75. Baru Disadari
Nathan memarkirkan mobilnya dengan mulus di parkiran gedung Jurusan. Dengan cekatan turun dan langsung meraih tas laptop Vanessa setelah terlebih dahulu membuka pintu untuk wanita itu. Mendapati perlakuan tersebut, Vanessa hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Sedikit melirik ke sekitar mereka dengan wajah yang terlihat tak nyaman.
"Ehm ..., saya bisa ke atas sendiri, Pak. Terima kasih sudah mengantar sampai ke Jurusan."
Nathan tersenyum. "Nggak apa-apa, Bu. Saya bawakan ke atas aja sekalian. Tanggung kan? Masa cuma sampai di depan gedung saja."
Vanessa memilih untuk tidak berdebat. Terutama karena menyadari hal tersebut akan mengundang perhatian lebih pada beberapa orang yang tampak hilir mudik di sekitaran pelataran gedung. Akhirnya, ia hanya mengangguk sekali.
Sepanjang perjalanan, Vanessa menebalkan muka. Berusaha mengabaikan tatapan menggoda beberapa orang dosen dan karyawan yang kebetulan sekali berpapasan dengan mereka berdua.
Nathan meletakkan tas laptop Vanessa di atas meja kerja wanita itu. Dan sebelum Nathan sempat berucap, Vanessa langsung berkata tanpa merasa perlu menyuruh pria itu untuk duduk.
"Terima kasih, Pak."
Nathan mengangguk menanggapi ucapan terima kasih yang penuh kesan sopan itu. "Nggak apa-apa. Lain kali kalau mau bareng ke Gedung Kuliah, ibu bisa ngubungi saya saja. Nggak perlu sungkan."
"Ah ...." Vanessa melirih pelan. "Untuk tawarannya, saya ucapkan terima kasih juga. Tapi, sepertinya saya nggak bisa menerimanya."
Wajah Nathan berubah. Terlihat salah tingkah. Tapi, sebelum ia sempat mengucapkan satu kata pun, Vanessa kembali bicara.
"Saya yakin Bapak nggak lupa kan dengan perkataan saya tempo hari? Tentang keberadaan seseorang yang tengah mendekati saya?"
Nah! Kali ini wajah Nathan bukan lagi terlihat salah tingkah, tapi terlihat benar-benar resah.
"Saya bukan bermaksud untuk masih mencoba mendekati Ibu," kata Nathan kemudian. Menarik napas sejenak, mencoba menenangkan diri. "Yah, tadi kebetulan saja kita bertemu. Daripada Ibu jalan ke Jurusan kan?"
"Oh, begitu. Ternyata saya salah menduga." Vanessa tersenyum. Matanya tampak berkedip dua kali sebelum lanjut berkata. "Kalau begitu saya minta maaf, Pak, karena saya sudah over percaya diri. Berarti kalau begitu bisa saya simpulkan lain kali Bapak nggak akan mengajak saya untuk bareng lagi kan? Mengingat yang tadi itu ... cuma kebetulan?"
Nathan meneguk ludah. Terlihat sebulir keringat timbul di dahi pria itu.
Jelas, Nathan mengetahui maksud perkataan Vanessa. Siapa pun adanya, tentu paham. Di balik kata-kata sopan Vanessa, ada sindiran yang telak. Sukses membuat Nathan tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Pria yang sedang mendekati saya itu, Pak, walau orangnya nggak cemburuan, tapi mudah ngambek."
Sementara Nathan masih menenangkan diri karena sindiran Vanessa, ia justru dibuat melongo karena perkataan Vanessa yang satu itu. "Eh?"
"Memang sih dia mudah dibujuk, tapi tetap saja. Saya nggak mau merusak hubungan yang baru ingin kami mulai. Terutama ... saya yang nggak mau menjadi orang yang merusaknya."
Nathan terdiam. Diam-diam bisa menangkap bahwa tak ada sorot main-main ketika Vanessa mengatakan itu. Vanessa terlihat serius.
"Saya sudah menerima dia, Pak," lanjut Vanessa tersenyum. "Dan hubungan kami lebih dari serius. Saya harap Bapak nggak lagi bersikap seperti ini. Untuk terakhir kalinya, saya mohon dengan kerendahan hati ..." Vanessa menarik napas sejenak sebelum menuntaskan perkataannya. "... lebih baik kita nggak terlalu dekat kalau nggak ada urusan pekerjaan."
Terlihat Nathan mengembuskan napas panjang. "Jadi ..., kalian benar-benar serius?" tanyanya kemudian.
Pada akhirnya mungkin Nathan menyadari bahwa tak ada gunanya untuk berpura-pura. Kebetulan bertemu di Gedung Kuliah? Nathan tau Vanessa bukanlah wanita bodoh yang bisa ditipu dengan alasan remeh seperti itu. Tapi, Nathan menganggap itu usaha. Karena mau bagaimanapun juga, semula ia pikir bahwa perkataan Vanessa hanya kata-kata kosong belaka. Tapi, setelah Vanessa kembali mengatakan hal yang serupa sepertinya Nathan mulai menduga kemungkinan Vanessa yang memang telah memiliki pria yang baru.
Anggukan Vanessa adalah jawaban.
"Saya mengenal orang tuanya dengan baik. Begitupun dengan dia yang sudah mengenal orang tua saya. Bahkan bisa dikatakan lebih dari separuh keluarga besar kami sudah saling mengenal."
Mereka sudah dalam tahap mau lamaran ya?
"Karena itu, Pak, saya nggak mau kalau nanti cowok saya mikir saya yang nggak-nggak. Bapak tentu tau kan? Saya menerima ajakan Bapak tadi karena menghargai Bapak sebagai rekan kerja saya? Karena saya nggak mau mempermalukan Bapak di hadapan mahasiswa?"
"Huh." Nathan meringis, setetes keringat melintasi sisi wajahnya. "Saya nggak menyangka kalau Ibu bisa mengatakan hal seperti ini. Bukannya ini sedikit berlebihan?"
"Seandainya Bapak nggak memaksa, saya nggak akan seperti ini." Vanessa tertawa kecil. "Bapak adalah rekan kerja yang menyenangkan, maka saya harap hubungan kita tetap bisa baik seperti ini."
Bahkan helaan napas Nathan terdengar begitu jelas sekarang. Setitik rasa menyerah timbul di benaknya.
Aku nggak ngira kalau ini cewek keras dan bisa menyindir orang setajam ini.
"Kalau boleh saya tau, dia siapa ya?"
Sejenak, Vanessa diam. Memikirkan jawaban yang paling aman dan tepat untuk pertanyaan itu.
"Ehm .... Mungkin sekitar empat bulan lagi Bapak akan tau orangnya."
"Empat bulan lagi?" tanya Nathan. Dahinya tampak berkerut-kerut. "Dengan undangan?"
Vanessa tertawa. "Mungkin iya."
Sebagai seorang pria dewasa, pada titik itu ia pun menyadari bahwa dirinya tidak memiliki peluang. Dan ia pun tidak ingin memperpanjang percakapan yang membuat harga diri seorang pria miliknya semakin runtuh.
"Baiklah." Nathan terlihat mengangguk sekali. "Saya rasa juga sepertinya percuma saya meneruskan mendekati Ibu kalau ternyata Ibu sudah ada calon sendiri."
Tawa Vanessa berubah menjadi senyum simpul.
"Dia tentu pria yang baik kan?"
"Ehm ... walau sifatnya lebih banyak yang menyebalkan, yah!" Vanessa mengangguk. "Seenggaknya dia baik dan bertanggungjawab. Oh iya. Yang pasti dia adalah cowok yang sabar. Sepertinya sangat cocok untuk saya yang keras kepala, Pak."
"Kalau begitu sepertinya saya memang harus mundur. Saya pikir semula Ibu hanya bercanda saat berkata ada seseorang yang mendekati Ibu. Dan kalau memang serius, saya akan mendoakan yang terbaik."
"Terima kasih, Pak."
"Dan satu hal," ujar Nathan seraya mengangkat satu jari telunjuknya. "Kalau hubungan yang kali ini tidak berhasil, mungkin Ibu bisa mempertimbangkan saya."
"Eh?"
Jelas saja perkataan Nathan membuat Vanessa seketika menjadi terbengong. Tapi, Nathan segera berkata.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu."
Mata Vanessa mengerjap. Tidak sempat merespon perkataan Nathan dan hanya bisa mengangguk-angguk kaku.
"Oh, iya, Pak."
Untuk beberapa saat, Vanessa hanya terbengong. Masih berdiri di sisi mejanya bahkan setelah beberapa menit Nathan keluar dari ruangannya. Adalah getar ponsel di saku celana dasarnya yang membuat Vanessa tersadar dari lamunan kosongnya itu.
[ Ryancur ]
[ Dinda Vanessayang .... ]
[ Siang ini mau aku antarkan makan apa? ]
[ Kali ini kalau kamu mau makan hati aku pun aku rela. ]
[ Aku bakal belah dadá aku sendiri. ]
[ Terus aku masak sendiri. ]
[ Terus aku persembahkan deh buat kamu. ]
Vanessa geleng-geleng kepala.
Baru aja selesai ngadepin Nathan, eh ini malah ada juga pesan dari orang nggak waras.
[ Ryancur ]
[ Nggak usah deh. ]
[ Aku rencana mau balik bentar lagi. ]
[ Mau istirahat, capek ngeliatin kamu di dua kelas yang aku ajar seharian ini. ]
Dan balasan pesan itu adalah emoticon tawa oleh Ryan. Yang mana pesan itu tidak dibalas lagi oleh Vanessa. Meletakkan ponsel di atas mejanya, Vanessa memilih duduk.
Wanita itu meraih kalender duduk dan melihat tanggal di sana. Membolak-balikkan dan bergumam rendah.
"Semoga aja dia nggak kepikiran untuk ngebuat masalah dengan Pak Nathan. Gimana pun juga, Pak Nathan itu penguji skripsi dia. Aku nggak mau dia dapat masalah cuma gara-gara aku."
Mata Vanessa terfokus pada deretan tanggal di bulan Agustus.
"Kalau bisa bertahan untuk empat bulan ke depan dengan jalan aman, kenapa harus menyulut masalah kan? Dia tinggal bentar lagi bakal tamat, mudah-mudahan saja nggak ada masalah apa pun."
Lalu, Vanessa mengembuskan napas panjang. Tersenyum kecil.
"Tapi, untuk apa aku khawatir? Dia kan Ryan. Dia pasti tau mana yang harus dihadapi dengan kesabaran atau sebaliknya."
*
Kala itu malam sudah hampir menunjukkan jam sebelas malam. Lewat enam menit tepatnya. Vanessa dan Ryan sudah berbaring di tempat tidur selama hampir dua puluh menit. Tapi, nyatanya setelah selama itu mereka berdua belum ada yang tidur. Vanessa yang matanya telah menutup dari tadi mendapati bahwa percuma saja ia berusaha untuk tidur. Ia tidak akan bisa tidur dengan perasaan tegang seperti itu.
Ehm ... bukan tegang dengan artian intim, tapi ....
"Mau sampe kapan sih kamu mandangin aku kayak gini?"
Vanessa menyerah!
Pada akhirnya ia membuka mata dan langsung menyentak Ryan yang bertahan pada satu siku dengan posisi tengah menatap dirinya. Terlihat ada sorot kesal Vanessa di kedua bola matanya.
"Kamu ngebuat aku nggak bisa tidur!"
Mendapat bentakan seperti itu, bukannya membuat Ryan menjadi kesal atau marah, eh ... malah sebaliknya. Cowok itu terlihat mengulum senyum. Beranjak dan justru mendekati Vanessa.
"Dinda ...."
Vanessa yang masih kesal karena tidak berhasil tidur mengerutkan dahinya. "Apa sih?"
"Kamu tau nggak aku cinta kamu?" tanya Ryan manja.
"Kamu udah ngomong itu berkali-kali," jawab Vanessa ketus. Tatapan mata wanita itu terlihat sedikit berubah. Mewaspadai pergerakan Ryan.
"Jadi, kamu udah tau dong?"
"Iya, aku tau. Emangnya kenapa?"
Mengabaikan sikap antisipasi Vanessa, Ryan justru semakin mendekat. "Kali ini kayaknya ada yang beda deh."
"Beda? Apanya yang beda?"
"Kayaknya aku makin cinta sama kamu," pungkas Ryan dengan tersenyum lebar penuh rasa percaya diri. "Bener-bener makin cinta."
"Eh?" Wajah Vanessa seketika berubah horor. "Kamu gila?"
"Tergila-gila sama kamu."
Vanessa merasakan bulu kuduknya merinding. Kemungkinan menakutkan langsung muncul di benaknya. "Kamu macam-macam awas aja. Besok aku masih mau kerja. Dan kamu tau kan? Sekarang aku lagi dapet. Aku menstruasi."
"Hahahaha." Ancaman dan penjelasan Vanessa justru membuat Ryan tertawa. "Aku nggak kepikiran buat macam-macam kok. Tenang aja. Tapi ...."
"Tuh kan! Ada tapinya."
"Hahahaha. Aku mau peluk kamu dong," kata Ryan sambil mengulurkan satu tangannya. "Cuma peluk doang loh. Kan aku nggak mungkin ngapa-ngapain kamu sekarang coba."
Mata Vanessa menyipit. Tampak berusaha menangkap apa ada maksud tersembunyi di perkataan Ryan atau tidak.
Kepala Ryan mengangguk-angguk berusaha meyakinkan. Lalu, ketika dilihatnya wajah keras Vanessa tampak melunak, maka Ryan bergerak. Meraih tubuh wanita itu dan memeluknya.
Ryan refleks memejamkan matanya tepat ketika Vanessa masuk ke dalam pelukannya. Seperti ada rasa damai yang langsung menyeruak di dadanya. Membuat ia merasa begitu nyaman.
"Duh! Emang jauh lebih enak meluk kamu daripada meluk guling, Sa."
Vanessa mengatupkan mulutnya dan mencubit perut Ryan. Cowok itu meringis geli karenanya.
"Istri aku cantik banget, tapi ya itu. Galaknya nggak tanggung-tanggung. Aku muji malah dicubit."
Vanessa menggeram. "Tau kan aku galak. Jadi gimana? Nyesal nikahin aku?"
Ryan menggeleng di atas kepala Vanessa. "Nggak sama sekali. Justru sebaliknya. Aku takut malah kamu yang nyesel nikah dengan aku."
"Eh?"
Vanessa mengerjapkan matanya. Sekarang, dengan posisi berpelukan seperti itu, tak banyak yang bisa dilihat olehnya. Hanya dadá Ryan yang menjadi pemandangan matanya. Cukup menjadi bukti sedekat apa mereka saat itu.
"Nyesel nggak dari dulu maksudnya. Hahahaha."
"Dasar," rutuk Vanessa. Tapi, mau tak mau senyum terbit di bibirnya.
Tangan Ryan bergerak. Memberikan usapan lembut di sepanjang punggung Vanessa. Membelai rambutnya yang panjang dan merasakan kehalusannya.
"Minggu depan pengamatan aku udah selesai, Sa. Abis itu kayaknya aku mau fokus nulis skripsi deh. Mau buat hasil dan pembahasan."
Di pelukan Ryan, Vanessa mengembuskan napasnya hingga membelai dadá Ryan. Wanita itu tak tau, tapi hal remeh seperti itu cukup membuat darah Ryan berdesir.
"Butuh bantuan buat analisis data?"
"Meremehkan aku," lirih Ryan. "Mata Kuliah Rancangan Percobaan aku A dong. Aku bahkan jadi asdos untuk praktikumnya."
Vanessa terkekeh. "Kirain kan."
"Terus, setelah itu aku pasti sibuk nguber-nguber dosen. Dari yang nentukan jadwal sampe perkara minta tandatangan."
"Yah namanya juga perjuangan buat dapat gelar. Semua orang pernah mengalami itu."
Ryan mengembuskan napas panjang hingga membuat beberapa helai rambut Vanessa bergerak-gerak lembut karenanya. Kali ini Ryan diam. Tak mengatakan apa pun lagi sehingga membuat Vanessa penasaran. Ia mengangkat sedikit wajahnya. Melihat pada Ryan yang tampak menerawang.
"Kenapa? Kamu mikirin apa?"
"Ehm ... nggak mikirin apa-apa sih. Cuma mikirin ntar sidang skripsi aku bakal lancar nggak ya?"
"Oh ...." Vanessa manggut-manggut. Jelas paham keresahan yang tengah dirasakan oleh Ryan. "Tenang aja. Kamu kan pinter dan penelitian itu memang kamu yang mengerjakan. Kamu pasti bisa melewatinya kok." Tangan Vanessa bergerak seperti memiliki pemikirannya sendiri. Mengusap dadá Ryan.
"Kamu nggak khawatir aku bakal gagal sidang?"
Kepala wanita itu menggeleng pelan. "Asal kamu nggak buat masalah ... kayaknya nggak ada yang perlu dikhawatirkan."
Ryan tertegun.
Lantas mendadak di benaknya terngiang sesuatu.
"Tapi, untuk apa aku khawatir? Dia kan Ryan. Dia pasti tau mana yang harus dihadapi dengan kesabaran atau sebaliknya."
Satu senyum terbit di wajah cowok itu. Mendorong dirinya untuk mempererat pelukannya pada Vanessa hingga wanita itu sedikit merasa sesak karenanya.
"Kamu tau nggak, Sa?"
Berusaha untuk tetap bisa menarik napas, Vanessa balas bertanya. "Apa?"
"Aku pikir-pikir sebenarnya kamu itu udah lama loh jatuh cinta ke aku."
"Eh?"
"Entah kenapa aku ngerasa kalau dari dulu kamu itu udah cinta ke aku. Kamu tau? Sebenarnya aku itu nggak sesabar itu jadi cowok. Kalau aku tau peluang aku kecil, ya aku lebih milih mundur. Kamu ngerasa kan kalau terkadang aku itu mudah ngambek? Nah, itu karena dasarnya ya aku tuh nggak penyabar."
"Maksud kamu?"
Ryan bergerak. Mendorong tubuh Vanessa untuk berbaring. Kedua tangan Ryan bergerak dan mengambil posisinya masing-masing. Mengurung Vanessa di bawah tubuhnya, Ryan menjawab.
"Aku bukannya penyabar, tapi aku tau apa yang harus aku perjuangkan. Termasuk di dalamnya memperjuangkan wanita yang aku cinta." Satu jari Ryan membelai pipi Vanessa. "Wanita yang juga cinta aku."
Mata Vanessa membesar. "Kamu beneran untuk kelewatan gilanya."
"Kamu nggak ngomong cinta ke aku, nggak jadi masalah, Sa. Tindakan kamu udah lebih dari cukup."
"Maksud kamu apa sih?"
Untuk beberapa saat, Ryan belum menjawab pertanyaan Vanessa. Alih-alih menjawab, Ryan justru terbayangkan hal lain. Itu adalah ketika ia yang merasa cemburu dan akhirnya nekat menyusul Vanessa dan Nathan ke Gedung Jurusan. Seperti stalker, ia dengan begitu berhati-hati mencuri dengar perbincangan Vanessa dan Nathan di ruangan wanita itu. Tapi, alih-alih merasakan kecemburuan yang membabi buta, pada akhirnya Ryan justru merasa tak mampu berkata apa-apa.
"Tadi ... sewaktu kamu dan Pak Nathan pergi bareng."
Vanessa menggigit bibir bawahnya. "A-aku sama sekali nggak maksud bu---"
Bibir Ryan jatuh. Memutus ucapan Vanessa dalam kecupan singkat.
"Aku tau." Bibir yang baru saja mengecup bibir Vanessa itu tampak merekah dalam senyum. "Aku tau kamu milih pergi dengan dia karena memikirkan aku. Kamu nggak mau aku dapat masalah sama dia kan? Karena dia dosen penguji aku?"
"Itu ... aku ...."
"Kalau aku orang bodoh, Sa, aku jelas akan cemburu dan marah karena kamu milih pergi sama dia. Tapi, sayangnya aku ini orang pintar."
Vanessa melongo. "Kamu sebenarnya mau muji aku atau muji diri kamu sendiri sih?"
Mata Ryan terlihat geli, namun tampak berbinar-binar.
"Semula aku pikir kamu milih pergi dengan Pak Nathan karena kamu mau pergi bareng dengan dia. Karena kamu nggak mau pergi dengan aku."
"Nggak ... itu ...."
Ryan mengangguk. "Maafin aku karena sempat mikir pendek. Ternyata kamu justru berpikir panjang ke depannya. Memikirkan tentang skripsi aku. Tentang bulan-bulan terakhir aku di kampus." Embusan napas panjang Ryan membelai wajah Vanessa. "Terutama kalau aku terlihat begitu dekat dengan kamu, bisa-bisa aku kena sidak tim kode etik Jurusan. Dianggap mendekati dosen." Ia menggeleng sekali. "Yang ada malah nama baik kamu ntar ikut keseret." Sekali lagi Ryan berkata. "Aku minta maaf."
Kali ini, Vanessa yang benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa diam mendengarkan setiap hal yang dikatakan oleh Ryan.
"Aku pikir-pikir, beruntung banget aku dapat istri kayak kamu. Mungkin karena kamu udah S2 ya? Makanya pikiran kamu udah sampe sejauh itu mikir ke depan?"
Kepala Vanessa menggeleng. "Nggak masalah dengan pendidikan sih, tapi ya ... yang namanya orang dewasa kan harus mikir jauh ke depan. Kita kan bukan anak PAUD yang mikirnya pendek." Mata Vanessa membalas tatapan Ryan. "Menurut kamu, kalau aku lebih milih pergi dengan kamu dan menolak Pak Nathan, apa yang bakal terjadi?"
"Ugh! Aku nggak berharap dia kekanak-kanakan sih, tapi ... apa menurut kamu aku bakal dibantai di sidang ntar?"
"Hahahaha. Kamu mau nyoba?"
Wajah Ryan berubah. "Walaupun aku sepintar Habibie, kalau dosen udah sakit hati terus nggak mau ACC skripsi aku ..., aku bisa apa coba?" tanya Ryan ngeri. "Nggak bakal tamat dong aku ntar."
"Hahahaha. Makanya, jaga sikap kamu. Sebentar lagi kamu tamat. Tahan dikit aja untuk empat bulan ini."
Ryan mengangguk. Memastikan bahwa ia tidak akan berbuat masalah apa pun yang bisa menghambat wisudanya nanti. Terutama ketika Ryan sadar. Semakin cepat ia tamat maka semakin cepat pula ia bisa memberitau dunia bahwa Vanessa adalah istrinya. Lalu, Ryan merasakan desakan untuk menyuarakan rasa penasarannya seharian ini.
"Ngomong-ngomong, Sa, kamu mau sampai kapan nggak mau ngaku kalau kamu juga cinta aku?"
Pertanyaan itu sama sekali tidak terduga oleh Vanessa. Maka bukan hal yang aneh bila wanita itu langsung memalingkan wajahnya secepat kilat.
"Kayaknya ini udah kelewat malam deh. Stres kamu main menjadi-jadi. Lihat kan? Kepedean kamu udah kelewat batas. Ngomong aku cinta kamu."
Ryan melihat bibir Vanessa yang cemberut. Tampak menggemaskan.
"Aku udah sadar kok, Sa. Alasan lain kenapa kamu nggak mau mem-publish-kan pernikahan kita."
"Ehm ...."
"Kamu khawatir kalau sidang aku ntar bermasalah sama Pak Nathan ya?"
Vanessa mendelik. "Kepedean. Aku cuma mikir nama baik aku aja kok."
"Kalau emang kamu mikir nama baik, kamu harusnya nggak ngotot ngebela aku di depan seminar Kak Surya dong."
"Aku cuma meluruskan pemahaman yang keliru."
"Kamu juga ngebantu aku nyusun catatan dan nyiapkan bahan pas aku mau bimbingan."
"Itu karena barang-barang kamu berantakan di luar."
"Mana pake acara ngasih aku selimut lagi."
"Soalnya kalau kamu sakit, yang repot ya pasti aku."
"Apa kamu sadar kalau aku tau makan malam waktu itu kamu yang masak?"
Mata Vanessa membesar.
"Bahkan ketika kita sering ribut, kamu justru ngomong hal yang baik di depan keluarga aku."
Bibir Vanessa membuka, tapi tak ada suara.
"Masih nggak mau ngaku?"
Ryan mengembuskan napas panjang. Sudut bibirnya terasa geli melihat wajah Vanessa yang tampak memerah. Berusaha untuk tetap bersikeras menampik semua perkataannya.
"Ckckckck. Aku nggak nyangka."
"Nggak nyangka apa?"
Jari telunjuk Ryan mencolet ujung hidung Vanessa. "Ternyata kamu itu keras kepala banget jadi cewek. Udah jelas-jelas cinta sama aku, tapi tetap aja nggak mau ngaku." Ryan terlihat geregetan dengan Vanessa. "Padahal kalau aku mau sadar, mau sekeras apa pun sikap kamu ke aku, tetap aja. Kamu selalu memperhatikan aku. Lebih dari itu, menjaga nama aku di depan keluarga aku. Untuk hal senyata ini, kamu belum mau ngaku juga?"
Mata Vanessa semakin membesar. Benar-benar membesar hingga Ryan pikir bola mata wanita itu akan meloncat keluar.
"Dasar Ryan gila!" tukas Vanessa.
Ryan mengulum senyum. Menyadari bahwa itu adalah kebiasaan Vanessa ketika dirinya telah terpojok.
"Kan gilanya karena kamu."
Vanessa mengangkat kedua tangannya. Mendorong dadá Ryan hingga cowok itu terbanting ke samping. Terlepas dari kungkungan Ryan, Vanessa berbaring menyamping. Membelakangi Ryan.
"Udah sana. Aku mau tidur."
Lalu, Vanessa merasakan pelukan Ryan dari belakang.
"Aku juga mau tidur."
Vanessa menggeliat. "Jauh-jauh sana, panas."
"Aku buat AC-nya ke 16 ya?"
"Kedinginan."
"Biar aku peluk."
"Nggak mau."
"Mauuuu dong. Hahahaha."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro