Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

69. Salah Posisi

Untuk beberapa saat, Ryan berusaha untuk tetap diam menunggu. Lagipula sebenarnya ia memang tergolong tipe cowok yang penyabar. Hanya saja, semakin lama waktu berlalu, menunggu menjadi hal yang melelahkan bagi cowok itu. Pada akhirnya, Ryan pun bersuara.

"Udah, Sa. Mau nunggu sampe kapan? Ini ujan pasti bakal berenti besok. Aku berani bertaruh deh."

Perkataan Ryan membuat Vanessa yang dari tadi mondar-mandir, berhenti. Wajahnya berpaling pada jam dinding di kamar cowok itu.

Ya ampun.

Udah hampir jam setengah sebelas malam?

Dan hujan belum berenti juga?

Boro-boro berenti, mereda pun nggak.

"A-aku bisa pulang pake taksi," kata Vanessa kemudian dengan suara yang sedikit terbata. "Ya. Aku pesan taksi aja."

Di atas tempat tidur, menyangga kepalanya dengan kedua tangannya di atas bantal, Ryan tersenyum menggoda.

"Orang waras mana yang masih mau narik taksi di saat hujan selebat ini? Risiko kecelakaannya nggak sebanding dengan foto pahlawan, Sa. Hihihihi."

Vanessa mengatupkan mulutnya.

Gadis itu tentu menyadari bahwa yang dikatakan Ryan benar. Orang waras tentu saja tidak akan melakukan hal tersebut. Tapi ....

"Buktinya aja ada kamu yang nggak waras!" tukas Vanessa. "Masa di luar sana nggak ada seorang pun sopir taksi yang nggak waras?"

Ryan mendengus geli. "Kamu mau dibawa lari sopir nggak waras?"

Vanessa diam.

Benar juga.

"Dah. Makanya aku bilangin. Bobok aja di sini."

Mata Vanessa melotot. Terutama ketika dilihatnya Ryan sedikit bergerak. Berganti posisi. Kali ini cowok itu membawa tubuhnya berbaring menyamping, menyangga kepalanya dengan satu telapak tangan sementara tangan yang lain mengusap-usap kasurnya.

"Sini deh. Udah Kanda bersihin kasurnya. Dijamin. Nggak bakal ada seekor semut pun yang bakal gigit kamu, Dinda." Ryan merasakan sudut bibirnya berkedut. Ada semacam desakan yang tak tertahankan. "Ya paling aku aja yang gigit-gigit manja. Hihihihi."

Vanessa membeku. "Kamu ini emang kalau ngomong nggak pake dipikir dulu?"

"Sorry sorry. Tapi, yang aku bilangin beneran loh, Sa," kata Ryan berusaha menahan kikiknya. "Daripada capek mondar-mandir kayak gitu dari tadi, mending bobok aja."

Perut Vanessa terasa bergejolak. Respon spontan dari ucapan Ryan. Terutama karena ketika mengatakan hal tersebut, Ryan turut mengedip-ngedipkan matanya berulang kali. Diselingi dengan senyum menggoda.

"Sini sini sini."

Vanessa bergidik. Sepertinya dingin malam itu semakin menjadi-jadi. Lalu, ia geleng-geleng kepala. Mengisyaratkan penolakannya. Namun, hal itu justru ditanggapi dengan makna berbeda oleh Ryan.

"Apa?" tanyanya. "Kamu nggak mau bobok?" Ryan menganga. "Terus kamu mau kita ngapain coba kalau nggak bobok?"

"Ry ... an ...!"

Ryan berusaha menahan tawanya. Menyadari bahwa candaan yang baru saja ia lontarkan langsung menyulut gadis itu.

"Va ... nes ... sa ...."

Kedua tangan Vanessa sudah mengepal di masing-masing sisi badan. Wajahnya sudah sangat memerah. Entah karena malu atau karena marah. Atau mungkin ... karena keduanya. Hihihihi. Entahlah. Yang pasti sedetik kemudian Ryan tertawa seraya bangkit duduk bersila.

"Ck. Kamu ini," lirihnya. "Udah. Tidur aja. Emangnya kamu mau berdiri sepanjang malam kayak gitu? Lagian ya. Kapan lagi coba kamu dapat kesempatan tidur bareng aku di kasur aku?" Kedua mata Ryan menyipit. "Kamu beruntung banget coba."

"Beruntung apaan?!" tukas Vanessa.

"Beruntung dong. Jadi satu-satunya cewek yang pernah bobok bareng aku di kasur aku. Hihihihi." Ryan menutup mulutnya, namun kikiknya semakin menjadi-jadi.

"Kalau gitu mah sepertinya kamu yang lebih beruntung. Jadi satu-satunya cowok yang pernah bobok bareng aku di kamar kamu."

"Wah!" Ryan terkesiap. "Aku tersanjung."

Vanessa bergeming.

"Nggak mau tidur? Tahan? Sampai pagi?"

Vanessa memikirkan hal tersebut.

"Lagian kan ... ini bukan pertama kalinya kita bobok bareng, Dinda."

"Tapi, selama ini tidurnya juga di kamar aku. Bukan di kamar kamu."

Ryan senyum. Lalu bergerak pelan. Beringsut dari tengah kasur menuju tepinya. Kali ini cowok itu duduk di sana. Kakinya menyentuh rasa dingin di lantai.

"Kalau udah nikah itu berarti kamar milik bersama." Kedua mata cowok itu menatap pada Vanessa. Menyadari betapa bersikukuhnya gadis itu. Ryan memperkirakan sudah hampir setengah jam Vanessa berdiri mondar-mandir. Hanya demi tidak ingin membaringkan tubuh di kasurnya. "Lagipula ... aku merasa jangan-jangan masalahnya bukan karena ini kamar aku. Melainkan karena ada akunya. Buktinya, tadi sore kamu tidur pulas banget coba."

Beberapa saat, gadis berambut panjang bergelombang itu diam. Baru kemudian ia berkata.

"Memang. Perasaan aku nggak nyaman kalau harus tidur bareng kamu di kamar kamu."

"Ih." Bibir bawah Ryan mencibir sekilas. "Kamu meragukan kemampuan aku. Dijamin deh. Kamu bakal nyaman banget. Hihihihi."

Vanessa menggeleng. "Nggak mau."

"Loh? Terus gimana? Kamu nggak mau tidur semalaman?"

"Ehm ...." Dahi Vanessa tampak berkerut. "Gimana kalau gini? Aku tidur di sini, kamu tidur di luar?"

Ryan melongo.

Sedetik.

Dua detik.

Tiga detik.

"Kayaknya mie kuah dan sarden tadi udah kadaluarsa deh." Ryan geleng-geleng kepala. Segera mengenyahkan niatnya semula yang ingin memborong mie kuah dan sarden. "Kamu ini nggak ada hati ya? Hujan segede ini nyuruh aku tidur di luar? Di mana coba? Kamu liat kan? Di rumah ini nggak ada perabotan lainnya yang bisa jadi tempat aku tidur. Kamu mau nyuruh aku tidur di mana? Di karpet luar? Atau kepalang nyuruh aku tidur di pondok?"

Vanessa syok. Saking banyaknya kalimat yang dilontarkan oleh Ryan, dirinya tak tau lagi harus merespon yang mana dulu. Apalagi ketika ia justru melihat Ryan bangkit. Wajahnya cemberut.

"Ya udah. Aku tidur aja di pondok. Puas-puasin aja kamu menghangatkan diri di kamar aku."

Ryan menggerutu panjang lebar. Tampak membuka lemari pakaiannya. Mengambil jaket dan mengenakannya dengan cepat. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Ryan beranjak dari sana. Namun, ketika langkahnya baru akan mengarah ke pintu, ia merasakan tangannya ditahan. Ia menoleh.

"Apa lagi? Pondok masih kurang jauh? Apa aku kepalang tidur di pelataran Monas aja? Kali aja besok pagi dapat receh."

Mata Vanessa membesar. Di matanya tersirat pertentangan. Dan pada kenyataannya itulah yang sebenarnya terjadi di benak gadis itu.

Ini kamar Ryan, tapi masa malah dia nggak tidur di sini?

Lalu gadis itu menengadahkan wajahnya. Terlihat salah tingkah. Berat ketika harus berkata.

"Ya udah ... kamu tidur di sini."

"Eh?" Sorot mata Ryan berubah jadi curiga. "Jadi, kamu yang tidur di pondok?"

"Ya nggak!" jawab Vanessa cepat.

"Terus? Kamu mau tidur di mana?"

"Ya ... di sini juga."

Sudut bibir Ryan pelan-pelan bergerak ke atas. Melengkung dalam upaya membentuk satu senyuman.

"Tapi, dengan satu syarat!"

Senyum Ryan langsung saja memudar. Perasaannya berubah menjadi tidak enak. Entah mengapa sensor peringatan di dalam dirinya mendadak berbunyi. Ryan yakin. Apa pun itu, pasti bukanlah syarat yang bagus.

*

Mata Ryan menatap lurus ke langit-langit kamar. Kedua tangannya terlipat dengan rapi di atas perut.

Vanessa bener-bener deh.

Berkedip sekali, Ryan kemudian melirih.

"Sa ...."

"Jangan bergerak."

Ryan mengembuskan napas panjang. Matanya melirik ke samping. Berusaha melihat pada Vanessa dengan tidak mengubah posisi berbaring lurusnya.

"Kamu tega banget sih, Sa," lirih Ryan. "Nggak cukup nyuruh aku baring kayak polisi tidur gini ... eh, pake dibatasi guling lagi."

Ryan cemberut.

Ia memang sudah memperkirakan syarat Vanessa bukanlah hal yang menyenangkan. Tapi, Ryan tidak menduga akan menjadi seperti ini. Ia harus berbaring lurus. Tidak boleh miring kanan miring kiri. Tak ubahnya seperti polisi tidur di jalanan. Ya ampun. Membayangkan sepanjang malam akan tidur dengan posisi itu saja sudah membuat Ryan merasa pegal. Apalagi kalau benar-benar kejadian. Ugh! Ryan tidak bisa membayangkannya akan menjadi seperti apa badannya besok pagi.

Tak hanya sampai di sana. Sebagai tambahan, Vanessa meletakkan guling di antara mereka. Vanessa mengatakan bahwa itu adalah batasan yang tidak boleh dilanggar.

"Ini bukannya tega. Tapi, demi keselamatan aku," kata Vanessa.

"Benar-benar aja! Kayak yang aku bakal ngapa-ngapain kamu aja coba." Cowok itu langsung membantah. Sekarang, terang-terangan saja ia beranjak menyamping. "Sembarangan aja."

Vanessa melotot seketika. "Eh? Kamu begerak?"

"Iya. Kenapa? Itu kan ciri makhluk hidup. Begerak."

"Balik ke posisi tadi nggak?"

"Nggak."

"Ryan!"

"Vanessa!"

"Aku nggak main-main loh."

Ryan membalas pelototan Vanessa. "Aku juga nggak main-main. Ya kali bobok bareng pake acara dibatasin kayak gini," rutuk Ryan. "Ini ..." Ryan memegang guling. "... penghalang yang harus disingkirkan."

Vanessa berusaha mencegah. Namun, Ryan dengan cepat mengangkat guling itu. Bersamaan dengan Ryan yang berusaha melempar guling itu ke lantai, Vanessa pun bangkit dari tidurnya. Berusaha bergerak dengan cepat. Langsung mengulurkan tangan ingin merebut guling itu tanpa memedulikan keseimbangan tubuhnya.

Tangan Ryan yang lebih panjang dengan cekatan melempar guling. Benda tak bersalah itu mendarat di lantai. Pada akhirnya, tangan Vanessa hanya meraih udara kosong. Dan hal itu membuat tubuhnya sedikit limbung.

"Bukkk!"

Vanessa tak mampu mencegah tubuhnya terjatuh di atas á Ryan. Menyadari apa yang telah terjadi, Vanessa dengan segera bergerak. Tapi, satu tangan yang sigap telah melingkari pinggangnya yang ramping.

Vanessa mengirimkan ancaman melalui sorot matanya yang terarah lurus pada Ryan.

"Kamu ngapain?"

Ryan balas menatap Vanessa.

"Kamu yang ngapain? Aku udah baring lurus gini ... eh, aku malah kamu timpok."

Sedetik, Vanessa hanya bisa diam. Tapi, di detik selanjutnya ia berkata. "Lepasin aku nggak?"

Ryan geleng-geleng kepala. Mengulum senyum. "Nggak bakal."

Kedua tangan Vanessa menekan dadá Ryan. Berusaha mendorong agar rengkuhan di pinggangnya bisa melonggar, sekaligus untuk menjaga jarak di antara mereka. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sekarang Ryan menahan Vanessa dengan kedua tangannya.

"Kamu sadar nggak sih kalau kamu udah melanggar peraturan yang tadi kamu buat sendiri?" tanya Ryan. "Kamu bergerak. Melewati batas. Dan lebih dari itu, sekarang kamu malah nimpokin aku coba."

"Kamu ...."

"Kamu melanggar peraturan, Dinda," potong Ryan cepat. "Dan sepertinya kamu harus dihukum dulu deh."

Mata Vanessa membesar. Telah tampak sorot antisipasi di sepasang bola mata bening itu.

"Ka-ka-kamu mau ngapain? Ka-kamu jangan macam-macam, Yan," ujar Vanessa memperingatkan. Tetap berusaha melepaskan diri, namun Ryan tak memberikan sedikit pun celah baginya.

"Mau dilihat dari mana pun, sekarang justru keliatannya kamu deh yang mau ngapa-ngapain aku. Ini coba. Kamu megang-megang dadá aku." Manik jahil berkilat-kilat di mata Ryan. Cukup jelas menunjukkan bahwa cowok itu berniat menjahili Vanessa kali ini.

Vanessa tau dengan jelas isi pikiran Ryan. Maka ia pun semakin berusaha melepaskan diri.

"Aduh, Sa! Ngeremasnya jangan kenceng banget. Sakit tau?"

"Ryan!" geram Vanessa. "Jangan seolah-olah kamu ya."

"Seolah-olah gimana? Orang terang banget tangan kamu di dadá aku. Ehm .... Coba tangannya pindah bentar, Sa. Ke tempat yang lain juga boleh."

"Dasar meśum kamu, Yan."

"Kok malah aku yang meśum? Nyatanya aja kamu yang lagi megang-megang aku. Hayo. Kamu mau ngapa-ngapain aku ya?"

"Nggak."

"Ih. Nggak mau jujur. Padahal kalau kamu mau ngapa-ngapain aku ..., aku ikhlas kok." Kedua tangan Ryan bergerak. Merengkuh semakin erat. "Ayoh. Apa-apain aku deh."

"Kamu gila."

"Udah dibilangin juga. Aku emang gila sama kamu."

Entah harus dengan apa lagi Vanessa mengatai Ryan. Tapi, cowok itu justru terlihat begitu menikmati situasi.

Mata Vanessa bergerak liar. Melihat-lihat ke sekitaran mereka. Dan tinggal selama hampir sebulan bersama gadis itu, tentu saja Ryan bisa menerka ke mana arah pikiran Vanessa saat ini menuju.

"Kamu mau nyari apa?" tanya Ryan geli. "Mangkok? Piring? Atau pot tanah liat?" Ia terkikik. "Seperti yang kamu liat. Rumah aku di sini minim perabotan. Hihihihi. Kecuali kalau kamu mau ngelempar aku dengan pelukan kasih sayang. Nah ..., itu lain cerita."

"Pelukan kasih sayang dasar otak nggak waras." Vanessa merutuk. "Lepasin atau ...."

"Atau apa?" tantang Ryan. "Aku berani bertaruh. Kamu nggak bakal melepas tangan kamu dari dadá aku."

Vanessa menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menahan emosinya. Mau tak mau ia membenarkan perkataan Ryan. Logika saja. Bila ia menarik tangannya dari dadá Ryan, maka otomatis dirinya tak memiliki penahan lagi di saat kedua tangan Ryan masih menekan punggungnya saat itu. Menarik tangannya berarti membiarkan dirinya benar-benar terjatuh di atas dadá cowok itu. Membayangkannya saja membuat Vanessa merinding. Apalagi kalau hal itu benar-benar terjadi.

Ryan bisa menangkap raut tak berdaya gadis itu karena perkataannya. Mengetahui bahwa Vanessa memilih untuk tidak mengambil risiko. Berada di atas angin, Ryan justru tak mempersoalkan pilihan yang diambil gadis itu. Mempertahankan atau pun melepaskan tangannya, sama-sama menguntungkan bagi Ryan. Vanessa tetap berada di pelukannya.

Menikmati situasi itu, Ryan lantas mendehem. "Ehm ...." Matanya menatap pada Vanessa. Mengabaikan keresahan yang terpancar dari sorot mata gadis itu. "Sekarang kamu jadi diem. Ini pasti karena kamu mulai nyadar kan? Pelukan kayak gini ngebuat dinginnya jadi nggak kerasa kan?"

"Kamu ini ...."

Wajah Vanessa memerah, menggigit bibir bawahnya. Tak mampu meneruskan perkataannya sendiri. Bukan tak mampu. Tapi, ia benar-benar kehabisan kata-kata. Satu kalimat ia lontarkan, maka Ryan akan membalasnya dengan sepuluh kalimat. Sekarang stok kata-kata sudah menghilang dari benak Vanessa.

Namun, di lain pihak itu justru membuat Ryan menjadi tertegun. Matanya terpana melihat wajah Vanessa yang biasanya datar dan sadis saat berkata tajam, berubah menjadi seperti itu. Memerah dan tak bisa berkata-kata. Seketika saja Ryan merasa kedua lututnya melemas.

Vanessa mengerjapkan mata. Menyadari untuk beberapa detik entah mengapa justru situasi mendadak berubah menjadi hening. Tak hanya itu. Ia justru merasakan sesuatu yang aneh. Sudut mata Vanessa melihat bagaimana Ryan menarik satu tangannya. Hal yang kemudian tidak akan disia-siakan oleh Vanessa. Ia akan melepaskan diri dan beranjak dari---

Ryan meraih tekuk Vanessa. Tanpa aba-aba, menariknya turun.

Dalam hitungan detik yang begitu cepat, Vanessa hanya bisa memejamkan mata. Lalu, sepertinya yang dikatakan Ryan tadi benar. Sekarang ia tidak merasa dingin lagi.

Itu adalah ketika Ryan melumat kedua belah bibir Vanessa dengan bibirnya.

*

bersambung ....


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro