Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

68. Jebakan Yang Disyukuri

"Aku udah ngomong loh dari tadi. Sekalinya Bos bawa cewek, eh ... langsung memicu perubahan alam."

Sahrul dan Anton mengangkat kepalanya. Bunyi petir terdengar sahut menyahut. Disertai angin kencang. Dan tak lama kemudian, hujan pun turun dengan begitu lebatnya.

"Astaga! Pake acara hujan lagi."

Ryan merutuk.

Baru saja sekitar setengah jam yang lalu kedua ibu mereka pulang dari depot dan Ryan pun meninggalkan Vanessa untuk beristirahat di rumah sementara ia bekerja, tapi mendadak saja alam berubah dengan drastis. Barang tentu, ketiga orang cowok itu dengan segera menyelamatkan beberapa tanaman yang berukuran kecil dan sedang. Terburu-buru dikejar oleh waktu dan hujan. Tak memedulikan keadaan mereka yang sudah basah kuyup tak terkira.

Hingga pada akhirnya mereka selesai menyelamatkan semua tanaman yang menjadi prioritas, ketiganya langsung berteduh di pondok. Membuang air hujan di tubuh mereka. Dengan mata yang menatap lurus ke depan. Pada air-air yang turun dengan begitu lebat.

"Aduh. Nggak bakal sebentar ini ujan," lirih Ryan.

Mata Ryan melirik pada motornya yang mendapat steam gratis dari alam. Untung tadi ia keburu menyelamatkan dua helm miliknya itu. Sekarang, helm itu ada di atas kursi rotan terasnya.

Untuk beberapa saat, mereka hanya menunggu di pondok seraya bercakap-cakap kecil. Membicarakan hal yang penting hingga hal yang tidak penting sama sekali. Seperti keadaan semut contohnya.

"Kalau hujan kayak gini," ujar Ryan seraya mengusap-usap ujung dagunya, "kira-kira sebanyak apa ya semut yang meninggal?"

Anton dan Sahrul yang duduk mengapit Ryan saling pandang. Lalu, geleng-geleng kepala. Hingga pada akhirnya ketika hujan terlihat sedikit berkurang kelebatannya, mereka berkata.

"Bos. Kami pulang duluan ya?"

"Ini kalau ditunggu juga bisa-bisa sampai besok pagi redanya."

Ryan menoleh bergantian pada mereka berdua. Membenarkan perkataan itu.

Kalau hujan sampai pagi, apa sebaiknya aku nyuruh Vanessa pulang duluan ya? Naik taksi aja. Kasian dia. Besok juga harus kerja.

"Oh, oke oke," kata Ryan. Lalu, ia teringat sesuatu. "Itu, Rul. Nanti kamu bilangin aja ke Yanto. Nggak usah datang buat jaga malam ini."

Seperti yang dulu pernah Ryan katakan bahwa dirinya mencari penjaga malam untuk depotnya –mengingat ia sudah tidak menginap lagi di sana-, yang mana kemudian Sahrul pun menawarkan sepupunya. Yanto namanya. Terhitung sudah hampir sebulan pula Yanto bekerja di sana. Yah sama lamanya dengan waktu yang telah Ryan habiskan tinggal serumah dengan Vanessa tentunya.

"Bos nginap?" tanya Anton.

Ryan mengangguk. "Ya kali aku ngelawan hujan sederas ini. Sampe-sampe udah remuk semua badan aku."

"Oh ...."

Lalu sesuatu melintas di benak Ryan. Buru-buru ia berkata.

"Nanti Vanessa aku panggilkan taksi kok. Biar dia bisa balik duluan."

"Oh ...."

"Aman aja. Aku nggak bakal aneh-aneh kok. Yakin."

"Oh ...."

Dahi Ryan melongo mendapati lirihan itu dari Anton dan Sahrul. Sedikit heran karena mereka tidak mengatakan apa-apa pada dirinya.

Kenapa reaksi mereka sedatar ini?

Nggak yang heboh pake acara ngeganggu aku gitu?

Ryan bingung.

Tapi, mereka berdua pada akhirnya benar-benar beranjak dari pondok. Menuju ke dua motor bebek mereka yang terparkir. Keduanya tampak mengamati Ryan yang kemudian langsung berlari menuju ke rumahnya. Sontak kedua cowok itu teringat percakapan mereka dengan Lastri. Beberapa waktu yang lalu sebelum Lastri dan Ilana pulang. Saat itu Ryan sepertinya sedang memilihkan satu pot kecil bunga anyelir untuk mertuanya.

"Kalau kalian manggil Vanessa itu Nyonya Bos, itu bagus."

Anton dan Sahrul saling pandang.

"Oh. Ibu Bos bakal merestui hubungan Bos ya?" tanya Anton kemudian.

Mata Lastri membulat. "Bakal merestui? Orang mereka memang sudah direstui kok." Lastri menarik napas sekilas. "Cewek itu istri Ryan."

APA?!!!

Mungkin itulah yang bergema di benak Anton dan Sahrul. Sedetik mereka melongo. Sedetik kemudian mereka tertawa.

"Ibu Bos masa becanda kayak gitu."

"Masa Bos udah nikah sih?"

"Kalian ini," geram Lastri. Lantas tangannya meraih tangan Ilana. "Ini ibunya Vanessa. Dan dia udah jadi mertua Ryan."

"Berarti pas Ibu Bos manggil Besan tadi?" tanya Sahrul dengan nada rendah. "Itu memang serius ya?"

Anton dan Sahrul benar-benar tidak habis pikir saat itu. Dan penjelasan singkat yang diberikan oleh Lastri berakhir pada satu kesimpulan.

"Jadi, kalian tolong jaga sikap kalau mereka lagi berduaan. Namanya juga pengantin baru. Kalau kalian nggak mau ngerasa mual-mual kayak yang aku dan Ilana alami tadi, mending nggak usah ngeliat mereka mesra-mesraan deh."

Anton dan Sahrul meneguk ludahnya.

Sekarang, melihat Ryan yang sudah menghilang di dalam rumah itu, mereka berdua saling pandang dengan geli.

"Ya ampun. Bisa kebayang aku mah apa yang bakal terjadi selanjutnya, Ton."

Anton tergelak hingga air hujan masuk ke dalam mulutnya. Mengenakan helm dan menimpali. "Bentar lagi ada Anak Bos dong."

"Hahahahaha."

*

Ryan hanya sempat membuang sekilas air hujan yang membasahi tubuhnya saat ia sampai di teras rumah. Merasa dingin, ia segera masuk dan menutup pintu tersebut. Tubuhnya terlihat menggigil.

"Sa ...."

Ryan melintasi ruang tamu seraya menyerukan nama istrinya itu.

"Sa .... Bisa tolong ambilkan handuk nggak di lemari pakaian? Badan aku basah kuyup. Ntar kamar pada basah."

Ryan terus melangkah. Langsung menuju ke belakang, ke kamar mandi lebih tepatnya lagi. Tapi, ketika ia sampai di kamar mandi dan melepas kaos kerjanya yang sudah kuyup itu, Ryan mengerutkan dahi. Berpaling ke belakang. Pada pintu kamar mandi yang sengaja belum ia tutup, menunggu handuknya diantar.

"Sa ...?"

Tapi, tak ada sahutan apa pun yang ia terima. Membuat Ryan pada akhirnya menyerah.

Beranjak ke balik pintu kamar mandi, sebenarnya ada satu handuk yang tergantung. Tapi, Ryan tak mungkin memakainya. Entah sejak kapan handuk itu tergantung di sana. Hingga kemudian Ryan memutuskan untuk melepaskan semua pakaiannya yang basah terlebih dahulu. Mengenakan handuk itu melingkari pinggangnya. Berniat mengambil handuk yang bersih dan baru mandi. Itu rencananya semula. Tapi ....

Ketika ia sampai di kamarnya, maka tertegunlah Ryan di ambang pintu. Melihat sesuatu yang membuat Ryan spontan menghentikan langkah kakinya. Rencananya tadi buyar seketika.

"Pantas aja dia nggak nyahut panggilan aku dari tadi," lirih cowok itu tersenyum.

Kaki Ryan kemudian kembali melangkah pelan-pelan. Tak ingin menimbulkan satu bunyi apa pun yang bisa mengusik Vanessa yang tengah terlelap.

Di sana. Di atas tempat tidurnya, ada Vanessa yang sedang tidur. Membuat Ryan sontak melupakan niatannya semula yang ingin mengambil handuk. Dan ia pun langsung saja duduk di tepi tempat tidur. Melihat wajah gadis itu.

Vanessa jelas benar-benar melakukan 'istirahat' seperti yang dikatakan Ryan pada dirinya ketika ia tinggal bekerja tadi. Tapi, Ryan tidak menduga. Melihat Vanessa berbaring di atas kasurnya, dengan kepalanya yang berada di atas bantalnya, dan rambutnya yang berantakan di sana, membuat perasaan Ryan jadi tak karuan. Sepertinya bukan hanya di luar sana ada angin yang bertiup kencang. Nyatanya di dadá Ryan ada pula angin yang bertiup. Membuat perasaannya menjadi berdesir karenanya.

Dan Ryan seolah melupakan semuanya. Ia justru menikmati detik-detik itu. Di mana ia bisa melihat Vanessa yang terlihat nyaman berada di tempatnya.

Sejurus kemudian, setelah cukup puas memandangi wajah damai Vanessa, Ryan pun bangkit. Menyelimuti Vanessa dan menyadari bahwa ada rasa dingin yang membuat tubuhnya terasa kaku. Rasa dingin yang sempat terabaikan olehnya saat menatap Vanessa. Yang mana pada akhirnya hal itulah yang menyadarkan Ryan dari keterpanaannya memandang wajah Vanessa.

Ryan segera mengambil handuknya di dalam lemari. Dan tak hanya itu. Ryan pun tak lupa membawa pakaiannya.

Make baju di kamar, terus kalau Vanessa bangun gimana? Bisa histeris dia kalau sampe ngeliat senjata pamungkas keris Empu Gandring aku.

Hahahaha.

Menahan tawanya agar tidak sampai meledak, Ryan pun kembali bergegas ke kamar mandi dan langsung mengguyur tubuhnya. Tak lama kemudian, ia pun telah selesai membersihkan diri dan berpakaian.

Ketika ia kembali lagi ke kamar, ia masih mendapati Vanessa yang tertidur. Melihat dari wajah damai gadis itu, Ryan berani bertaruh. Vanessa tidak akan bangun dalam waktu dekat.

Maka dari itu mengingat hujan yang masih lebat mengguyur, Ryan pun berinisiatif ke dapur. Membuka kabin dan melihat apa yang ia punya. Setidaknya di sana ia menemukan sekaleng sarden.

"Yah. Namanya anak bujang tinggal sendirian di rumah. Masih untung ada sarden coba."

Ryan mendapati memasak kala itu benar-benar membuat ia geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak? Ketika Ryan ingin menumis sarden itu, ia baru teringat dengan bumbunya. Membuka kulkas, Ryan tidak terkejut sama sekali melihat bawang putihnya sudah keriput dan bawang merahnya bertunas.

"Ckckckck."

Tapi, daripada tidak makan kan? Akhirnya Ryan menumis sarden itu dengan semua keterbatasan yang ia miliki.

"Kamu masak, Yan?"

Satu suara merdu yang terdengar sedikit serak itu sontak membuat Ryan memalingkan wajahnya. Terpesona melihat wajah bantal namun segar versi Vanessa di sana. Tapi, keterpanaannya justru membuat lidahnya salah tingkah.

"Nggak lagi masak, Sa. Kalau orang di depan kompor sambil megang kuali dan sutil, kayaknya itu orang lagi nyuci baju deh."

Vanessa melongo.

"Eh eh eh. Ya iya dong lagi masak," kata Ryan kemudian dengan cepat. "Emangnya kamu nggak lapar apa?"

Dengan senyum masam, Vanessa meraba perutnya. Sekarang karena Ryan membahas soal lapar, ia pun menyadari itu. Perutnya terasa kosong. Dan belum lagi dengan derasnya hujan dan dinginnya malam, membuat rasa lapar langsung mendobrak perutnya.

Ryan menyeringai. "Bisa tolong kamu siapkan piring buat makan? Ini bentar lagi masak."

Tak membantah, Vanessa beranjak ke rak piring kecil yang ada di dekat meja kompor. Mengambil dua piring makan dan lalu melihat pada meja kecil di sebelahnya.

"Ryan ...."

Memadamkan kompor, Ryan lantas berpaling. "Apa?"

Vanessa melirik Ryan sejenak, lalu menunjuk ke atas meja. Pada magic com yang kabelnya melilit di sekitaran benda itu. Tidak tersambung ke arus listrik.

"Kita makan sarden pake apa kalau kamu belum masak nasi?" tanya Vanessa kemudian. "Makan sardennya doang."

"Ya salam!"

Ryan menepuk dahinya.

"Sorry sorry. Aku masak dulu."

Ryan dengan cepat bergegas mengambil panci magic com. Namun, ketika ia akan beranjak, mendadak saja ia tertegun.

"Kenapa?" tanya Vanessa.

Ryan mengerjap-ngerjapkan matanya. "Kayaknya beras aku habis deh."

Mata Vanessa tertutup dengan dramatis. Mengembuskan napas panjang. Ketika ia membuka mata, ia melihat Ryan menggaruk-garuk kepalanya.

"Sorry ...."

Vanessa mengembalikan piring itu ke rak semula. "Jadi itu sarden mau dimakan nggak pake nasi?" tanyanya. "Ya kali makan sarden nggak pake nasi."

"Maaf, Sa. Lagipula aku kan nggak ngira kita bakal di sini sampe malam."

"Harusnya kita emang pulang."

"Tapi, kan hujan."

"Kalau pulang dari tadi, ya nggak bakal kehujanan."

"Tapi, kamu kan tidur."

"Kalau kamu nggak nyuruh aku istirahat, ya nggak bakal aku ketiduran."

Mengembuskan napas panjang, Ryan cemberut. "Memang. Aku yang salah."

Mata Vanessa melirik. Melihat cowok itu yang kemudian meletakkan kembali panci magic com. Dan Vanessa berpikir.

"Kamu nggak ada mi gitu?"

Ryan tak menjawab. Tapi, ia langsung membuka kabin dapurnya. Dan ia menemukannya.

"Ini. Ada satu."

Vanessa mendekatinya. Mengambil mi itu. "Cuma sebungkus?"

Ryan mengangguk. "Aku tinggal sendirian di sini. Mana yang masuk akal? Aku punya dua bungkus mi atau sebungkus mi?"

"Aaah."

Vanessa mengembuskan napas panjang. Menyadari bahwa memilih untuk tidak berdebat perkara 'mana yang lebih masuk akal' adalah hal yang terbaik.

"Oke oke. Biar aku masak mi aja."

Sementara Ryan tak menghiraukan perkataan Vanessa, gadis itu memilih langsung mengambil panci. Sesekali melirik pada Ryan yang kemudian memilih duduk melantai dan menyalakan televisi.

Kabar baiknya, walau saat itu hujan lebat, namun listrik tidak padam. Setidaknya keadaan mereka tidak menjadi lebih buruk lagi.

"Kejebak hujan, eh nggak ada makanan lagi."

Ryan geleng-geleng kepala.

"Kok apes sih?"

Di tempatnya berdiri, Vanessa tersenyum geli mendengar keluhan Ryan. Beberapa kali gadis itu melirik melihat Ryan yang terlihat misuh-misuh melihat tayangan televisi.

Mungkin efek lapar gara-gara kerja kali ya?

Sekitar lima menit kemudian, fokus Ryan di televisi buyar seketika. Itu adalah ketika aroma wangi mie kuah menguar ke udara. Sontak mempermainkan saraf-saraf penciumannya. Dan seperti memang ingin lebih mempermainkannya, Vanessa membawa sumber aroma itu ke depan wajah Ryan.

Ryan seketika merespon. Layaknya anak kucing yang mengendus aroma ikan. Mengikuti arah mangkok itu.

"Hihihihi."

Vanessa terkikik. Membuat Ryan tersadar dan langsung manyun. Berusaha mengabaikan Vanessa yang duduk di sebelahnya.

"Kamu nggak mau, Yan?"

Sok menolak, Ryan mengangkat dagunya. "Nggak usah."

"Beneran?" tanya Vanessa kemudian dengan menggoda.

"Beneran."

Vanessa mengulum senyum. Menyendok mie tersebut.

"Ini mi kuahnya pake sarden tadi sih. Ehm .... Pasti enak."

Dahi Ryan berkerut. "Emang enak makan mi kuah pake sarden?"

Tawa Vanessa hampir meledak. Namun, ia bertahan. "Ya enak dong, Kanda. Kalau hujan kayak gini, semuanya pasti bakal enak."

Ryan seketika menoleh. Melihat sesendok mi dan sarden di tangan Vanessa. Tanpa peringatan, segera saja Ryan menahan tangan Vanessa.

"Eh?"

Dan ... hap!

Sendok lenyap ke dalam mulut Ryan.

"Lumayan sih."

Vanessa tertawa melihat isi sendoknya yang telah dimakan oleh Ryan. "Dimakan juga. Aku kirain nggak bakal mau," ujar Vanessa. "Kenapa dimakan? Nggak jadi ngambek?"

"Siapa yang ngambek?" tanya Ryan seraya mengambil sendok dari tangan Vanessa. "Aku nggak ngambek kok."

"Hahahaha. Mau ngeles. Tadi itu manyun gara-gara apa? Gara-gara ngambek kan?" tanya Vanessa seraya melihat Ryan yang menyendok mie yang mangkoknya masih berada di tangannya.

Ryan menggeleng. Mengangkat sendok yang telah terisi penuh itu.

"Aku manyun bukan gara-gara ngambek," katanya. "Tapi, ngerasa bersalah aja." Ryan mengembuskan napas panjang. "Gara-gara aku kamu jadi kelaparan di sini."

"Eh?"

Ryan menatap Vanessa lamat-lamat. Terlihat serius sekali. "Ntar aku bakal pastikan stok makanan akan selalu ada di rumah. Biar kalau kapan-kapan kita kejebak lagi, kamu nggak bakal kelaparan kayak gini," katanya seraya menyodorkan sendok itu ke mulut Vanessa. "Malam ini ya terpaksa makan ini dulu."

Membuka mulutnya, Vanessa membiarkan Ryan menyuapkan mie dan sarden itu pada dirinya. Ryan tersenyum. Meletakkan kembali sendok itu di mangkok.

"Dah. Abisin gih."

Vanessa mengerjap. Mengunyah dengan pelan dan menyadari bahwa semua yang terjadi saat itu berada di luar kendali mereka berdua. Tidak ada yang mengira mereka akan terjebak hujan. Dan menahan lapar di saat hujan sedang menggila? Tentu bukan hal yang mengenakkan. Apalagi untuk orang yang baru saja bekerja dengan otot dan tenaganya.

Vanessa menarik lengan baju Ryan. Membuat Ryan yang semula ingin fokus lagi pada tontonannya, menjadi berpaling. Menatap sorot asing di mata gadis itu.

"Apa?"

Mata Vanessa berkedip sekali. "Kita bisa kok makan ini berdua."

Ryan tertegun. Berusaha menatap mata gadis itu, namun Vanessa justru melarikan tatapannya ke arah yang lain.

Se-sebentar deh.

Ini kayaknya hujan terlalu deras.

Sampe-sampe telinga aku salah dengar kayaknya.

Dan seakan ingin benar-benar mendapatkan klarifikasi atas pendengarannya tadi, Ryan bertanya lirih. Walau hanya dengan satu kata.

"Ya?"

Namun, Ryan tak mendapatkan jawaban berupa kata-kata. Melainkan dengan satu tindakan dari gadis itu. Vanessa kembali menyodorkan sesendok penuh mie dan sarden.

Ya ampun.

Ternyata begini ya efeknya kalau disuapi cewek yang biasanya sadis.

Berasa ini perut langsung kenyang seketika.

Hiks.

Mengunyah dengan perasaan yang bewarna-warni, Ryan kembali berkata di dalam hati.

Dah.

Besok aku ngeborong mi kuah dan sarden aja bekardus-kardus.

Hahahahaha.

*

bersambung ....


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro