7. Perjalanan
Duh!
Jantung aku berdebar-debar nih.
Rasanya seperti ada tukang gendang yang memukul-mukul di dalam sana.
Berasa jadi deg-deg gitu.
Mungkin berasa norak, tapi ... ya mau gimana lagi sih ya?
Soalnya pertama kali mau ngebonceng istri sih.
Hihihi.
Semenjak ia dan Vanessa bersama-sama menuju ke motornya yang terletak di parkiran, sebenarnya Ryan sudah merasakan dadanya yang riuh sekali. Ia mendadak gemetaran. Grogi. Karena jelas bahwa itu adalah pertama kali untuk mereka berdua pergi bersama-sama.
Dan sekarang, Ryan akan segera merasakan bagaimana sensasinya membonceng dosen wanita tercantik dan termuda di fakultasnya. Eh, ralat. Di kampusnya malah.
Tapi ..., kok dia belum naik-naik sih?
Ryan membuka kaca helmnya. Melirik ke samping dan mendapati Vanessa yang masih berdiri menatap jok belakangnya. Membuat cowok itu melihat melalui pundaknya. Melihat ke sana. Mencari-cari barangkali ada hal aneh atau membahayakan di sana sehingga membuat Vanessa belum juga naik dan duduk di belakangnya.
"Kenapa belum naik?" tanyanya santai. "Ada lintah atau ulat bulu?"
Vanessa terlihat kikuk dan masih belum mengenakan helmnya. Wajahnya terlihat canggung sekali ketika berkata.
"Ini ... kayaknya tinggi banget."
Mata Ryan mengerjap-ngerjap. "Tinggi?" tanya Ryan bingung. Sontak ia melihat ke kakinya yang masih menapak dengan kuat walau harus setengah mengangkang di motor besar itu. "Kayaknya biasa aja sih tingginya. Apa jangan-jangan---"
Ups.
Ryan menahan kalimatnya. Terutama ketika ia melihat wajah Vanessa yang memerah. Terlihat jengah.
"Memang aku pendek," katanya dengan nada datar.
Ryan meneguk ludahnya,
Mampus deh aku.
"Ehm ... kayaknya kamu pake dulu deh helmnya. Bisa?" Ryan menatap helm yang masih dipegang oleh Vanessa.
Gadis itu mengangkat helm bewarna hitam tersebut. Terasa berat di tangannya. Dan ia terlihat tidak yakin.
Ryan geleng-geleng kepala. Sesekali melihat ke langit gelap. Terlihat ada awan yang mulai berarak-arak. Seolah-olah sedang mengirim pertanda bahwa akan turun hujan sebentar lagi.
Ehm ... hujan-hujanan bareng istri sih kayaknya romantis juga tuh.
Ryan mendehem. Lalu memasang standar motornya dan segera turun.
Cowok itu lantas mengambil alih helm dari tangan Vanessa. Membuka kaitnya dan mengangkatnya ke atas.
Ryan menatap Vanessa.
"Sini. Mau dipasangin helmnya atau nggak?" tanya Ryan seraya berusaha menahan raut wajahnya.
Vanessa tampak mengerjap-ngerjapkan matanya. Lalu kakinya perlahan bergerak. Melangkah mendekati Ryan. Mata gadis itu terlihat melirik ke arah lain.
Bibir Ryan terasa geli. Rasa-rasanya ingin sekali tersenyum, tapi ia sebisa mungkin untuk menahannya. Seraya memasangkan helm itu, Ryan berbisik di dalam hati.
Ya kalau mau dipasangin helm sama suami mah, nggak perlu malu-malu gitu dong. Ih ... jadi buat aku gemes aja.
"Klek."
Helm terkunci dengan aman di bawah dagu Vanessa. Sontak membuat Vanessa membawa pandangannya kembali pada Ryan. Terlihat cowok itu yang sedikit merapikan rambut panjang Vanessa sebelum beranjak kembali ke motornya.
"Yuk ah. Kita buruan aja. Takut hujan di jalan." Ryan mengatakan itu seraya memutar kunci motornya.
Vanessa beranjak. Ingin mencoba naik ke motor itu, tapi justru dibuat kaget ketika tangan cowok itu berkali-kali menarik gas.
"Astaga ...."
Ryan melirik ke spion.
Ini cewek nggak pernah naik motor atau gimana?
Tapi, Ryan memutuskan untuk mengamati saja dari spion ketika Vanessa terlihat berusaha untuk naik. Bola mata cowok itu berputar-putar, menghitung di dalam hati sekiranya kapan Vanessa akan meminta bantuannya.
Satu ... dua ... ti---
"Ryan ...."
"Apa, Sayang?"
"Bruuummm!!!"
Ryan dengan segera menarik gas dengan kuat. Bermaksud agar meredam ucapannya yang terceplos barusan.
Astaga!
Ini mulut ya kayak nggak pernah sekolah aja.
Ryan menepuk sekilas mulutnya.
Tapi, mau gimana lagi.
Baru kali ini coba nama aku dipanggil semerdu itu. Biasanya kan kalau di kelas: Rizki Adryan Wicaksana hadir?
Hihihi ....
"Plaaak!"
Ryan tersentak merasakan satu tepukan di punggungnya. Ia menoleh melihat Vanessa yang melotot.
"Kamu mau mecahin gendang telinga aku atau gimana?"
Ups.
Ryan menarik kembali tangannya. Mendehem sejenak. "Ke-ke-kenapa tadi manggil?" tanyanya kemudian.
Vanessa mengembuskan napas. "Ini gimana naiknya sih?"
Tuh kan, pikir Ryan.
Maka Ryan mendehem. Terlihat menggerakkan punggung lebarnya berulang kali, seperti ingin merilekskan otot-otot di sana. Menahan posisi motor dengan tangan kirinya, Ryan menggerakkan tangan kanannya untuk menepuk pundak kirinya.
"Pegang pundak aku, terus kamu agak loncat gitu. Udah deh."
Vanessa menarik napas dalam-dalam. Diam-diam ia merasa frustrasi. Rasanya ia bisa gila sebentar lagi. Bukannya apa, tapi rasa-rasanya kalau ada wanita lain yang berada di posisi dirinya saat ini, sepertinya wanita itu memang akan gila.
Tadi kan rencananya hanya makan malam biasa, tapi kenapa akhirnya aku justru harus balik sama ini cowok ke unit?
"Huh!"
Vanessa membuang napas sejenak.
Sejurus kemudian wajah gadis itu masih terlihat ragu, namun pada akhirnya Vanessa tetap saja mengulurkan satu tangannya di pundak kiri Ryan. Sementara itu kaki kirinya terlihat naik ke pijakan motor.
Ryan kemudian berkata. "Tangannya satu lagi di pundak kanan aku."
Ugh!
Kesempatan sekali anak muda.
Vanessa tau bahwa dirinya tak punya banyak pilihan. Maka ia pun melakukan apa yang dikatakan oleh cowok itu. Mengulurkan tangan kanannya untuk berpegang pada pundak kanan Ryan.
"Aku itung sampe tiga ya. Pas hitungan ketiga kamu loncat," kata Ryan lucu.
Aduh!
Ini aku berasa kayak lagi ngerjain dosen aja.
Eh, tapi kapan lagi coba aku bisa giniin dosen?
Hihihi.
Tapi, anehnya Vanessa juga tidak membantah.
"Satu ...."
Ryan pun mulai menghitung.
"Dua ...."
Ryan menahan gelinya saat merasakan tangan Vanessa yang terasa meremas pundaknya.
"Tiga ...."
Vanessa melakukan apa yang dikatakan oleh Ryan dan bokongnya dengan mulus mendarat di jok belakangnya yang tinggi itu.
"Hahahaha."
Tanpa sadar, Ryan tertawa terpingkal-pinggal seraya memukul motornya berulang kali.
Ya Tuhan.
Aku nggak pernah ngira kalau bakal ngajarin dosen naik motor.
"Plaaak!"
"Aduh!"
Ryan meringis ketika merasakan tepukan kembali hinggap di punggungnya. Ia melihat Vanessa melalui spion. Wajah gadis itu terlihat merah padam. Ya, pasti. Tentu saja dia malu karena baru saja menjadi bahan tertawaan mahasiswanya sendiri.
"Ehm ... sorry," kata Ryan. "Soalnya kamu kayak yang nggak pernah naik motor aja."
Vanessa mendehem sekilas. "Aku nggak pernah naik motor setinggi ini."
"Oh ... maklum, motor ini pertumbuhannya ke atas sih, bukan ke samping."
Vanessa mengerutkan dahinya, tapi tak berkomentar apa pun untuk gurauan cowok itu. Terutama karena beberapa saat kemudian, Ryan tampak melajukan motornya. Keluar dari kawasan restoran itu.
Sepanjang perjalanan, Vanessa berusaha setengah mati untuk mempertahankan posisi duduknya. Bagaimanapun juga, jok belakang motor Ryan itu tinggi dan memiliki posisi yang cenderung condong ke depan. Setiap pergerakan motor itu selalu saja berefek pada tarikan yang seakan ingin menarik tubuh Vanessa untuk jatuh ke punggung cowok itu. Tapi, sebisa mungkin Vanessa mencoba agar hal itu tidak akan terjadi. Ia bertahan sekuat tenaga.
Sementara itu, Ryan yang mengemudikan motornya terlihat sesekali melirik pada spion untuk melihat Vanessa. Wajah wanita itu terlihat tegang di balik kaca helmnya. Hingga membuat Ryan bertanya-tanya.
Apa dia lagi nahan buat pup ya?
Ehm ....
Kayaknya sih iya. Soalnya tadi dia makan lumayan banyak juga.
Maka tanpa basa-basi Ryan pun segera menaikkan kecepatan motornya. Layaknya pembalap yang sedang melaju di lintasan balapan, Ryan bersama dengan motornya meliuk-liuk dengan begitu ahli. Mencari celah di antara kendaraan-kendaraan lainnya dan semakin menikmati tarikan gasnya yang dipacu angin malam. Tanpa sadar membuat wanita yang berada di belakangnya menjadi melotot ketakutan.
Hal itu lantas membuat Vanessa untuk membawa kedua tangannya demi meraih kedua sisi jaket kulit yang Ryan kenakan. Meremasnya dengan kuat. Dan hal itu membuat mata Ryan mengerjap-ngerjap. Tepat ketika ia berbelok dan tak melihat bahwa ada seekor kucing sedang menyeberang. Ryan kaget.
"Ciiittt!"
Seketika saja Ryan menarik tuas remnya. Berusaha untuk menghentikan motornya di waktu yang tepat.
Ketika motornya telah berhenti, secepat mungkin Ryan membuka kaca helmnya. Melihat ke arah kucing itu yang melenggang bak model di atas catwalk.
"Dasar itu kucing," lirih Ryan geram. "Nyeberang kok nggak pake aba-aba sih? Untung aja aku udah belajar ngerem dari Rossi. Euh, kalau nggak udah jadi makhluk tanpa nyawa kamu."
Ryan berdecak sekilas. Masih kesal dan memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan mereka. Tapi, ketika ia akan melajukan lagi motornya, mendadak saja tubuh Ryan membeku.
Mata cowok itu mengerjap-ngerjap dengan dahi yang berkerut. Dan di saat itulah Ryan merasa jantungnya berdebar dengan begitu kencang. Otaknya berusaha untuk berpikir keras ketika merasakan sesuatu yang ganjil.
Ini yang kenyal-kenyal empuk di punggung aku apaan ya?
Glek.
Ryan meneguk ludahnya. Apalagi saat ia menyadari ada sepasang tangan yang melingkar di pinggangnya.
Tepat ketika kucing itu sampai di seberang, entah mengapa kucing itu justru menoleh pada Ryan. Tatapan keduanya beradu dan Ryan berani bersumpah ia melihat kucing itu seolah mengedipkan satu mata padanya. Dalam hati Ryan berkata.
Makasih ya, Cing, ya. Semoga kamu panjang umur.
Vanessa merasakan napasnya terasa kacau dan jantungnya berdebar dengan kencang. Ya kali. Mana mungkin ada orang yang tidak ketakutan bila berada di posisi Vanessa tadi? Sudahlah dibawa Ryan dengan kecepatan tinggi, eh pakai acara berhenti mendadak lagi. Memangnya cowok itu pikir mereka sedang kabur dari penjahat atau bagaimana?
Selang beberapa saat kemudian, ketika Vanessa merasa napasnya mulai teratur kembali, ia mendadak tersadar sesuatu. Yaitu, posisi dirinya dan Ryan saat itu.
Seketika saja Vanessa melepas pelukannya pada pinggang Ryan dan justru kemudian mendorong punggung cowok itu seraya merutuk.
"Dasar kamu ya!"
Ryan kaget ketika kali ini bukan hanya tepukan sekilas yang mendarati di punggungnya, melainkan pukulan wanita itu.
"Aduh! Aduh! Aduh!"
Ryan berulang kali mengaduh seraya berusaha menyelamatkan punggungnya. Tapi, apa daya. Posisi mereka berdua tidak mengizinkan Ryan untuk melarikan diri. Ia menoleh ke belakang.
"Kok mukuli aku sih?"
Vanessa membuka kaca helmnya. Matanya terlihat melotot menyala. "Kamu sengaja ya ngerem mendadak?"
"Eh?"
"Sengaja atau nggak sengaja?"
"Ya ... nggak sengaja," kata Ryan seraya mengerjap-ngerjapkan matanya.
Vanessa menyipitkan matanya. "Nggak sengaja atau sengaja?"
"Ya ... sengaja."
Ups.
Ryan menutup mulutnya. Terutama ketika tangan Vanessa kembali bergerak memukuli dirinya.
"Astaga. Aduh! Badan aku sakit."
Vanessa menggeram. Menarik tangannya. "Jadi, jujur. Kamu nggak sengaja atau sengaja?"
Ryan mencibir. "Nggak sengajanya sengaja."
"Eh?"
Tangan Ryan menunjuk ke seberang. "Tuh! Itu yang buat ulah."
Dan layaknya mengerti sedang dibicarakan, kucing itu kembali melenggang seraya mengeong.
"Meong ... meong ... meong ..."
"Tuh kan!" kata Ryan. "Dia bilang iya ... iya ... iya ...."
Mata Vanessa melotot, tapi keburu Ryan bertanya.
"Kita lanjut jalan aja ya? Atau kamu mau mukul-mukul aku di bawah guyuran air hujan? Biar berasa kayak lagi syuting film Bollywood?"
Mata Vanessa melirik ke langit dan terpaksa mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Mengetahui bahwa apa yang dikatakan Ryan benar. Lantas ia mendengus sebagai jawaban.
Ryan segera menurunkan kaca helmnya dan kembali melajukan motornya. Dalam hati ia jadi bertanya-tanya.
Apa aslinya Vanessa tuh orangnya memang begini ya?
Aku ngeliat di kampus dia kayak cewek yang lemah lembut, tapi kenapa baru bentar bareng dia badan aku berasa jadi samsak tinju sih?
Ryan geleng-geleng kepala, mengingat bahwa setelah perjodohan mereka sebenarnya ia dan Vanessa belum pernah benar-benar bersama. Hanya ada proses lamaran yang tak lama dan momen malam setelah pernikahan mereka di mana kala itu mereka kan langsung tidur tuh. Praktis, baru sekarang mereka benar-benar berdua.
Dan Ryan memang menyadari, baru sebentar kebersamaan mereka kali itu, tapi dirinya sudah beberapa kali kena pukul oleh Vanessa.
Tapi, ehm ....
Kayaknya jadi samsak tinju bentaran nggak jadi masalah juga sih.
Hihihi ....
Tapi, gimana ya ngomongnya.
Kenyalnya empuk gitu.
Hihihi ....
Punggung aku berasa dapat pijatan gratis malam-malam.
Ryan menarik napas dalam-dalam.
Wahai dadá, tangan, dan semua organ tubuhku yang lain, harap kalian mampu bersabar. Masa kalian akan ada dalam waktu dekat.
Kita hanya perlu menunggu sampai tiba ke unit apartemen yang telah menanti.
Cihuyyy!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro