72. Akibat Satu Malam
"Lihat kebunku penuh dengan bunga. Tralala."
"Ada yang merah dan ada yang putih. Trilili."
"Setiap hari kusiram semua. Tralala."
"Mawar melati semuanya indah. Trilili."
Bila lagu Lihat Kebunku terdengar di PAUD atau pun TK, mungkin itu adalah hal yang wajar. Apalagi karena yang menyanyikannya adalah anak-anak kecil dengan rentang usia sekitar empat hingga enam tahun. Tapi, mendengar lagu Lihat Kebunku menggema di depot bunga? Ehm .... Masih masih akal mungkin, seandainya kalau yang bernyanyi bukan cowok yang telah berusia dua puluh dua tahun.
Maka terang saja Anton dan Sahrul berdiri terbengong-bengong ketika pagi itu mereka mendapati Ryan tengah bersenandung menyanyikan lagu Lihat Kebunku. Seraya memegang selang air di kedua tangannya, Ryan seolah tak menyadari kehadiran Anton dan Sahrul. Masih terus bersenandung.
"Pelangi pelangi alangkah indahmu."
"Merah kuning hijau, di langit yang biru."
"Pelukismu agung, siapa gerangan?"
"Pelangi pelangi, ciptaan Tuhan."
Ryan tampak berpindah tempat. Mengarahkan air ke tanaman lainnya. Kali ini justru bersiul-siul. Hingga untuk beberapa saat kemudian, Ryan terdengar kembali bersenandung.
"Di pucuk pohon cemara, burung kutilang berbunyi. Eh?"
Nyanyian itu terhenti. Satu senyum malu-malu menggantikan kata-kata dalam lirik lagu tersebut.
"Ih .... Si burung kok malah bunyi sih? Hihihihi."
Ryan terkikik. Sedikit beranjak.
"Harusnya kan matuk aja gitu. Hihihihi."
Ryan berbalik. Tatapannya langsung beradu dengan tatapan kedua karyawannya.
"Ya salam Bambang Sumanto!" kesiap Ryan kaget. Selang air terlepas dari tangannya sementara ia refleks mengusap dadá kirinya. "Kalian ini buat kaget aja."
Anton dan Sahrul melongo. Lalu melirih pelan.
"Aaah. Maaf, Bos."
Misuh-misuh karena terkejut, Ryan mengambil kembali selang dari atas tanah. Memegang dan mengarahkannya kembali ke polibag-polibag tanaman.
"Kalian baru datang?" tanya Ryan kemudian.
"Udah lama sih, Bos."
"Sekitar setengah jam yang lalu."
Ryan mengerjapkan matanya. "Eh? Terus kalian berdiri aja di sana ... ngapain?"
"Ngitung berapa lagu yang Bos nyanyikan."
"Dengan terheran-heran pastinya."
Ryan meneguk ludah dengan tak nyaman. Tapi, dia masa bodoh aja.
"Ehm .... Aku nyanyi karena hari ini begitu cerah."
Ryan menengadahkan kepalanya. Melihat langit yang cerah dengan sinar matahari.
"Kalian lihat? Memang benar kata orang. Sehabis hujan deras akan selalu ada terang benderang." Ryan tersenyum lebar. "Pepatah yang tak pernah salah."
Melihat wajah Ryan, Anton dan Sahrul tak mampu menahan geleng-geleng kepalanya. Entah harus tertawa atau sedih melihat tingkah laku bos mereka pagi itu.
"Tapi, Bos ...," kata Anton kemudian. "Walau hari ini cerah, ya kali abis hujan gede, eh tanaman masih pake acara disiram."
Sahrul terkekeh mendengar perkataan spontan temannya itu sementara Ryan mengerjap. Cowok itu seperti baru menyadari hal bodoh yang ia lakukan.
"Ah .... Kamu bener," kata Ryan menahan malu. Tanpa basa-basi ia langsung meletakkan kembali selang itu di tanah. "Kamu padamkan air ya. Terus beres-beres."
Masih merasa geli, Anton tetap angguk-angguk kepala. "Siap, Bos."
Beranjak dari tempatnya, Ryan mengusap-usapkan tangannya. Rencananya ia akan ke belakang sejenak, namun ternyata ia mendapati Anton dan Sahrul mengekori dirinya. Ryan menjadi toleh kanan toleh kiri dengan dahi berkerut.
"Kenapa kalian ngikutin aku?" tanyanya. "Mana ngeliatin aku kayak gitu lagi."
Kedua orang karyawannya itu menatap lekat pada Ryan. Masih mengikuti ke mana kaki Ryan melangkah.
"Nggak apa-apa sih, Bos."
"Cuma ngerasa ada yang beda sama Bos."
"Bos kok keliatan yang seneng banget hari ini?"
"Ada kabar bahagia ya, Bos?"
Kerutan di dahi Ryan semakin menjadi-jadi. Melirih pelan dengan sedikit menggerutu.
"Apaan sih? Orang aku biasa aja."
Namun, dua pasang mata itu menyipit. Seolah tak percaya dengan omongan Ryan. Dan itu wajar. Manusiawi sekali kalau mereka meragukan perkataan Ryan.
"Ehm ...." Ryan mendehem. Mengabaikan sikap tak biasa kedua karyawannya. "Aku pagi ini mau ke toko pertanian bentar. Mau nyari lilin buat nyambung."
Anton dan Sahrul angguk-angguk kepala.
"Kalian berdua ntar langsung aja pindahkan lagi tanaman kemaren ke tempat semula."
Mereka masih angguk-angguk kepala. Tapi, itu bukannya membuat Ryan senang, eh ... malah membuat cowok itu bingung.
"Itu di pondok ada gorengan buat sarapan."
Setelah mengatakan itu, Ryan menoleh. Menunggu anggukan Anton dan Sahrul, namun kali ini dirinya kecele. Karena detik selanjutnya dua orang cowok itu berkata.
"Makasih banyak, Bos."
"Semoga diberi keturunan yang soleh dan solehah."
Kali ini Ryan menatap mereka berdua horor. Namun, dibandingkan meladeni tingkah tak biasa dari kedua karyawannya, Ryan lebih memilih untuk beranjak saja dari sana. Mengusap tekuknya, Ryan bergumam pelan pada dirinya sendiri.
"Kok mereka mendadak yang kayak aneh gitu ya?"
Sementara itu sepeninggal Bos mereka, Anton dan Sahrul saling pandang seraya mengembuskan napas panjang dengan kompak. Mereka sama-sama teringat dengan pesan Lastri kemaren.
"Tapi, walau mereka udah nikah ... pernikahan mereka masih dirahasiakan. Karena itu, kalian jangan sampai membocorkannya pada siapa pun."
Kali ini keduanya memutuskan untuk memulai pekerjaan hari itu dimulai dari pondok. Ada sepiring gorengan yang telah menanti mereka berdua. Seraya menikmati gorengan itu, Anton dan Sahrul bercakap-cakap.
"Ckckckck. Nggak heran banget sih sebenarnya ngeliat Bos akhir-akhir ini sibuk nanya soal cewek."
"Dan kalau ngeliat dari raut wajah Bos pagi ini, ehm ... kayaknya ada sesuatu tuh yang terjadi malam tadi."
Lalu, mereka berdua kompak tertawa.
*
Tidur sama suami sendiri, itu bukan dosa kok, Sa.
Tapi, bukan berarti Ryan boleh semaunya melakukan itu sama aku.
Vanessa menggeram. Melewati beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi yang dengan sopan menyapa dirinya, namun para anak muda itu seketika menjadi saling pandang dengan heran. Karena untuk pertama kalinya mereka mendapati Vanessa mengabaikan sapaan mereka. Lebih dari itu, dosen cantik yang kerap mengenakan setelan kemeja dan celana panjang itu justru terlihat misuh-misuh. Tampak menggerutu. Yang mana ... itu bukan seperti Vanessa yang biasanya.
"Tumben-tumbenan Bu Vanessa keliatan bete gitu."
"Kayaknya seumur hidup baru kali ini deh aku ngeliat Bu Vanessa ngomel-ngomel nggak jelas gini."
"Apa ada masalah ya?"
Lebih dari masalah!
Vanessa meneriakkan hal tersebut di benaknya ketika siang itu ia mendapati telinganya mendadak lebih sensitif dari biasanya. Entahlah! Bisik-bisik mahasiswa dengan hebatnya masih bisa ditangkap oleh telinganya. Membuat wanita itu semakin merasa ledakan emosi.
Sepanjang hari itu Vanessa lalui dengan tidak fokus. Bayangan malam tadi selalu saja melintas di benaknya. Membuat konsentrasinya menjadi terganggu. Malu, marah, kesal, dan tak percaya, berkumpul menjadi satu.
"Ryaaan ...."
"Aaah ...."
"Oh, Tuhan ..."
"Vanessa ...."
Suara lirihan dan desahan yang secara bergantian ia dan Ryan ucapkan terasa menggema berulang kali di kepalanya.
Ya Tuhan.
Gimana bisa aku ngelakuin semua itu dengan dia?
Dan hari ini, beruntung banget lagi libur praktikum. Aku nggak kebayang gimana aku bisa menghadapi dia di kelas setelah kejadian itu? Menjaga ekspresi layaknya dosen dan mahasiswa setelah menikah saja sudah merupakan hal yang sulit, apalagi sekarang? Menjaga ekspresi setelah melewati malam pertama sama dia?
Ya ... Tuhan ...!
Apa nggak ada cobaan yang lebih buruk lagi?
Terlebih lagi ketika Vanessa ingat dengan jelas bagaimana sikap Ryan yang semakin menjadi-jadi setelah kejadian itu. Ia merasa seperti Ryan makin merasa di atas angin.
Pasti banget dia yang ngerasa jumawa sekarang ini.
Lihat aja tadi. Dia pede banget pake acara ngebahas mau ngeborong kondοm.
Sampe dia beneran beli kondom, awas aja. Aku suruh dia niup itu semua kondοm. Biar jadi balon!
Kerap menggerutu sepanjang hari, maka tak heran bila Vanessa mendapati tubuhnya lemas ketika jam pulang tiba. Ia melupakan jam makan siangnya dan justru menghabiskan tenaga lontong sayur dengan misuh-misuh. Hingga ketika ia sampai di unit apartemen, Vanessa merasa tubuhnya akan ambruk. Terutama ... jujur saja. Seharian Vanessa memang merasa tubuhnya tidak dalam kondisi yang prima. Rasa pegal dan lelah terasa meremukkan setiap sendi tubuhnya. Dan butuh perjuangan sekali untuk seorang Vanessa menjaga langkah kakinya agar tidak berubah. Maka wajar saja kalau seharian Vanessa lebih memilih berdiam diri di ruangannya ketimbang harus menggunakan kakinya untuk berjalan. Rasanya benar-benar tidak nyaman.
"Kreeek."
Vanessa membuka pintu unit. Melepaskan sepatunya dan berjalan masuk. Seakan tak menghiraukan keadaan di sekitarnya, Vanessa nyaris tak menyadari kehadiran Ryan yang muncul dari dapur dengan masih mengenakan celemek di tubuhnya. Hingga kemudian cowok yang terlahir dengan rambut pirang itu tampak berseru layaknya mereka terpisah lautan yang luas.
"Dinda Vanessayang ....!"
Glek.
Langkah kaki Vanessa terhenti seketika. Matanya melotot dan bulu kuduknya langsung meremang tatkala melihat di depan sana ada Ryan yang tersenyum sumringah pada dirinya. Dan belum sempat Vanessa menenangkan jantungnya yang mendadak bergemuruh, eh ... Ryan sudah melangkahkan kakinya. Setengah berlari menghambur pada wanita itu dengan kedua tangan yang terkembang.
Ya salam.
Pada detik yang tepat, Vanessa langsung menjatuhkan diri. Duduk berjongkong tepat ketika Ryan tiba dan akan memeluk dirinya. Alhasil, cowok itu hanya memeluk udara kosong.
"Ih!"
Bibir Ryan seketika cemberut seraya menurunkan tatapannya melihat pada Vanessa. Di bawah sana, Vanessa memeluk lututnya. Menengadah melihat pada Ryan. Tatapan mereka bertemu.
"Harus ya? Aku baru balik kamu langsung nyambut dengan sikap nggak waras kamu?"
Ryan lantas ikut-ikutan berjongkok. Mengganti cemberut di wajahnya dengan senyum lebar.
"Kamu lapar nggak?" tanya Ryan kemudian. "Aku baru aja selesai masak buat makan malam."
Wajah Vanessa berubah bengong seketika.
Lain yang diomongi, lain yang ditanggapi.
Memasang wajah garang, Vanessa melotot dan menjawab.
"Oh, bagus sekali. Kebetulan aku emang kelaparan. Bahkan rasa-rasanya aku mau makan kamu."
Ryan mengulum senyum malu-malu. Satu jari telunjuknya bergerak. Mencolet pipi Vanessa hingga wanita itu spontan memukul tangan Ryan. Ia terkekeh.
"Emangnya kamu nggak makan siang apa sampai-sampai jam segini udah kelaparan?"
"Nggak."
Mata Ryan mengerjap sekali. "Kenapa? Gara-gara nggak ada aku yang ngantarin kamu makan ya?"
Ya salam.
"Pede banget kamu ya?" Vanessa mendengus sekali. Melihat wajah Ryan yang begitu percaya diri membuat Vanessa menggerutu. "Aku sibuk. Makanya nggak sempat makan."
"Walaupun sibuk, tapi kamu tetap harus makan. Ckckckck. Kamu harus menjaga makan kamu biar tetap sehat."
Vanessa memutar bola matanya dengan malas. "Yang penting kan aku tetap sehat."
Ryan menarik napas dalam-dalam. Menyadari betapa keras kepalanya wanita yang telah menjadi istrinya itu.
"Iya. Dan aku akan memastikan kalau kamu akan selalu sehat," ujarnya. "Tenang aja."
"Apaan sih ...."
Tak menghiraukan lirihan Vanessa, Ryan kemudian kembali berkata. "Daripada nunggu malam, karena kamu juga belum makan siang ... gimana kalau makan sekarang aja?"
Walaupun sebenarnya Vanessa masih kesal dengan semua perilaku Ryan, tapi tetap saja tawaran makan terasa menggiurkan di telinganya. Lagipula, tanpa makan mana bisa ia bertahan menghadapi ulah Ryan kan?
Menyadari bahwa tawarannya berdampak positif bagi Vanessa –yang mana itu dibuktikan oleh raut wajahnya yang berubah seketika-, Ryan lalu meraih kedua tangan Vanessa. Menuntunnya untuk berdiri bersama.
"Kamu ganti pakaian aja dulu dan aku siapkan makan di belakang."
Vanessa sebenarnya sama sekali tidak ingin bersikap layaknya seorang istri yang penurut. Tapi, mau bagaimana lagi? Yang dikatakan Ryan kali itu persis seperti rencana kilat yang tersusun di benaknya. Ganti pakaian dan lalu makan.
"Oke?" tanya Ryan kemudian.
Berat hati, Vanessa mengangguk. "Oke."
Maka Ryan melepaskan kedua tangan Vanessa. Membiarkan wanita itu melangkah menuju ke kamarnya. Sementara Ryan kembali ke dapur, maka Vanessa pun menekan daun pintu. Mendorongnya hingga terbuka dan masuk.
Satu langkah kaki Vanessa memasuki kamarnya, mendadak tubuhnya meremang. Langkah kaki terhenti dan Vanessa mengerutkan dahi.
Kenapa ya?
Kok aku berasa kayak ada yang aneh dengan kamar aku?
Vanessa lantas mengedarkan matanya. Melihat ke sekeliling kamarnya. Dan matanya membelalak seketika.
Dengan langkah kaki yang terasa lemas, Vanessa mendekati satu meja yang berada tepat di sebelah meja kerjanya. Di meja itu tersusun beberapa buku materi. Ia tergerak untuk meraih satu buku tulis. Lalu membaca nama di sana.
Rizki Adryan Wicaksana.
Mata Vanessa memejam. Meletakkan buku itu kembali ke tempatnya dengan bergumam penuh penekanan.
"Kenapa meja belajar dia bisa nyasar ke kamar aku?"
Sedetik setelah pertanyaan itu terlontar dari bibirnya, mata Vanessa langsung membuka besar. Mengabaikan tas kerja dan laptop yang segera ia letakkan di atas meja kerjanya, ia beranjak ke lemari pakaian.
"Ya Tuhan."
Di dalam lemari itu, Vanessa mendapati ada begitu banyak baju asing di sana. Dengan cepat Vanessa memeriksanya.
"Kaos, kemeja, jaket, jas almamater, celana, dan ... ya Tuhan." Vanessa terkesiap. "Bahkan celana dalam dia pun udah nyasar ke dalam lemari aku?"
Vanessa bergidik.
Kakinya kemudian setengah berlari beranjak menuju ke kamar mandi. Dan sesampainya di sana, Vanessa semakin tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Dua handuk tergantung. Dua sikat gigi. Dua sabun pembersih wajah."
Kaki Vanessa seperti kehilangan kekuatannya. Membuat ia sontak bersandar pada dinding di belakang punggungnya.
"Ya Tuhan." Dadá Vanessa naik turun dengan cepat. "Itu cowok pasti otaknya udah nggak dipake lagi."
Bibir Vanessa mengatup rapat. Bergegas keluar dari kamar mandi seraya meneriakkan satu nama.
"Ryaaan!!!"
Terdengar suara gerabak-gerubuk dari luar. Kegaduhan itu akibat dari Ryan yang terburu-buru masuk ke kamar. Mata cowok itu menyorotkan rasa khawatir.
"Kenapa, Sa? Kamu kenapa teriak-teriak? Ada kecoak atau apa?"
Kedua tangan Vanessa mengepal erat di sisi tubuh. "Bukan karena kecoak. Tapi, ini gara-gara ada cowok yang nggak ada otak mendadak mindahin semua barangnya ke kamar aku."
"Eh?" Mata Ryan mengerjap-ngerjap. Lalu, ia terkekeh. "Oh .... Itu toh maksud kamu." Mata Ryan melihat ke beberapa titik di ruangan itu. Pada meja belajarnya, lalu pada lemari pakaian yang masih terbuka. "Ehm .... Soalnya kan aku pikir kita sekarang lebih baik pake kamar yang sama."
Vanessa melongo. Melihat wajah Ryan yang tersenyum malu-malu membuat perutnya kembali berulah. Geram, wanita itu lantas mendekati Ryan. Mengangkat kedua tangannya yang terkepal. Meninju dadá Ryan yang masih dilapisi oleh celemek.
"Kamu ini!" rutuk Vanessa. "Sembarangan aja kalau ngomong."
"Loh? Eh?"
Ryan berusaha menangkap tinju Vanessa, tapi selalu luput. Mungkin karena Vanessa mendadak mendapatkan tenaga untuk menghajar Ryan.
"Pake acara mindahin barang-barang kamu ke kamar aku? Ngomong kita lebih baik pake kamar yang sama?"
Vanessa bergidik seluruh tubuh. Membayangkan ia harus tidur dengan Ryan selama tujuh hari dalam seminggu membuat Vanessa semakin membabi buta menghajar Ryan.
"Emangnya kenapa kamu mau kita pake kamar yang sama hah?"
Ryan menyilangkan tangan di depan dadanya. Tapi, tak urung juga ia tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Menurut kamu?"
"Ya Tuhan," geram Vanessa. Dengan napas menggebu, ia menurunkan tinjunya. Sejenak ia terlihat menarik napas dalam-dalam. Mengambil jeda beberapa saat. Lalu ia menatap lurus pada mata Ryan. Rautnya terlihat salah tingkah dan tak percaya ketika bertanya. "Ka-kamu mau tidur dengan aku?"
Ryan melongo. "Eh?"
"Iya?" tanya Vanessa lagi.
Jakun Ryan naik turun. Mendapat tatapan lurus Vanessa dan pertanyaan seperti itu, seketika saja membuat jantungnya berdebar. Tapi, Ryan tetap berusaha untuk tenang.
"Tidur?" tanya Ryan dengan suara lirih. "Ma-masih sore gini loh, Sa."
Mata Vanessa mengerjap-ngerjap. Bingung.
Kenapa dia malah bahas sore?
Ryan membalas tatapan Vanessa. "Tapi, kalau kamu memang mau ngajak aku tidur ... ya aku nggak nolak sih."
Mulut Vanessa menganga. Matanya melotot. "Ngajak kamu tidur? Ka-kamu mikir apa sih?"
Senyum malu-malu seketika saja terbit di wajah Ryan. Namun, jujur saja. Wajah itu terlihat begitu sumringah. Membuat Vanessa memasang antisipasinya.
"Kebetulan aku juga udah nepatin janji aku tadi pagi."
"Janji?" tanya Vanessa. "Janji apa?"
Mengulum senyum, Ryan beranjak ke meja rias Vanessa. Dan kala itu Vanessa baru menyadari bahwa di meja riasnya pun telah kedatangan penghuni baru. Perlengkapan Ryan tentunya. Tapi, bukan itu yang membuat Vanessa waspada. Melainkan ketika cowok itu menarik satu laci di sana. Memamerkan satu kotak benda yang membuat Vanessa membeku jiwa raga.
Kondοm!
"Ka-kamu ...."
Ryan melayangkan tatapan menggoda. "Nggak usah gugup gitu, Dinda. Kan malam tadi kamu nggak gugup sama sekali."
Vanessa ingin melarikan diri, tapi kakinya mendadak seperti kehilangan tenaga. Terutama ketika dilihatnya Ryan mengambil satu kemasan di dalam kotak kondom itu seraya tersenyum.
"Aku udah siapkan kondοm sesuai dengan permintaan kamu."
Vanessa memaksa dirinya untuk tetap bernapas. "Ry ... an." Vanessa pada akhirnya menyadari bagaimana kata-katanya tadi salah diartikan oleh Ryan. "Maksud aku tadi itu aku nanya. Kamu mindahin barang kamu ke kamar aku, itu maksudnya kamu mau tidur dengan aku?"
"Mau!" Ryan menjawab dengan tegas seraya mengangguk sekali. "Ini buktinya," tambahnya sembari memamerkan satu kemasan kondom di tangannya.
Ya salam.
Vanessa meneguk ludah. Tubuhnya terasa bergetar saat itu. "Ka-kamu mendekat, awas aja kamu, Yan," ancam Vanessa seraya mengangkat satu tangannya.
Tapi, Ryan bukan lagi mendekat. Setelah melepas celemek dari tubuhnya dengan gerakan yang menggoda, cowok itu langsung saja menghambur pada Vanessa.
Ryan langsung meraih tubuh Vanessa. Membuat wanita itu memekik ketika menyadari dirinya terjatuh di dalam gendongan Ryan. Kaget dan panik, refleks Vanessa tetap menuntunnya untuk melingkarkan tangan di leher Ryan. Daripada jatuh kan ya?
"Oke! Sesuai permintaan Nyonya, kita tidur aja dulu. Abis itu baru deh kita makan."
Wajah Vanessa memerah. Dan ia tak bisa mengatakan apa-apa selain meneriakkan satu kata. Tepat ketika Ryan membanting tubuh mereka berdua di atas kasur. Kata itu adalah ....
"RYAAAN!!!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro