Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

76. Kode Atau Harapan

Minggu pagi yang cerah, Ryan tiba di depotnya dengan disambut oleh tatapan tanda tanya Anton dan Sahrul. Keduanya terlihat saling pandang ketika bosnya itu turun dari motor. Menghampiri mereka seraya menyugar rambutnya yang tampak lembab basah. Pertanda bahwa cowok baru saja habis mandi keramas.

"Cie .... Bos keramas di hari Minggu pagi," kata Sahrul menyambut kedatangan Ryan dengan nada menggoda. Ia mengedip-ngedipkan mata pada Anton. Dan dibalas dengan kedipan nakal yang serupa.

"Masih kuat buat kerja, Bos?" tambah Anton kemudian.

Ryan menatap Anton dan Sahrul bergantian. "Apa hubungannya keramas dengan kuat nggaknya aku kerja?"

Kedua karyawan itu cekikikan. Tampak geli dengan khayalan dan imajinasi mereka masing-masing.

"Stres ya?" tanya Ryan geleng-geleng kepala.

Mengabaikan Anton dan Sahrul yang masih tertawa-tawa, Ryan melangkah meninggalkan mereka. Tapi, ternyata dua orang cowok itu justru mengekori Ryan yang menuju ke rumahnya. Berniat untuk mengganti pakaian terlebih dahulu sebelum ikut gabung bekerja.

"Bos, Bos. Nyonya Bos nggak ikut datang lagi hari ini?"

Ryan menoleh pada Anton, menggeleng. "Nggak."

"Kenapa, Bos, Nyonya Bos nggak ikut datang lagi?"

Ryan menoleh pada Sahrul, mengerjap sekali. "Dia bilang dia capek. Mau istirahat aja di rumah."

"Oooh!"

"Oooh!"

Langkah kaki Ryan berhenti, tepat selangkah sebelum mencapai teras rumahnya. Lirihan 'Oh' Anton dan Sahrul membuat ia toleh kanan toleh kiri bergantian. Dahi cowok itu sontak berkerut-kerut melihat bagaimana raut wajah kedua karyawannya yang terlihat geli seraya menutup mulut masing-masing. Menahan tawa dengan sorot mata yang terlihat menggoda dirinya.

"Cie, Bos, cie."

"Pantas mukanya berseri-seri banget pagi ini."

Tak hanya menggodanya dengan kata-kata, Anton dan Sahrul juga menusuk-nusuk perut bosnya itu. Terlihat semakin bersemangat untuk menggoda.

Ngeri dan bingung, Ryan menepis tangan mereka berdua.

"Kalian gila ya? Dari tadi ngomong dan ketawa nggak jelas gitu." Ryan mengusap tekuknya. Bergantian menatap keduanya dengan tatapan horor. "Kalian mau ninggalin kenang-kenangan sebelum mati atau gimana sih? Kok yang aneh gitu?"

"Hahahaha."

"Hahahaha."

"Nggak, Bos, nggak," kata Anton seraya mengusap matanya yang basah. "Kami mau balik ke depan, Bos. Bentar lagi pasti ada yang belanja."

Masih dengan raut wajah perpaduan rasa ngeri dan bingung, Ryan angguk-angguk kepala. Tak mengatakan apa-apa lagi saat Anton dan Sahrul berlalu meninggalkan dirinya seraya masih tertawa-tawa. Dengan sesekali melihat ke arah dirinya. Mengabaikan sifat aneh kedua karyawannya, Ryan memilih untuk langsung masuk ke rumah.

Berganti pakaian dan langsung kerja, pikirnya.

Tapi, mendadak saja rencana itu buyar dari pikirannya saat ia melangkah masuk. Bisa dikatakan bahwa tubuhnya langsung merespon tempat ia berada saat itu. Langsung tertuju pada satu benda.

Hal yang pertama kali Ryan lihat ketika dirinya masuk ke dalam kamar adalah menatap pada tempat tidur. Itu seperti sesuatu yang terjadi begitu saja. Otomatis melihat dan ingatannya terbayang pada kejadian seminggu yang lalu.

Ugh!

Ryan langsung saja membanting tubuhnya di kasur empuk itu. Memeluk guling dan alih-alih berganti pakaian kerja, ia justru bergumam rendah.

"Ah, harusnya tadi aku ajak aja Dinda ke sini juga. Hiks."

Mengabaikan rencana dirinya semula yang ingin mengecek stek adenium yang ia perbarui Senin kemaren, Ryan justru mengeluarkan ponselnya. Dengan begitu percaya dirinya, cowok itu mengambil foto dirinya sendiri yang tengah berbaring di atas kasur dan mengirimkannya pada Vanessa. Tak lupa dengan pesan yang menyertainya.

[ Dinda Vanessayang ]

[ Sa, lihat deh sekarang aku ada di mana? ]

Semenit kemudian, Ryan mengulum senyum. Tepat ketika ia melihat bahwa pesannya sudah dibaca dan Vanessa tengah mengetik balasan.

[ Dinda Vanessayang ]

[ Di depot. ]

"Ih. Dasar ini cewek wajah permukaan air laut," gerutu Ryan membaca pesan balasan Vanessa. Tapi, sedetik kemudian ia malah mengulum senyum.

[ Dinda Vanessayang ]

[ Cie .... ]

[ Malu ya malu? Hihihihi ]

[ Tenang aja. Seprai dan semuanya udah langsung aku laundry kok Senin kemaren. ]

Ryan terkikik. Kali ini di benaknya membayang wajah memerah Vanessa yang tak mampu berkata apa-apa lagi.

Ciri khas dia banget kalau mentok abis aku goda.

[ Dinda Vanessayang ]

[ Kamu balik jam berapa? ]

[ Biar aku keburu mindahin barang-barang kamu lagi ke kamar kamu. ]

Wajah Ryan seketika berubah. "Dasar. Digangguin dikit langsung gitu ancamannya."

[ Dinda Vanessayang ]

[ Malam ntar kamu mau makan apa, Sa? ]

Sengaja mengubah topik pembicaraan agar Vanessa tidak benar-benar memindahkan kembali barangnya ke kamarnya dulu, Ryan justru mendapati balasan pesan Vanessa membuat ia tersenyum sumringah.

[ Dinda Vanessayang ]

[ Apa menurut kamu kita nggak sebaiknya belanja ntar malam? ]

[ Barang-barang udah pada abis sih. ]

[ Kalau mau, balik cepetan. ]

"Ah, Dinda gitu mah. Mau ngajak jalan aja kodenya barang-barang udah pada abis," gumam Ryan, lantas mengulum senyum malu-malu. "Beruntung banget coba kamu, Sa. Dapat suami super peka seperti ini."

[ Dinda Vanessayang ]

[ Kalau mau ngajak aku jalan, ngomong aja langsung, Sa. ]

[ Pake alasan barang abis lagi. ]

[ Hihihihi. Untung aku cowok peka. ]

[ Jadi tau deh kode-kode kamu. ]

Sementara Ryan guling-guling di kasur beberapa kali sebelum pada akhirnya bangkit dan menahan cekikikan seraya membuka lemari pakaian, di tempat lain ada seorang wanita yang melongo melihat pada barisan kata-kata yang masuk ke ponselnya. Vanessa mengerjapkan matanya sekali.

"Eh? Yang ngasih kode buat ngajak jalan siapa?" tanya wanita itu datar. "Sebenarnya ini aku yang ngasih kode atau dia yang ngarep sih?"

*

Ryan memerhatikan Vanessa yang berjalan di sebelahnya. Wanita itu terlihat membaca catatan di ponselnya. Lalu, berkata.

"Kita ke rak bumbu dulu, Yan."

"Siap!"

Ryan mendorong troli di tangannya. Mengikuti langkah kaki Vanessa yang menuntun dirinya ke bagian rak bumbu. Cowok itu hanya diam mengamati ketika Vanessa mengambil beberapa bumbu yang sesuai dengan catatannya.

"Ke bagian saos."

"Siap!"

Ryan kembali mendorong troli sementara Vanessa langsung beranjak dan mengambil saos sambal, saos tomat, kecap, saos tiram, dan saos terayaki. Memasukkannya ke dalam troli. Dan tak lupa dua botol sambal instan.

Ketika mereka berpindah ke bagian makanan beku, mendadak saja Ryan tersadar sesuatu.

"Nggak usah beli kornet lagi, Sa. Ganti yang lain."

Vanessa melirik. Jelas-jelas di tangannya saat itu tengah memegang enam kaleng kornet.

Ryan melepaskan trolinya. Meraih keenam kaleng kornet tersebut dan meletakkannya ke tempat semula.

"Ada makanan yang lain. Sosis, sarden, baso, rolade, dan nugget, yang mana itu lebih aman untuk keselamatan kamu."

Vanessa berdecak sekali. "Keselamatan apaan sih," gerutu Vanessa seraya kembali mengambil satu persatu kornet tadi. Tapi, baru saja ia mengambil dua kaleng, eh ... Ryan sudah merebut kaleng tersebut dari tangannya. Meletakkannya kembali ke tempatnya.

"Kamu ingat nggak sih? Dua kali jari kamu luka kena kaleng kornet. Nggak kapok apa?"

Vanessa diam. Wajahnya menengadah melihat Ryan yang terlihat sedikit mendelik pada dirinya. Tak tanggung-tanggung, cowok itu bahkan berkacak pinggang pada dirinya. Pelan, Vanessa lantas mengembuskan napas panjang.

"Aku pikir solusinya biar aku nggak luka lagi ya kamu yang harus bukain kalengnya, Yan. Bukan justru nggak beli kornetnya."

"Eh?"

Vanessa mengangkat kembali ponselnya. Mengabaikan Ryan, ia beranjak sedikit. Mengulurkan tangan dan mengambil sosis.

"Sa ...."

Acuh tak acuh, tanpa menoleh Vanessa bertanya. "Apa?"

Tapi, bukannya jawaban yang didapat oleh wanita itu, melainkan coletan di pipinya. Refleks Vanessa menoleh. Memberikan raut bingung pada cowok itu.

"Apa?"

Ryan terlihat tersenyum malu. "Kamu ini kok ngasih kode terus sih," katanya tersipu. "Kan bisa ngomong langsung kalau minta dibukain."

"Eh?" Vanessa berubah horor seketika. "Yang ngasih kode siapa sih?"

Jari Ryan kembali mencolet pipi Vanessa. "Ih! Kalau malu gitu jadi buat gemes deh."

Mata Vanessa melotot.

"Boleh cium nggak?"

Vanessa syok. "Nggak."

"Ih, pelit."

"Kamu ngeliat nggak ini di mana?" tanya wanita itu mendelik. Di dalam benaknya, ia benar-benar tak habis pikir.

Kok ya dia bisa-bisanya minta cium di tempat umum kayak gini? Hellow! Kita bukan lagi di luar negeri kali.

"Oh ...." Ryan kedip-kedip mata. "Berarti kalau di rumah boleh dong?"

"Analisis kamu itu memang super sekali."

Ryan tertawa melihat geraman Vanessa. "Hahahaha. Terus?"

"Huhft. Tolong kondisikan isi otak kamu ya, Yan? Jangan meśum banget isinya." Vanessa mengembuskan napas panjang. "Macam-macam? Aku pentung sama bawang bomboy!" ancam wanita itu seraya mengacungkan bawang bombay ke depan wajah Ryan.

"Ih." Ryan merebut bawang bombay dan meletakkannya ke dalam troli. "Emang kamu nggak ada kepikiran yang kepengen cium aku gitu?"

Mata Vanessa membesar. "Sorry ngebuat kamu kecewa, tapi jawabannya adalah nggak."

"Serius?" tanya Ryan mengerutkan dahi dengan sorot tak percaya. "Bohong ah."

"Aku nggak bohong."

Ryan tak percaya dengan perkataan Vanessa. Geleng-geleng kepala, ia berkata.

"Kamu bohong. Kamu cuma gengsi doang buat ngomong. Iya kan?"

"Nggak, Yan. Aku nggak gengsi. Lagipula buat apa gengsi?"

"Serius kamu nggak gengsi? Coba deh aku tanyain? Kalau mendadak kamu pengen cium aku, emangnya kamu bakal ngomong jujur ke aku?"

"Ehm ...." Mengangkat dagunya tinggi-tinggi, Vanessa mengangguk sedikit. "Iya. Aku bakal ngomong."

"Kayak yang aku percaya aja," kata Ryan mendengus tak percaya. Matanya melirik dengan sorot sedikit mencemooh. "Emangnya kamu bakal ngomong kayak gimana coba?"

"Ehm ...." Mata Vanessa tampak menerawang sebentar. Lalu menatap cowok itu. "Ryan, cium aku."

Tak butuh waktu lama, tepat setelah Vanessa selesai mengatakan itu, mendadak saja ia merasakan tekuknya ditarik oleh Ryan. Satu ciuman sekejapan mata mampir lembut di atas bibirnya.

Vanessa melotot. Seketika menutup bibirnya dengan wajah memerah. Terlihat begitu syok.

"Kamu nggak ngeliat kita ini ada di mana?"

Ryan mengulum senyum. "Kan kamu tadi minta dicium, ya sebagai suami harus menuruti permintaan istri dong."

"Kamu ...." Vanessa menggeram. "Kamu ini emang pinter banget memanfaatkan kesempatan ya?" Ia menggeleng. "Bukan. Tapi, kamu itu pinter banget menciptakan kesempatan."

Ryan tertawa. Lalu berusaha untuk menutup bibir istrinya itu yang terlihat akan kembali misuh-misuh dengan satu jari tangannya. Namun, ditepis oleh Vanessa dengan kesal.

"Ssst. Jangan ribut. Kamu nggak ngeliat orang-orang pada ngeliatin kita?"

Vanessa meneguk ludah. "Ya Tuhan."

Yang dikatakan oleh Ryan benar. Terlihat beberapa orang tampak melirik pada mereka. Membuat dirinya merasa benar-benar malu. Tapi, berbeda dengan dirinya, Ryan justru seolah tak memiliki malu. Ketika ada tiga orang ibu-ibu dengan trolinya masing-masing melintasi mereka –yang jelas sekali melirik dan membicarakan mereka berdua, Ryan berkata dengan santainya.

"Harap maklum, Bu. Masih pengantin baru."

Vanessa menarik tangan Ryan. "Ryan!"

"Hahahahaha."

Ibu-ibu tersebut sontak tertawa sementara Ryan berusaha menghindari cubitan Vanessa. Namun, tak ada satupun cubitannya yang berhasil. Frustrasi, Vanessa memilih meninggalkan Ryan dan trolinya. Pergi ke area yang lain.

"Waduh. Malah ditinggalin tuh sama istrinya."

Ryan menggaruk kepalanya. "Saya permisi, Bu. Ntar saya kehilangan istri saya yang cantik itu. Hihihih," kata Ryan cepat dengan geli.

Ia pun meraih troli dan langsung mengejar Vanessa. Melihat dari belakang, menilai gaya berjalan Vanessa, Ryan bisa menebak.

"Ih, gitu aja ngambek."

Tak butuh waktu lama, Ryan pun berhasil menyusul Vanessa. Dan tanpa merasa berdosa, cowok itu justru terkekeh di telinga Vanessa. Entah mengapa ia masih belum puas menggoda istrinya itu.

"Sa, lain kali kayak gini aja ya?"

Vanessa diam.

"Kalau mau sesuatu nggak perlu pake kode. Ya walau aku itu peka, tapi kan lebih enak kalau kamu ngomong langsung," katanya dengan geli. "Kayak yang tadi. Kamu minta cium, langsung deh aku cium."

Kaki Vanessa berhenti melangkah. Dengan kesal ia bertanya.

"Itu aku yang ngasih kode atau kamu yang ngarep sih?"

Dan Ryan tertawa.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro