannya. Ia mengangguk pelan. Membuat mata Ryan membesar.
"Jadi, gimana?" tanya Ryan cepat. "Deg deg atau berasa kayak yang nggak bisa berdetak lagi?"
"Ehm ... itu ...."
Mata Ryan berkedip-kedip dalam detik penantiannya.
Jemari Vanessa naik. Meraih anak rambutnya yang mengikal di sisi wajahnya. Dengan bibir sedikit mengatup pada akhirnya ia berkata.
"Yah ... mungkin pilihan kedua."
"YES!!!"
Tak hanya menyerukan satu kata itu, Ryan bahkan langsung menarik tubuh Vanessa ke dalam pelukannya. Erat, kuat, dan cepat. Hingga wanita itu tak mampu mengelak dan sudah terlalu terlambat untuk beranjak kabur. Vanessa pasrah.
Tangan wanita itu menepuk punggung Ryan dua kali. "Udah udah. Aku mau lanjut ngetik. Kamu tidur aja duluan."
"Nggak." Ryan melepaskan pelukannya. "Aku mau lanjut ngerapiin data tadi aja deh. Sekalian begadang sama kamu."
"Ya ... silakan aja."
Lima menit kemudian, Ryan dan Vanessa sudah duduk di depan pekerjaannya masing-masing. Ryan yang dengan buku catatan hasil penelitiannya tampak memasukkan data ke tabel excel di laptopnya. Sedang Vanessa tampak menggambar bagan-bagan penelitiannya di buku catatannya.
"Mau minum nggak? Atau cemilan gitu?"
Ryan melihat Vanessa meletakkan kacamata anti radiasi yang bertengger di hidungnya. Wanita itu bangkit.
"Samain aja dengan kamu deh."
Vanessa mengangguk. Berlalu dan tak butuh waktu lama untuk ia kembali dengan semangkok apel yang telah diiris dan tiga buah jeruk yang telah dikupas. Dengan dua gelas air putih.
Waktu terus berlalu. Hanya ada desahan napas yang terdengar sesekali saat di antara mereka berdua ada yang merasa bingung dengan yang mereka kerjakan. Suara keyboard di laptop Ryan diselingi oleh suara pena yang bergerak di atas kertas. Sesekali mereka terdengar berbincang, namun keduanya masih berkonsentrasi dengan fokus masing-masing.
"Ehm ...."
Vanessa melirik. Merasakan ada nada yang sedikit berbeda di deheman Ryan kali itu.
"Kenapa?"
Ryan tak menjawab. Melainkan kembali mendehem. Bahkan kali ini terlihat mengusap ujung dagunya. Bergumam pelan seolah sedang bicara dengan dirinya sendiri, bukannya menjawab pertanyaan Vanessa.
"Udah aku duga sih sebenarnya dari panen pertama. Hasilnya nggak berbeda nyata."
Merasa sedikit diabaikan, Vanessa menggeser kursinya. Mendekati Ryan. Melongokkan wajah melihat ke layar laptop cowok itu. Tampak aplikasi SAS yang sedang terbuka. Lalu ia berpaling pada hasil perhitungan Ryan yang telah pindah ke Microsoft Word. Ada tabel sidik ragam yang terpampang di sana. Dengan sekali lihat, Vanessa langsung mengerti.
"Nggak berbeda nyata hasilnya?"
Seperti hal itu masih perlu ia jawab, Ryan mengangguk. Dan sedetik kemudian, ia meraung seraya meremas rambut dengan kedua tangannya.
"Tidaaak! Auto ngulang penelitian dong."
"Eh? Eh? Apa sih?"
"Lihat ini, Sa, lihat. Hasilnya nggak berbeda nyata."
"Memang. Terus?"
Sorot mata Ryan berubah horor. "Berarti aku bakal ngulang penelitian dong."
"Eh? Kenapa gitu?"
"Karena hasilnya nggak beda nyata."
Dahi Vanessa berkerut. Melihat wajah panik Ryan dan mendadak geli. Membuat ia mendadak iseng mengambil sepotong apel, menyuapkan buah segar itu pada Ryan. Dan ia dibuat semakin geli karena walau terlihat wajahnya sedang gusar, nyatanya Ryan tetap membuka mulutnya.
"Memangnya sejak kapan hasil nggak beda nyata jadi tolak ukur penelitian harus diulang?" tanya Vanessa kemudian. Sesaat ketika ia melihat wajah Ryan yang sedikit menyantai setelah mengunyah apel tersebut.
Tangan Ryan bersedekap. "Ehm ...."
"Nggak pernah ada peraturan yang ngomong hasil penelitian harus berbeda nyata kok," kata Vanessa kemudian dengan enteng. "Setau aku loh ya."
Dahi Ryan berkerut. Tampak merenungi perkataan Vanessa. Hingga beberapa saat menunggu, Vanessa kemudian menarik napas panjang.
"Emang sih kebanyakan penelitian di pertanian itu selalu mengharapkan beda nyata. Dengan kata lain perlakuan memberikan pengaruh terhadap sampel."
Ryan angguk-angguk kepala.
"Tapi, bayangkan ini. Kalau kamu punya 2 kelompok tanaman. Yang kelompok A ada 2 tanaman dan kelompok B ada 3 tanaman. Ternyata hasil panen mereka sama. Menurut kamu mana yang lebih untung?"
"Kelompok A dong," jawab Ryan cepat.
Vanessa tersenyum.
"Ah. Bener banget." Kali ini wajah Ryan langsung berubah berseri-seri dengan mata yang berbinar-binar. "Makasih ya?"
Ia mengangguk. "Yang perlu kamu ingat satu, tujuan penelitian itu untuk menjawab tanda tanya kita. Jadi, selagi metode kita udah tepat, ya mau hasil kayak gimana juga nggak jadi masalah."
"Bener bener." Ryan mengembuskan napas panjang. Seperti baru menyadari hal itu selama ini. "Aku nggak mikir sampai sejauh itu sih. Ternyata poinnya bukan mendapatkan beda nyata atau nggaknya. Melainkan untuk mendapatkan jawabannya."
Vanessa membawa tangannya. Kali ini ia mengambil posisi seperti Ryan tadi. Berpangku pada siku di atas mejanya.
"Kamu pintar banget sih, Sa," ujar Ryan. Memberikan tatapan kagum pada Vanessa. Lalu menyuarakan isi pikirannya dengan jujur. "Kadang aku ngerasa minder juga sih punya istri kayak kamu." Ryan memamerkan cengirannya. "Kadang aku ngerasa pemikiran kamu itu udah jauh banget."
"Itu cuma karena aku lahir lebih dulu. Kuliah dan tamat lebih cepat dari kamu. Dulu, waktu aku seusia kamu malah aku nggak pernah mikir buat buka depot bunga sih. Kita cuma fokus di bidang yang berbeda. Bisa mengatur waktu untuk akademik dan kerjaan ..." Vanessa menatap mata Ryan. "... itu bukan hal yang mudah."
Ryan diam. Sekarang di tengah malam dan mendapati Vanessa memuji dirinya ternyata mampu membuat keheningan terasa lebih riuh dari keramaian paling ramai. Iya, itu keriuhan di dadá Ryan.
Untuk seorang wanita yang jarang memuji dan lebih sering memasang wajah datar bila bersama Ryan, kata-kata yang diucapkan Vanessa layaknya panah tajam Kagome yang langsung melesat ke dalam jantung cowok itu.
Buuum!
Ryan yakin ia tak bisa mengungkapkan betapa berbunga-bunga perasaannya ketika menyadari Vanessa memerhatikannya seperti itu. Maka yang dilakukan cowok itu adalah memberikan kecupan singkat di bibir Vanessa dan berkata dengan penuh semangat.
"Yosh! Aku bakal tamat Agustus ini."
Vanessa mengulum senyum saat Ryan kembali ke posisinya semula. Kali ini dengan wajah yang terlihat begitu bersemangat. Terutama ketika ia berkata.
"Seumur hidup, aku nggak tau kalau belajar sama cewek cantik itu ternyata emang buat semangat banget." Jari-jari tangan Ryan bergerak kembali. "Harusnya kita nikah dari dulu ya?"
Vanessa mengerjap. Lalu berkata.
"Seharusnya."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro