Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

71. Di-PHP-in Mimpi

"Ryaaan ...."

Nama Ryan menggema dengan penuh kelirihan kala itu. Terasa ada nada keputusasaan di sana. Namun, tak urung juga tersirat rasa permohonan. Seperti ada keinginan yang tak terucap nyata.

"Argh ...."

Suara lirih Vanessa yang menyapa gendang telinganya terasa bagai lecutan yang membuat Ryan gelap mata seketika. Semua terlupakan. Tak ada lagi kesabaran yang mampu Ryan pegang untuk bertahan. Semua yang melingkupi dirinya menjadi satu penuntutan. Menginginkan sebanyak mungkin. Sebanyak yang mampu ia reguk. Memastikan tak ada satu sisanya pun yang tersisih percuma.

Ryan menginginkan Vanessa. Lebih dari yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Dan kenyataannya, Ryan tak pernah terlalu berani untuk membayangkan hal itu sebelumnya. Di saat di mana ... Vanessa dan dirinya bersama tanpa ada penghalang. Tubuh Vanessa yang lembab karena keringat, meliuk liat di dalam dekapannya. Mencengkeram dan berpegang padanya .... Bahkan di mimpi terliar atau pun imajinasi ternakal, Ryan tak berani mengkhayalkannya. Namun, sekarang bersama Vanessa ... semua benar-benar menjadi nyata.

Semua hal itu mendorong Ryan untuk menyentuh lebih berani. Berkali-kali. Lantas berganti dengan hunjaman yang terasa menyentak Vanessa hingga ke pusat dirinya.

Tiap sentuhan yang ia rasakan, seiring dengan hunjaman yang ia dapatkan, semua membuat Vanessa menjadi kian tak berdaya. Hanya mampu menyerahkan semuanya pada Ryan. Membiarkan cowok itu menuntun mereka berdua dengan berpegang pada nalurinya. Ia hanya bisa mendesah. Mengungkapkan semua yang ia rasa dengan lirihannya yang tak berdaya.

"Aaaaah ...."

Hingga pada titik itu, Ryan merasa dunia sudah tak lagi sama. Bersama Vanessa ia bisa merasa bahwa matanya kini menatap pada hal yang berbeda. Dan semua itu bermuara pada satu nama.

"Vanessaaa ...."

*

Bayangan itu melintas di benak Vanessa. Berganti-gantian. Tentang dirinya dan Ryan yang berciuman dengan begitu intens. Berpelukan dengan begitu erat. Hingga menyebutkan nama dengan begitu syahdu.

Semua hal yang tak mampu Vanessa bayangkan akan terjadi di dunia nyata.

Maka Vanessa lantas membuka matanya. Mengerjap perlahan. Beralih menatap ke sebelah. Pada tempat tidur yang kosong. Lantas ia pun tersenyum lebar.

"Astaga .... Nyatanya aku tidur sendirian loh," lirih Vanessa serak. Lalu matanya beralih lagi. Pada cahaya remang-remang yang perlahan masuk melalui ventilasi jendela. "Benar-benar mimpi yang menakutkan."

"Mimpi yang menakutkan?"

Satu suara dengan nada bertanya terdengar di telinga Vanessa. Seiring dengan suara pelan langkah kaki seseorang.

"Kamu mimpi apa?"

Vanessa kembali memalingkan wajahnya. Lalu, tatapannya beradu pada Ryan yang menghentikan langkah kakinya tepat di sisi tempat tidur. Dengan menggunakan satu tangan, cowok itu membawa satu nampan. Ada aroma yang menggiurkan dari nampan tersebut yang membuat Vanessa meneguk ludahnya.

Ryan duduk di tepi tempat tidur. Memangku nampan itu di atas pahanya.

"Kamu mau sarapan dulu atau mau cerita tentang mimpi buruk kamu dulu?"

Glek.

Entah yang mana dari pilihan Ryan yang membuat Vanessa meneguk ludahnya. Sarapan? Ehm .... Vanessa memang merasakan perutnya lapar setengah mati. Efek dari makan malam yang hanya mengandalkan setengah porsi mi kuah dan sarden mungkin. Atau karena mimpi buruk itu?

Ya Tuhan.

Vanessa menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.

Sampai mati aku nggak bakal cerita ke Ryan tentang mimpi meśum yang satu itu. Hellooow! Apa kata dunia kalau aku sampe mimpi meśum dengan Ryan?

Akhirnya, Vanessa menggeleng.

Terdengar helaan napas panjang Ryan. Ia tampak mengangguk sekali seraya sedikit beranjak. Meletakkan nampan tersebut di atas meja yang kebetulan terletak di sebelah tempat tidurnya.

Masih berbaring, Vanessa melirik ketika Ryan bangkit. Terlihat membungkuk di atas lantai. Membuat dahinya berkerut-kerut. Ryan seperti memungut sesuatu dari sana. Dan ketika Ryan berbalik padanya, Vanessa tercekat. Merasa napasnya tersangkut di tenggorokan.

"Pake baju dulu," kata Ryan menatap dirinya dengan sorot yang tak mampu diterjemahkan oleh Vanessa. "Terus baru sarapan. Udah itu kita baru balik."

WHAAAT?!

Vanessa sontak bangkit dari tidurnya.

"Aaah!"

Vanessa menjerit. Merasakan bagaimana selimut yang menutupi tubuhnya terjatuh begitu saja. Sekilas memperlihatkan dadanya yang polos pada Ryan.

Glek.

Ryan meneguk ludah.

"Ma-mau sarapan yang lain juga boleh sih, Sa."

Tangan Vanessa bergerak. Meraih bantal dan langsung melempar benda itu pada Ryan.

"Buuuk!"

Tapi, Ryan tak merasa sakit sedikit pun. Daripada menghiraukan bantal, Ryan justru tertarik dengan ekspresi Vanessa saat itu. Menahan selimut di dadanya, Vanessa meremas rambutnya yang acak-acakan.

"Ya Tuhan ...," lirihnya pelan. "Jadi, yang semalam itu bukan mimpi?"

"Eh?"

Sudut bibir Ryan terasa berkedut-kedut mendengar lirihan Vanessa. Membawa pakaian Vanessa, Ryan duduk menghampiri wanita itu. Langsung meraih tangan Vanessa. Membuat Vanessa berpaling pada cowok itu.

"Bisa-bisanya kamu ngomong yang semalam itu mimpi. Waaah!" Ryan terlihat seperti kehabisan kata-kata. "Parah kamu ya."

Vanessa meringis. "I-itu beneran?" tanyanya kemudian. "Kita ... beneran ...."

Ya Tuhan.

Vanessa tak mampu meneruskan kata-katanya lagi.

Lantas Ryan memperlihatkan semua pakaian Vanessa di tangannya. "Dengan keadaan kamu yang seperti ini ...," katanya, "... gimana bisa coba kalau yang semalam itu mimpi?"

Vanessa menggigit bibir bawahnya.

Bukan mimpi?

Itu bukan mimpi?

Ryan mengulum senyum. Terlihat menikmati kebingungan yang tercetak di wajah Vanessa. Cowok itu sama sekali tidak tersinggung, alih-alih ia justru merasa lucu. Tentu saja Ryan paham. Dengan kepribadian Vanessa, bukan hal yang aneh bila mendapati Vanessa sedang syok saat ini.

"Kalau kamu emang belum yakin kalau yang semalam itu nyata ..."

Suara Ryan membuat Vanessa mengangkat wajahnya. Ia menangkap sorot jahil di mata cowok itu.

"... aku bisa kok ngasih bukti sekali lagi pagi ini."

Darah serasa membeku di pembuluh darah Vanessa.

Mata Ryan berkedip-kedip. "Gimana?" tanyanya menggoda. "Mau?"

Satu tangan Vanessa bergerak. Langsung menyasar ke perut Ryan. Tapi, cowok itu sudah mengantisipasi pergerakan Vanessa. Jadi ketika wanita itu ingin mencubit perut Ryan, maka cowok itu dengan segera menangkap tangannya. Kemudian menggenggamnya dengan erat.

"Tuh ..., pagi-pagi udah mau colet-colet. Ih, Dinda mah."

Vanessa bergidik. "Ryan! Please. Jangan ngomong yang macam-macam."

"Hehehehe." Ryan terkekeh. "Lagian kamu sih, Sa. Masuk akal nggak sih sepagi ini udah mau nyubit aku? Sementara malam tadi kita---"

"Aaah!" teriak Vanessa. "Aku nggak mau denger. Aku nggak mau denger."

Ryan tersenyum geli.

"Dasar kamu cowok meśum! Pintar nyari kesempatan! Ahli memanfaatkan suasana!" rutuk Vanessa berulang kali.

Walau pada kenyataannya tanpa rutukan pun sebenarnya rasa kesal benar-benar telah terpancar dari wajah wanita itu. Terlihat memerah parah. Hingga Ryan merasa sebentar lagi kepala Vanessa akan berasap.

Memilih untuk tidak membalas perkataan Vanessa dengan kalimat yang sama kerasnya, Ryan justru dengan begitu pintarnya berkata seperti ini.

"Aku nggak ada maksa loh, Sa. Bukannya kalau kamu nggak mau, kamu bisa nolak malam tadi? Tapi, bahkan sampai selesai pun kamu nggak ada nolak sedikit pun."

Oh-My-God!

Vanessa merasa dirinya sudah benar-benar jatuh ke dalam jurang tak tau malu. Terasa ingin mengubur dirinya sendiri hidup-hidup.

"Jadi gimana?" lanjut Ryan. "Mau aku kasih bukti sekali lagi? Mau kita ngulangi yang malam tadi sekarang?"

Sekuat tenaga, Vanessa menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Ryan. Dibandingkan dengan memperdebatkan akal sehatnya yang seolah tergadaikan malam tadi, Vanessa justru memikirkan sesuatu. Sesuatu yang membuat tubuhnya menjadi panas dingin. Membayangkan kemungkinan yang mengerikan membayang di depan mata.

"Ponsel aku di mana?"

"Eh?" Dahi Ryan mengeryit mendapati perubahan topik yang tiba-tiba itu. Tapi, tak urung juga Ryan bangkit. Meraih ponsel Vanessa yang terletak di dekat nampan sarapan. Menyerahkannya pada Vanessa. "Ini ...."

Dengan tangan bergetar, Vanessa meraih ponsel itu. Namun, tak urung juga ia menyuarakan pertanyaan yang baru beberapa detik menggema di benaknya. "Ka-kamu malam tadi nggak pake pengaman kan?"

"Pengaman?" tanya Ryan bodoh. "Helm?"

Geram, Vanessa melotot. "Iya! Helm untuk kepala bawah kamu!"

Sedetik Ryan seolah berpikir, tapi kemudian ia justru tertawa.

"Hahahaha. Kepala bawah. Hahahaha." Ryan garuk-garuk kepala. "Kondοm maksud kamu?"

Vanessa semakin melotot. "Iya. Pake atau nggak?"

Kepala Ryan menggeleng. "Nggak. Kenapa?"

Tangan Vanessa memukul lengan atas Ryan. "Kenapa nggak pake?"

"Kenapa harus pake?" balas cowok itu seraya mengusap lengannya sendiri yang baru dipukul Vanessa. Namun, sedetik kemudian wajah Ryan kemudian berubah. "Aaah. Kamu takut kamu hamil?"

"Tentu saja aku takut!"

"Kan kita udah nikah, Sa," gerutu Ryan. "Kalau kamu hamil, ya ... nggak jadi masalah dong."

"Jadi masalah karena belum ada seorang pun yang tau kalau aku udah nikah!" geram Vanessa. "Kalau aku mendadak hamil dan kita mendadak ngasih tau dunia kalau kita udah nikah, menurut kamu apa yang akan dipikirkan orang-orang?"

Ryan bersedekap. Tampak berpikir seraya mengusa-usap ujung dagunya. Lalu, wajahnya terlihat sumringah ketika berkata.

"Orang-orang pasti bilang: Wah! Ryan memang paten! Dia bi--- Awww!"

Ryan kembali mengusap lengannya yang dipukul Vanessa.

"Orang-orang pasti bakal mikir kalau kita nikah karena kecelakaan. Mereka bakal mikir dosen dihamili mahasiswanya sendiri."

Ryan mendadak merasa geli. Ingin tertawa mendengar perkataan Vanessa, namun wanita itu justru menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali.

"Aku nggak mau anak aku lahir dengan dipandang buruk sama orang lain."

Satu kalimat lirih Vanessa dengan begitu ampuh membuat Ryan tertegun. Seperti ia baru menyadari hal tersebut.

"Pokoknya itu jangan sampai terjadi."

Mengabaikan Ryan, Vanessa dengan segera membuka ponselnya. Langsung menyasar pada aplikasi kalender bulanan. Tak sampai lima detik kemudian, terdengar helaan napas lega wanita itu.

"Kenapa?" tanya Ryan penasaran. "Kamu ngeliatin apaan?"

Vanessa menunjukkan kalender itu pada Ryan. "Untungnya semalam aku udah masuk fase nggak subur. Dalam dua hari lagi aku bakal menstruasi kok."

Satu senyum terbit di wajah Ryan. "Untunglah kalau begitu."

Perkataan itu membuat Vanessa melirik Ryan. Diam-diam mencoba meraba isi pikiran Ryan. Beberapa detik yang lalu Vanessa benar-benar khawatir kalau dirinya sedang dalam masa subur.

"Aku sama sekali nggak mikir ke arah sana," kata Ryan kemudian. "Memiliki anak sekarang, aku pikir memang bukan waktu yang tepat. Pernikahan kita belum diketahui orang. Kalau mendadak kita ngasih tau orang, pasti mereka mikir buruk ke kamu. Sementara profesi kamu adalah dosen. Ini pasti berat untuk kamu."

Vanessa sih tidak mau ..., tapi ucapan Ryan mau tak mau membuat ia melongo kagum. Tak percaya kalau Ryan bisa memikirkan hal tersebut.

"Aku nggak mikir itu malam tadi." Mata Ryan dengan begitu lekat menatap pada Vanessa. Terlihat serius. "Aku minta maaf."

"Eh?"

"Jujur saja ... malam tadi itu ..."

Dan Vanessa berani bersumpah. Ada rona malu dan sorot berbinar-binar di mata Ryan. Yang anehnya membuat perutnya terasa kembali bergejolak parah.

"... nggak pernah aku bayangkan sebelumnya."

Tau-tau, setelah mendengarkan Ryan mengatakan hal itu, Vanessa mendapati tangan Ryan sudah berada di pipinya. Mengusap dengan pelan. Seketika saja membuat bulu kuduknya naik dengan kompak.

"Aku nggak sempat mikir kalau tindakan aku bisa membahayakan kamu dan calon anak kita."

Sungguh!

Vanessa merasa gejolak di perutnya menjadi semakin tidak tertahankan lagi.

Calon anak kita?

Ya Tuhan.

Semoga kamu diberikan kekuatan karena punya bapak seperti ini, Nak.

Membiarkan pikirannya berkelana ke mana-mana, Vanessa tidak siap ketika mendapati Ryan mendorong tubuhnya hingga kembali terbaring. Cowok itu menahan tubuh Vanessa dengan memanfaatkan tubuhnya. Memastikan posisinya tidak akan mengizinkan Vanessa untuk mampu beranjak.

Ryan menatap Vanessa tanpa rasa jemu. Dengan keadaan berantakan, rambut yang terurai acak-acakan di atas bantalnya, dan bertahan hanya dengan sehelai selimut yang menyembunyikan tubuh polosnya, Ryan meneguk ludahnya.

"Karena itu ... aku minta maaf dengan tulus. Kamu maafkan aku kan?"

Mata Vanessa mengerjap berulang kali. Entah mengapa permintaan maaf Ryan membuat perasaannya terenyuh. Mau tak mau membuat Vanessa mengangguk sekali dengan begitu amat perlahan.

Anggukan itu menerbitkan senyum di bibir Ryan.

"Untunglah," kata Ryan. "Kalau gitu, ntar aku janji deh."

"Janji apa?"

"Janji bakal ngeborong kondοm," jawab Ryan dengan begitu entengnya. "Jadi, kamu nggak perlu khawatir lagi."

Wajah Vanessa memerah.

"RYAN!"

"Plaaak!"

"Awww!"

*

Ryan manyun sembari mengusap pipinya yang tadi menjadi korban tamparan dari Vanessa. Bibir bawahnya maju satu sentimeter. Terlihat cemberut seraya mengamati Vanessa yang baru saja selesai mandi dan berpakaian –di kamar mandi tentunya. Ugh! Padahal kan Ryan sudah menunggu di kamar.

Ck.

Ya salam.

"Kamu ini beneran nggak ada hati deh, Sa. Ya kali abis malam pertama aku malah kena tampar?"

Lagi-lagi Ryan menggerutu. Masih mengusap pipinya.

"Please, Yan," ringis Vanessa. "Bisa berenti ngomong malam pertama malam pertama?"

Ryan diam.

"Aku merinding dengernya."

"Ya ... mau gimana lagi. Kan semalam itu emang malam pertama kita."

Vanessa mengembuskan napas panjang. "Itu kecelakaan. Oke?"

"Ya emang kecelakaan sih," lirih Ryan. "Buktinya sampe ada yang berdarah." Ryan langsung berpindah tempat seraya mengulum senyum. "Sorry sorry sorry," katanya cepat ketika melihat Vanessa yang tampak ingin mengangkat piring bekas sarapannya tadi. "Ih. Gitu aja udah sewot."

Vanessa benar-benar merasa geram. "Kamu bisa berenti main-main nggak sih, Yan? Please ..., aku nggak mau ingat soal malam tadi."

"Ya untuk apa diingat-ingat kalau kita bisa melakukannya lagi?"

Piring benar-benar terangkat di tangan Vanessa.

"Ups!" Ryan menutup mulutnya. "Pagi-pagi nggak boleh langsung marah-marah. Ntar cepet keriput loh, Dinda."

Vanessa merasa tekanan darahnya turun drastis.

"Semua yang terjadi ... ini benar-benar nggak masuk rencana aku." Vanessa menatap tajam pada Ryan. "Kamu emang pasti udah merencanakan semuanya kan? Biar aku terlena dan nggak sadar diri sampe semua terjadi?"

Ryan kembali mencibir. Sementara Vanessa berdiri di depan cermin setelah meletakkan kembali piring di atas meja, Ryan kembali duduk di tepian tempat tidur.

"Nggak sadar, tapi bisa nyebut nama aku berulang kali coba," gerutunya dengan teramat pelan. Tapi, tak urung juga mendapat respon Vanessa yang langsung mengangkat tangannya. "Sa, tapi aku jujur. Aku nggak ada rencana buat ngajak kamu malam pertama di sini. Semua juga terjadi di luar kendali aku. Ehm ... gimana ya ngomongnya? Tapi ...." Senyum malu-malu terbit di wajah Ryan. "Malam tadi itu situasinya mendukung banget buat kita ehem ehem."

"Huuukkk!"

Vanessa terbatuk.

"Aku tuh ya padahal udah mikir mau ngajak kamu honeymoon ke mana gitu, eh ... nggak taunya malah jebol di sini."

Vanessa mengedarkan matanya. Lalu sedetik kemudian sebuah sisir melayang. Mendarat di dahi Ryan. Tapi, hal tersebut justru membuat cowok itu tertawa.

"Tapi, kamu kebayang nggak sih romantisnya malam pertama dikelilingi bunga-bunga?" tanya cowok itu kemudian. "Di mana lagi coba ada malam pertama dengan kearifan lokal kayak gini? Hihihihi."

Vanessa merasakan wajahnya sudah sangat memanas saat itu. Hingga ia memutuskan untuk segera beranjak dari sana.

"Ya. Malam pertama dengan kearifan lokal banget," tukas Vanessa tajam. "Karena kayaknya cuma aku yang abis malam pertama dikasih sarapan lontong sayur."

"Hahahaha."

Ryan spontan tergelak.

"Itu juga untung Bude di dekat halte jualan, Sa. Kalau nggak ... kayaknya kamu nggak bisa berdiri loh sekarang." Kedua tangan Ryan saling mengusap dengan gerakan malu-malu kucing. "Soalnya ... ada yang lemes gitu."

"RYAAAN!"

Vanessa benar-benar merasa malu hingga titik terendah di dalam hidupnya. Selama ini sepertinya baru sekarang Vanessa merasakan darahnya menggelegak seperti saat itu. Benar-benar tidak tertahankan lagi.

"Hahahaha. Sorry, Dinda."

Vanessa mengabaikan permintaan maaf jenaka itu. Ia meraih ponsel dan tas kecilnya. Bersiap akan pulang. Tapi, Ryan langsung bangkit dan menahan tangannya.

"Aku antar."

Pulang bersama Ryan?

Vanessa merasa itu bukanlah ide yang bagus. Bagaimanapun Vanessa tidak ingin sepanjang perjalanan ia merasa semakin gila karena ulah atau perkataan yang mungkin saja akan ia dapatkan dari Ryan. Ia butuh ketenangan beberapa saat. Perlu merenungi apa saja yang telah terjadi di dalam hidupnya.

Kepala Vanessa menggeleng. "Yan ..., kali ini aku mohon banget. Aku mau balik pake taksi aja. Aku butuh waktu sendiri buat mikir."

"Eh?"

Vanessa mengangkat wajahnya. "Aku mohon."

Rasa geli hilang dari perut Ryan dan cowok itu menangkap keseriusan di permohonan Vanessa. Lantas, ia mengangguk.

"Oke kalau mau kamu gitu. Kamu balik naik taksi. Aku juga mau lanjut kerja aja mumpung lagi libur praktikum."

Untunglah, pikir Vanessa.

Menatap kelegaan Vanessa, tangan Ryan berinisiatif bergerak sendiri. Jemari tangannya meraih dagu wanita itu. Menengadahkan wajahnya. Dan Vanessa hanya bisa memejamkan matanya saat Ryan meraup bibirnya dalam satu ciuman dalam yang singkat.

"Hati-hati di jalan."

Kali ini bukan alarm peringatan lagi yang berbunyi di benak Vanessa, melainkan terompet sangkakala.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro