73. Pillow Talk
Dorong Ryan, Sa, dorong dia.
Kalimat hasutan itu menggema berulang kali di benak Vanessa. Lebih dari menggema malah. Di satu titik, kedua tangan Vanessa sudah berada di dadá Ryan. Itu adalah ketika bibir Ryan dengan lincah langsung menyasar pada bibirnya. Memanggut dalam ciuman yang menggebu. Dan ketika Ryan menyusupkan lidahnya memasuki rongga mulut Vanessa, maka tangan Vanessa yang semula ingin mendorong justru berubah menjadi meremas.
Sa, sadar, Sa.
Kamu nggak boleh terbuai dengan sentuhan Ryan.
Itu adalah peringatan terakhir yang sempat Vanessa dengar di benaknya. Karena ketika Ryan melepaskan lidah Vanessa setelah melumatnya sesuka hati, cowok itu langsung melabuhkan ciuman dalam di leher Vanessa.
Sudah.
Akal sehat Vanessa mengabur entah ke mana. Tergantikan oleh desahan yang tak mampu untuk ia tahan.
"Aaah ...."
Bola mata Vanessa berputar sekali dengan liar sebelum pada akhirnya menghilang di balik kelopak matanya yang menutup. Remasan kedua tangannya di dadá Ryan pun semakin mengeras.
Ryan menghirup dalam-dalam aroma Vanessa di ceruk lehernya yang jenjang. Sisa wangi parfum yang bercampur aroma keringat. Perpaduan antara bau bunga dan sinar matahari. Semua seolah seperti candu yang membuat cowok itu semakin menggebu.
Ryan mendesak. Desahan Vanessa melecut dirinya. Membuat cumbuan bibirnya di leher wanita itu semakin merajalela. Tangannya pun lantas bergerak. Mencari celah. Menuju pada tiap kancing yang dengan segera ia singkirkan satu persatu. Pun pada resleting celana dasar Vanessa.
Ketika Vanessa membuka mata dan menyadari situasi sore itu, semua sudah terlalu terlambat bagi dirinya untuk mundur. Ia sudah terbaring tak berdaya dengan berselimut gairah yang Ryan ciptakan untuk dirinya. Tampil polos tanpa busana. Rambut acak-acakan keluar dari sanggulan kerjanya. Dengan mata berkabut yang membuat Ryan begitu tergoda.
Ryan sudah menjulang di atasnya. Melepaskan kaosnya. Menampilan tubuh polos yang membuat jantung Vanessa berdebar-debar. Kulit kecoklatan yang tampak kuat. Dengan dadá bidang dan lekukan otot di sepanjang perutnya. Dan belum lagi ketika cowok itu pelan-pelan merobek kemasan kondοm dengan menggunakan giginya.
Ya Tuhan.
Aku pasti udah ketularan nggak warasnya Ryan.
Dadá Vanessa naik turun dengan begitu gelisah –yang mana hal tersebut justru berakibat fatal bagi Ryan. Di situasi seperti itu, Ryan mendapati dirinya tidak bisa bersabar. Nyaris saja kondοm yang sudah ia buka itu terlempar dari tangannya. Memasang kondom untuk beberapa detik saja sudah membuat Ryan merasa kepalanya pening. Sedikit menggelikan. Tapi, pada akhirnya Ryan menemukan juga kelemahan untuk kesabarannya.
Ryan menggeram. Tangannya langsung meraih pinggang Vanessa. Mendekatkan tubuh mereka. Dan ketika dadanya yang keras menekan kelembutan payudará Vanessa, di saat itulah Ryan menyatukan tubuh mereka.
Rasanya ... tak pernah Ryan bayangkan.
Pun dengan Vanessa.
*
Beberapa saat kemudian, kesadaran yang menghampiri Ryan membuat cowok itu terjaga. Matanya mengerjap berulang kali. Terlihat menatap ke sekitar, seakan mengamati keadaan saat itu seraya pelan-pelan mengumpulkan ingatannya yang tercerai-berai. Namun, ketika semua ingatan itu kembali terkumpul, semua hanya mampu diucapkan dengan satu kata. Vanessa.
Wanita itu masih terbaring di sebelahnya. Berbantalkan lengannya dengan wajah yang tampak letih. Ia tertidur dengan begitu nyenyak. Tidak terusik sedikit pun, bahkan ketika Ryan pelan-pelan menarik tangannya. Bangkit dari tidurnya setelah memastikan Vanessa mendapatkan posisinya yang nyaman.
Ryan duduk sejenak di tepi tempat tidur. Memandang ke bawah dan geleng-geleng kepala.
Aku tadi ketiduran sebelum buang kondomnya coba.
Untung aja masih nyangkut.
Jadi, isinya nggak berceceran.
Iiih!
Ryan bergidik. Tapi, tak urung juga merasa geli.
Ia lantas berdiri dengan benak yang berkata.
Segitunya ya.
Sampe mau bangkit buat ngebuang ini aja jadi malas.
Bawaannya tuh mau terus bareng Dinda.
Hihihihi.
Setelah membuang bekas kondom dan mencuci tangannya di kamar mandi, Ryan kembali menghampiri Vanessa di tempat tidur. Menyelinap di selimut yang sama dan meraih Vanessa ke dalam rengkuhannya.
Wanita itu terdengar melenguh sekilas. Namun, menjadi nyenyak lagi saat Ryan mengusap pelan lengannya yang telanjang.
Ryan menarik napas dalam-dalam. Menghirup aroma rambut Vanessa. Lalu melabuhkan ciuman lembut di puncak kepala wanita itu.
Ya ampun, Sa.
Cinta banget loh aku sama kamu itu.
Apalagi sekarang.
Kayaknya makin nggak bisa jauh deh aku sama kamu.
Hiks.
Ryan tidak tau ia harus sedih atau bahagia dengan kenyataan itu. Tapi, untuk Ryan yang sebelumnya tidak pernah dekat dengan wanita mana pun, bersama dengan Vanessa justru telah mengajarkannya banyak hal.
"Ehm ...."
Beberapa saat kemudian Ryan mendapati Vanessa bergumam tak jelas di dekapannya. Hingga Ryan merasakan perubahan tubuh Vanessa. Terasa menegang.
"Kamu udah bangun?" tanya Ryan pelan.
Hening sejenak sebelum pada akhirnya Vanessa menjawab dengan anggukan sekali di dadanya.
"Kamu mau makan? Atau mandi dulu?" tanya Ryan lagi. "Kalau mau makan, aku siapkan dulu. Itu masakan pasti udah dingin semua."
Ryan berencana akan bangkit. Tapi, mendadak saja Vanessa menahan tubuhnya.
Menutupi dadá dengan selimut, Vanessa tampak sedikit membungkuk di atas tubuh Ryan. Saat itu raut wajah Vanessa terlalu abstrak untuk mampu diterka oleh Ryan.
"Ada apa?" tanya Ryan, mau tak mau kembali berbaring.
Vanessa menarik napas sekilas. Matanya mencari-cari di dalam bola mata Ryan. "Aku mau nanya."
Glek.
Ryan meneguk ludah.
Naga-naganya ini pertanyaan pasti nggak enak.
Hadeeeh.
"Ma-mau nanya apa?"
Lantas mata Vanessa menatap lurus tanpa kedip pada sepasang mata Ryan. Ia terlihat menarik napas dalam-dalam, seakan sedang meredakan gejolak yang ia rasakan.
"Kamu nggak capek?"
Booom!
Seperti ada meteor jatuh menimpa Ryan sekarang. Membuat cowok itu melongo, jantung seolah tak berdetak lagi, dan aliran peredaran darahnya mampet seketika. Otaknya terasa bagai mesin yang dipaksa berjalan tanpa pelumas. Sebisa mungkin, Ryan menarik napas dalam-dalam. Menenangkan dirinya yang sedetik kemudian menjadi gemetaran seluruh tubuh.
"Ca-capek sih nggak," jawab Ryan terbata. "Tapi, gimana kalau kamu makan dulu? Abis itu ... kita bisa ngulang lagi kok."
Ya ampun, Tuhan!
Ini mah bukannya pertanyaan yang nggak enak.
Enak banget malah.
Untung aku udah beli kondom sekotak penuh.
Ha ha ha ha.
"Eh?"
Ryan menggaruk kepalanya, terlihat salah tingkah. "Gimana pun juga ... malam ntar masih panjang loh waktunya."
Vanessa melongo. "Apa sih yang kamu pikirkan, Yan?"
"Ehm .... Kamu mau ngajak aku ngabisin stok kondom?" tanya Ryan dengan begitu entengnya. "Iya kan?"
Mulut Vanessa dengan segera terkatup dengan begitu rapat. Bangkit dari posisi setengah membungkuknya, wanita itu segera mengambil bantal dengan satu tangannya. Langsung memukulkan benda itu ke wajah Ryan.
"Loh? Eh?"
Ryan buru-buru bangkit. Dengan menggunakan kedua tangannya yang bebas, Ryan dengan mudah merebut bantal itu. Terlihat bagaimana wajah Vanessa yang meradang. Satu tangannya yang menahan selimut di dadá, tampak meremas selimut itu. Kesal.
"Apa cuma ada kondom di pikiran kamu sekarang?!" sentak Vanessa dengan wajah memerah. "Iya?"
Ryan memeluk bantal itu. "Ya nggak sih .... Aku juga kepikiran soal skripsi aku. Pengamatan aku udah mau selesai. Aku mau fokus ngerjain skripsi. Tapi, kalau kamu ngasih sinyal terus ..."
Hah?
Yang ngasih sinyal siapa?
"... ya masa aku tolak sih? Kan aku masih waras."
Geregetan, Vanessa berusaha mencubit perut Ryan. Tapi, cowok itu memakai bantal sebagai tameng dirinya. Ia terkekeh.
"Otak kamu itu beneran meśum!" geram Vanessa. "Dan untuk kamu tau aja, aku sama sekali nggak ada ngasih sinyal ke kamu!"
Ketika Vanessa berhenti berusaha untuk mencubit dirinya, bantal di tangan Ryan pun kembali ke posisi semula.
"Loh yang tadi itu apa namanya kalau bukan sinyal? Ya ampun, Sa. Kita itu baru bangun tidur, kamu udah nanyain aku capek atau nggak."
Astaga.
"Aku sih emang nggak capek, tapi seenggaknya kamu makan dulu gih. Ntar kalau kamu kecapekan kan gawat."
Mata Vanessa terpejam dramatis. Dalam hati ia menghitung sampai sepuluh, baru kemudian membuka matanya lagi. Nahas! Yang pertama ia lihat justru senyum menggoda penuh rasa percaya diri khas Ryan.
"Aku bukan ngomong soal capek ...." Vanessa menggigit bibir bawahnya yang terasa membengkak. Mendadak bingung menemukan kata-kata yang tepat. "Capek ...."
Ryan mengulum senyum geli. Sedikit mencondongkan tubuh ke arah Vanessa yang masih tampak bingung.
"Capek bercinta maksud kamu?"
Napas Vanessa terasa tersangkut di tenggorokan. Lebih dari itu, ia merasa seperti ada sesuatu yang menghunjam rasa malu terendah di hidupnya.
Ryan bisa mendapati tubuh Vanessa yang bergetar.
Sialan!
Liat dia nahan malu kayak gini udah yang ngefek banget ke aku.
Ini nggak bisa dibiarkan.
Bisa-bisa skripsi aku tinggal wacana doang.
"Maksud aku ..."
Suara Vanessa yang gugup menarik perhatian Ryan.
"... tadi, aku bukan nanya soal capek ... bercinta."
Eh, disebut juga. Hihihihi.
Vanessa memaksa diri untuk menatap mata Ryan. "Yang aku maksud adalah ... apa kamu nggak capek-capek juga ngadepin aku?"
Pertanyaan Vanessa membuat Ryan mengerjap-ngerjapkan matanya. Terlihat seperti tengah mengartikan maksud pertanyaan Vanessa. Pada akhirnya, Ryan menggeleng.
"Nggak." Lalu cowok itu tersenyum. "Masa sih udah sebulan kita tinggal bersama, kamu masih belum tau sifat aku gimana?"
"Dan apa kamu udah tau sifat aku?"
"Kamu kasar? Sadis? Nggak berperasaan?" tanya Ryan dengan sudut bibir yang terasa geli. Bahu polosnya naik sekilas. "Menurut aku sih kamu nggak sekasar itu."
"Tapi, kan tetap aja aku kasar," protes Vanessa. "Aku sering mukul kamu. Ngomong kasar."
"Seandainya saja kamu mukul aku dengan lebih serius, mungkin aku udah kabur beneran dari dulu, Sa." Kepala Ryan meneleng ke satu sisi. Bergumam rendah setelah mengembuskan napas panjangnya. "Ehm ..., tapi kayaknya aku tetap nggak bakal pergi deh."
Mulut Vanessa membuka, akan bicara. Namun, jari telunjuk Ryan segera menempel di sana. Menghentikan kata yang akan keluar.
"Aku justru menganggap sikap kasar kamu ini ... menarik." Ryan mengangguk-angguk beberapa kali. "Itu berasa kayak yang memacu adrenalin aku aja. Yah, gimana ngomongnya. Hidup aku ini penuh tawa, Sa. Eh, ketemu kamu yang galak kayak yang ngasih warna baru gitu." Ryan semakin mencondongkan tubuhnya hingga menimbulkan sikap waspada Vanessa. "Kamu nggak kepikiran kalau pada cowok-cowok tertentu ... tamparan, pukulan, atau pun cubitan justru berasa kayak rangsangan seksual?"
A-apa?
Ryan menyeringai mendapatkan keterkejutan tanpa kata-kata dari wajah Vanessa. Dengan mata yang menggoda, cowok itu menjeda waktu bicaranya beberapa saat.
Ya ampun.
Kok aku bisa nggak kepikiran ini dari kemaren ya?
Kalau Vanessa yang nggak mau ngomong sama aku aja bisa berubah jadi langsung ngekor gara-gara perkata setán, kenapa aku justru nggak memanfaatkan peluang yang satu ini?
"Ehm ... kamu tau istilah BDŚM kan?"
Tak menjawab, tapi Ryan melihat bagaimana remasan tangan Vanessa di selimut yang menutupi dadanya tampak semakin menguat. Hingga buku-buku di jemari wanita itu memutih. Jelas saja pertanyaan itu berdampak lebih hebat dari yang Ryan bayangkan sebelumnya.
"Sebenarnya aku nggak kepikiran itu sama sekali," lanjut Ryan dengan dahi berkerut. Layaknya orang yang sedang berpikir. "Tapi, jujur aja. Tiap kamu nyubit aku ..., mukul aku ..., apalagi sampe nampar aku. Wah!"
Kali ini bibir Vanessa yang sontak berubah memucat.
"Itu rasanya kayak yang aku mau langsung ...." Ryan menggantung ucapannya. Terlihat sedikit frustrasi karena tidak menemukan kata-kata yang tepat. Menyerah, jadi cowok itu mengangkat kedua tangannya dan meremasnya satu sama lain. "Ehm. Pengen aku giniin deh kamu itu."
Sekarang, wajah Vanessa langsung pucat pasi. Meneguk ludahnya dengan rasa takut. "Ka-kamu?"
"Apa?" tanya Ryan berusaha menjaga raut wajahnya agar tetap serius. Yang mana itu sulit sekali.
Ya ampun.
Kamu berdosa banget Ryan.
Udah berapa kali bohongi istri sendiri?
Hiks.
Ini demi kelanggengan bersama coba.
Di lain pihak, perkataan Ryan justru membuat ingatan Vanessa melesat ke belakang. Pada hari-hari yang telah ia lalui bersama Ryan. Tepatnya di hari pertama. Di pagi hari itu.
"Ka-karena itu waktu aku ngelempar kamu pake mangkok tempo hari ..."
Glek. Vanessa meneguk ludah. Melirik sekilas ke bawah. Pada bagian yang ditutupi bantal oleh Ryan.
"... itu kamu keliatan besar?"
"Huuuk!!!"
Ryan pikir saat itu ia mendadak tersedak jakunnya sendiri. Pertanyaan Vanessa sungguh tidak diperkirakan oleh Ryan sebelumnya. Tentu saja akibatnya tidak tanggung-tanggung. Ryan terbatuk-batuk dengan wajah yang memerah.
"Iya, Yan?"
Susah payah Ryan berusaha menahan batuknya. Terutama ketika ia melihat wajah serius dan syok Vanessa di hadapannya.
Ya ampun ini cewek.
Bisa gitu buat aku jadi nggak bisa ngomong kayak gini?
Argh!
Mau aku jawab apa coba?
"Ehm ... ya kurang lebih ya gitu," jawab Ryan. Sekuat tenaga menahan malu.
Tubuh Vanessa terasa melesu seketika. Terlihat dari pundaknya yang jatuh lemas. Remasan di selimut mengendur. Tatapan matanya terlihat tidak fokus. Seperti ia kehilangan separuh nyawanya.
"Kamu nggak perlu khawatir. Ehm .... Itu biasa dianggap sebagai variasi dalam---"
"Stop!" potong Vanessa cepat. Matanya seketika melotot nyalang. Mengirimkan ancamannya. "Kamu lanjut ngomong, awas aja."
Ryan mencibir. Bibir bawahnya maju sekilas, misuh-misuh. "Yang mulai siapa coba? Kamu kan? Yang menyulut sisi terpendam aku siapa coba?" tanyanya. "Kamu kan?"
"Kamu ...." Dan semua hal lantas melintas di benak Vanessa. Baru sekarang ia merasa heran. "Jadi, wajar aja selama ini kamu sama sekali nggak marah kalau aku kasar sama kamu?"
Kedua bahu Ryan naik sekilas dengan senyum mengejek. "Menurut kamu kenapa bisa ada cowok yang tahan dengan cewek kasar kalau nggak ada sesuatu?"
Kengerian terpancar langsung di wajah Vanessa. Membuat ia menjadi sulit berkata-kata.
"Ka-ka-kamu ...."
"Hahahaha."
Ryan tak mampu menahan tawanya. Melihat wajah Vanessa yang pucat pasi, takut, bingung, dan pokoknya dengan semua emosi itu, membuat ia merasa geli. Bertahan untuk tidak tertawa menjadi sulit bagi dirinya.
Dan sementara Vanessa terbengong-bengong. Heran karena mendapati tawa Ryan yang tak ia tau karena apa, Ryan justru mengambil tindakan.
Bantal di pelukannya dilemparkannya ke sembarang arah. Maju dan tanpa aba-aba ia lantas mendorong tubuh Vanessa hingga wanita itu jatuh terbaring dengan Ryan yang menahan kedua tangannya di masing-masing sisi kepala.
Tawa Ryan lenyap. Tergantikan oleh sorot matanya yang serius terarah pada Vanessa yang membeku. Mungkin ia terlalu syok dengan informasi tak benar yang disampaikan oleh Ryan.
Perlakuan kasar aku justru ngebuat dia jadi ... jadi ....
Bahkan di benaknya pun Vanessa tidak kuat untuk meneruskan perkataan itu.
"Apa coba yang kamu pikirkan?" tanya Ryan.
Mata Vanessa berkedip. "Perlakuan ... kasar aku justru ngebuat kamu tahan dekat-dekat dengan aku?"
Ryan tersenyum geli. "Ya ampun, Sa. Mau sampai kapan coba kamu mikir kalau sikap kasar kamu bisa ngebuat aku mundur mencintai kamu?"
"Ryan ...."
"Udah sebulan loh," kata Ryan mengingatkan. "Dari mangkok, pukulan, tamparan, cubitan, bahkan sampai ancaman pot tanah liat asli, semua udah aku terima. Dan kamu liat? Jangankan kepikiran buat pergi, yang ada aku malah tambah cinta sama kamu."
Vanessa geleng-geleng kepala.
"Kenapa?"
"Kamu pasti nggak waras."
Ryan tergelak. "Kan kamu udah tau itu dari dulu. Tapi, sebenarnya bukan karena itu yang membuat aku bertahan."
"Ry ...."
Ryan menundukkan wajahnya. Dan namanya menggema di dalam mulut cowok itu.
"Aku serius ngomong kalau aku cinta kamu," lanjutnya.
Beberapa saat Ryan berlama-lama menikmati wajah Vanessa di bawahnya. Mungkin menunggu kalau Vanessa akan menginterupsi perkataannya. Yang mana itu tidak terjadi. Hingga Ryan memutuskan untuk lanjut berkata.
"Aku nggak nuntut kamu buat aku cinta aku sekarang. Tapi ..., semua yang terjadi akhir-akhir ini, bukannya itu menunjukkan kalau kamu sudah membuka sedikit hati kamu untuk aku?"
Bola mata Vanessa membesar. "Itu ...."
"Nggak apa-apa kamu belum bisa cinta aku. Aku nggak marah. Tapi, kamu jangan pernah mikir untuk maksa aku menjauhi kamu."
Ketika Ryan mengatakan itu, Vanessa menangkap binar ketulusan di mata Ryan. Sesuatu yang seketika membuat ia teringat semua yang telah ia lakukan. Tindakan dan semua kata-kata yang ia paksa untuk selalu menyakiti cowok itu.
"Kamu benar-benar cinta aku?"
Ryan tersenyum. "Aku nggak bisa meyakinkan itu. Kamu yang bisa menilainya sendiri. Dan kalau kamu mau tau jawabannya, maka pilihan kamu cuma satu."
Memberanikan diri, lidah Vanessa bergetar menanyakan hal tersebut. "Apa?"
"Habiskan banyak waktu dengan aku," jawab Ryan seraya menarik napas. "Dan kamu bakal tau jawabannya." Ryan mendaratkan satu ciuman di pipi Vanessa. "Bagaimana?"
Vanessa menahan napas di dadanya. Mendapati di detik selanjutnya Ryan menatap dirinya tanpa kedip membuat Vanessa bertanya-tanya.
Apa Ryan sebenarnya lebih keras kepala dibandingkan aku?
Sementara Ryan, di balik wajahnya yang terlihat tenang dan mendominasi kala itu, sebenarnya di dalam justru merasakan hal yang sebaliknya. Ia merasa sedikit ciut menghadapi sifat keras Vanessa. Tapi, cowok itu benar-benar gigih.
Cewek yang abis sakit hati ya bakal terkesan overthinking ke cowok yang baru. Kalau aku nggak sabar, pernikahan ini bisa berantakan. Dan aku kehilangan cewek yang aku cinta.
Sabar, Yan, sabar.
Suami sabar disayang istri.
"Kamu nggak perlu cinta aku sekarang," lirih Ryan kemudian. "Tapi, kamu mau kan nerima cinta aku?"
Vanessa tertegun. Pertanyaan itu sama sekali tidak mengejutkan bagi dirinya. Tapi, dibandingkan dengan pertanyaan itu, Vanessa justru memikirkan hal lainnya.
"Kalau aku nerima kamu ... suatu saat mungkin kamu akan ninggalin aku juga."
Embusan napas hangat Ryan membeli wajah Vanessa. "Segitunya ya kamu nggak mau aku tinggalin?"
Mata Vanessa semakin membesar.
Gimana bisa dia justru ngambil kesimpulan kayak gitu?
Ya Tuhan.
Ini cowok bener-bener deh.
"Aku tau .... Dari kamu marah soal Lola, itu sudah membuktikan kalau kamu sudah ada perasaan ke aku."
"Ryan, itu---"
"Kamu nggak mau nganggap itu sebagai perasaan juga nggak apa-apa," potong Ryan. "Tapi, dengarkan ini."
"Apa?"
Ryan menarik napas dalam-dalam sejenak. Sedetik ia meragukan, apa ia bisa menjanjikan hal yang berada di luar jangkauannya?
"Aku takut untuk berjanji dengan menggunakan kata selamanya. Tapi ...." Ryan tersenyum dengan lembut. "Aku bisa pastikan besok pagi aku akan tetap mencintai kamu. Dan malam harinya, aku akan menjanjikan hal yang sama untuk lusa pagi harinya. Dan lusa malam harinya, aku akan menjanjikan hal yang sama untuk pagi selanjutanya. Begitu seterusnya."
"Ryan ...."
"Jadi, berhubung ini sudah hampir malam," kata Ryan setelah melirik cepat ke jam dinding. "Aku akan berjanji." Dan wajah cowok itu mendekati wajah Vanessa. "Besok aku masih akan mencintai kamu."
Vanessa memejamkan matanya ketika ciuman itu jatuh ke bibirnya.
Menerima berarti membuka.
Ketika ciuman itu terurai, pelan-pelan Vanessa membuka mata.
Ini risiko.
Tapi, setelah semua yang aku alami bersama dengan Ryan, risiko apa lagi yang aku miliki?
Menguatkan hatinya, Vanessa mengangguk pelan. Samar sebenarnya. Tapi, Ryan tak akan salah melihat. Apalagi salah merasa. Tidak.
Karena setelahnya, ketika Ryan menjatuhkan diri demi memeluk Vanessa, Ryan merasakan di punggungnya ada sesuatu yang melingkar.
Kedua tangan Vanessa.
Diikuti oleh bisikan hangat di telinganya.
"Aku lapar loh, Kanda."
Dan Ryan tertawa.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro